Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta Di Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA

TESIS

Oleh

MUFIEDAH NUR

087018012/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L

A H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUFIEDAH NUR

087018012/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PINJAMAN LUAR NEGERI SWASTA DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Mufiedah Nur Nomor Pokok : 087018012

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, M.Si) Ketua

(Drs. Iskandar Syarif, M.A) Anggota

Ketua Program Studi

(Dr. Murni Daulay, M.Si)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah Diuji pada

Tanggal : 23 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Murni Daulay, M.Si Anggota : 1. Drs. Iskandar Syarif, M.A

2. Dr. Jhoni Manurung, M.S 3. Drs. Rahmat Syumanjaya, M.Si 4. Drs. Rujiman, M.A


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta di Indonesia.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder yang didapat dari laporan perekonomian Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial diketahui terdapat pengaruh yang signifikan Pinjaman Luar Negeri Swasta terhadap kurs riil, net ekspor dan tabungan. Sedangkan interest rate differensial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia. Secara serempak variabel bebas yaitu interest rate differensial, Kurs riil, Net Ekspor dan Tabungan dapat mempengaruhi pinjaman Luar Negeri Swasta yang ditandai dengan nilai Prob (F-Statistik) sebesar 0.000 <  0.05 yang berarti secara bersama-sama Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor, Tabungan dapat mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.

Kata Kunci: Pinjaman Luar Negeri Swasta, Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor dan Tabungan.


(6)

ABSTRACT

This study aims to analyze the factors which are affecting private foreign loans in Indonesia.

The data obtained from the Economic Report of Bank Indonesia and the Indonesian Financial Statistics. The methodl used in this study is the model with the Econometrics Ordinary Least Square (OLS).

The results of this study indicate that there are partially known to have a significant influence Private Foreign Loans on the real exchange rate, net export and saving. While interest rate differential does not have a significant influence on private foreign borrowing in Indonesia. Independent Variable simultaneously influence on interest rate differential, the real exchange rate, net export and saving may affect foreign private loans is characterized by the value of Prob (F-Statistics) for 0,000 < á 0,05 which means that jointly Interest Rate Differential, Exchange Rate real, Net Export, Saving can affect on the Private Foreign Loans in Indonesia.

Keywords: Private Foreign Loans, Interest Rate Differential, Real Exchange Rate, Net Exports and Savings.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis

yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pinjaman Luar

Negeri Swasta di Indonesia”. Tak lupa pula shalawat dan salam penulis tujukan

kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah berjuang membawa umat manusia kepada fitrah yang benar dan jalan yang diridhoi-Nya.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelas Magister pada Sekolah Pascasarjana Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibunda H. Murti dan Ayahanda H. Bey As Chalid yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tiada hingga. Demikian juga kepada Kakanda Zaki Mubarrak, Adinda Rafiqul Jannah, Tasykuru Rizqa dan M. Nashir yang telah memberikan dukungan dan menjadi motivator bagi penulis.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan begitu banyak sumbangan tenaga, waktu dan pikirin bagi penulis dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Iskandar Syarif, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang yang telah memberikan berbagai saran dan masukan serta kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Demikian pula ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan berbagai bentuk kontribusi bagi penulis, khususnya:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A (K). Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si. selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara sekaligus Ketua Komisi Pembimbing bagi tesis peneliti.

4. Bapak Dr. Jhoni Manurung M.S, Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya M.Si dan

Drs. Rujiman, M.A selaku Dosen Pembanding bagi tesis peneliti.

5. Bapak/Ibu dosen yang telah menyumbangkan ilmunya, semoga berguna bagi

penulis dan amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

6. Lettu Inf. Taufik Satria Nugraha, yang selalu mendukung, menemani dan mendoakan peneliti dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan

angkatan 14 yang telah memberi warna dan pelajaran dalam kehidupan penulis selama di kampus.

8. Rekan-rekan Kelompok Tim Ekonomi Moneter Bank Indonesia Medan.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah membalas

kebaikan dengan berlipat ganda.

Medan, Februari 2010 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mufiedah Nur

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/31 Oktober 1983

Alamat : Jl. Medan Area Selatan No. 157

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Status : Belum Menikah

Nama Orang Tua

Ayah : H. Bey As Chalid

Ibu : H. Murti

Adik/Kakak

Kakak : Zaki Mubarrak, S.Sos

Adik : Rafiequl Jannah, S.T.

Tasykuru Rizqa, S.Ked M. Nashir

Riwayat Pendidikan : 1. SD Islam Al-Ulum

2. DMP Diniyyah Putri Padang Panjang 3. M.A. Al-Mukmin


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... .. v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... ... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta... 9

2.1.1. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia ... 13

2.1.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Implikasi Moneter... 14

2.2. Bunga Sebagai Instrumen Moneter... 16


(11)

2.3.1. Fungsi Nilai Tukar... 19

2.3.2. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ... 21

2.4. Ekspor dan Impor... 23

2.5. Tabungan... 26

2.6. Tinjauan Studi Terdahulu... 28

2.7. Kerangka Pemikiran... 35

2.8. Hipotesis... 35

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 37

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 37

3.3. Metode Analisa Data... 37

3.4. Definisi Operasional Variabel... 38

3.5. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)... 39

3.6. Uji Asumsi Klasik... . 40

3.6.1. Multikolinearitas ... 40

3.6.2. Autokorelasi ... 41

3.6.3. Uji Akar-akar Unit (Uji Stasionaritas) ... 42

3.6.4. Uji Normalitas... 42


(12)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1. Perkembangan Ekonomi ... 45

4.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta... 51

4.3. Perkembangan Interest Rate Differensial/IRD Indonesia ... 52

4.4. Perkembangan Net Ekspor... 53

4.5. Perkembangan Kurs/Nilai Tukar ... 55

4.6. Perkembangan Tabungan Indonesia... . 61

4.7. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia... 63

4.8. Hasil Analisis Data dan Pembahasan... 65

4.8.1. Deskripsi Data... 65

4.8.2. Uji Asumsi Klasik ... 66

4.8.3. Uji Akar Unit ... 69

4.8.4. Uji Statistik Hasil Estimasi Model Penelitian... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

5.1. Kesimpulan ... 79

5.2. Saran... 80


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta... 6

4.1. Rangkuman Statistik Deskriptif ... 65

4.2. Hasil Uji Multikolinieritas ... 66

4.3. Hasil Uji Autokorelasi ... 67

4.4. Pengukuran Autokorelasi ... 67

4.5. Hasil Uji Jarque-Bera... 68

4.6. Hasil Uji Ramsey ... 69

4.7. Hasil Pengujian Akar-akar Unit dengan Level ... 70

4.8. Hasil Pengujian Akar-akar Unit fengan 1st Difference ... 74


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Pemerintah ... 7

2.1. Kerangka Pemikiran ... 35

4.1. Perkembangan Interest Rate Differential Tahun 1998 s/d 2008 ... 53

4.2. Perkembangan Net Ekspor Tahun 1998 s/d 2008 ... 54

4.3. Perkembangan Kurs Riil Tahun 1998 s/d 2008 ... 60

4.4. Perkembangan Tabungan Tahun 1998 s/d 2008 ... 62

4.5. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Tahun 1998 s/d 2008 .... 63

4.6. Uji Normalitas Data ... 68


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Variabel ... 84

2. Regresi Berganda ... 85

3. Normalitas Data ... 86

4. Linieritas Data... 87

5. Autokorelasi ... 88


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta di Indonesia.

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder yang didapat dari laporan perekonomian Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square (OLS).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial diketahui terdapat pengaruh yang signifikan Pinjaman Luar Negeri Swasta terhadap kurs riil, net ekspor dan tabungan. Sedangkan interest rate differensial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia. Secara serempak variabel bebas yaitu interest rate differensial, Kurs riil, Net Ekspor dan Tabungan dapat mempengaruhi pinjaman Luar Negeri Swasta yang ditandai dengan nilai Prob (F-Statistik) sebesar 0.000 <  0.05 yang berarti secara bersama-sama Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor, Tabungan dapat mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.

Kata Kunci: Pinjaman Luar Negeri Swasta, Interest Rate Differensial, Kurs Riil, Net Ekspor dan Tabungan.


(17)

ABSTRACT

This study aims to analyze the factors which are affecting private foreign loans in Indonesia.

The data obtained from the Economic Report of Bank Indonesia and the Indonesian Financial Statistics. The methodl used in this study is the model with the Econometrics Ordinary Least Square (OLS).

The results of this study indicate that there are partially known to have a significant influence Private Foreign Loans on the real exchange rate, net export and saving. While interest rate differential does not have a significant influence on private foreign borrowing in Indonesia. Independent Variable simultaneously influence on interest rate differential, the real exchange rate, net export and saving may affect foreign private loans is characterized by the value of Prob (F-Statistics) for 0,000 < á 0,05 which means that jointly Interest Rate Differential, Exchange Rate real, Net Export, Saving can affect on the Private Foreign Loans in Indonesia.

