BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang
efektif dan efisien pada satuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh semua komponen yang berperan dalam mengantarkan peserta
didik sehingga tercapainya tujuan yang diharapkan. Tetapi dalam kenyataannya tujuan dari pendidikan itu sendiri belum sepenuhnya tercapai, karena masih adanya kasus
penyimpangan perilaku seperti kekerasan yang dilakukan di kalangan remaja yang semuanya memerlukan perhatian dari berbagai pihak.
Fenomena yang sering terjadi di sekolah ialah bullying. Bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan
istilah – istilah seperti “penggencetan”, “pemalakan”, “pengucilan”, “intimidasi” dan lain-lain. Istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup berbagai bentuk
penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti orang lain sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya Semai Jiwa Amini, 2006. Bullying Rigby,
dalam Astuti 2004 adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh
1
seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.
Maraknya fenomena bullying di sekolah – sekolah menimbulkan keinginan pada para siswa untuk melakukukan tindakan bullying. Keinginan mereka dikarenakan
adanya tindakan bullying tersebut terjadi di lingkungan terdekat mereka, yakni sekolah, pergaulan, dan keluarga.
Teror yang berupa kekerasan fisik atau mental, pengucilan, intimidasi, perpeloncoan, yang terjadi pada kasus-kasus di atas sebenarnya adalah contoh klasik
dari apa yang biasanya disebut bullying. Perilaku ini sering disebut juga sebagai peer victimization dan hazing, yaitu usaha untuk menyakiti secara psikologis ataupun fisik
terhadap seseorangsekelompok orang yang lebih lemah, oleh seseorangsekelompok orang yang lebih kuat Ma, Stein Mah, 2001: Olweus, 1993 dalam Djuwita, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Whitney dan Smith pada tahun 1993 menyatakan bahwa bullying di sekolah telah berlangsung pada tingkat yang meresahkan, mereka
menyebarkan kuisioner kepada 2600 siswa dari 17 sekolah dasar dan 4100 siswa dari 7 sekolah menengah pertama di Sheffield. Didapat data 27 anak sekolah dasar ditindas
kadang-kadang; 10 ditindas seminggu sekali atau beberapa kali. Dan di sekolah menengah pertama, siswa yang ditindas kadang-kadang 10, dan 4 ditindas
seminggu sekali atau beberapa kali. Sedangkan penelitian yang dilakukan kepada 2308 siswa dari 19 sekolah, menunjukkan penurunan jumlah siswa usia 10-14 tahun yang
ditindas. Ini dikarenakan di sekolah tersebut telah disosialisasikan anti-bullying. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jennifer 2002 yang memperlihatkan
bahwa ”bullying” merupakan masalah internasional yang terjadi hampir di semua
sekolah. Tapi kesamaan permasalahan di tiap – tiap negara dan tidak ada batasan – batasan internasional, status sosial ekonomi ataupun etnis. Berdasarkan hasil penelitian
di Norwegia, 15 murid atau satu diantara 7 siswa sekolah dasar SD dan sekolah menengah pertama SMP terlibat dalam aksi “bullying”. Bahkan di Amerika serikat,
angkanya lebih tinggi, 30 murid SD dan SMP. Hasil survey di Australia menunjukkan bahwa 20 murid mengalami “bullying” setidaknya satu kali dalam seminggu. Kasus
paling tinggi terjadi pada anak remaja kelas 8 dan 9 dan dilakukan lebih sering oleh anak laki-laki. Penelitian lain menyebutkan bahwa di Australia, anak yang menjadi
korban tindak penindasan 3 kali lebih tinggi mempunyai resiko depresi. Di Indonesia penelitian tentang fenomena bullying, dilakukan oleh Amy Huneck
dalam Semai Jiwa Amini, 2006 mengungkapkan bahwa 10-60 siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun
dorongan, sedikitnya sekali dalam seminggu. Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada tahun 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di
Indonesia yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9 di tingkat sekolah menengah atas SMU dan 66,1 di tingkat sekolah
lanjutan pertama SMP. Kekerasan yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar 41,2 untuk tingkat SMP dan 43,7 untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi
kekerasan psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua ditempati kekerasan verbal mengejek dan terakhir kekerasan fisik memukul. Gambaran kekerasan di SMP di
tiga kota besar yaitu: Yogya : 77,5 mengakui ada kekerasan; 22,5 mengakui tidak ada kekerasan, Surabaya : 59,8 ada kekerasan, Jakarta : 61,1 ada kekerasan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk 2005, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu
diperlakukan sama menurut korban laki-laki, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan
menurut korban perempuan, iri hati menurut korban perempuan. Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang
menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengalaman yang terjadi pada diri siswa
sehingga membentuk persepsi siswa untuk melakukan bullying. Persepsi sendiri diartikan sebagai proses pemberian arti terhadap obyek pengamatan. Persepsi
Matlin, 1989, Solso, 1988 dalam Suharnan, 2005 merupakan suatu proses penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki yang disimpan dalam ingatan untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus rangsangan yang diterima oleh alat indera
seperti mata, telinga, dan hidung. Sedangkan menurut Walgito 2002 persepsi merupakan proses bagaimana individu dapat mengenali diri sendiri maupun keadaan
sekitarnya, melalui stimulus yang diterimanya, dan individu akan mengalami persepsi, prosesnya didahului oleh penginderaan yaitu proses yang berwujud diterimanya
stimulus oleh individu melalui alat reseptornya, kemudian stimulus diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan otak merupakan proses psikologisnya sehingga individu
bisa mempersepsi stimulus yang diterimanya. Sensasi – sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal – hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu
berupa harapan – harapan, nilai – nilai, sikap, dan ingatan. Para siswa yang mengalami
tindakan bullying, mereka akan mempersepsikan bullying itu menurut apa yang mereka rasakan dan mereka terima selama ini di lingkungan berdasarkan pengalaman mereka.
