Sistematika Penulisan Kerangka Konseptual

Berdasarkan pemaparan studi terdahulu di atas, skripsi ini memiliki perbedaan dengan tulisan-tulisan terdahulu. Pada skripsi ini, penulis hanya fokus membahas pengaruh labelisasi halal terhadap keputusan pembelian konsumen pada produk makanan dalam kemasan dengan studi kasus pada dosen FSH UIN Jakarta. Dengan mengaplikasikan model penelitian empiris dengan pendekatan survei. Dengan menggunakan analisis regresi sederhana, uji koefisien determinasi, uji F hitung dan uji t.

E. Sistematika Penulisan

Dalam membahas skripsi ini penulis membagi ke dalam lima bab. Pada tiap- tiap bab terdapat sub-sub bab. Maka dari itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I, PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan terkait latar belakang masalah, selanjutnya pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan studi terdahulu, dan sistematika penulisan. BAB II, TINJAUAN TEORITIS Dalam bab ini penulis akan menguraikan dan menjelaskan tentang Kerangka Teori yakni: labelisasi halal yaitu pengertian halal, kriteria halal menurut Islam, pengertian labelisasi halal, dan proses labelisasi halal. Serta teori tentang keputusan pembelian konsumen yaitu pengertian keputusan pembelian konsumen, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam keputusan pembelian, tahap-tahap proses pembelian konsumen, model perilaku pembelian konsumen dan peran individu dalm keputusan pembelian. Serta menguraikan dan menjelaskan tentang hubungan labelisasi halal dan keputusan pembelian konsumen. Dan menguraikan kerangka konseptual dan hipotesis. BAB III, METODE PENELITIAN Dalam bab ini penulis akan menjelaskan dan menguraikan tentang jenis penelitian yaitu pendekatan dan metode penelitian serta sumber data, selanjutnya populasi dan sample yaitu pengertian populasi dan sample, teknik pengambilan sample, kemudian pengumpulan data yaitu metode dan instrumen penelitian, teknik uji instrumen penelitian dan teknik analisa data. BAB IV, ANALISA HASIL PENELITIAN Dalam bab ini penulis akan menjelaskan dan menguraikan gambaran umum responden, statistik deskriptif, teknik analisis data dan uji hipotesis. BAB V, PENUTUP Meliputi penutup dan kesimpulan. Penutup, yang didalamnya mencakup kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Kerangka Teori

1. Labelisasi Halal

a. Pengertian Halal

Kehalalan merupakan masalah yang paling dahulu berhubungan dengan manusia. Masalah tersebut telah ada semenjak manusia belum diturunkan ke bumi dan merupakan pelajaran pertama yang diterima dari Tuhan ketika Allah menentukan kaidah tentang kehalalan, dipertimbangkan pula kemampuan manusia dalam bersabar terhadap segala sesuatu, maka dari itu Allah tidak menentukan tentang kehalalan pada udara, akan tetapi untuk makanan dan minuman serta hal-hal yang dikonsumsi selain makanan dan minuman seperti halnya; kosmetika, obat-obatan dan lain-lain ditentukan tentang kehalalannya. 1 Sejak dahulu umat Islam dan bangsa ini berbeda-beda dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak boleh, khususnya berupa binatang. Sedangkan mengenai makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan tidak banyak perselisihan di kalangan manusia. Islam tidak mengharamkan kecuali sesuatu yang telah berubah menjadi khamar memabukkan, baik terbuat dari anggur, kurma, 1 Imam Al-Ghazali. Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra Pelajar, 2003, h. 107 14 gandum, maupun benda-benda lain. Intinya, makanan ataupun minuman itu memabukkan. Demikian juga Islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan melemahkan urat, dan segala sesuatu yang membahayakan tubuh. 2 Islam menyeru manusia secara umum untuk memakan yang baik- baik, dan tidak mengikuti langkah-langkah syaitan yang memanipulasi sebagian manusia dengan menampakkan indah tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan. Makanan atau tha’am dalam bahasa al-Qur’an adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi, karena itu minuman pun termasuk dalam pengertian tha’am. Makanan merupakan objek dari suatu benda yang dimakan. Menyantap makanan diartikan dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar terpenuhi zat-zat yang dibutuhkan dalam tubuh. 3 Oleh karena itu agama Islam memerintahkan agar dalam mengkonsumsi makanan haruslah halal dan thayyib. 4 Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah SWT. Istilah halal biasanya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman. 5 2 Ibid. h. 121 3 Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h.329 4 Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam, Jakarta: Robbani Press, 2005, h.107 5 M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, h. 97 Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah: tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. 6 Dalam buku Ensiklopedia Islam Indonesia disebutkan bahwa halal artinya tidak dilarang, dan diizinkan melakukan atau memanfaatkannya. Halal itu dapat diketahui apabila ada suatu dalil yang menghalalkannya secara tegas dalam al-Qur’an dan apabila tidak ada satu dalil pun yang mengharamkannya atau melarangnya. 7 Sedangkan thayyib berarti baik, lezat dalam arti bahwa suatu makanan tidak kotor dari segi zatnya atau rusak kadaluarsa atau dicampuri benda najis. 8