Keywords: Private Foreign Loans, Interest Rate Differential, Real Exchange Rate, Net Exports and Savings.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan Orde Lama, ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan atau terjerat dalam vicious circle (pendapatan rendah karena baru merdeka, hasrat konsumsi tinggi, kemampuan menabung rendah, tingkat investasi rendah, dan akibatnya pendapatan kembali rendah, dan seterusnya berulang-ulang) sehingga, pada akhirnya Indonesia tetap miskin. Oleh karena itu sejak pemerintahan Orde Baru tepatnya pada tahun 1966, dengan dipelopori oleh putera-putera terbaik Indonesia yang waktu itu terkenal sebagai Lulusan Berkeley, pemerintah berusaha memutus mata rantai vicious circle dengan melakukan pembangunan besar-besaran (the big push theory) dengan cara membuka penanaman modal asing masuk ke Indonesia, mengundang PMA masuk, dan meminjam ke luar negeri (Bank Dunia, IMF, IRBD, dll). Alasannya bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan dengan mengharapkan pertumbuhan tabungan masyarakat yang terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan. Perlu dilakukan investasi besar-besaran meskipun harus meminjam ke luar negeri.

Diawali dengan mengeluarkan Undang-Undang PMA 1967 dan melalui berbagai negosiasi dengan negara-negara maju, melalui IGGI, dan terakhir dari CGI, pinjaman luar negeri masuk untuk membiayai pembangunan Indonesia, hingga


(19)

tahun 2000 masih terus berlangsung. Sebab dalam APBN 1999/2000 jelas terlihat bahwa total pengeluaran untuk pembangunan sebesar Rp. 82 triliun masih bersumber dari pinjaman luar negeri.

Secara teoritis alasan negara-negara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan itu mungkin dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya.

Struktur utang luar negeri Indonesia telah banyak mengalami perubahan selama tiga puluh tahun terakhir. Pada awalnya, sebagai negara yang baru berkembang, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta pinjaman lunak dan setengah lunak dari negara-negara sahabat dan lembaga supranasional, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman yang bersyarat lunak menjadi semakin terbatas sehingga pemerintah untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Selanjutnya, dengan semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah, peran swasta dalam perekonomian semakin meningkat. Hal ini berkaitan erat dengan


(20)

langkah-langkah deregulasi di berbagai bidang yang ditempuh pemerintah terutama sejak tahun 1980-an. Besarnya minat investasi swasta sementara sumber-sumber dana dalam negeri terbatas telah mendukung pihak swasta melakukan pinjaman luar negeri baik dalam bentuk penanaman modal langsung dan pinjaman komersial maupun investasi portofolio dalam bentuk surat-surat berharga yang diterbitkan oleh swasta domestik. Persyaratan pinjaman luar negeri swasta baik suku bunga maupun jangka waktu pada umumnya tidak lunak. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah karena ekonomi nasional terlalu tergantung terhadap pinjaman luar negeri swasta.

Krisis ekonomi mengakibatkan hutang luar negeri berarti penting bagi perekonomian nasional. Akan tetapi hutang luar negeri yang terlalu besar juga menyebabkan Indonesia semakin terperosok dalam jurang krisis berkepanjangan. Menurut teori Harrod Domar, hutang luar negeri di negara berkembang disebabkan oleh ketidakcukupan tabungan domestik untuk membiayai pembangunan (Williamson dalam Setyawan, 2005). Angka pertumbuhan (growth), diperoleh dengan membagi tabungan domestik (saving) dengan rasio output kapital. Apabila tabungan domestik tidak mencukupi, untuk mengejar proyeksi angka pertumbuhan tinggi diperlukan hutang luar negeri.

Fenomena besarnya hutang luar negeri Indonesia disebabkan oleh dua hal. Pertama, faktor internal. Pemerintah Orde Baru pada awal tahun 60-an mengesahkan UU Penanaman Modal pada tahun 1967. UU tersebut berimplikasi terhadap arus modal asing di Indonesia. Pada awal 70-an Pemerintah Indonesia seolah-olah


(21)

mengumumkan pada dunia bahwa mulai memasuki era market economy sehingga modal asing yang termasuk di dalamnya pinjaman luar negeri sangat diharapkan. Akan tetapi kebiasaan mengharapkan pinjaman luar negeri ini mengakibatkan ketergantungan kronis terhadap hutang luar negeri. Kedua, faktor eksternal di mana lembaga donor asing memandang Indonesia pada akhir 60-an mengalami masa transisi baik secara ekonomi maupun politik, sehingga membutuhkan bantuan. Dalam perkembangannya ketika Indonesia mengalami booming ekonomi pada awal 90-an, para kreditur dengan senang hati memberi pinjaman kepada Indonesia. Hal ini dikarenakan selain Indonesia termasuk good boy dalam pembayaran hutang, prospek ekonomi Indonesia yang demikian cerah pada saat itu juga menambah optimisme para kreditur bahwa pinjaman mereka akan memberikan penghasilan berupa bunga dalam jumlah besar.

Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah telah bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari pemerintah negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan pembayaran hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi perekonomian Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan puluhan menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan itu di masa depan. Kenaikan tingkat bunga uang di pasar internasional dan resesi dunia yang


(22)

menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga tahun setelahnya.

Krisis yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan penarikan modal asing secara besar-besaran. Akibatnya nilai rupiah jatuh hingga 400% terhadap dolar AS. Kurs Rupiah jatuh dari Rp. 2.000/US$ menjadi Rp. 14.000/US$. Inflasi melaju sampai 78% PDB tumbuh negatif 13,13% dan pinjaman luar negeri membengkak sampai 96% (BI, 2000). Pada saat krisis ini juga menyebabkan banyak perusahaan defult dalam melakukan pembayaran Pinjaman Luar Negeri. Hal ini menyebabkan hilangnya kepercayaan dari kreditur sehingga swasta tidak dapat mengakses pinjaman luar negeri dan tidak mampu melakukan pembayaran hutang. Namun pada periode setelah perekonomian Indonesia mulai pulih dari krisis 1997, akses swasta kepada sumber dana luar negeri menjadi terbuka. Hal ini tergambar dari outstanding pinjaman luar negeri swasta yang menunjukkan trend peningkatan. Berdasarkan data dari Bank Indonesia jumlah komitmen Pinjaman Luar Negeri Swasta sejak tahun 2002 kembali mengalami peningkatan. Adapun sektor yang dominan menjadi pengguna terbanyak pinjaman luar negari swasta adalah sektor industri sebesar 41,87% yang cenderung melakukan transaksi ekspor dan impor.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imam Sugema mengatakan, utang swasta ke luar negeri dinilai tidak mengkhawatirkan bila berorientasi pada sektor ekspor. Pasalnya, meskipun memiliki utang dalam bentuk dolar, namun pendapatan yang diterima juga dalam bentuk dolar. Kendati demikian, besarnya arus lalu lintas dana asing yang masuk dari luar negeri dapat memicu krisis


(23)

moneter bila utang tersebut tidak dilindungi. Berikut gambaran Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Indonesia.

Tabel 1. Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta Nilai/Juta USD

Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Luar Negeri No

Tahun

Pemerintah Swasta

1 1998 24,195 11,428

2 1999 14,475 6,860

3 2000 4,750 4,660

4 2001 2,878 8,137

5 2002 3,714 5,991

6 2003 3,796 8,337

7 2004 3,221 13,317

8 2005 5,251 16,222

9 2006 10,393 23,257

10 2007 8,922 27,831

11 2008 9,022 37,080

Sumber: Bank Indonesia.

Tabel di atas menggambarkan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Pinjaman Luar Negeri Swastas di Indonesia dari tahun 1998 s.d 2008. Berdasarkan tabel di atas pinjaman Luar Negeri Swasta jauh lebih besar dari pada pinjaman Luar Negeri Pemerintah tren Pinjaman Luar Negeri Swasta menunjukkan penurunan pada saat krisis (tahun 1998) dan mengalami peningkatan kembali di akhir tahun ini. Dalam bentuk grafik, pertumbuhan dan perkembangan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta tergambar sebagai berikut:


(24)

0 10,000 20,000 30,000 40,000

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

J

u

ta

U

S

D

PLN Pemerintah PLN Sw asta

Grafik 1.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Pemerintah

Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diadakan kajian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah:

1. Apakah Interest Rate Differensial mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri

Swasta?

2. Apakah Kurs Riil mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta?

3. Apakah Net Ekspor mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta?


(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh Interest Rate Differensial terhadap Pinjaman Luar Negeri Swasta.

2. Untuk menganalisis pengaruh Kurs Riil terhadap Pinjaman Luar Negeri

Swasta.

