kekayaan pemegang saham, Nilai perusahaan dan market value added, Nilai market value added
dan cara menghitung nilai market value added. Bab III Bab ini berisi sekilas gambaran umum dari masing-masing emiten, juga akan
dijelaskan sejarah kemunculan Jakarta Islamic Index JII, visi dan misi yang diemban oleh setiap perusahaan, gambaran proyeksi bisnis perusahaan dalam
business review, produk-produk unggulan perusahaan, serta gambaran atas tantangan serta peluang meraka dalam menjalankan bisnis perusahaan.
Bab IV Dalam bab ini dijelaskan tentang analisa dan hasil pengolahan data perusahaan
dengan metode economic value added dan market value added dalam bentuk peringkat berdasarkan tahun yang terbagi dalam tiga tahun peringkat. Juga
akan dipaparkan metode analisis, dalam metode analisis di akan dijelaskan tentang cara atau metode yang digunakan dalam menganalisa hubungan antara
kedua analisa yang dipakai untuk mengukur kinerja perusahaan.
Bab V Kesimpulan dan Saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam melakukan penelitian ini ada beberapa penelitian yang dijadikan peneliti sebagai kajian terdahulu yang membahas tentang analisis Economic Value Added EVA
dan Market Value Added MVA, diantaranya adalah : Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Sherly L dengan judul
penelititan Analisa Economic Value Added EVA Dari 15 Bank-Bank Go Public Tahun 1992 - 1996 Di Indonesia.
Berdasarkan hasil dari analisis EVA terhadap kinerja bank selama lima tahun periode penelitian hanya ada tiga bank yang tetap memperoleh nilai EVA positif,
sedangkan 13 bank lainnya dalam lima tahun periode penelitian secara acak memperoleh nilai EVA positif dan negatif. Ketiga bank terbaik tersebut adalah Bank Dagang Nasional
Indonesia, Bank Bali, dan Bank Niaga. Berikut adalh tabel hasil penghitungan analisis EVA dari kinerja manajemen bank.
Berdasarkan analisis koefisien korelasi r antara EVA dengan harga saham perusahaan P, bank-bank publik yang menunjukkan adanya hubungan positif
peningkatan nilai EVA akan diikuti peningkatan harga saham dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 1 koefisien korelasi Nama Bank
Koefisien Korelasi r Sifat Hubungan
BII 0.7472
Kuat DUTA
0.6827 Cukup kuat
INTER-PACIFIC 0.6757
Cukup kuat DANAMON
0.6631 Cukup kuat
LIPPO 0.5342
Cukup kuat FICORINVEST
0.4385 Cukup kuat
PDFCI 0.3895
Rendah SURYA
0.2029 Rendah
BUN 0.0948
Sangat rendah BALI
0.0547 Sangat rendah
Sementara bank publik yang menunjukkan hubungan yang negati antara EVA dan harga saham P terdapat pada tabel berikut.
Tabel 2 Nama Bank
Koefisien Korelasi r Sifat Hubungan
TAMARA -0.3745
Rendah NIAGA
-0.3625 Rendah
BDNI -0.1969
Sangat rendah PANIN
-0.0241 Sangat rendah
INDOVEST -0.0178
Sangat rendah
Dari pengujian hipotesis korelasi tidak satupun dari bank publik diatas yang terbukti memiliki hubungan antara EVA dengan harga dari saham P bank publik tersebut.
Pertama, berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Julianti Sjarief dan
Aruno Wirjolukito dengan judul penelitian Pengaruh Economic Value Added EVA dan Faktor Lainnya Terhadap Harga Pasar Saham.
Pada penelitian ini, mereka inGaruda Indonesian membuktikan apakah EVA benar-benar dapat diandalkan dalam mengukur kinerja manajemen perusahaan terutama
di Indonesia. Secara teori, kinerja manajemen yang baik akan meningkatkan nilai pemegang saham, dalam hal ini adalah harga pasar dari saham. Sehingga kesimpulan
sementara mereka adalah kinerja manajemen yang baik, yang dalam hal ini diukur dengan EVA, akan berpengaruh positif terhadap harga pasar dari saham perusahaan.