b. Kriteria Halal Menurut Islam

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 9 Bahan makanan yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi dan hewan yang 6 www.lppommui.or.id 7 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002, h.346 8 Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam, Jakarta: Robbani Press, 2005, h.107 9 Departemen Agama RI. Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta, 2003, h.2  ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌦ ⌧ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak meginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Baqarah [2]: 173 Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar minuman beralkohol, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al- baqarah ayat 219: ☺ ☺ ☺ ⌦ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ”Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” QS. Al- Baqarah [2]: 219 Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 3: ☺ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu memakan hewan yang disembelih untuk berhala . . .” QS. Al- Maidah [5]: 3 Jika hewan-hewan tersebut sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukkan bagi berhala. Segala sesuatu yang ada di bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, kalaupun ada makanan tertentu yang diharamkan, hal ini ada hikmahnya dan larangan tersebut tidak lain hanya untuk manusia. Termasuk makanan dan minuman yang halal adalah: 10 10 Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 20002001, h.4 1. Bukan terdiri atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam. 2. Tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut ajaran Islam. 3. Tidak mengandung bahan penolong danatau bahan yang diharamkan menurut ajaran Islam. 4. Dalam proses pembuatan, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut ajaran Islam. Al-Qardhawi menegaskan bahwa masalah makanan menurut al- Qur’an bukan masalah cabang furu’, melainkan masalah pokok ushul. Ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menegakkan dan meneguhkan aqidah Islam serta menolak pandangan orang sesat. Penghalalan makanan yang diharamkan menandakan betapa kasih Allah kepada manusia. Makanan tersebut justru sangat baik untuk manusia. Dalam Islam memelihara jiwa dan akal adalah bagian dari prinsip dharuriyah pokok. Oleh karena itu, segala sesuatu yang akan mencelakakan jiwa maupun akal termasuk dalam hal makanan adalah haram.

