Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan Islam

46 Sehingga dalam hal ini sekolah yang ideal adalah sekolah yang berupaya mengembangkan secara berimbang kecerdasan emosi EQ dan kecerdasan intelektual IQ.

6. Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan Islam

Kecerdasan emosional sebagaimana yang dijelaskan oleh Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. 77 Individu dikatakan cerdas secara emosional apabila memiliki kemampuan dalam mengendalikan dan selaraskan setiap gejolak emosi dalam diri, serta kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dalam lingkungannya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa emosional merupakan perasaan yang dimiliki oleh manusia. Setiap manusia memiliki perasaan untuk menimbang sebuah keputusan yang berat disamping akal sehat. Dengan pertimbangan-pertimbangan emosional manusia dapat menjadi lebih bijak dalam mengarungi kehidupan ini. Dan yang membedakan bahwa manusia memiliki kecerdasan emosional atau tidak adalah dengan kualitas-kualitas yang terdapat di dalam kecerdasan emosional tersebut. John Mayer menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampak penting bagi keberhasilan, kualitas-kualitas tersebut antara lain: a. Empati b. Mengungkapkan dan memahami perasaan c. Mengendalikan amarah d. Kemandirian e. Kemampuan menyesuaikan diri f. Disukai g. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi h. Ketekunan i. Kesetiakawanan 78 j. Keramahan, dan k. Sikap hormat. 77 Goleman, op. ci Æ ., h. 42 78 E. Shapiro, op. ci Æ ., h. 5. 47 Kesembilan kualitas yang dirincikan oleh John tersebut pada dasarnya merupakan bentuk dari kepribadian-kepribadian dalam diri individu. Adapun keramahan serta sikap hormat merupakan dua manifestasi kepribadian ketimuran yang sarat dengan nilai-nilai. Keramahan adalah salah satu sikap mental seseorang yang baik dalam berinteraksi dan sikap hormat adalah bentuk kepribadian yang menjunjung tinggi nilai-nilai hierarki sosiologis. 79 Dengan demikian maka manifestasi dari kecerdasan emosional ternampakkan melalui pola tingkah laku individu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Islam, pada hakikatnya manusia memiliki kecerdasan yang sama, bakat yang sama, dan talenta yang sama pula ketika baru lahir. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 78 yang berbunyi: r N3_z `B bqÜ N3F»gB w cqJ=è? «‹© è_r N39 ìJ¡9 »Á{r o‰«ù{r N3=è9 cr3±? ÇÐÑÈ Dan Allah mengel ÇÈ É kan kam Ç da É i pe É ÇÊ i Ë Ç m Ç dalam Keadaan Ê idak menge Ê È Ì Ç i Í e Í ÇÈ Ê Ç Î Ç Ï , dan Dia membe É i kam Ç pendenga É an, pengliha Ê an dan ha Ê i, aga É kam Ç be É Í Ð Ç k Ç É . Ayat tersebut Allah SWT menegaskan bahwa manusia ketika datang dan berkenalan dengan dunia ini ia tidak mengetahui apa-apa, namun manusia dibekali dengan Í ama’, ab Í ha É dan af’idah untuk dipergunakan dalam mengarungi derasnya laju perkembangan zaman dimuka bumi ini. Manusia membutuhkan akal fikiran sebagai penetralisir dari budaya yang pada akhirnya akan membentuk pola kepribadian. Hal ini sebagimana dikatakan oleh Syarkawi bahwa kepribadian seorang anak dipengaruhi besar oleh lingkungannya karena lingkunganlah yang pada akhirnya membentuk pola kepribadian seorang anak. 80 Syarkawi menjelaskan sebagai berikut, contohnya: “Pada dasarnya pola kepribadian yang ditampilkan pada anak merupakan manifestasi dari pendidikan 79 A. Tafsir, Ilm Ñ Pendidikan dalam Pe Ò Ó pek Ô if Õ Ó lam, Bandung: Rosdakarya, 1992, Cet. Ke-2, h. 50. 80 Syarkawi, Pembe ÖÔ Ñ × an Ke Ø Ò ibadian Anak, Pe Ò an M Ù Ò al, ÕÖÔ elek Ô Ñ ÚÛ , Em Ù Ó ional dan S Ù Ó ial Ó ebagai W Ñ Ü Ñ Ý ÕÖÔ e Þ Ò i Ô ÚÓ Memb ÚÖÞÑÖ J Ú Ô i Di Ò i, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, Cet. Ke-1, h. 19-20. 