Analisa Dan Pembahasan
Berikut ini tampilan gambaran umum mengenai EVA, DER, UMUR, dan perubahan harga saham SAHAM dari sampel penelitian ini.
Tabel 1 Deskriptif Statistik
N Range
Min Max
Mean Deviation STD
EVA 51
1.02 -36
65 -6.86
0.13233
DER 51
164.27 -148
16.27 -1.7929
21.817
UMUR 51
109 -7
116 28.4314
18.546
SAHAM 51
17200 -6600
10600 -450.098
2478.3768
Uji Normalitas dari dependen variabel dilakukan dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dengan nilai signifikansi pada à=1 dan H
adalah data terdistribusi secara normal. Hasil dari Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa
data berdistribusi dengan normal. Berikut adalah tabel pengujian normalitas dari dependen variabel.
Tabel 2 Uji Kolmogorov-Smirnov
Nilai uji K – S Unstandardized
residual 0.124
signifikan pada = 0.01
Untuk Uji Multikoliniearitas digunakan nilai Variance Inflation Factor VIF. Korelasi yang kuat akan ditandai dengan angka VIF yang tingGaruda Indonesia,
sedangkan nilai VIF dibawah 5 menandakan peluang terjadinya multikoliniearitas antara sesama variabel independen adalah kecil. Hasil uji menunjukkan bahwa peluang
terjadinya multikolinearitas tidak ada, sehingga analisis regresi akan dapat menjelaskan dengan baik hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Berikut tabel
hasil pengujian adalah : Tabel 3
Variance Inflation Factor
Dependen Variabel VIF
EVA DER
UMUR 1.063
1.014 1.077
Analisis regresi berganda dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software
SPSS versi 11.0, berikut adalah hasil dari analisa regresi yang telah disederhanakan.
Tabel 4 Hasil Analisis Regresi
Model Beta
t-value Constan
EVA DER
UMUR 159.714
8205.966 3.310
-51.959 2.488
3.385 0.230
-2.984 R
2
F-value 0.259
5.480
Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Zumawarni dengan judul Analisis Economic Value Added EVA Dan Market Value Added MVA Sebagai
Alat Ukur Kinerja Studi kasus PadaPerusahaan Publik LQ-45Tahun 1999 – 2003
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi tidak langsung terhadap perusahaan yang menjadi objek dalam penelitian dengan menggunakan data-data yang
dihimpun oleh BEI, yaitu berupa data-data IHSG dan saham individu perusahaan yang masuk dalam kelompok LQ-45 dan dalam penelitian ini diambil studi bulanan dengan
batas waktu lima tahun penelitian 1999 sd 2003. Pemilihan saham-saham dalam kelompok LQ-45 ini karena kelompok saham ini aktif diperdagangkan dan bersifat liquid.
