Penyebab Maraknya Pornografi dan Pornoaksi

kehancuran moral generasi penerus bangsa, dengan memasukkan unsur-unsur pornografi yang disajikan dalam media cetak tersebut. Memuat sampul depan cover yang menarik dengan menampilkan foto-foto yang sensual atau merangsang, sehingga akan laku dipasaran.

B. Penyebab Maraknya Pornografi dan Pornoaksi

Penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi ini penulis memberikan beberapa faktor yang didapat dari berbagi literatur buku-buku, media cetak dan lain- lainnya, dimana faktor ini yang memungkinkan pornografi dan pornoaksi semakin marak dan menjamur di masyarakat Indonesia. Pertama: Perkembangan teknologi digital komputer dan satelit mempermudah arus informasi termasuk pornografi. Kehadiran personal video player pada kurun waktu 1980-an memang telah memungkinkan film-film porno yang semula hanya diputar di kalangan elit menjadi tersebar di masyarakat luas, namun teknologi digital yang berkombinasi dengan teknologi komputer telah memungkinkan video yang semula tersaji dalam format video-tape analog yang relatif memakan tempat menjadi kepingan disc yang sangat pipih dan dengan mudah dibawa. Sarana perekaman dan penggandaan pun dengan cepat menjadi murah. Harga satuan video dalam format VCD pornografis di Indonesia tergolong termurah di dunia. Di Jakarta, VCD-VCD itu bisa diperoleh bahkan dengan harga Rp. 3-4 ribukeping. 41 Seiring dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan orang dapat memiliki berbagai perangkat elektronik secara mudah dan murah. Seiring dengan itu, berbagai rental yang menyedikan VCD-VCD pun semakin berkembang. 42 Perkembangan teknologi satelit memungkinkan terbangunnya jaringan internet berskala global. Kendatipun tingkat pemilikan komputer pribadi yang dilengkapi akses internet di rumah-rumah di Indonesia masih relatif rendah, situs-situs porno itu dengan mudah di akses melalui berbagai fasilitas komersial seperti warung dan café internet yang menjamur di kota-kota besar. Kedua: Terutama sejak jatuhnya Presiden Soeharto, terjadinya liberalisasi arus informasi dengan dihilangkannya fungsi dan lembaga Departemen Penerangan yang mempunyai peranan menjadi salah satu lembaga pemerintah yang paling aktif memberangus berbagai media yang dianggap membawa suatu yang menentang pemerintah. 43 Menteri Penerangan H. Harmoko menginstruksikan kepada Badan Sensor Film BSF agar film porno ditertibkan. 44 Pada kesempatan rapat kerja dengan Komisi I DPR-RI di Jakarta pada Minggu pertama Juli pada tahun 1996, H. Harmoko 41 Jurnal Perempuan 26, Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta : YJP, Jurnal Perempuan, 2002, h.80 42 Abu Al Ghifari, Remaja Korban Mode, Bandung : Mujahid Press, 2003, cet ke-1, h.58 43 Jurnal Perempuan 26, h.81 44 “Tertibkan Film Porno”, Republika, 15 Juli 1996, hal 24 mengecam akan menutup produksi film nasional bila terus-menerus mengeksploitasi masalah seks dan pornografi secara vulgar. 45 Namun, di sisi lain, Departemen ini juga menjadi tempat masyarakat mengadu tatkala di pasar tersedia materi yang dinilai, misalnya bertentangan dengan rasa kesusilaan. Media sekuler menawarkan banyak hal, mulai dari film yang bertemakan percintaan, kekerasan, perkosaan, perkelahian, dan horor. Begitu juga televisi menawarkan hiburan tanpa henti mulai terbit matahari hingga matahari terbit kembali. Media cetak dunia pun sudah masuk Indonesia baik yang bermuatan pornografi hingga kekerasan. 46 Tumbuhnya tabloid yang menjadikan seks sebagai jalan utamanya sejak jatuhnya Presiden Soeharto merupakan indikator melemahnya kontrol pemerintahan bukan saja wilayah politik namun juga nilai-nilai budaya. 47 Ketiga: Di samping liberalisasi kebebasan arus informasi, hukum yang berkaitan tentang bab-bab yang membahas pornografi dan masih berlaku pun tidak ditegakkan hukum yang berlaku tidak ditegakkan. 48 Di KUHP Indonesia terdapat pasal-pasal 282 dan 533 yang dapat digunakan untuk menghukum produsen, penjaja maupun mereka yang membeli dan menyimpan materi pornografis. Pasal-pasal tersebut bukan hanya digunakan untuk melarang penyebaran materi pornografis yang sangat eksplisit 45 “Pornografi Merusak Moral Generasi Bangsa Indonesia”, Surabaya Post, 3 Juli 1996 46 Al-Ghifari, Remaja Korban Mode, h. 28 47 Jurnal Perempuan 26, h. 81 48 Ibid.,h. 81 melalui VCD, melainkan juga untuk mengancam majalah dan tabloid yang menyajikan sekedar foto perempuan yang terkesan telanjang. Pada tahun 2000, semasa pemerintahan B. J. Habibie, pemimpin redaksi MATRA diputuskan bersalah oleh pengadilan karena cover majalah yang menyajikan gambar artis Inneke Koesherawati dan Sarah Azhari yang seolah-olah tidak mengenakan penutup dada. Namun sejak naiknya Abdurrahman Wahid ke tampuk kekuasaan, pasal-pasal tersebut tidak lagi digunakan. VCD bermuatan pornografis yang telah disinggung tidak resmi atau bajakan, namun dijajakan atau disewakan secara sangat terbuka di lokasi-lokasi tertentu di kota-kota besar. Hal ini menunjukkan bahwa penegak-penegak hukum dalam menjalani peraturan yang mereka praktekan tidak menyentuh substansi permasalahan, bahkan justru dengan sadar telah membiarkan berbagai kemunduran tambah subur. 