48 yang diberikan orang tua kepadanya melalui komunikasi. Contoh, orang tua sering memerintahkan kepada anaknya, ß olong kal àá â à â ß i ada ß elepon, bilang a ã ah dan i ä á å edang ß idak ada dil á à æ ka æ ena a ã ah dan i ä á m àá ß i ç á æ . Peristiwa ini adalah suatu pendidikan kepada anak bahwa berbohong itu boleh atau halal dilakukan. Akibatnya, anak juga melakukan perilaku berbohong kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya sendiri. Jika anak mendapatkan kepuasan bahkan kenikmatan ketika berbohong maka perbuatan bohong tersebut akan dikembangkan oleh anak dan bahkan mungkin saja berbohong itu akan menjadi kesenangannya dan menjadi keahlian yang lama-kelamaan menjadi kepribadiannya. 81 Contoh yang diberikan oleh Syarkawi tersebut, dapat dipahami bahwa pengaruh yang diterima dari lingkungan dalam hal ini adalah orang tua dapat membentuk kepribadian individu, karena pada dasarnya manusia belum mengetahui apa-apa ketika datang ke muka bumi ini. Manusia merupakan makhluk potensial yang memiliki kemampuan untuk menalar berbagai stimulus yang dirangsangnya. Dalam konteks psikologis pendidikan disebutkan bahwa setiap orang memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitasnya. 82 Bakat atau potensi tersebut jika tersalurkan ke dalam dimensi-dimensi yang positif maka pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia akan menjadi baik, namun sebaliknya jika pertumbuhan dan perkembangan tersebut tersalurkan ke dalam dimensi-dimensi yang uruk maka akan berdampak buruk pula terhadap kepribadian individu. Seorang anak manusia pada hakikatnya belum memiliki pengetahuan apa- apa selain fitrahnya. Adapun yang akan membentuk kehidupan hingga pada pola kepribadian anak tersebut adalah lingkungannya. Syarkawi mengatakan bahwa lingkungan kelurga adalah tempat pertama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang 81 Ibid,. h. 20. 82 Muhibin Syah, P è ikologi Pendidikan dengan Pendek éê an B éë ì , Bandung: Rosda Karya, 2001, Cet. Ke-6, h. 135. 49 anak. 83 Hal ini pun telah dijelaskan dalam sebuah hadis nabi yang mengatakan bahwa sesungguhnya seluruh anak yang lahir kepermukaan bumi ini adalah dalam keadaan fitrah, dan orang tuanyalah yang akan menjadikannya beragama Majusi ataupun Nasrani. Berangkat dari asumsi tersebut maka diperlukan media yang terintegrasi dala diri manusia untuk melakukan fil í e î i ï ing dari berbagai rangsangan yang datang dari luar diri manusia. Untuk itulah sebagimana tertulis dalam Al-Qur’an surat An-Nahl tersebut Allah memberikan manusia hati sebagai pusat kinerja tubuh yang berfungsi untuk mengontrol dan meng-c ðñò í e î berbagai budaya yang dilihat dan didengar. Ibnu Katsir mengatakan bahwa hati yang dimaksud dalam surat An-Nahl ayat 78 tersebut ialah akal berpusat dihati ó alb manusia, yang dengannya terlihat segala kebenaran oleh karena hati tidak dapat berbohong. 84 Menurut Robert K Cooper yang dikutip oleh Ary Ginanjar mengatakan bahwa hati dapat mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita fikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Menurutnya hati mampu mengetahui hal- hal mana yang tidak boleh atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. 85 Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati pun merupakan sumber energy dan perasaan mendalam yang membentuk kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani. Memahami pernyataan di atas bahwa hati yang terdapat dalam diri manusia tidak dapat berbohong dan bahkan dapat mendeteksi hal-hal yang sebenarnya tidak boleh atau tidak diketahui pikiran manusia. Sehingga dengan keberadaan hati tersebut, manusia memiliki tameng untuk menghadapi kerasnya zaman. Hati nurani dapat dijadikan sebagai pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Artinya, setiap manusia pada dasarnya telah memiliki radar hati sebagai pembimbing. Menurut HS Habib Adnan yang 83 Syarkawi,. h, 19 84 Imam Ismail bin Umar bin Katsir, Al-Mi ô hbah M õ ö÷ ø fi T ùúû ü ibi; Taf ô ii ø ýþ ö õ Ka ÿô i ø , Riyadh, Daarulsalam, 2000, Cet. Ke-2, h. 738. 