Sebagai seorang penyanyi Melayu, Nur ‘Ainun memilki biografi yang begitu menarik secara budaya, berikut penulis uiraikan untuk bisa kita lihat bagaimana perjalanan hidupnya. Hal
itu mencakup aspek-aspek riwayat keluarga yang meliputi aspek-aspek: masa kecil keluarga, kemudian pendidikan, Rumah Tangga dan karir.
3.1 Riwayat keluarga
Nur ‘Ainun dilahirkan di Stabat, Langkat, di daerah Kebun Baru, pada tanggal 7 November 1935. Beliau merupakan anak dari pasangan Mohammad Sigit dengan Fatma. Kedua
orang tuanya ini bertempat tinggal di Stabat, JalanTanjung Pura. Sementara asal-usul kedua orang tuanya adalah kawasan dekat dengan pantai Selat Melaka, yang dikenal dengan istilah
Pantai Gemi, yang merupakan sebuah kota kecil di Stabat. Ayahnya berprofesi sebagai kepala sekolah di Mensec School. Peenjelasan verbal tentang kinerja ayahnya ini, Nur ‘Ainun
menceritakannya kepada saya sebagai berikut.
Nak, ayah nenek itu kepala sekolah di Mencis School, sekolah yang didirikan oleh Belanda lansung. Saudara-saudara nenek sekolah di situ
sampe tamat, kecuali nenek. Kalau nenek hanya sampai tingkat dasar saja di situ, kalau tidak salah kelas 6. Kalau di sini kan kelas enam SD kan.
Kalau zaman dulu nggak ada yang namanya SD, hanya tingkatan aja dulu, terus nak, bahasanya juga bahasa Belanda. Makanya dulu nenek bisa
bahasa Belanda, tapi kalau sekarang udah nggak ingat lagi semua udah lupa nenek. Tetapi kan nak, ayah nenek itu selain kepala sekolah, dia juga
pemain musik. Semua alat musik, bisa dia mainkan. Makanya, waktu itu, di rumah nenek penuh kali alat musik. Mungkin dari situ juga nenek jadi suka
musik. Terus karena udah bakat kali ya nak. Wawancara penulis dengan Nur ‘Ainun 8 Maret 2010.
Di samping sebagai seorang kepala Sekolah, ayahnya juga memiliki kepintaran dalam bermusik. Terbukti ayahnya dapat memainkan semua alat musik Melayu. Nur ‘Ainun
mengatakan bahwa ayahnya dulu diajari bermain musik oleh seorang pemain musik Melayu
Universitas Sumatera Utara
yang bernama Muhammad Darus. Setelah ayahnya mahir bermain musik, keduanya membentuk sebuah grup musik yang diberi nama Langkat Band. Nur ‘Ainun juga kurang tahu kenapa grup
ini disebut Langkat Band, tetapi menurutnya mungkin karena tempat tinggal dari Muhammad Darus tersebut di Langkat, makanya membuat nama grupnya Langkat Band.
Menurut peenjelasan Nur ‘Ainun, ayahnya dapat memainkan sebahagian besar instrumen dalam musik Melayu, seperti: akordion, biola, gendang Melayu, dan lainnya.
Sehingga di rumah mereka, di Stabat, dijumpai alat-alat musik. Di samping itu, Nur ‘Ainun juga suka memainkan alat-alat musik tersebut.
Di saat ayahnya meninggal dunia, saat berusia 38 tahun, bisa dikatakan usia muda, Nur ‘Ainun mengatakan bahwa ayahnya meningal karena sakit. Anehnya menurut penjelasan beliau,
ayahnya pada saat itu hanya muntah-muntah saja, tetapi tidak lama kemudia ayahnya meninggal dunia. Namun demikian, dia mengatakan bahwa itu semua udah ajal. Kita tidak tahu
kematian itu kapan datangnya, hanya Allah saja yang tahu. Setelah ayahnya meninggal, di sinilah keluarga mereka bisa dikatakan sangat kurang
baik ekonominya. sehingga alat musik yang tadinya memenuhi rumah menjadi tidak ada. Satu persatu alat musik pun dijual oleh ibu Nur ‘Ainun, untuk dapat melanjutkan hidup mereka.
Ibunya tidak memiliki pekerjaan. Alat-alat musik dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup 7 anak yang ditinggalkan
kepada ibunya. Namun demikian, di sisi lain Nur ‘Ainun sebenarnya tidak ingin alat-alat musik Melayu itu dijual, karena dia sangat sayang sama ayahnya. Dia berharap agar dia bisa
mengenang ayahnya lewat alat-alat musik yang dibeli dengan uang ayahnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu Nur’Ainun ingin menceritakan kisah kehidupannya disaat mereka ditinggalkan sama kepala keluarga serta tulang pungung keluarga dan disini juga Nur ‘Ainun menceritakan
bahwa ibunya juga adalah keturunan Thailand. Berikut penuturanya.
Memang dulu semua alat musik yang ditinggalkan ayahnya nenek sudah habis dijual sama ibunya nenek. Soalnya untuk makan nak, tapi di sini
untuk apalah lah ya nak, soalnya nggak ada yang bisa main. Makanya dijual aja, ya udahlah nak. Nenek bisa sedih kalau ingat ayah nenek.