Sampel yang diambil adalah sepuluh 10 perusahaan publik dengan tehnik purposive sampling,
Hasil Penelitian
Berikut adalah tabel hasil penghitungan nilai EVA dan MVA sepuluh perusahaan yang menjadi objek penelitian
Tabel 1
1999 2000
2001 2002
2003 PT
EVA MVA
EVA MVA
EVA MVA
EVA MVA
EVA MVA
ANTM 83,399
348,315 237,488
438,163 1,048
884,923 145,243
715,384 184,456
1,663,500 ASTRA
147,628 6,253,706
2,535,044 3,694,791
3,383,356 2,085,234
1,553,940 3,249,654
1,153,190 8,718,500
GGRM 840,646
30,998,982 1,719,658
9,368,384 2,673,083
8,995,111 2,546,755
6,705,447 1,680,492
15,529,300 HMSP
1,214,016 13,618,400
162,428 10,028,896
886,141 9,954,000
2,049,463 11,529,000
2,410,059 14,584,500
INDF 840,208
14,184,475 2,087,593
4,184,292 1,154,242
2,023,476 1,053,508
1,839,440 879,043
3,597,800 ISAT
824,959 11,587,245
755,447 4,752,945
1,342,278 1,489,049
983,536 1,101,772
2,159,264 4,481,600
KLBF 106,893
2,388,960 284,682
1,059,869 2,845,990
621,303 382,774
665,971 372,970
3,293,300 SMGR
308,536 4,160,961
279,324 500,027
653,507 52,197
72,901 1,538,636
269,584 1,185,700
TLKM 28,765
28,536,479 2,348,117
7,328,160 5,138,440
23,939,999 6,657,086
24,121,439 6,821,984
51,135,000 UNVR
138,315 84,196,745
263,978 8,126,713
672,398 10,692,682
165,421 11,815,055
602 25,339,000
Selama lima tahun periode penelitian PT Telekomunikasi berhasil menjadi yang terbaik dalam perolehan nilai EVA perusahaan hal ini membuktikan kinerja manajemen
yang baik dalam mengelola dana perusahaan. Dari 10 perusahaan ini terdapat 4 perusahaan yang mencatatka nilai MVA negatif selama periode penelititan yaitu PT
Aneka Tambang 1999 2001, PT Astra International 1999, PT Indosat 2002, dan PT Semen Gresik 1999. Sedangkan untuk nilai MVA tertinggi di raih oleh PT Unilever
Tbk pada tahun 1999 yaitu sebesar Rp84,196,745 juta. Namun nilai ini mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun berikutnya 2000 menjadi Rp 8,126,713 juta.
Telkom berada diurutan kedua dalam perolehan nilai MVA ini dengan nilai raihan tertinggi pada tahun 2003 sebesar Rp25,339,000 juta. PT Aneka Tambang dan PT Indosat
adalah perusahaan yang memilii catatan nilai MVA yang negatif selama periode penelitian ini.
Dalamm pengujian statistika korelasi pearson antara nilai EVA dan MVA pada 10 perusahaan LQ-45 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi pearson EVA dan MVA yang terdapat dalam tabelsebesar 0,303 menunjukkan adanya korelasi yang rendah, sedangkan jika
dilihat dengan tingkat keabsahan = 5 sig. 2-tailed adalah 0.032 0.05, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara EVA dan MVA. Hasil hitungan 0.032
0.05 ini berarti H0 : ditolak keadaan ini menunjukkan bahwa nilai EVA dan MVA ada hubungan yang signifikan.
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Juniah dengan judul
Analisis Pengaruh Economic Value Added EVA Terhadap Market Value Added MVA Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia. Studi Empiris
Pada Perusahaan Publik Sektor Industri Barang Konsumsi Tahun 2004 – 2005
Penelitian dilakukan dengan melihat laporan keuangan perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di BEI dari tahun 2004 sd 2005. Informasi yang
digunakan pada penelitian ini adalah laporan laba rugi, neraca dan catatan atas laporan
keuangan yang digunakan untuk mengetahui Net Operating Profit After Tax, Struktur Modal,
biaya modal sebelum pajak, tarif pajak, cost of debt, beta, Cost of Common Stock,
Weighted Average of Cost of Capital dan jumlah saham yang beredar. Untuk mengetahui
Return Market digunakan IHSG bulan Januari sampai Desember. Untuk mengetahui
Return Saham menggunakan harga saham individual danuntuk mengetahui Rf tingkat
bebas risiko menggunakan suku bunga SBI. Sedangkan JSX Monthly Statistics
digunakan unhtuk mengetahui harga saham individual dan total nilai modal yang diinvestaskan dalam perusahaan.