49 Keempat: Bisnis pornografi di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Sehubungan dengan tayangan Inul “ngebor”, yang mengeksploitasi Inul lengkapnya Ainul Rahimah untuk kepentingan media massa terutama televisi. 50 Media massa televisi telah mengeksploitasi perempuan dari aspek estetika, sensualitas, dan erotika untuk sebuah kepentingan. Media massa televisi telah membesar-besarkan tayangan Inul “ngebor”. Goyangan Inul ”ngebor”, menjadi super produk, yang kemudian peluang 49 Abu Al- Ghifari, Wanita Bukan Makhluk Penggoda, Bandung : Mujahid Press, 2003 cet.ke- 1, h.42 50 Burhan Bungin, Pornomedia, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika Perayaan Seks di media Massa , Bogor : Kencana, 2003, cet ke-1, h.170 itu ditangkap para pelaku bisnis, khususnya: pebisnis media elektronik dan cetak. Uang terus masuk ke kantong Inul, yang prediksi kasar dalam satu bulan minimal lima ratus juta rupiah. Jumlah yang cukup fantastis, bahkan pada saat di wawancarai SCTV, penghasilan dari goyangannya itu dalam sebulan mencapai Rp 600 hingga Rp 700 juta. Belum, lagi tambahan-tambahan dari yang lainnya. 51 Media tak ubahnya bak turut di hadapan mesin kapitalis, para investor, kaum berduit yang menjadikan keuntungan sebagai misi sucinya ketimbang menyelamatkan bangsa yang tengah sekarat. Tuntutan pasar membuat banyak orang tambah nekat membuat proyek apa saja yang dapat mendulang uang tanpa peduli soal keterpurukan moral dan akhlak. 52 Kelima: Faktor politik di bidang keagamaan yang terlihat dalam politik pendidikan agama di Indonesia sampai SMU dan Perguruan Tinggi. Jumlah jam pelajaran atau jam kuliah yang sangat tidak memadai di banding jam tayang televisi yang mendominasi waktu belajar. 53 Minimnya pengetahuan anak terhadap nilai-nilai Islam sebagai akibat dikurangi jam pendidikan di sekolah-sekolah umum, merupakan realitas yang sangat menyakitkan. Betapa di negara yang mayoritas Islam yang seharusnya syariat Islam dijunjung tinggi, tetapi kenyataannya justru dipinggirkan. 51 Kathur Suhardi, Inul Lebih dari Segelas Arak, Jakarta : Darul Falah 2003, cet. Ke-1, h. 201 52 Media Tanpa Nilai, Sabili, No.12 Th XI 1 Januari 2004 9 Dzul Qaidah 1424 H 53 Neng Jubaedah, Pornografi dan Pornoaksi di Tinjau dari Hukum Islam, Bogor : Kencana, 2003, cet ke-1, h. 128 Akibatnya generasi muda Islam semakin jauh dari Islam dan kehilangan arahan dalam menentukan sikap termasuk cara berpakaian. 54 Keenam : Persoalan kebebasan berekspresi dalam dunia seni pertunjukan adalah polemik dan wacana yang terus berkembang dari masa ke masa, terutama ketika kebebasan berekspresi itu menyentuh wilayah seksualitas dan pornografi. Seni tari misalnya, meskipun memuat tarian-tarian erotik berkenaan dengan sensasi seks, rangsangan seks atau nafsu birahi, tampaknya semakin diterima oleh masyarakat sebagai tontonan atau hiburan. 55 Jika dilihat dari kenyataan dalam masyarakat memang masalah pornografi dan pornoaksi telah merambah sampai ke pedesaan. Kenyataan demikian sebenarnya, menurut penulis sudah sangat memprihatinkan. Dari beberapa faktor penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi, penulis memberikan sedikit komentar, bahwa pornografi memang masalah yang tidak akan bisa selesai untuk dihilangkan atau dituntaskan, karena diperlukan peran dari seluruh unsur masyarakat dan aparat penegak hukum untuk bekerja sama mengurangi dampak yang sangat buruk dari pornografi ini. Kerusakan moral yang diakibatkan dari pornografi dan pornoaksi ini akan melanda generasi penerus bangsa, dan apabila sudah rusak moral dan akhlaqnya bagaimana ingin membangun negeri ini. 54 Abu Al-Ghifari, Kudung Gaul, Berjilbab Tapi Telanjang, Bandung Mujahid Press, 2003, cet ke-5, h. 17 55 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, cet ke -1, h.40

C. Dasar Hukum Larangan Tindakan Pornografi dan Pornoaksi serta