c. Pengertian Labelisasi Halal

Islam adalah sebuah agama yang menjadi ideologis, sistem dan aturan hidup, kerangka berpikir, pedoman terhadap konsep dan pengembangan integritas diri, menjadi tolok ukur keabsahan suatu tindakan, serta sumber inspirasi bagi sebagian besar teori peradaban. Sebagai ideologi, Islam memiliki aturan yang lengkap dan menyeluruh, serta komprehensif dalam mengatur setiap aspek utama kehidupan manusia syumuliatul Islam. 11 Konsep Syumuliatul Islam ini makin dipertegas oleh nash Al Qur’an yang berbunyi: 12 ☺ ⌧ “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu merupakan musuh yang nyata bagimu.” QS 2:168. Syumuliatul Islam ini, oleh para pemeluknya berusaha diaplikasikan dalam tataran praktis. Salah satu contoh praktis adalah yang diterapkan dalam pola konsumsi masyarakat Muslim di Indonesia. Produk-produk yang dikonsumsi oleh umat Islam –terutama produk-produk makanan– adalah makanan yang halal. Kehalalan produk makanan tersebut dapat 11 Sa’id Hawwa, Al-Islam, Jakarta: Al Islahy Press, 1993 h. 27 12 Ibid., h. 28 diketahui dari label yang tercantum di kemasan produk, yang dikenal sebagai label halal. Temuan MUI Majelis Ulama Indonesia tentang beredarnya produk tidak halal di masyarakat, mendapat tanggapan reaktif dari konsumen berupa pemboikotan produk tersebut dengan cara tidak mau mengkonsumsi dan mengedarkan produk-produk tidak halal tersebut. Kenyataan ini membuat produsen-produsen produk makanan dalam kemasan melakukan pemberian label halal pada produk mereka labelisasi halal. 13 Pemberian label berkaitan erat dengan pengemasan. Label merupakan bagian dari suatu produk yang menyampaikan informasi mengenai produk dan penjual. Stanton membagi label ke dalam 3 tiga klasifikasi yaitu: 14 1. Brand Label, yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada kemasan. 2. Descriptive Label, yaitu label yang memberikan informasi objektif mengenai penggunaan, konstruksipembuatan, perawatanperhatian, dan kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan dengan produk. 13 Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari http:www.esqmagazine.com 14 Ibid. 3. Grade Label, yaitu label yang mengindentifikasikan penilaian kualitas produk product’s judged quality dengan suatu huruf, angka, atau kata. Misal buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A, B dan C. Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. 15 Proses-proses yang menyertai dalam suatu produksi makanan atau minuman, agar termasuk dalam klasifikasi halal adalah proses yang sesuai dengan standard halal yang telah ditentukan oleh agama Islam. Diantara standard-standard itu adalah: 16 1. Tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai ingradient yang sengaja ditambahkan. 2. Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. 3. Semua bentuk minuman yang tidak beralkohol. 15 Ibid. 16 Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 20002001, h.4 4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, label didefinisikan sebagai sepotong kertas kain, logam, kayu dan sebagainya yang ditempelkan pada barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat dan sebagainya. 17 Dalam buku Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang diserahkan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. 18 Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang menginformasikan kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. 19 17 Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h.301 18 Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta, 2003, h.277 19 Ahmad Haris. “Halal di kemasan Belum Tentu Halal Dimakan”. artikel ini diakses pada tanggal 17 februari 2010 dari http:www.harisahmad.com Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. 20 Untuk memperoleh label halal dari MUI, produsen harus melalui proses sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal adalah suatu proses pemeriksaan secara rinci terhadap kehalalan produk makanan, yang selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk Fatwa MUI. 21 Sertifikasi halal secara definisi dijelaskan dalam panduan untuk memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI yaitu, fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi terkait. 