3. Untuk menganalisis pengaruh Net Ekspor terhadap Pinjaman Luar Negeri

Swasta

4. Untuk menganalisis pengaruh Tabungan Swasta terhadap Pinjaman Luar

Negeri Swasta.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan kebijakan Pinjaman Luar Negeri Swasta.

2. Sebagai informasi bagi pihak swasta yang menggunakan Pinjaman Luar

Negeri.

3. Sebagai informasi bagi penulis dalam menambah wawasan serta melatih

kemampuan analisis dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi yang terjadi.

4. Sebagai informasi bagi pembaca yang tertarik serta sebagai bahan


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pinjaman Luar Negeri Swasta

Pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan salah satu komponen penting dalam struktur pembiayaan suatu perusahaan. Sama halnya dengan pinjaman yang dilakukan oleh suatu negara, jika dikelola dengan baik, maka pinjaman akan dapat menjadi pendorong pertumbuhan perekonomian.

Hampir semua negara terutama negara berkembang memiliki pinjaman dengan berbagai alasan, baik untuk membiayai pembangunan, menutup defisit anggaran maupun mengatasi liquidity mismatch. Penggunaan pinjaman luar negeri dalam pembangunan di negara berkembang menimbulkan pro dan kontra mengingat dalam kenyataannya banyak negara peminjam yang berhasil, gagal atau kurang berhasil dalam pembangunan dengan memanfaatkan pinjaman luar negeri. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Pinjaman Luar Negeri yang diterima suatu negara dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan Pinjaman Luar Negeri hanya merupakan substitusi mobilisasi yang bersumber dari dalam negeri dan Pinjaman Luar Negeri yang besar dapat menyebabkan ekonomi suatu negara rentan terhadap gejolak perekonomian global. Hal ini telah terbukti di Indonesia yang merupakan salah satu negera berkembang dan memiliki Pinjaman Luar Negeri yang terus meningkat baik Pinjaman Luar Negeri Pemerintah maupun Pinjaman Luar Negeri Swasta.


(27)

Di lain pihak penelitian lain memberikan argumentasi yang berbeda dan menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif Pinjaman Luar Negeri atas pertumbuhan ekonomi bagi negara yang melakukan penyesuaian kebijakan. Hal ini mempertimbangkan bahwa peningkatan Pinjaman Luar Negeri akan menambah sumber dana dan dapat menutupi kesenjangan yang terjadi antara Investasi dan tabungan. Dengan kata lain jika tidak memanfaatkan Pinjaman Luar Negeri dari pemerintah atau swasta maka kesempatan yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan Pinjaman Luar Negeri tersebut dapat hilang begitu saja.

Makhlani dalam tulisannya yang berjudul Pola Pembangunan Ekonomi dengan Pinjaman Luar Negeri (2007) menyatakan bahwa:

(i) Terdapat hubungan kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri dengan

pertumbuhan ekonomi, Pinjaman Luar Negeri pemerintah, dan Pinjaman Luar Negeri swasta.

(ii)Sifat kausalitas antara Pinajaman Luar Negeri dan pertumbuhan ekonomi telah membentuk pola pembangunan dengan Pinjaman Luar Negeri dan dapat menjadi penyebab akumulasi Pinjaman Luar Negeri yang besar.

(iii)Karakteristik Pinjaman Luar Negeri pemerintah dan Pinjaman Luar Negeri swasta tidak sama sehingga berdampak beda atas pertumbuhan ekonomi dan sifat kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri pemerintah dan Pinjaman Luar Negeri swasta dapat membentuk kombinasi Pinjaman Luar Negeri yang efektif.


(28)

Kondisi pinjaman luar negeri Indonesia baik yang diterima pemerintah maupun swasta menunjukkan peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1970 sebesar US$ 2,52 miliar terus meningkat menjadi US$ 20,9 miliar (1980) dan US$ 136,09 miliar (1997). Jumlah pada tahun 1997 ini terdiri dari pinjaman luar negeri swasta sebesar US$ 71,95 miliar (Bank Indonesia, 1999). Peningkatan pinjaman luar negeri swasta terjadi akibat optimisme yang berlebihan dari beberapa perusahaan yang mendapatkan proteksi dari pemerintah dan melakukan monopoli. Faisal Basri (2002)

dalam bukunya “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan

Indonesia” menyatakan bahwa proteksi yang diberikan pemerintah antara lain berupa

bea masuk tinggi yang melahirkan distorsi. Akibat distorsi itu antara lain:

1. Terdapatnya praktik-praktik yang kurang sehat dalam memupuk keuntungan.

Pinjaman luar negeri swasta digunakan untuk mendirikan berbagai macam pabrik yang pengelolanya tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

2. Eksposur sektor swasta terhadap pinjaman luar negeri kurang diikuti dengan pengelolaan pinjaman yang berhati-hati. Kekurang hati-hatian itu terutama tercermin dari mencuatnya fenomena maturity mismatch dan currency mismatch yang dihadapi sektor perusahaan secara umum. Maturity mismatch terjadi karena pinjaman jangka pendek yang diterima digunakan untuk membiayai investasi jangka panjang, sehingga terdapat risiko akibat perbedaan jatuh tempo antara aset dan kewajiban yang dimiliki. Maturity mismatch antara lain terjadi pada sektor perbankan karena dana yang


(29)

dihimpun dari pihak ketiga maupun dari pinjaman luar negeri memiliki jangka waktu pendek sedangkan produk yang ditawarkan berjangka waktu panjang. Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri yang kurang berhati-hati pada masa sebelum krisis menyebabkan Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia melewati batas kewajaran. Selain hal di atas pada masa sebelum krisis tersebut Pemerintah Indonesia sedang giat mendorong peran sektor swasta dalam pembangunan dan sektor swasta diberikan keleluasaan untuk memperoleh dana dari luar negeri untuk menjalankan operasional perusahaannya. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi terus meningkat sampai di atas 7% sehingga pemerintah kurang memperhatikan risiko yang akan terjadi di kemudian hari. Untuk menangani Pinjaman Luar Negeri Swasta yang terus meningkat pada masa krisis dan setelah krisis mengharuskan pemerintah indonesia melakukan restrukturisasi dengan membuat sebuah forum yang bertujuan membantu menyelesaikan Pinjaman Luar Negeri Swasta melalui Frankfurt Agreement yang menghasilkan 3 program yaitu:

1. Penyelesaian masalah Pinajaman Luar Negeri antarbank melalui program

Interbank Debt Exchange Offer.

2. Penyelesaian kendala pembiayaan perdagangan melalui program Trade

Maintence Facility.

3. Penyelesaian masalah pinjaman sektor swasta non bank melalui program


(30)

2.1.1. Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Swasta Indonesia

Pinjaman baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, merupakan salah satu komponen penting dalam struktur pembiayaan suatu perusahaan. Di Indonesia Pinjaman Luar Negeri Swasta dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sektor ekonomi yakni sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa keuangan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor jasa, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, serta sektor pertambangan dan penggalian. Penggunaan Pinjaman Luar Negeri Swasta untuk sektor-sektor tersebut digunakan baik untuk menambah modal kerja ataupun perluasan kegiatan usaha. Selama ini sektor yang mendominasi pencairan Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah sektor industri pengolahan. Ini dikarenakan adanya kebutuhan valas untuk membeli bahan baku yang diimpor.

Sektor lain yang mendominasi Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan serta sektor pertambangan. Sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan dalam kurun waktu 1996-1998 lebih dominan dibandingkan sektor lainnya namun nilai tersebut mulai menurun hingga setara dengan posisi penerimaan pinjaman sektor lain pada tahun 1999. Keadaan ini sejalan dengan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mengingat pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan beberapa bank dilikuidasi dan penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat.

Pinjaman Luar Negeri Swasta yang diterima perusahaan-perusahaan Indonesia dalam kurun waktu 1990 s.d 2007 mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada


(31)

Akhir 2007, pinjaman yang berjangka panjang (di atas 1 tahun) mendominasi sebesar US$ 46,9 miliar yang terdiri dari Pinjaman Luar Negeri Swasta Bank US$ 2,8 miliar dan Pinjaman Luar Negeri Swasta Perusahaan sebesar US$ 44,1 miliar (Bank Indonesia, 2007) Pinjaman Luar Negeri Swasta perbankan sedikit lebih terkendali, hal ini dikarenakan pengendalian yang dilakukan Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang mengawasi operasional perbankan nasional.

2.1.2. Pinjaman Luar Negeri Swasta dan Implikasi Moneter

Di sisi moneter, Pinjaman Luar Negeri Swasta memiliki implikasi yang sangat penting. Keterkaitan Pinjaman Luar Negeri Swasta dapat dilihat dari berbagai perspektif, terutama keterkaitannya dengan fluktuasi nilai rupiah dan Sustainabilitas Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Perkembangan eksposure Pinjaman Luar Negeri Swasta termasuk perubahan struktur pinjaman, penarikan pinjaman dan profil pembayaran pinjaman akan memberikan implikasi terhadap kedua aspek moneter tersebut.