Kalau bisa nenek lebih suka cerita tentang Ibu nenek yang keturunan Thailand. Memang benar, dulu mamak nenek pernah cerita kalau ibunya
nenek mengatakan bahwa dia memilki campuran Thailand yang berasal dari ibunya, yaitu buyut-buyut atau nenek moyang ada yang menikah
dengan orang Thailand tapi sudah jadi Melayu, sudah Islam. Sampai sekarang ya nak, nenek tidak tahu kapan ibu nenek dan ayah nenek
menikah, lupa nenek nak wawancara 2 April 2010
Ketika Ayahnya wafat beliau meninggalkan 7 anak. Anaknya sendiri terdiri dari tiga anak laki-laki, dan empat perempuan. Nur ‘Ainun sendiri anak keempat dari 7 bersaudra.
Berikut ini adalah nama-nama saudara kandung Nur ‘Ainun; 1
Hj.Hania anak perempuan sulung, 2
Muhammad Arifin anak laki-laki yang paling besar, sekarang beliau sudah meninggal dunia,
3 Sauda anak ketiga perempuan,
4 Nur ‘Ainun dia sendiri,
5 Nur ‘Aini anak kelima perempuan,
6 Fahrudin anak keenam laki-laki, dan
7 Muhammad Ardi anak laki-laki paling bungsu
Penulis juga mempertanyakan mengenai kapan tanggal lahir dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan bahwa tidak ingat lagi. Saya juga merasa prihatin karena melihat kondisi beliau
Universitas Sumatera Utara
yang telah berusia reatif tua dan ingatanya juga sudah berkurang, sehingga penulis tidak mau memaksakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menguras pikirannya. Tetapi di sini Nur ‘Ainun
menceritakan kemalasannya dalam melaksanakan pekerjaan rumah. Berikut penuturanya.
Kalau ingat dulu nak, nenek bisa ketawa. Dulu nenek itu paling nggak mau disuruh ngapa-ngapain. Jangankan nyapu, nyuci piring aja kakak nenek.
Udah itu nenek itu nak, orangnya nggak rapi, tapi di keluarga nenek cuma nenek yang memang punya bakat nyanyi. Biarpun saudara-saudara nenek itu
bisa juga nyanyi, tapi yang meneruskan itu cuma nenek nak. Cuma nenek yang cari uang di musik, biarpun itu tidak jadi patokan. Yang penting bakat
nenek bisa tersalurkan. Makanya nak biar pun nenek nggak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, tapi di keluarga nenek itu, nenek itu paling
disayang lho nak. Disayang sama abang dan kakak nenek, memang nenek itu suka kali ingat-ingat zaman dulu waktu nenek masih kecil wawancara 13
Mei 2010.
Keluarga Nur ‘Ainun bisa dikatakan keluarga besar. Setelah ayahnya meninggal dunia, mereka pun pindah ke Stabat, tepatnya di Jalan Kebun Baru. Mereka tinggal bersama nenek dari
ibu beliau yang mereka panggil andung. Di sinilah mereka tinggal, dan tempat tinggal mereka itu bukanlah rumah mereka sendiri, melainkan rumah dinas dari ayah mereka. Karena pada zaman
dulu kepala sekolah mendapat jatah rumah dinas. Rumah dinas ini berada di lokasi sekolah tempat mengajar.
Setelah ayahnya meninggal dunia, Tuhan pun punya rencana lain terhadap keluarga Nur ‘Ainun ini. Saudaranya laki-laki yaitu anak kedua yang bernama Muhammad Afirin, meninggal
dunia. Kapannya Nur ‘Ainun juga lupa tanggalnya, tapi jelas mereka sangat sedih abang yang sayang sama dia telah pergi menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari penuturan Nur ‘Ainun sendiri terungkap bahwa ia sangat disayang di keluarganya. Bahkan sampai saat Nur Ainun sudah menikah pun mereka selalu memperlakukan Nur ‘Ainun
Universitas Sumatera Utara
sangat manja. Sehingga setiap pertanyaan mengenai keluarga Nur ‘Ainun sangat antusias dan sangat senang saat bercerita.
Setelah Nur ‘Ainun berusia 8 tahun, keluarganya memutuskan agar dia pindah ke Medan dan keluarganya tetap tinggal di Stabat. Nur ‘Ainun tinggal bersama waknya yang
bernama Hanifah dan suaminya bernama Muhammad Chair yang bekerja di Kepolisan di Jalan Kampung Keling, tetapi bukan polisi, hanya bekerja di kantor polisi. Nur ‘Ainun pun tinggal
bersama mereka di Jalan. Sukaraja di sebelah Istana Maimun yang dikenal sekarang sebagai Jalan Brigjen Katamso, Gang Warni.
Lebih jauh Nur ‘Ainun mengatakan bahwa waknya beserta suami adalah teman dekat Sultan Deli, yaitu Tengku Othman. Dia juga sudah lupa nama panjang Sultan Deli, karena dia
hanya sering mendengar orang-orang memanggil dengan istilah Tuanku saja. Memang inilah sebutan yang selalu digunakan orang Melayu untuk menyebut rajanya. Orang Melayu tidak
menyebut nama sultannya, karena kurang sopan. Penulis juga diperkenankan mereproduksi sebuah foto keluarga Nur ‘Ainun, yang terdiri
dari ayah, ibu, serta saudara-saudara Nur ‘Ainun, seperti pda gambar berikut ini.
Gambar 3.1: Keluarga Nur ‘Ainun Ayah, Ibu, dan Saudara-saudaranya.
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Koleksi Nur ‘Ainun
3.2 Riwayat Pendidikan