22 Dengan demikian Label Halal adalah label yang diberikan pada produk- produk yang telah memenuhi kriteria halal menurut agama Islam. Perusahaan- perusahaan yang telah mencantumkan produknya dengan label halal merupakan perusahaan yang telah melakukan prosesi halal pada produknya. Mengacu pada klasifikasi label yang diberikan oleh Stanton, maka label halal masuk dalam klasifikasi Descriptive Label yaitu label yang menginformasikan tentang: 23 a. Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standard halal; 20 Ibid. 21 Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta, 2003, h.2 22 Ibid. h.1 23 Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari http:www.esqmagazine.com b. Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standard halal dan; c. Efek yang ditimbulkan other characteristic produk yang sesuai dengan standar halal

d. Proses Labelisasi Halal

Sebelum mencantumkan label halal pada suatu produk, produsen harus mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat halal, produsen terlebih dahulu disyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal seperti diuraikan di bawah ini: 24 a. Sistem Jaminan Halal Halal Assurance System harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan. b. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk Panduan Halal Halal Manual yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen, serta berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut. c. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku Pelaksanaan Standard Operating Procedure untuk 24 Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta, 2003, h.3 mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya tetap terjamin. d. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik. e. Sistem Jaminan Halal dan pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi melalui sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan. f. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama Islam. g. Penjelasan rinci tentang Sistem Jaminan Halal dapat merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Setelah persyaratan Sistem Jaminan Halal yang produsen ajukan telah disetujui, maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal sebagai berikut: 25 25 Ibid. h.4 a. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk dengan merek yang sama. b. Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan dengan melampirkan: 1. Spesifikasi dan Sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses. 2. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah produk lokal atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI produk impor untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya. 3. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya. c. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaanaudit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya. d. Hasil pemeriksaanaudit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. e. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. f. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. g. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal Internal. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaanaudit ke lokasi produsen untuk memastikan apakah seluruh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Tata cara pemeriksaan auditnya adalah sebagai berikut: 1. Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya. 2. LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi: a. Nama ketua tim dan anggota tim b.Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan. 3. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan auditing ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantuannya untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas. 4. Pemeriksaan audit produk halal mencakup: a. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk. b.Observasi lapangan dan Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu. Tabel 2.1 26 Bagan Proses Sertifikasi Halal Revisi Produsen 26 Ibid., h.11 Rencana Pengajuan Sertifikat Halal Pemasyarakatan dan Uji Coba Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya Audit Internal dan Evaluasi Penyusunan Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya Rencana Sistem Jaminan Halal Pengajuan Sertifikat Halal LPPOM MUI Revisi Revisi Revisi Fatwa MUI Evaluasi Sertifikat Halal Audit di Lokasi Produksi Cek Sistem Jaminan Halal