Hasil Penelitian
Selama dua tahun periode penelitian HM Sampoerna mendominasi dalam perolehan nilai EVA positif dibandingkan dengan perusahaan lain. Pada tahun 2004 EVA
Sampoerna mencapai Rp1.831.717.337.000 dan pada tahun 2005 nilai EVA Sampoerna mencapai Rp2.124.151.159.000. Sedangkan perusahaan dengan nilai EVA terendah
negatif pada tahun 2004 dimiliki oleh PT Suba Indah Tbk dengan nilai EVA Rp- 236.924.350.000, dan pada tahun 2005 nilai EVA negatif di miliki oleh PT Bentoel
International Rp -1.402.045.561.000. Sampoerna juga meraih nilai MVA tertinggi selama dua tahun periode penelitian
ini dengan nilai MVA tahun 2004 sebesar Rp24.287.950.000.000 dan pada tahun 2005 nilai MVA sebesar Rp34.375.700.000.000. sedangkan perusahaan dengan nilai MVA
terkecil pada tahun 2004 dimiliki oleh PT Bentoel International Rp-312.356.000.000 da pada tahun 2005 nilai MVA terendah dimiliki oleh PT Mayora Indah Rp-
253.401.000.000. Berdasarkan uji regresi linear sederhana didapatkan nilai koefisien regresi 0,700
yang berarti bahwa setiap kenaikan EVA sebesar Rp1 akan meningkatkan nilai MVA sebesar Rp 0,700. Atau setiap kenaikan 1 EVA akan meningkatkan nilai MVA sebesar
70 . Hasil Uji Koefisien Determinasi R
2
sebesar 70 menunjukkan bahwa EVA berpengaruh secara signifikan terhadap MVA dan sisanya 30 dipengaruhi oleh faktor
lainnya. Hasil Uji T menunjukan nilai dari T hitung sebesar 12,790 T tabel 1,688
dengan signifikansi sebesar 0,000 0,05 hal ini berarti Ha diterima, sehingga variabel EVA berpengaruh secara signifikan terhadap nilai MVA.
Implikasi.
Berdasarkan hasil dari analisis data diatas, implikasi dari penelitian ini adalah agar perusahaan menggunakan metode EVA serta MVA dalam mengukur kinerja
perusahaan sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. dengan menggunakan metode ERVA dan MVA yang baik maka akan dapat memberikan prestasi
yang baik bagi manajemen perusahaan yang akan berimplikasi terhadap kemajuan perusahan tersebut. MVA bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja perusahaan secara
keseluruhan selama usia perusahaan, MVA tidak hanya mengukur kinerja tetapi juga sebagai cerminan dari perspektif investor terhadap kinerja perusahaan pada masa yang
akan datang. Dengan demikian disarankan bagi investor pada masa yang akan datang sebaiknya menggunakan metode EVA dan MVA dalam peningkatan perusahaan.
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Gaffari
dengan judul penelitian Penciptaan Nilai Pada Garuda Indonesia Dengan Menggunakan Metode Economic Value Added EVA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan Garauda Indonesia untuk menGaruda Indonesiamplementasikan economic value added baik itu di tingkat strategic
business unit SBU Garuda maupun di tingkat perusahaan.
Berikut ini merupakan tabel hasil penghitungan nilai EVA yang telah dilakukan penyesuaian
Tabel 1
EVA EVA adjusted
Garuda Indonesia EVA adjusted SBU
Cargo EVA adjusted SBU
GSM EVA adjusted SBU
GATT
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa pada tahun 2000 Garuda Indonesia berhasil menciptakan EVA Rp1.131.186.908.113, untuk periode tahun yang sama kinerja
manajemen SBU Cargo yang bergerak dalam bidang pengangkutan barang, hanya mampu meraih impas atau nilai EVA Rp0. Begitu juga dengan kinerja manajemen SBU
GSM Garuda Sentra Medika yang merupakan pelayanan kesehatan bagi pegawai Garuda Indonesia dan pihak ketiga, hanya mampu meraih nilai EVA Rp0 atau impas atau
nilai laba perusahaan mampu menutupi seluruh biaya modal yang dikeluarkan. Masih pada tahun yang sama nilai EVA SBU GATT juga impas.