Perubahan yang cukup mendasar misalnya terjadi pada struktur Pinjaman Luar Negeri Swasta setelah era deregulasi 1988. Pinjaman Luar Negeri Swasta yang sebelumnya lebih berorientasi pada pinjaman jangka panjang untuk investasi, mulai bergeser dengan didominasi dengan pinjaman jangka pendek dengan suku bunga tinggi. Bahkan tidak sedikit perusahaan yang menggunakan Pinjaman Luar Negeri untuk tujuan Spekulasi. Arus modal masuk dalam bentuk pinjaman jangka pendek dan investasi portofolio mengandung resiko yang tinggi terhadap sustainabilitas NPI, yaitu rentan terhadap arus modal keluar secara cepat (reversal effect) apabila pada


(32)

suatu ketika perekonomian domestik dilanda oleh sentimen negatif. Struktur Pinjaman Luar Negeri Swasta seperti itu pada masa krisis telah terbukti memberikan tekanan serius terhadap Neraca Pembayaran Indonesia.

Pinjaman Luar Negeri Swasta juga berimplikasi terhadap fluktuasi nilai tukar yang merupakan salah satu parameter penting dalam mengendalikan dan menjaga stabilitas moneter. Eksposur Pinjaman Luar Negeri Swasta yang berlebihan dan dilakukan secara kurang berhati-hati dapat memberikan tekanan depresif terutama karena sentimen negatif. Pinjaman Luar Negeri Swasta yang tidak terkendali dan bermasalah secara berkepanjangan akan meningkatkan premi risiko dan biaya pinjaman yang akhirnya akan menurunkan credit rating dan memberi tekanan kepada nilai tukar.

Dilihat dari sisi moneter, filosofi dari pengaturan Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah untuk meningkatkan ketepatan dan keberhasilan dalam pengendalian moneter. Dalam rangka itu diperlukan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang kewajiban finansial sektor swasta khususnya dalam bentuk Pinjaman Luar Negeri Swasta. Informasi ini juga sangat penting dalam rangka perumusan kebijakan moneter terutama yang terkait dengan penyusunan Neraca Pembayaran Indonesia, pengelolaan cadangan devisa, pengendalian nilai tukar dan inflasi. Pengaturan Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk pemantauan Pinjaman Luar Negeri Swasta merupakan salah satu upaya pemantauan lalu lintas devisa secara efektif sebagai bagian dari upaya untuk mengefektifkan kebijakan moneter.


(33)

2.2. Bunga Sebagai Instrumen Moneter

Bunga sebagai instrumen artinya adalah tingakat bunga yang berlaku dalam suatu negara dapat berfluktuasi dari tingkat yang satu ke tingkat yang lainnya. Secara simpel bunga dapat dikatakan berupa penghasilan yang diperoleh orang orang yang memberikan kelebihan uangnya untuk digunakan sementara waktu oleh orang-orang yang membutuhkannya untuk digunakan sebai alat untuk menutupi kekurangannya.

Sebagai instrumen moneter suku bunga sangat mempengaruhi pasar uang baik dalam maupun luar negeri. Selisih tingkat suku bunga antar negara menyebabkan beberapa perusahaan memutuskan untuk melakukan pinjaman luar negeri. Suku bunga pinjaman yang rendah di negara-negara maju yang mengacu pada tingkat suku bunga internasional menjadi alasan mengapa beberapa perusahaan lebih memilih untuk memanfaatkan pinjaman luar negeri dibandingkan memanfaatkan pinjaman dari bank dalam negeri (Direktorat Internaional BI, 2005).

Variabel interest rate differential mempengaruhi permintaan valas melalui perubahan portofolio investment korporasi. Korporasi terutama investor asing akan melakukan penyesuaian terhadap portofolio di Indonesia bila terjadi perubahan suku bunga dalam negeri. Perubahan tersebut tercermin dari variabel interest rate differential. Setiap kenaikan suku bunga luar negeri akan menyebabkan penarikan investasi asing dari Indonesia dan Investor cenderung menyimpan dananya yang menyebabkan investasi dalam negeri menurun dan pinjaman sebagai modal investasi juga menurun.


(34)

Menurut Keynes preferensi-likuiditas dan suplai uang itu menentukan tingkat bunga, sehingga peningkatan permintaan terhadap uang, misalnya, akan menaikkan tingkat bunga (dan peningkatan suplai uang akan menurunkannya) dan bahwa hal ini lalu akan menurunkan investasi, "sementara itu penurunan tingkat bunga diduga, ceteris paribus, akan meningkatkan volume investasi". Di sisi lain, dengan memandang tingkat bunga sebagai "ganjaran untuk berpisah dengan likuiditas," ia bersikeras bahwa permintaan terhadap uang ditentukan oleh tingkat bunga.

Jika tingkat suku bunga menurun misalnya, akan meningkatkan permintaan seseorang akan uang kontan (dan juga, harus ditambahkan juga, hasrat konsumsi seseorang). dengan demikian akan mengarah pada penurunan investasi. Yang jelas, tingkat bunga yang rendah dapat melakukan keduanya: meningkatkan dan menurunkan investasi secara bersamaan.

2.3. Nilai Tukar

Perdagangan yang dilakukan antara dua negara tidaklah semudah yang dilakukan dalam satu negara, karena mesti memakai dua mata uang yang berbeda misalnya antara negara Indonesia dan Amerika Serikat. Pengimpor Amerika harus membeli Rupiah untuk membeli barang-barang dari Indonesia, sebaliknya pengimpor Indonesia harus membeli dolar Amerika untuk menyelesaikan pembayaran terhadap barang yang dibelinya di Amerika. Besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing.


(35)

Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.

Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank sentral terhadap pasar uang jika diperlukan. Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank sentral pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak yang berlebihan.

Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dolar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu


(36)

pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal

(Mankiw, 2003).

Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhdap mata uang negara lain (Krugman dan Obsfelt, 2000). Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga didalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: Q = SP/P* dimana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.

2.3.1. Fungsi Nilai Tukar

Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal bagi perekonomian suatu negara karena hal tersebut merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara dari gejolak perekonomian global. Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara mempunyai beberapa fungsi utama.

Pertama, berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan devisa. Oleh karena itu, dalam menetapkan arah kebijakan nilai tukar tersebut diutamakan untuk mendorong dan


(37)

menjaga daya saing ekspor dalam upaya untuk memperkecil defisit current account atau memperbesar surplus current account.

Fungsi kedua adalah untuk menjaga kestabilan pasar domestik. Fungsi ini untuk menjaga agar nilai tukar tidak dijadikan sebagai alat untuk spekulasi, dalam arti bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami overvalued maka masyarakat akan terdorong menjual valuta asing. Ketidakstabilan pasar domestik yang demikian dapat menimbulkan kegiatan spekulatif seperti perkembangan akhir-akhir ini, yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan makro.

Fungsi ketiga sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang menerapkan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan apresiasi nilai tukar digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dan ekspansi jumlah uang beredar.

Fungsi keempat adalah sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai tukar banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan mem-peg-kan nilai tukar suatu negara dengan satu mata uang asing. Sebagai gambaran pada akhir tahun 1970-an, orthodox programs dilaksanakan di Argentina, Chili dan Uruguay dan pada pertengahan tahun 1980-an; heterodox program dilaksanakan di Argentina, Brazil, Israel dan Mexico, selain itu juga pada tahun 1991 convertibility plan diterapkan di Argentina.

Kebijakan nilai tukar mata uang di dunia sangat dipengaruhi oleh sistem Bretton Wood yang diformulasikan pada tahun 1944. Bretton Wood adalah nama


(38)

tempat di New Hampshire, Amerika Serikat. Dari perjanjian di Bretton Wood tersebut kemudian diperkenalkan sebuah konsep mengenai sistem nilai tukar (fixed exchange rate) yang diyakini oleh para ahli pada waktu itu dapat memberikan kepastian dan stabilitas bagi kegiatan perdagangan dan investasi dalam bisnis internasional. Namun sistem ini berakhir saat pemerintahan Presiden Nixon pada 15 Agustus 1971 mengeluarkan dekrit dengan dicanangkannya bahwa nilai USD tidak dikaitkan dan tidak convertible terhadap seberat tertentu emas. Dengan berakhirnya dekrit tersebut maka berakhirlah sistem kurs tetap dan dimulailah era kurs mengambang (floating rate system).