2. Keputusan Pembelian Konsumen

a. Pengertian Keputusan Pembelian Konsumen

Proses pengambilan keputusan yang rumit sering melibatkan beberapa keputusan. Suatu keputusan decision melibatkan pilihan di antara dua atau lebih alternatif tindakan atau perilaku. Keputusan selalu mensyaratkan pilihan di antara beberapa perilaku yang berbeda. Robbins menyatakan bahwa pengambilan keputusan terjadi sebagai suatu reaksi terhadap suatu masalah problem. Masalah ini diartikan sebagai suatu penyimpangan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang diinginkan oleh individu sehingga menuntut individu tersebut ke arah tindakan alternatif dalam mengambil keputusan membeli. 27 Keputusan membeli juga harus dapat dibedakan dengan maksud membeli yang dilakukan oleh konsumen. Maksud membeli akan dipengaruhi oleh sikap orang lain dan faktor-faktor situasional yang tidak terduga yang mungkin dapat mengubah maksud membeli tersebut, baik itu jadi membeli atau tidak jadi membeli, sedangkan di dalam keputusan membeli yang dilakukan konsumen sudah jelas, dalam arti, konsumen sudah memutuskan untuk jadi membeli, menangguhkan atau bahkan batal membeli. 28 Akan tetapi inti dari pengambilan keputusan konsumen consumer decision making adalah proses penggabungan yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu diantaranya. Menurut Engel, Black Well and Miniard, seperti yang dikutip oleh William J. Stanton pengambilan keputusan untuk membeli sebagai suatu sikap yang merupakan hasil atau kelanjutan dari proses yang dilakukan individu ketika berhadapan pada situasi dan alternatif tertentu untuk berperilaku dalam memenuhi kebutuhannya, sedangkan perilaku 27 M. Taufiq Amir, Dinamika Pemasaran: Jelajahi dan Rasakan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, h. 47 28 Husein Umar, Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.245 keputusan membeli untuk kebanyakan produk hanyalah suatu kegiatan rutin dalam arti kebutuhan yang terangsang akan cukup terpuaskan melalui pembelian ulang suatu produkjasa yang sama. Namun apabila terjadi perubahan harga, produk dan pelayanannya, maka pembeli mungkin akan mengulangi kembali proses keputusan membeli dengan berbagai pertimbangan. 29 Dari berbagai pendapat dan pengertian tentang keputusan membeli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu sebagai suatu proses yang terdiri dari pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif pembelian dan hasil pembelian yang dilakukan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan atau keinginannya atas suatu produkjasa dengan melakukan pemilihan alternatif yang tersedia dan proses ini berlaku untuk pembelian ulangan atau kelanjutan. b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Keputusan Pembelian 30 1 Faktor Budaya Faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling dalam terhadap perilaku konsumen. Produsen harus memahami peran yang dimainkan oleh kultur dan kelas sosial pembeli. Sub 29 William J. Stanton, Fundamental of Marketing, Toronto Canada: mc Grov Hill Book, Company, 1999, h. 159 30 Philip Kottler dan Gary Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Jakarta: Intermedia, 1992, h.239 kultur terdiri dari kebangsaan, agama, ras dan daerah geografis. Kelas adalah pembagian masalah yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara hirarkis dan anggotanya menganut nilai-nilai, minat dan perilaku yang serupa. Untuk itulah produsen yang kreatif hendaknya selalu mencoba menempatkan pergeseran budaya dalam rangka menyesuaikan atau bahkan menghayalkan produkjasa baru yang diinginkan oleh para konsumen. 2 Faktor Sosial Faktor sosial terdiri dari adanya faktor kelompok kecil, keluarga, peran dan status sosial konsumen. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, baik itu kelompok keanggotaan yakni yang memiliki pengaruh langsung pada perilaku seseorang dan orang itu termasuk di dalamnya, kelompok referensiacuan yaitu yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung pada sikap atau perilaku seseorang, dan kelompok aspirasional yaitu kelompok yang ingin dimasuki oleh seseorang. 3 Faktor Pribadi Merupakan pengaruh dari karakteristik pribadi pembeli seperti: usia dan tahap daur hidup, kepribadian dan konsep dari pembeli. Kebutuhan seseorang akan barang dan jasa tentu saja akan berubah menyesuaikan dengan usia dan tahapan daur hidupnya. Masa-masa pergantian dari bayi, balita, remaja, dewasa dan tua akan menentukan perilaku pembelian seseorang akan suatu produkjasa. 4 Faktor Psikologis Faktor psikologis yang berpengaruh antara lain: motivasi, persepsi, pembelajaran, sikap dan integrasi. Motivasi Motivation merupakan suatu dorongan yang ada dalam diri manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal motivasi, terdapat urutan kepentingan yang dibutuhkan seseorang yaitu: kebutuhan psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Seseorang akan berusaha memuaskan kebutuhan yang paling penting, setelah itu baru kebutuhan berikutnya. Persepsi Perception adalah sebuah proses yang dengan proses itu orang-orang memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi informasi untuk membentuk gambaran dunia yang penuh arti. Persepsi merupakan hasil pemaknaan seseorang terhadap stimulus atau kejadian yang diterimanya berdasarkan informasi dan pengalamannya terhadap rangsangan tersebut. Pembelajaran Learning merupakan proses yang menjelaskan perubahan-perubahan dalam perilaku individual yang muncul dari pengalaman. Pembelajaran terjadi melalui dorongan, rangsangan, petunjuk, tanggapan dan penguatan kembali yang saling mempengaruhi. Pembelajan dilakukan seseorang setelah membeli produk tersebut dengan melihat apakah produk tersebut memiliki kegunaan dan akan dijadikan sebagai referensi. Sikap menggambarkan tentang suatu evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang secara relatif konsisten terhadap suatu objek atau gagasan, karena sikap yang dimiliki seseorang tentang sesuatu. Produsen hendaknya memperhatikan kepercayaan akan meningkatkan citra produkjasa dan orang-orang cenderung bertindak sesuai dengan kepercayaan mereka. Integrasi Integration, merupakan kesatuan antara sikap dan tindakan. Integrasi merupakan respon atas sikap yang diambil. Perasaan suka akan mendorong seseorang untuk membeli dan perasaan tidak suka akan membulatkan tekad seseorang untuk tidak membeli produk tersebut. 31