Nilai EVA Garuda Indonesia merosot sangat tajam pada periode berikutnya dengan nilai EVA pada tahun 2001 yang hanya sebesar Rp58.250.058.060, sedangkan
untuk SBU Cargo dan SBU GSM kembali hanya mampu meraih EVA impas. Sedangkan SBU GATT meraih EVA positif Rp. 40.202.820.405
Pada periode berikutnya yaitu tahun 2002 nilai EVA Garuda Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp381.726.166.002, kinerja
manajemen SBU Cargo sudah mulai menampakkan hasil dengan meraih nilai EVA positif sebesar Rp 72.468.402.723. SBU GSM kembali hanya mampu menghasilkan nilai
impas. Pada tahun ini kinerja SBU GATT terpuruk dengan perolehan nilai EVA negatif Rp-20.413.992.820.
Sangat disayangkan nilai yang telah dicapai Garuda Indonesia ini kembali merosot tajam pada tahun berikutnya 2003, nilai EVA Garuda Indonesia jatuh ke hasil
negatif Rp-409.616.828.369 pada tahun ini bisa kita simpulkan telah terjadi pengurangan
nilai yang sangat besar atas kinerja manajemen GARUDA INDONESIA. Begitu juga pada periode tahun penelitian berikutnya tahun 2004 penghancuran nilai ini kembali
bertambah besar dengan perolehan nilai EVA yang kembali negatif Rp-830.339.813.044. Garuda Indonesia hanya mampu memperbaiki kinerjanya pada tahun berikutnya namun
hanya mampu meraih nilai impas. Kinerja manajemen SBU Cargo mengalami penurunan pada tahun 2003 dengan
perolehan nilai Rp59.989.549.138, nilai ini masih akan terkoreksi pada tahun 2004 dengan perolehan nilai Rp 32.689.331.891. Pada tahun 2005 SBU Cargo hanya mampu
meraih nilai impas. SBU GSM pada tahun 2003 masih bertahan dengan nilai impas namun kinerja manajemennya mulai menampakkan hasil yang terus meningkat pada
tahun-tahun berikutnya dengan nilai EVA pada tahun 2003 sd 2005 berturut-turut Rp3.844.231.923, Rp5.164.528.901, Rp9.133.627.802.
Berbeda dengan SBU GSM, SBU GATT masih terus menanggung nilai EVA negatif selama tiga tahun penelitian berikutnya 2003 sd 2005 dengan perolehan nilai
EVA negatif berturut-turut Rp -10.413.473.807, Rp -22.175.621.909, Rp-1.068.423.139. Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lilyana Kusnaedi
S.E, A.k. dengan judul penelitian Analisis Pengukuran Dan Pengendalian kinerja PT Fabindo Sejahtera Berdasarkan Penerapan Metode Economic Value Added EVA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengolah dan menganalisis data-data relevan dari PT Fabindo selama tahun 2002 sd 2006 dengan penerapan metode EVA
guna mengukur kinerja perusahaan. Berikut adalah tabel hasil penghitungan NOPAT, WACC, Modal Capital dan EVA setelah adanya penyesuaian untuk periode 2002 sd
2006
Tabel 1
EVA sebelum penyesuaian bernilai negatif rugi antara 1 M sampai dengan 1.8 M. hasil EVA setelah penyesuaian masih minus namun nilai ini masih lebih baik bila
dibandingkan dengan sebelum dilakukan penyesuaian. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2006 hasil EVA setelah penyesuaian mengalami penurunan dibandingkan dengan
sebelum dilakukan penyesuaian. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan yang mangalami kemajuan meskipun nilai EVA perusahaan masih bernilai negatif yang artinya
kinerja perusahaan masih buruk dalam menciptakan nilai. Hal ini disebabkan karena nilai Net Operating profit after tax
NOPAT perusahaan masih belum mampu menutupi biaya modalnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka manajemen perusahaan Fabindo harus segera melakukan perbaikan kinerja untuk meningkatkan nilai EVA perusahaan dengan
menjalankan strategi-strategi untuk menciptakan efisiensi, dan efektifitas bagi perusahaan. Penerapan strategi yang mungkin dilakukan oleh manajemen perusahaan
adalah dengan meningkatkan volume penjualan produk perusahan, segera meluncurkan produk terbaru dengan ide-ide kreatif sebagai tambahan atas produk tersebut. Selain itu
juga manajemen perlu melakukan efisieni atas biaya operasional perusahaan serta melakukan penghematan pada biaya perjalanan dinas. Mengurangi biaya untuk iklan
yang sudah tidak efektif laGaruda Indonesia, melakukan strategi investasiekspansi perusahaan yang mempengaruhi jumlah pinjaman bank.