2.3.2. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 1964, di Indonesia mulai diberlakukan sistem kurs tetap dengan mematok nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan kurs resmi sebesar Rp. 250/USD. Selama diberlakukannya fixed exchange rate di Indonesia maka selama periode resmi kurs tetap Bank Indonesia telah melakukan 3 kali tindakan devaluasi mata uangnya terhadap dolar Amerika. Sehingga pada tahun 1978, Indonesia mulai menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali (floating exchange rate). Dengan nilai tersebut nilai tukar rupiah diambangkan terhadap berbagai mata uang mitra dagang utama Indonesia.

Sistem nilai tukar mengambang yang dianut di Indonesia adalah sistem kurs mengambang yang dipengaruhi oleh campur tangan pemerintah atau yang sering disebut dengan managed float. Sistem ini berbeda dengan sistem kurs mengambang murni, yaitu sistem kurs yang nilai tukarnya terjadi tanpa campur tangan pemerintah


(39)

tetapi nilai tukar suatu valas ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa valas. Perjalanan sistem kurs mengambang terkendali di Indonesia bertahan cukup lama yaitu periode 1977 sampai 1997. Selama periode pemerintah, Indonesia membuat suatu indikator kurs mata uang dengan cara menetapkan spread pada pergerakan kurs di pasar uang. Sampai pada akhirnya terjadi krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang berawal pada bulan Juli 1997, kemudian pemerintah menetapkan sistem nilai tukar mengambang bebas (freely float) pada 14 Agustus 1997, yang artinya mulai saat itu, pemerintah melepaskan Rupiah pada kekuatan permintaan dan penawaran uang.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ekonom Amerika Goff Riley mengungkapkan bahwa pergerakan nilai tukar ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran valas. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar disebabkan terjadinya ekses permintaan. Sumber permintaan valas yang berasal dari perusahaan digunakan antara lain untuk melakukan pembayaran cicilan dan bunga Pinjaman Luar Negeri Swasta. Semakin besar pembayaran Pinjaman Luar Negeri Swasta, akan memperbesar permintaan valas dan mengakibatkan depresiasi nilai tukar rupiah yang selanjutnya akan menyebabkan perusahaan akan mengurangi dan cenderung enggan melakukan pinjaman. Dengan kata lain hubungan nilai tukar dengan Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah negatif.


(40)

2.4. Ekspor dan Impor

Perekonomian terbuka merupakan sebuah sistem ekonomi di mana orang-orang secara bebas dan aktif terlibat dalam perdagangan barang dan jasa serta memungkinkan adanya arus masuk dan keluar faktor-faktor produksi. Dengan sistem ekonomi terbuka, suatu negara bisa melakukan pengeluaran lebih banyak daripada produksinya dengan meminjam dana dari luar negeri, atau bisa melakukan pengeluaran lebih kecil daripada produksinya dengan memberi pinjaman kepada negara lain. Dalam perekonomian terbuka juga memungkinkan adanya alokasi sumber daya di mana di setiap negara memiliki kelimpahan faktor produksi yang berbeda-beda. Adanya pengalokasian ini akan memberi dampak positif bagi setiap negara yang membuka negaranya untuk sistem perekonomian bebas. Dalam sistem perekonomian yang terbuka perdagangan internasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia secara keseluruhan.

Perkembangan ekonomi dunia sangat penting untuk dipertimbangkan terutama implikasinya terhadap sisi permintaan termasuk permintaan terhadap komoditas ekspor. Ekspor adalah arus keluar sejumlah barang dan jasa dari suatu negara ke pasar internasional. Sedangkan impor merupakan kebalikan dari ekspor yaitu arus masuk sejumlah barang dan jasa ke dalam suatu negara. Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan barang dan jasa sudah tercukupi di dalam negeri atau karena barang dan jasa tersebut memiliki daya saing baik dalam harga maupun mutu dengan produk sejenis di pasar internasional. Dengan demikian ekspor memberikan pemasukan devisa bagi negara yang bersangkutan yang kemudian akan digunakan


(41)

untuk membiayai kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan di dalam negeri.

Dalam perekonomian tertutup, seluruh output yang dihasilkan di dalam negeri dijual ke pasar domestik dan komponen pengeluaran dibagi atas tiga jenis, yaitu konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah. Dalam perekonomian terbuka, sebagian output dijual ke pasar domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri, sehingga dalam perekonomian terbuka, pengeluaran (Y) terdiri dari empat komponen, yakni konsumsi (C), Investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G) serta ekspor barang dan jasa (X). Hal ini dapat diidentitaskan sebagai berikut:

Y = C + I + G + X. (2.1)

Selanjutnya di dalam perekonomian terbuka, nilai konsumsi total adalah nilai konsumsi langsung barang dan jasa di pasar domestik ditambah konsumsi barang dan jasa di mancanegara, demikian pula dengan investasi dan pengeluaran pemerintah. Karena impor dimasukkan ke dalam pengeluaran domestik dan karena barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri adalah bagian dari output suatu negara maka persamaan ini mengurangi pengeluaran pada impor sehingga dapat didefinisikan bahwa ekspor bersih (net eksport) adalah nilai ekspor dikurangi impor. Identitasnya dapat dituliskan menjadi:

Y = C + I + G + (X-M). (2.2)

Persamaan di atas merupakan fungsi pendapatan nasional yang dihitung berdasarkan pos pengeluaran. Persamaan ini juga menunjukkan bahwa jika output melebihi pengeluaran domestik, maka kelebihan itu akan diekspor. Dan sebaliknya,


(42)

jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, maka kekurangan itu akan diimpor. Terdapat beberapa alasan yang mendesak mengapa suatu negara perlu menggalakkan ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan negara yang berarti pula meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Ekspor sebagai bagian dari perdagangan internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi:

1. Adanya kelebihan produksi dalam negeri sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar negeri melalui kebijakan ekspor.

2. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk ataupun untuk dalam

negeri masih mengalami kekurangan.

3. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri daripada penjualan di dalam negeri karena harga pasar dunia yang lebih menguntungkan.

4. Adanya barter antara produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan

yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

5. Adanya kebijakan ekspor yang bersifat politik.

Besarnya impor suatu negara tergantung pada pendapatan, di mana semakin tinggi pendapatan maka makin tinggi impor baik berupa barang maupun jasa sebagai akibat perkembangan aktivitas perekonomian. Faktor lain yang juga mempengaruhi impor adalah daya saing produksi dalam negeri, selera masyarakat dan faktor lainnya. Misalnya saja inflasi dan perubahan nilai tukar Rupiah yang secara langsung maupun tidak langsung sangat berdampak pada jumlah impor. Dalam kondisi ekspor meningkat akan mengakibatkan produksi perusahaan meningkat. Saat produksi


(43)

meningkat perusahaan akan cenderung menambah modal kerja yang salah satu sumbernya adalah Pinjaman Luar Negeri. Sedangkan dalam kondisi investasi yang meningkat mengharuskan perusahaan menambah investasi, khususnya untuk perusahaan yang bahan bakunya didominasi impor (akibat dari kegiatan ekonomi) akan mengakibatkan perusahaan membutuhkan modal kerja yang salah satu alternatifnya adalah Pinjaman Luar Negeri Swasta.

2.5. Tabungan

Defisit Investasi Tabungan seringkali menjadi penyebab utama bagi negara- negara sedang berkembang untuk melakukan pinjaman luar negeri. Hal tersebut didasari pada pemikiran bahwa modal mempunyai peran yang penting dalam pembangunan ekonomi. Dalam rangka pembentukan modal tersebut, terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan yaitu melalui tabungan baik dari dalam negeri, luar negeri ataupun keduanya. Sumber dalam negeri pada hakekatnya merupakan prioritas utama yang yang digunakan untuk pembentukan modal tersebut namun apabila tabungan domestik jauh lebih kecil dari investasi yang dibutuhkan maka alternatif sumber dari luar negeri perlu dicari untuk mengatasi kesenjangan tersebut (Widodo, 2004). Hal inilah yang mendukung meningkatnya pinjaman luar negeri swasta di Indonesia.

Sesuai dengan teori Keynes, Hicks mengatakan bahwa tabungan tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, tetapi juga tingkat pendapatan (marginal propensity to save), tabungan akan naik bila pendapatan nasional naik, investasi naik,


(44)

dan investasi naik bila tingkat suku bunga turun. Tingkat suku bunga yang tinggi juga akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan investasi yang ada tidak menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Di samping itu tingkat bunga yang tinggi juga akan menyebabkan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat. Bank indonesia sebagai otoritas moneter menggunakan SBI (Sertifikat Bank Indonesia), surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang dikeluarkan BI sebagai pengakuan utang jangka pendek.