c. Tahap-tahap Proses Pembelian Konsumen

32 Ada lima tahap yang dilalui konsumen dalam proses pembelian, yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian. Tabel 2.2 Model lima tahap proses pembelian 31 Ibid. h. 240 32 Bilson Simamora, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001, h.94 Perilaku Pasca Membeli Keputusan Membeli Evaluasi Alternatif Pencarian Informasi Pengenalan Masalah 1 Pengenalan Masalah Proses dimulai pada saat pembeli menyadari adanya masalah atau kebutuhan pembelian. Pembeli merasakan adanya perbedaan antara keadaan yang nyata dan keadaan yang diinginkan. Kebutuhan ini disebabkan oleh adanya rangsangan internal maupun eksternal dari pengalaman sebelumnya. Orang yang telah belajar bagaimana mengatasi dorongan ini dan dimotivasi ke arah produk yang diketahuinya akan memuaskan dorongan ini. Konsumen akan membeli suatu produk sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Tanpa adanya pengenalan masalah yang muncul, konsumen tidak dapat menentukan produk yang akan dibeli. 33 2 Pencarian Informasi Seorang konsumen yang terdorong kebutuhannya mungkin mencari atau mungkin juga tidak mencari informasi lebih lanjut. Jika dorongan konsumen kuat dan produkjasa itu ada di dekatnya, mungkin konsumen akan langsung membelinya. Jika tidak, maka kebutuhan konsumen ini hanya akan menjadi ingatan saja. 33 Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising IMC, Second Edition. McGraw-Hill, Inc. Bab 5 Pencarian informasi digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu pencarian informasi karena perhatian yang meningkat, yang ditandai dengan pencarian informasi yang sedang-sedang saja dan pencarian informasi dari segala sumber. Proses pencarian informasi dapat berasal dari dalam memori internal dan dari bertanya kepada orang lain eksternal. 3 Evaluasi Alternatif Setelah konsumen mendapat berbagai macam informasi, konsumen akan mengevaluasi alternative apa yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Evaluasi alternatif merupakan tahapan di mana konsumen memperoleh informasi tentang suatu objek dan membuat penilaian akhir. Pada tahap ini konsumen menyempitkan pilihan hingga alternatif yang dipilih berdasarkan besarnya kesesuaian antara manfaat yang diinginkan dengan yang bisa diberikan oleh pilihan produk yang tersedia. Adapun proses evaluasi bisa dijelaskan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Pertama, diasumsikan bahwa konsumen melihat produkjasa sebagai sekumpulan atribut. b. Kedua, tingkat kepentingan atribut berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing. Konsumen memilki penekanan yang berbeda-beda dalam menilai atribut apa yang paling penting. Konsumen yang daya belinya terbatas, kemungkinan besar sekali memperhatikan atribut harga sebagai yang utama. c. Ketiga, konsumen mengembangkan sejumlah kepercayaan tentang letak produk. Sejumlah kepercayaan mengenai merek tertentu disebut “Brand Image”. Misalnya, sejumlah kepercayaan mengenai susu Dancow instant adalah rasa enak, harga terjangkau dan mutu terjamin. d. Keempat, tingkat kepuasan konsumen terhadap produkjasa akan beragam sesuai dengan perbedaan atribut. Misalnya, seseorang menginginkan besarnya gambar dari televisi. Maka, kepuasan tertinggi akan diperoleh dari televisi paling besar dan kepuasan terendah dari televisi paling kecil. Dengan kata lain, semakin besar ukuran televisi, maka kepuasannya juga semakin besar. e. Kelima, konsumen akan sampai pada sikap terhadap merek yang berbeda melalui prosedur evaluasi. 4 Keputusan Pembelian Setelah konsumen mengevaluasi beberapa alternatif strategis yang ada, konsumen akan membuat keputusan pembelian. Keputusan pembelian merupakan tahapan di mana konsumen telah memiliki pilihan dan siap melakukan transaksi pembelian atau pertukaran antara uang atau janji untuk membayar dengan hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang dan jasa. Terkadang waktu yang dibutuhkan antara membuat keputusan pembelian dengan menciptakan pembelian yang aktual tidak sama dikarenakan adanya hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan. Setelah keputusan diambil maka pembeli akan menjumpai serangkaian keputusan menyangkut jenis produkjasa, merek, penjual, kualitas, waktu pembelian dan cara pembayaran. 5 Perilaku Pasca Pembelian Perilaku pasca pembelian merupakan proses evaluasi yang dilakukan konsumen yang tidak hanya berakhir pada tahap pembuatan keputusan pembelian. Pada tahapan ini konsumen akan mengalami dua kemungkinan yaitu kepuasan dan ketidak-puasan terhadap pilihan yang diambilnya. Setelah membeli suatu produk, konsumen akan melakukan evaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini, terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai dengan harapannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan akan produk tersebut di masa depan. Sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas jika produk tersebut tidak sesuai dengan harapannya dan hal ini akan menurunkan permintaan konsumen di masa depan. Semua tahap yang ada dalam proses pembelian sampai dengan tahap kelima yang bersifat operatif. Perasaan dan perilaku sesudah pembelian dapat mempengaruhi penjualan ulang dan juga mempengaruhi ucapan-ucapan pembeli kepada pihak lain tentang produk yang dibelinya. Hal ini karena ada kemungkinan bahwa pembeli mengalami ketidakpuasan tersebut. 34