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sisilya dengan judul
penelitian “Penerapan Konsep Economic Value Added EVA dalam menilai kinerja PT Asiana Multikreasi”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja perusahaan selama tahun 1998 sd tahun 2001 dengan menggunakan konsep EVA. Penelitian ini juga diharapkan mampu
memberikan suatu alternatif pengukuran bagi PT Asiana Multikreasi tbk dalam menilai kinerja keuangannya sehingga dapat melihat kinerja yang sebenarnya dari perusahaan
yang di tampilkan lewat nilai EVA perusahaan. Tabel 1
Berdasarkan konsep rumusan EVA dapat dilihat bahwa nilai EVA akan meningkat apabila nilai NOPAT lebih besar daripada nilai capital chargesnya atau nilai
EVA akan meningkat apabila biaya yang dikeluarkan atas modal berkurang. Hasil penghitungan EVA pada tahun 1998 sd 2001 menunjukkan penurunan terutama pada
tahun 2001 yang turun 70 dibandingkan dengan nilai EVA pada tahun sebelumnya nilai NOPAT dan modal setelah penyesuaian juga menunjukkan penurunan.
Faktor penting dalam komponen EVA yang menyebabkan nilai EVA Asiana Multikreasi menurun yaitu penurunan penjualan pada tahun 2001. penurunan ini
penjualan ini mencapai 50 bila dibandingkan dengan nilai penjualan perusahaan pada tahun sebelumnya, penurunan penjulan ini bisa dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
menurunnya daya beli konsumen, produk mainan atau kemasan produk yang kurang
menarik, jumlah populasi usia anak-anak serta industri penunjang lainnya yaitu industri hiburan seperti animasi kartun.
Krisis ekonomi yang terjadi dalam kurun waktu 2 tahun yaitu pada tahun 1997- 1998 menyebabkan daya beli masyarakat merosot jatuh atas produk-produk mainan
sehingga penjualan menurun hal ini juga terjadi pada penjualan sektor ritel lainnya. Asiana Multikreasi juga terkena dampak dari krisis ekonomi yang menyebabkan beban
selisih kurs bunga yang cukup signifikan bagi perusahaan. Beban operasi perusahaan sejak tahun 1999 terus menurun sampai dengan tahun 2001 akibat penurunan produksi
perusahaan. Walaupun beban operasional perusahaan turun tetapi tidak diikuti dengan peningkatan volume penjualan sehinggan bebab operasional masih lebih besar daripada
pendapatan dan akibatnya perusahaan mencatatkan kerugian selama empat tahun periode penelitian ini.
Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Maya Putri Arini dengan
judul penelitian “Analisis Perbandingan Kinerja Perusahaan Dengan Metode PER, EVA, MVA Antara PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dengan PT Indosat Tbk”
Dalam penelitian ini akan coba dibandingkan kinerja perusahaan mana yang paling baik bila dinilai berdasarkan perolehan nilai price earning ratio PER, economic
value added EVA, dan market value added MVA dengan rentang waktu penelitian selama 6 tahun, mulai dari tahun 1999 sd tahun 2004. Dibawah ini adalah tabel hasil
penghitungan perbandingan PER kedua perusahaan. Tabel 1
+ ,-
.