Menurut teori Harrod Domar, hutang luar negeri di negara berkembang disebabkan oleh ketidakcukupan tabungan domestik untuk membiayai pembangunan (Williamson dalam Setyawan, 2005). Angka pertumbuhan (growth), diperoleh dengan membagi tabungan domestik (saving) dengan rasio output kapital. Apabila tabungan domestik tidak mencukupi, untuk mengejar proyeksi angka pertumbuhan tinggi diperlukan hutang luar negeri.

Teori Harrod-Domar menerangkan ada syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Pertumbuhan itu sendiri bisa direalisasikan dengan mengikuti rumus matematis Harrod Domar melalui pemupukan tabungan nasional (kapitalisasi) yang terus menerus. Rumus Harrod-Domar ini oleh ahli ekonomi pembangunan dipelbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia dijadikan patokan untuk menetapkan tingkat efisiensi pembangunan lewat formula besaran ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Selain itu, aspek domestik seperti defisit


(45)

anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah untuk membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta. Berdasarkan teori Harrord Domar di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa tabungan berpengaruh negatif terhadap Pinjaman Luar Negeri Swasta.

2.6. Tinjauan Studi Terdahulu

Dari hasil penelitian Arif dan Sasono dalam Antoni (2007) menyatakan bahwa hutang luar negeri bersama dengan investasi asing langsung berpengaruh negatif dan hutang luar negeri ternyata juga terus menerus mengalami penurunan kemampuan dalam membiayai impor barang dan jasa. Kemampuan impor ini yang diukur dengan membandingkan nilai hutang luar negeri bersih dengan nilai impor barang dan jasa telah turun sebesar 24% untuk periode 1970/1971 dan menjadi 7% tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia terpaksa harus melakukan pinjaman baru untuk membiayai surplus impor sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Dornbusch dan Click sebab-sebab kenaikan stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari aspek domestik dan aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang dunia.

Aspek domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan


(46)

pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah untuk membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta. Sedangkan dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri adalah kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian defisit neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti arus modal masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk cadangan devisa atau membiayai pelarian modal keluar.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (1979), Weiskoft (1972) Chenery dan Strout (1979), Hujman (1968) dan Mudrajat Kuncoro (1982) menunjukkan bahwa modal asing berpengaruh negatif terhadap tabungan domestik di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Di samping itu, arus modal asing juga dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun secara statistik tidak signifikan. Studi-studi tersebut juga menemukan bahwa tabungan domestik lebih penting peranannya daripada modal asing, baik secara kuantitatif maupun statistik dalam menentukan pertumbuhan ekonomi (Sugiri, 2009).

Manzoochi (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa eksternal finance dapat memberikan kontribusi positif pada proses transmisi dan meningkatkan dana kesejahteraan pada negara negara yang dahulu memiliki perekonomian terpusat, khususnya di mana domestic saving belum berjalan dengan baik setelah adanya kontraksi awal perekonomian, tetapi seperti apa yang telah ditunjukkan pada proses awal transmisi, utang luar negeri dapat menimbulkan konstrain yang kuat pada


(47)

kapasitas utang luar negeri negara negara di Eropa Tengah dan Timur. Jurnal ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pinjaman eksternal pada sepuluh negara selama periode 1990 - 1995, dan menghitung efek-efek dari outstanding stock dari foreign liabilities atas net financial inflow.

Achsani (2004) menyimpulkan bahwa pinjaman dalam bentuk dolar juga bisa membunuh, suatu sistem perbankan tidak akan mengalami krisis jika ia menerapkan regime mata uang mengambang dan memiliki kewajiban membayar utang dalam bentuk mata uang lokal. Dalam hal demikian, bank sentral memiliki kredibilitas kuat untuk membayar utang dalam mata uang yang dikendalikannya. Akan tetapi jika kurs mata uang dibuat mengambang dan kewajiban membayar utang dalam bentuk dollar, maka ada kemungkinan negara akan mengalami krisis keuangan apabila kurs mata uang ambruk secara tiba-tiba, hal inilah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 s.d 1998.

Direktorat Internasional Bank Indonesia (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Korporasi dan Pergerakan Rupiah menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa melalui pendekatan kuantitatif menunjukkan bahwa pembayaran Pinjaman Luar Negeri korporasi hanya berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar Rupiah dalam jangka panjang, sementara dalam jangka pendek pergerakan Rupiah lebih dipengaruhi oleh variabel harga minyak dunia, Interest Rate Differensial dan Country Risk.

Hasen dan Rand (2004) memperlihatkan bahwa FDI memiliki pengaruh terhadap GDP baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sedangkan GDP


(48)

hanya memperlihatkan pengaruh jangka pendek terhadap FDI. Sementara penelitian Chowdhury dan Mavrotas (2003) untuk kasus Thailand dan Malaysia dengan analisis Todar-Yamamoto dalam kurun waktu 1969-2000 menemukan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah antara FDI dengan GDP.

Teori Harrod-Domar menerangkan ada syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Pertumbuhan itu sendiri bisa direalisasikan dengan mengikuti rumus matematis Harrod Domar melalui pemupukan tabungan nasional (kapitalisasi) yang terus menerus. Rumus Harrod-Domar ini oleh ahli ekonomi pembangunan dipelbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia dijadikan patokan untuk menetapkan tingkat efisiensi pembangunan lewat formula besaran ICOR (Incremental Capital Output Ratio).

ICOR (Incremental Capital Output Ratio) adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal). Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat merefleksikan besarnya produktivitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Kebutuhan dana


(49)

investasi yang diperlukan untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dengan pendekatan ICOR (Incremental Capital Ouput Ratio).

k = s/g atau g = s/k

g = target pertumbuhan ekonomi s = saving ratio

k = ICOR

Bila ICOR suatu negara sebesar 4 dan laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat 6,5% maka diperlukan saving ratio (s) sebesar 26% untuk dapat memertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%. Apabila sumber dalam negeri yang dapat dihimpun sebesar 20% maka diperlukan sumber dana luar negeri sebesar 6%.

Dalam penelitian yang dilakukan Antoni (2007) menyatakan bahwa kenaikan hutang luar negeri Indonesia dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama defisit neraca berjalan disebabkan defisit neraca jasa yang terlalu besar yang tidak dibiayai dengan arus modal masuk yang berjangka panjang. Dalam hal ini diasumsikan bahawa defisit neraca berjalan dibiayai terutama dengan arus modal berjangka panjang yang tidak berbentuk hutang kemudian sisanya baru dengan pinjaman luar negeri, kedua penggunaan pinjaman luar negeri untuk menambah cadangan devisa yang dimiliki baik oleh otoritas moneter maupun bank-bank umum dan ketiga pelarian modal swasta yang mencakup seluruh kehilangan devisa dari sistem moneter. Kemudian Moh. Rizal dalam penelitiannya yang berjudul analisis pengaruh pinjaman luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menyatakan bahwa (1) Ada pengaruh positif dan signifikan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap pertumbuhan


(50)

ekonomi di Indonesia, tidak terbukti kebenarannya, (2) Ada pengaruh positif dan signifikan pinjaman luar negeri swasta terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, (3) Ada pengaruh signifikan secara simultan pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terbukti kebenarannya, dan Adanya kecenderungan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah dan swasta yang meningkat, menyebabkan semakin berat beban hutang yang harus ditanggung. Hal ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia untuk membiayai pembangunan.

Makhlani dalam tulisannya yang berjudul Pola Pembangunan Ekonomi dengan Pinjaman Luar Negeri (2007) menyatakan bahwa:

(i) Terdapat hubungan kausalitas antara Pinjaman Luar Negeri dengan

pertumbuhan ekonomi, Pinjaman Luar Negeri pemerintah, dan Pinjaman Luar Negeri swasta.

(ii)Sifat kausalitas antara PLN dan pertumbuhan ekonomi telah membentuk pola

pembangunan dengan PLN dan dapat menjadi penyebab akumulasi PLN yang besar.

(iii)Karakteristik PLN pemerintah dan PLN swasta tidak sama sehingga berdampak beda atas pertumbuhan ekonomi dan sifat kausalitas antara PLN pemerintah dan PLN swasta dapat membentuk kombinasi PLN yang efektif. Pinjaman luar negeri swasta yang semakin hari terus meningkat akibat kurangnya kontrol dari pemerintah patut diperhatikan agar krisis ekonomi yang terjadi pada periode 1997 tidak terulang. Dalam sebuah harian nasional Guru Besar


(51)

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid mengatakan, pemerintah perlu membuat suatu mekanisme yang bertujuan mengendalikan utang luar negeri yang ditarik sektor swasta dan pemerintah. Edy berpendapat pemerintah harus belajar darit krisis ekonomi yang terjadi 1997 silam. Ketika kontrol lalu lintas utang luar negeri sedemikian lemah, utang luar negeri yang ditarik swasta menjadi tidak bisa dikendalikan. “Bahkan kemudian menjadi separuh

dari total utang luar negeri Indonesia. Fatalnya, sebagian besar macet”. Adapun

mekanisme yang dimaksud Edy adalah semacam intervensi dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dilakukan pemerintah pada pemerintah daerah.