85 Ary Ginanjar, op. ci ÿ ., h. 40 50 dikutip oleh Ary Ginanjar mengatakan bahwa kebenaran Islam senantiasa selaras dengan suara hati manusia. Kecerdasan emosional dapat diidentikan dengan kemampuan mental individu dalam mengatur perilakunya disebuah tempat pada posisi yang seperti apapun. Sedangkan mental sangat berhubungan erat dengan sisi kejiwaan manusia. Allah dalam surat As-Syams ayat 7-10 telah berfirman bahwa: §ÿRr Br g1q™ ÇÐÈ gJl;ù d‘qgú g1q?r ÇÑÈ ‰ x=ù `B g8.— ÇÒÈ ‰r { `B g9™Š ÇÊÉÈ Dan ji w a s e r t a pen y em p r naann y a cip t aann y a, Maka Allah mengilhamkan kepada ji w a i t jalan kefa s ikan dan ke t ak w aa y a. Se s u u y a be r t nglah o r ang y ang men s cikan ji w a i t dan Se s uu y a me r u ilah o r ang y ang mengo t o r in y a. Ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia telah diciptakan dalam keadaan yang sempurna. Sedangkan pembentukan kepribadian pada kejiwaannya tersebut ditentukan oleh manusia itu sendiri, oleh karena itulah Allah memberinya pula potensi berupa jalan kefasikan sebagi konotasi dari keburukan dan ketakwaan sebagi konotasi dari kebaikan. Pola kepribadian manusia merupakan bantukan-bentukan yang dibuat oleh lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk yang memiliki sifat d y namic-en v i r onme t yang artinya bahwa sejauh kagiatan-kegiatan tersebut hanya berlangsung dalam waktu yang singkat maka manusia masih mampu untuk mengkondisikan kepribadian pada suatu tingkatan yang disebut dengan kesempurnaan. Pembentukan kepribadian manusia merupakan manifestasi dari fitrahnya manurut Achmadi dapat dilakukan pada lingkungan pendidikan. 86 Sehingga dalam konteks kekinian, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menakankan pembentukan sosok pribadi yang memiliki kualitas mental yang baik, bertingkah laku baik dan sempurna. 86 Achmadi, Ideologi Pendidikan I lam, P adigma H ani me The o e n i , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, Cet. Ke-1, h. 47. 51 Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang- Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Berkenaan dengan hal tersebut, Arifin mengatakan bahwa jika pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik yang mampu menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas serta menanamkan rasa tanggung jawab. 87 Hal senadapun di ungkapkan oleh Mohammad Irfan dan Matsuki yang mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan adalah proses rekayasa atau rancang bangun kepribadian manusia. 88 Muhammad Fadlyl al-Jamali yang dikutip oleh Muhaimin. 89 Mengindikasikan bahwasannya pendidikan Islam menghendaki sebuah upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan. Melalui nilai-nilai tersebut peserta didik akan lebih mengerti dan mendapat core dari kegiatan pendidikannya itu. Sehingga pencapaian kesempurnaan manusia sebagai in an kamil bukan lagi wacana dalam pendidikan Islam, tetapi lebih merupakan proses pengaktualisasian diri sepenuhnya berkaitan dengan akal, perasaan dan perbuatan. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kecerdasan emosional dalam pendidikan Islam adalah kemampuan individu dalam mengenali dan mengendalikan perasaannya yang berpusat di dalam hati yang disebut dengan q olb. Hati sebagai pusat kendali manifestasi tingkah laku manusia 87 HM. Arifin, Ilm Pendidikan lam dengan Pendek an e di iplinie , Bandung: Rosda Karya, 2003, h. 7. 88 Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan, T d Sebagai P adigma Pendidikan lam, Jakarta: Friska Agung Insani: 2000, Cet. Ke-1, h. 131. 89 Muhaimin, Pemiki an Pendidikan lam, Bandung: Trigenda Karya, 1993, h. 134. 52 dalam melakukan fil e i z ing yang diserap dari lingkungannya. Sehingga seorang dikatakan memiliki kecerdasan emosional ketika ia mampu mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi hati yang terintegritas didalam dirinya.

7. Metode dalam Membina Kecerdasan Emosional