Pada tahun 1999 PER Telkom lebih tinggi dari PER Indosat, hal ini disebabkan oleh harga saham Telkom yang lebih tinggi di pasar modal yaitu Rp1.838 sementara nilai
EPS nya hanya Rp216, nilai ini menunjukkan optimistis pasar yang tinggi. Pada atahun 2000 walaupun secara umum harga perlembar saham Telkom mengalami penurunan
namun nilai ini masih lebih tinggi dari pada nilai EPS nya. Sehingga PER Telkom masih berada di atas nilai PER Indosat.
Tahun 2001 PER Telkom masih lebih tinggi dari PER Indosat, pada tahun ini para investor masih cukup optimis dengan perkembangan industri telekomunikasi di
Indonesia. Hal ini tercermin dengan harga perlembar sahamkedua perusahaan yang naik, hanya saja PER Telkom masih berada di atas EPS nya sementara harga
perlembar saham Indosat tidak jauh dari nilai EPSnya ini menyebabkan nilai PER Telkom lebih tinggi dari nilai PER Indosat. Pada tahun 2002 terjadi penurunan
pada nilai EPS Indosat akibat peningkatan beban diantaranya peningkatan yang signifikan atas amortisasi goowill sebagai akibat dari akuisisi Indosat atas saham
Satelindo sebesar 25, dengan ini kepemilikan atas Satelindo menjadi penuh 100. Pada tahun ini nilai PER indosat lebih tinggi dari Telkom.
Pada tahun 2003 nilai PER Indosat berada diatas Telkom. Pada tahun ini Indosat melakukan stock split 1 : 5 atas jumlah sahamnya, hal ini menyebabkan
nilai EPS sedikit menurun namun peningkatan laba bersih Indosat yang naik tajam Rp1.233.715.000.000 dari peningkatan pendapatan seluler. Pada tahun 2004 PER
kedua perusahaan hampir sama dengan nilai PER Indosat yang sedikit lebih tinggi
dari PER Telkom. pada tahun 2004 ini Telkom melakukan stok split 1 : 2 atas sahamnya
Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil perolehan EVA kedua perusahaan selama periode penelitian.
Tabel 2
,- .
Dari tabel diatas dapat kita lihat perbedaan yang sangant mencolok antara EVA kedua perusahaan. Ini disebabkan hasil penghitungandalam satuan mata uang sementara
jumlh invested capital kedua perusahaan berbeda. Agar bisa membandingkan kedua perusahaan secara lebih fair maka nilai EVA dibandingkan dengan invested capital
masing-masing perusahaan agara hasilnya berbentuk persentase sehingga lebih mencerminkan perbandingn EVA antara kedua perusahaan. Tabel berikut akan memuat
hasil persentase kedua perusahaan setelah dibandingkan dengan invested capital masing- masing perusahaan.
Tabel 3
,- .
Pada tahun 1999 nilai EVA Telkom yang negatif disebabkan oleh belum adanya amortisasi goodwill, tingginya tingkat risk free interest rate Rf yang kemudian
menaikkan WACC perusahaan. Perolehan EVA positif Indosat disebabkan oleh nilai NOPAT yang lebih tinggi dari nilai WACC perusahaan sehingga walaupun nilai biaya
hutang tinggi 42.99 nilai perolehan EVA perusahaan tetap positif. Pada tahun 2000 meskipun terjadi penurunan pada risk free interest rate Rf menjadi 12.54 dan
penurunan biaya hutang 5.52 atas Telkom namun tidak tercatatnya amortisasi goodwill
menyebabkan nilai NOPAT hampir sama dengan tahun sebelumnya. Perolehan nilai EVA Indosat positif dengan nilai WACC yang hampir sama dengan tahun
sebelumnya, nilai NOPAT melebihi pertumbuhn capital perusahaan sehingga nilai ROIC lebih tinggi dari WACC.