d. Model Perilaku Pembelian

35 Tabel 2.3 Perilaku Pembelian Konsumen 34 Ibid., h.95 35 Ibid., h.99 Stimuli Stimuli Pemasaran Lain Produk Ekonomi Harga Teknologi Tempat Tempat Promosi Promosi Karakteristik Proses Pembeli Keputusan Pembelian Budaya Pengenalan Masalah Sosial Pribadi Pencarian Informasi Psikologis Evaluasi Alternatif Keputusan Pembelian Perilaku Pasca Pembelian Keputusan Pembelian Pilihan Produk Pilihan Merek Pilihan Tempat Pilihan Waktu Pilihan Jumlah

e. Peran individu dalam keputusan pembelian

36 Kita dapat membedakan lima peran yang dimainkan orang dalam keputusan pembelian yang sesuai dengan pendapat yang diutamakan oleh Kottler: a. Pencetus; seseorang yang pertama kali mengusulkan gagasan untuk membeli suatu produkjasa. b. Pemberi pengarah; seseorang yang pandangan atau sarannya mempengaruhi keputusan. c. Pengambilan keputusan; seseorang yang mengambil keputusan untuk setiap komponen apakah membeli, tidak membeli, bagaimana membeli dan di mana akan membeli. d. Pembeli; orang yang melakukan pembelian yang sesungguhnya. e. Pemakai; seseorang yang mengkonsumsi atau menggunakan produkjasa yang bersangkutan.

3. Hubungan antara Labelisai Halal dengan Keputusan Pembelian

Konsumen. Komunitas Muslim di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola konsumsi khusus mereka dalam 36 Ibid., h.243 mengkonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syariat. 37 Dalam ajaran syariat, tidak diperkenankan bagi kaum Muslim untuk mengkonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syariat tersebut. 38 Ajaran tegas syariat Islam untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan membuat konsumen Muslim bukanlah konsumen yang permissive dalam pola konsumsinya. Mereka dibatasi oleh ke-Halalan dan ke-Haraman yang dimuat dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menjadi panduan utama bagi mereka. 39 Pemahaman yang semakin baik tentang agama semakin membuat konsumen Muslim menjadi semakin selektif dalam pemilihan produk yang dikonsumsi. 40 Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan syariat yang menjadi tolok ukur untuk konsumen Muslim adalah produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat Muslim untuk mengkonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses 37 Rustam Efendi “ Sertifikasi Halal Juga Untungkan Produsen”, artikel diakses pada tanggal 17 februari 2010 dari http:gagasanhukum.wordpress.com 38 Departemen Agama RI. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI Jakarta, 2003. h. 2 39 Ibid.h. 8 40 Anton Apriyantono Nurbowo. “Aku Ingin Yang Halal” Artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari www.unisba.ac.id pemilihan produk. Dengan begitu akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tertsebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Khusus di Indonesia, konsumen Muslim dilindungi oleh lembaga yang secara khusus bertugas untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen Muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LPPOM- MUI. Lembaga ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya. 41 Adanya LPPOM MUI dapat memudahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui kehalalan suatu produk. Dengan memberikan sertifikat halal pada produk-produk yang telah diaudit keabsahan halal-nya sehingga produk- produk tersebut bisa mencantumkan label halal dan hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim. 42 Dengan adanya label halal ini konsumen Muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat, pilihan produk makanan yang mereka pilih adalah makanan halal yang diwakili dengan label halal. 41 Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari http:www.esqmagazine.com 42 Ibid. Namun, kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM MUI memberikan sertifikat halal kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara suka rela mendaftarkan produknya untuk diaudit LPPOM MUI. Dengan begitu produk yang beredar di kalangan konsumen Muslim bukanlah produk-produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk- produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada kemasan produk. 43 Dengan demikian konsumen Muslim akan dihadapkan pada produk- produk halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya sehingga diragukan kehalalan produk tersebut. Maka keputusan untuk membeli produk-produk yang berlabel halal atau tidak akan ada sepenuhnya di tangan konsumen sendiri.

B. Kerangka Konseptual

Produk Konsumen Muslim Halal Tidak Membeli Haram 43 Ahmad Haris. “Halal di kemasan Belum Tentu Halal Dimakan”. artikel ini diakses pada tanggal 17 februari 2010 dari http:www.harisahmad.com Berlabel Halal Cenderung Membeli Tidak Berlabel Halal MembeliTidak

C. Hipotesis