(52)

2.7. Kerangka Pemikiran Interest Rate

Differensial (X1) Kurs Riil (X2)

Pinjaman Luar Negeri NET EKSPOR (X3) Swasta (Y)

TABUNGAN

SWASTA (X4)

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.8. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah serta tujuan penelitian yang telah dipaparkan maka hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah:

1. Interest Rate Differensial berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris paribus.

2. Kurs riil berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris paribus.

3. Net Ekspor berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris


(53)

4. Tabungan Swasta berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri swasta, ceteris paribus.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup seluruh pinjaman luar negeri swasta baik pinjaman luar negeri swasta bank maupun pinjaman luar negeri swasta bukan bank. Penelitian in menggunakan data sekunder yang dimulai pada tahun 1998 s/d 2008 dalam bentuk triwulan. Penelitian ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta yang akan dijelaskan secara deskriptif.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam bentuk time series yang dimulai dari tahun 1998 s/d 2008 dalam bentuk triwulan yang terdiri dari data Interest Rate Differential, Kurs Riil, Net Ekspor dan Tabungan Swasta. Adapun data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia.

3.3. Model Analisis

Penelitian ini menggunakan teknik Ordinary Least Square (OLS) di mana persamaan yang digunakan dalam bentuk persamaan Logaritma Linear.

Fungsi PLNS dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut: PLNS = f (IRD, KR, (X-M),TS) ... (1)


(55)

Kemudian fungsi di atas dispesifikasikan dalam model ekonometrika dengan model Logaritma Linear seperti berikut:

Log PLNS = 0 1IRD2KR3(XM)4TS ... (2)

PLNS : Pinjaman Luar Negeri Swasta

IRD : Interest Rate Differential

KR : Kurs Riil

X-M : Net Ekspor

TS : Saving/Tabungan Swasta

µ : Standard Eror

4 2 1, ...

 : Koefisien Regresi

0

 : Konstanta

3.4. Definisi Operasional Variabel

1. Interes Rate Differential adalah ukuran selisih antara dua suku bunga dua negara yang memiliki sifat nilai yang sama dalam bentuk persen.

2. Kurs Riil adalah Kurs relative dari mata uang nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibanding harga di luar negeri dalam bentuk suku bunga luar negeri yang sering dijadikan acuan dalam perekonomian Indonesia dalam bentuk Poin.


(56)

3. Tabungan adalah dana atau simpan masyarakat dari kelebihan dana yang mereka miliki yang dititipkan pada perbankan untuk dikelola perbankan dalam satuan Miliar Rupiah.

4. Net Ekspor adalah Selisih antara Ekspor dan Impor Indonesia dalam satuan juta US $.

5. Pinjaman Luar Negeri Swasta adalah Pinjaman Luar Negeri yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia dalam satuan juta US $.

3.5. Uji Kesesuian (Test Goodness of Fit)

Etimasi terhadap model dilakukan dengan menggunakan metode yang tersedia pada program statistik eviews versi 4.1. Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada output regresi berdasarkan data yang dianalisis untuk kemudian diinterpretasikan serta dilihat signifikansi tiap-tiap variabel yang diteliti melalui:

1. R² (Koefisien Determinasi) bertujuan untuk mengetahui kekuatan variabel

bebas (independen variabel) menjelaskan Variabel terikat (dependen Variabel) 2. Uji serempak (F- test) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak, jika F hit >F tabel Maka Ho ditolak dan Hi akan ditarik.

3. Uji Parsial (t-test) dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial, jika thit > t tabel, maka Ho ditolak H1 terima.


(57)

3.6. Uji Asumsi Klasik

Uji Asumsi Klasik Model regresi yang baik adalah model regresi yang menghasilkan estimasi linier tidak bias (Best Linier Unbias Estimator/BLUE). Kondisi ini akan terjadi jika dipenuhi beberapa asumsi, yang disebut dengan asumsi klasik (Algifari, 2000: 83-92).

3.6.1. Multikolinearitas

Multikolinearitas mengandung arti bahwa antarvariabel independen yang terdapat dalam model memiliki hubungan yang sempurna, atau mendekati sempurna (koefisien korelasinya tinggi, atau bahkan 1). Konsekuensi yang sangat penting bagi model regresi yang mengandung multikolinearitas adalah bahwa kesalahan standar estimasi akan cenderung meningkat dengan bertambahnya variabel independen, tingkat signifikansi yang digunakan untuk menolak hipotesis nol (H0) akan semakin besar, dan probabilitas menerima hipotesis yang salah akan semakin besar. Akibatnya model regresi yang diperoleh tidak shahih (tidak valid) untuk menksir nilai variabel independen. Diagnosis sederhana terhadap adanya multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut:

1. Melalui nilai t hitung, R

2

(R square), dan F ratio. Jika R square tinggi, nilai F ratio tinggi, sedangkan sebagian besar atau bahkan seluruh koefisien regresi tidak signifikan (nilai t hitung sangat rendah), maka kemungkinan terdapat multikolinearitas dalam model tersebut.


(58)

2. Menentukan koefisien antara variabel independen yang satu dengan variabel independen yang lain. Jika antara dua variabel independen memiliki korelasi yang spesifik (misalnya, koefisien korelasi yang tinggi antara variabel independen atau tanda koefisien korelasi variabel independen berbeda dengan tanda koefisien regresinya), maka di dalam model regresi tersebut terdapat multikolinearitas. Kuncoro (2001: 114) mengemukakan bahwa, “bila korelasi antara dua variabel

penjelas/bebas (independen) melebihi 0,8 (dilihat dalam matrik korelasi) maka multikolinearitas menjadi masalah serius”. Dengan demikian apabila nilai korelasi tersebut tidak mencapai 0,8, berarti kasus multikolinearitas tidak perlu dikhawatirkan.

3. Membuat persamaan regresi antar variabel independen. Jika koefisien regresinya

signifikan, maka dalam model terdapat multikolinearitas. Menghilangkan adanya multikolinearitas pada suatu model regresi terdapat bermacam-macam cara. Cara yang paling mudah adalah menghilangkan salah satu atau beberapa variabel yang mempunyai korelasi tinggi dari model regresi. Jika ini dilakukan berarti melakukan kesalahan spesifik, karena mengeluarkan variabel independen dari model regresi yang secara teoritis variabel tersebut dapat mempengaruhi variabel dependen.

3.6.2. Autokorelasi

Autokorelasi dalam model regresi. Artinya, adanya korelasi antar anggota sampel yang diurutkan berdasar waktu. Penyimpangan asumsi ini biasanya muncul pada observasi yang menggunakan data Time Series. Konsekuensi adanya


(59)

Autokorelasi dalam suatu model regresi adalah varians sampel, tidak dapat menggambarkan varians populasinya.

Lebih jauh lagi, model regresi yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk menaksir nilai variabel dependen pada nilai variabel independen tertentu.

Untuk mengetahui adanya Autokorelasi dalam suatu model regresi, dapat dilakukan melalui pengujian terhadap nilai Uji LM (Langrarian Multiplier).

3.6.3. Uji Akar-akar Unit (Uji Stasionaritas)

Pengujian ini merupakan uji stasionaritas. Prinsip dari uji akar-akar unit (unit roots) ini adalah untuk mengamati atau mendeteksi apakah koefisien tertentu dari model autoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam pengujian akar-akar unit ini digunakan model autoregresive yang ditaksir dengan Ordinari least Square (OLS) seperti persamaan berikut:

DYt = a0 + Yt-1 +

p

i 1

âiDYt-1 + 0

Uji ini dilakukan dengan null hipotesis  = 0. Stationer tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai satatistik DF yang diperoleh dari nilai t hitung koefisien  dengan nilai kritis statistic Mackinnon. Jika nilai absolute statistic DF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon maka data stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner.

3.6.4. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah evaluasi dari disturbance term error dengan hipotesis nol. Distrubance term error adalah normal. Pengujian asumsi normalitas


(60)

menggunakan Jarque-Berra (JB) Test dan membandingkannya dengan Tabel

Distribusi ( 2 : 2

df

X ), yaitu:

        24 ) 3 ( 6 2 2 K S T JB Di mana:

T = Jumlah observasi pengamatan S = Skewness

K = Kurtosis

Jika nilai JB statistik  X22, maka hipotesis nol ditolak atau disturbance term error

adalah tidak normal. Sebaliknya jika JB statistik <X , maka hipotesis nol tidak 22

ditolak atau disturbance term error adalah normal.