Tahun 2001 Telkom mengalami kenaikan pada biaya hutang dan ekuitasnyasebagi akibat dari naiknya risk free interest rate Rf, WACC otomatis terdongkrak naik namun
nilai laba bersih perusahaan juga naik serta amortisasi goowill yang telah tercatat memberikan perolehan nilai positif bagi Telkom. Pada tahun ini Indosat mengalami
penurunan biaya hutang, tatapi akibat naiknya risk free interest rate Rf biaya ekuitas naik, WACC juga terdongkrak naik sedikit namun nilainya masih di bawah NOPAT
sehingga perolehan EVA perusahaan positif. Tahun 2002 nilai EVA Telkom naik karena peningkatan pada raihan laba bersih
perusahaan sebanyak 2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Hal ini mendorong naiknya ROIC menjadi 40.19 dengan nilai WACC yang hanya 13.82 akibat turunnya risk free
interest rate Rf yang jug mendorong turunnya biaya hutang dan ekuitas sehingga
didapatkan nilai EVA yang sangat besar. Indosat memperoleh nilai EVA yang negatif akibat penurunan laba bersih perusahaan yang kemudian mendorong jatuhnya nilai
NOPAT dan memaksa penambahan atas capital. Pada tahun 2003 EVA Telkom turun namun masih positif karena laba bersih
perusahaan yang masih tinggi, terjadi peningkatan capital sebanyak 45.75 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sehingga nilai ROIC turun namun masih diatas WACC.
Indosat masih harus mendapatkan nilai negatif pada EVA nya karena meskipun laba
bersih perusahaan naik namun terjadi penambahan capital. Sehingga nilai ROIC perusahaan berada di bawah nilai WACC. Dan pada tahun 2004 hal sama masih terjadi
pada masing-masing perusahaan. Tabel 4
,- .
Dari tabel diatas dapat kita lihat perbedaan yang sangant mencolok antara EVA kedua perusahaan. Ini disebabkan hasil penghitungandalam satuan mata uang sementara
jumlh invested capitas kedua perusahaan berbeda. Agar bisa membandingkan kedua perusahaan secara lebih fair maka nilai EVA dibandingkan dengan invested capital
masing-masing perusahaan agara hasilnya berbentuk persentase sehingga lebih mencerminkan perbandingan EVA antara kedua perusahaan. Tabel berikut akan memuat
hasil persentase kedua perusahaan setelah dibandingkan dengan invested capital masing- masing perusahaan.
Tabel 5
,- .
Pada tahun 1999 Tel memperoleh nilai MVA positif karena nilai pasarnya lebih tinggi dari invested capital, Indosat hany mampu mendapatkan nilai MVA negatif
meskipun harga perlembar sahamnya lebih tinggi dari Telkom namun jumlah saham beredar Indosat lebih sedikit dan total debt yang rendah tidak mampu melebihi book
value dari modal yang di investasikan.
Pada tahun 2000 nilai MVA Telkom negatif karena harga perlembar sahamnya merosot sehingga nilai pasar dari modal lebih rendah dari book value, hal ini juga terjada
pada Indosat. Pada tahun 2001 nilai MVA Telkom naik menjadi positif akibat dari naiknya harga perlembar saham, terjadi penurunan pada nilai pada book value sehingga
nilai tambah terhadap MVA perusahaan cukup besar. Is memperoleh nilai MVA negatif karena meskipun harga perlembar saham naik namun tidak mampu mengimbangi naiknya
book value perusahaan yang naik 84.2.
Pada tahun 2002 Telkom memperoleh nilai MVA negatif akibat turunnya harga perlembar saham yang menyebabkan nilai pasar ekuitas berada sedikit dibawah nilai
buku. Hal ini juga terjadi pada Indosat untuk tahun ini. Dan pada tahun 2003 Telkom mengalami peningkatan sebanyak dua kli lipat pada harga perlembar saham serta
peningkatan sedikit pada nilai ekuitas perusahaan. Sedangkan pada tahun 2004 Indosat meraih nilai MVA positif karena melakukn stock split 1 : 5 yang juga didukung oleh
naiknya harga perlembar saham
BAB III TINJAUAN TEORI METODE ANALISIS