3.6.5. Uji Linieritas

Uji linieritas digunakan untuk melihat apakah spesifikasi model yang digunakan sudah benar. Apakah fungsi yang digunakan sebaiknya berbentuk linier kuadrat atau kubik. Apakah suatu variabel baru akan relevan atau tidak bila dimasukkan ke dalam model.

Untuk uji linieritas dalam penelitian ini digunakan Uji Ramey (Ramsey Reset Test), yaitu dengan membandingkan nilai Fhitungdengan Ftabel. Kriteria keputusan adalah sebagai berikut:

1. Bila nilai FhitungFtabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier adalah benar, dapat ditolak.


(61)

2. Bila nilai FhitungFtabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa spesifikasi

model yang digunakan dalam bentuk fungsi linier adalah benar, tidak dapat ditolak.


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Ekonomi

Pada tahun 2008, kondisi perekonomian Indonesia kembali diwarnai oleh perkembangan yang sangat dinamis dan penuh tantangan akibat gejolak perekonomian dunia yang relatif drastis perubahannya. Meskipun tumbuh tinggi sampai dengan triwulan III-2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara drastis melambat pada triwulan IV-2008 seiring dengan perlambatan ekonomi dunia yang semakin dalam. Perlambatan pertumbuhan terjadi pada seluruh komponen permintaan agregat, terutama ekspor yang anjlok secara tajam seiring dengan turunnya harga komoditas dan pertumbuhan negara mitra dagang. Meski melambat signifikan pada triwulan IV-2008, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 tercatat sebesar 6,1%, hampir menyamai pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 6,3%. Sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia tumbuh tinggi. Hal itu tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan ekspor yang melonjak seiring dengan kenaikan harga komoditas tambang dan pertanian global.

Ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China dan India yang relatif masih kuat, ekspor Indonesia tumbuh tinggi. Tingginya pertumbuhan ekspor selanjutnya mendorong peningkatan daya beli terutama di wilayah penghasil ekspor dan menopang tingginya pertumbuhan konsumsi dan investasi. Sejalan dengan itu, pertumbuhan impor juga melonjak baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku


(63)

maupun barang modal. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia berangsur melemah sejak awal semester II-2008 akibat perlambatan ekonomi dunia yang semakin dalam dan anjloknya harga komoditas global. Perkembangan tersebut mendorong merosotnya pertumbuhan ekspor. Seiring dengan itu, konsumsi rumah tangga, investasi dan impor juga tumbuh melambat.

Perlambatan ekonomi dunia yang tajam dan krisis keuangan global belum ada indikasi kuat akan meredadalam waktu dekat. Meluasnya imbas permasalahan sektor perumahan di Amerika Serikat (AS) dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Sentral terhadap beberapa lembaga pembiayaan masih direspon secara negatif oleh pasar sehingga menimbulkan intensitas gejolak yang semakin tinggi di pasar keuangan global. Ketidakstabilan di pasar keuangan ini selanjutnya memicu sentimen negatif yang menyurutkan risk appetite investor sehingga memunculkan tren perubahan komposisi portofolio global. Di samping tingginya faktor ketidakpastian, ketatnya likuiditas semakin memperberat usaha peningkatan ekspor dan mendorong penarikan investasi asing dari emerging market termasuk dari Indonesia. Tekanan perlambatan ekonomi dunia dan gejolak pasar keuangan global juga tercermin pada memburuknya kinerja NPI terutama mulai semester II-2008. Secara tahunan, NPI mencatat defisit 2,2 miliar dolar AS dengan posisi cadangan devisa pada akhir tahun 2008 mencapai sebesar 51,6 miliar dolar AS, setara dengan 4,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pada semester I-2008 kinerja NPI relatif solid, tercermin dari cadangan devisa dan surplus overall balance yang mencapai 59,4 miliar dolar AS dan 2,35 miliar dolar AS. Surplus neraca


(1)

2. Jika pinjaman luar negeri swasta digunakan untuk suatu proyek investasi maka akan mengakibatkan pendapatan masyarakat meningkat, peningkatan pendapatan akan mengakibatkan tabungan meningkat.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan pada Bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Model yang digunakan dalam mengestimasi faktor yang mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta sudah baik, karena model terbebas dari pelanggaran asumsi klasik, juga karena variasi kemampuan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan Pinjaman Luar Negeri Swasta tergolong tinggi. Dengan tingkat R2 = 0.534 dapat disimpulkan bahwa dari segi uji kesesuaian (Test of goodness of fit) sangat baik, di mana variasi variabel bebas sebesar 53,4% mempengaruhi pinjaman luar negeri swasta dan sisanya sebesar 46.6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam modal estimasi. 2. Secara parsial diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kurs riil, net

ekspor dan tabungan. Nilai kurs riil memiliki probabilitas sebesar 0,007 <0,05, net ekspor memiliki nilai probabilitas 0,052 < 0,10, tabungan memiliki nilai probabilitas 0,000 < 0,10. Sedangkan terdapat pengaruh yang tidak signifikan interest rate differential dengan nilai probabilitas sebesar 0,595 >0,05. Jadi dari 4 variabel independent terdapat 3 variabel yang signifikan yaitu kurs riil, net ekspor dan tabungan sedangkan interest rate differential


(3)

tidak signifikan pengaruhnya terhadap Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.

3. Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori atau variabel bebas Interest Rate Differential (IRD), Kurs riil (Kursr), Net ekspor (NE), Tabungan Swasta (Tab) dalam mempengaruhi variabel terikat (pinjaman luar negeri swasta). Hasil estimasi tersebut diperoleh nilai prob (F-Statistik) sebesar 0.000 < 0,05 yang berarti secara bersama-sama (Interest Rate Differential (IRD), Kurs riil (Kursr), Net ekspor (NE), Tabungan Swasta (Tab) dapat mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia.

4. Dari hasil regresi dapat diketahui masih ada variabel variabel lain yang mempengaruhi pinjaman Luar Negeri Swasta di Indonesia yang tidak termasuk dalam penelitian ini.

5.2. Saran

1. Sebaiknya kebijakan yang diperlukan dalam meningkatkan pinjaman luar negeri swasta adalah dengan meningkatkan nilai interest rate differential, di mana nilai interest rate differential sangat mendukung naiknya pinjaman luar negeri swasta, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

2. Pemerintah seharusnya lebih menggalakan dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih percaya kepada perbankan dalam negeri dalam hal investasi keuangan. Keadaan ini juga harus didukung oleh kinerja perbankan


(4)

yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat agar merasa nyaman dan percaya untuk menginvestasikan dana yang dimilikinya.

3. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan mengawasi pinjaman luar negeri swasta yang cenderung meningkat dan memiliki nilai lebih tinggi daripada pinajman pemerintah. Keadaan ini dapat memicu krisis keuangan jika keseimbangan dan kontrol pemerintah sebagai pengambil kebijakan tidak dibarengi dalam mengawasi pinjaman luar negeri swasta.

4. Pemerintah dan perbankan khususnya seharusnya memberikan kemudahan perizinan dan birokrasi bagi perusahaan yang membutuhkan modal sehingga sektor rill bisa terus berkembang dan akhirnya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat luas.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Algifari. 2000. Analisis Regresi, Teori, Kasus & Solusi. BPFE UGM, Yogyakarta.

Antoni. 2007. Dampak Hutang Luar Negeri & Variabel Makro Ekonomi Lainnya terhadap Perekonomian Indonesia. Univ. Bung Hatta, Padang.

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan & Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Erlangga, Jakarta.

Basri, Faisal. 2004. Kebijakan Pinjaman Luar Negeri. Bank Indonesia, Jakarta. Dian Ediana Rae. 2008. Manajemen Pinjaman Luar Negeri Swasta. Elex Media,

Jakarta.

Dornbusch, Rudiger. 2006. Makroekonomi. Erlangga, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah. Erlangga, Jakarta. Kuncoro, Mudrajat. 2001. Ekonomi Mikro. BPFE UGM, Yogyakarta.

Hoppe, Hans Herman. 2003. The Misesian Case Againt Keynes. Univ. Nevada, Las Vegas.

Indonesia, Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.

Indonesia, Bank Indonesia. 2009. Pinjaman Luar Negeri Swasta Bukan Bank- Procedding Bank Indonesia, Jakarta.

Indonesia, Bank Indonesia. 2008. Laporan Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta.

Indonesia, Direktorat Internasional Bank Indonesia. 2005. Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Korporasi dan Pergerakan Rupiah. Bank Indonesia, Jakarta. Indonesia, Direktorat Internasional Bank Indonesia. 2004. Pinjaman dan Hibah Luar

Negeri Round Table Discussion. Bank Indonesia, Jakarta.


(6)

Rizal, Moch. 2007. Analisis Pengaruh Pinjaman Luar Negeri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. FEP Unitomo, 2009 .

Sugini, Dani. 2009. Pengaruh Hutang Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Universitas Diponegoro, Semarang.