Namun ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, yaitu bahwa bullying bisa ’dibenarkan’ meskipun mereka merasakan dampak negatifnya
sebagai korban. Mengapa seorang korban bisa kemudian menerima, bahkan menyetujui perspektif pelaku yang pernah merugikannya? Salah satu alasannya dapat diurai dari
hasil survei: sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan
menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin
mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya, korban bisa semakin menyerap ’falsafah’ bullying yang didapat dari seniornya.
www.sampoernafoundation.comkekerasan siswa ancaman bangsa
Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan persepsi bullying antara siswa yang akan melakukan bullying karena balas dendam karena pernah menjadi korban dan
siswa yang lebih suka merahasiakan bullying yang mereka derita karena rasa takut. Siswa yang melakukan bullying karena balas dendam biasanya mempunyai
keinginan yang kuat untuk menampilkan perilaku itu. Keinginan dalam diri seseorang untuk menampilkan perilaku disebut dengan intensi intention.
Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula
sebaliknya Fisbein Ajzen,1975.
Sehingga dapat diartikan intensi melakukan bullying adalah keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seorang untuk menampilkan perilaku
melakukan bullying. Semakin besar intensi seseorang untuk melakukan bullying, maka semakin besar pula seseorang untuk menampilkan perilaku bullying
Untuk memprediksi dan memahami perilaku bullying, terdapat suatu pendekatan yang cukup banyak digunakan, yakni Theory of Planned Behavior teori perilaku
terencana yang kemudian disebut dengan TPB Ajzen, 1988. Menurut TPB, perilaku dapat diprediksi melalui niat behavioral intention. Intensi untuk melakukan suatu
tingkah laku menurut Fishbein dan Ajzen 1975 merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya suatu tingkah laku. Intensi atau niat untuk melakukan perilaku tersebut
dipengaruhi oleh tiga determinan yakni: sikap terhadap perilaku attitudes toward behavior, norma – norma subyektif terhadap perilaku subjective norms regarding the
action, dan persepsi kontrol perilaku perceived behavioral control. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu:
a attitude toward behavior keyakinan perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan norma subyektif. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek
pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat – akibat atau hasil – hasil tertentu, dan merupakan
aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap. Dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. b Subjective norm keyakinan normatif,
yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. c Perceived behavior kontrol PBC, yang merupakan
dasar bagi pembentukan perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi
merupakan persepi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit.
Dari tiga determinan intensi diatas, berdasarkan sebuah penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Armitage dan Conner terhadap 185 penelitian menyimpulkan bahwa
persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi intensi perilaku. Sedangkan norma subjektif menjadi prediktor paling lemah.
Sumber dalam buku Ajzen 1988 menyebutkan bahwa telah banyak dilakukan penelitian mengenai intensi, dan hasilnya menunjukkan korelasi yang tinggi dan
hubungan yang sangat dekat antara intensi dan perilaku yang diinginkan individu volitional control. Penelitian yang dilakukan, baik mengenai perilaku yang sederhana
sampai perilaku pribadi atau sosial membuktikan bahwa intensi dapat meramalkan berbagai kecenderungan perilaku yang muncul. Penelitian-penelitian yang telah
dilakukan antara lain adalah intensi bekerjasama pada tahanan dalam sebuah permainan yang membuat dilemma dengan hasil korelasi 0,82 Ajzen, 1971, intensi melakukan
aborsi dengan korelasi 0,96 Smetana and Adler, 1980, intensi menggunakan pil pengontrol kehamilan dengan korelasi 0,85 Ajzen dan Fishbein, 1980, intensi
merokok marijuana dengan korelasi 0,72 Ajzen, 1982. Semua korelasi dalam penelitian ini dalam signifikan p 0,05 Ajzen, 1988.
Penelitian yang dilakukan oleh Nadia Paramadina, 2008 dalam skripsinya yang berjudul ”Pengaruh Tiga Determinan Intensi Terhadap Intensi Untuk Melakukan
Bullying” Pada Siswa SMP Pendekatan Teori Planned Behavior menyatakan bahwa intensi pada siswa SMP untuk melakukan bullying dipengaruhi oleh attitude toward
behavior. Aspek subjective norm tidak terlalu berpengaruh dikarenakan motivasi
internal lebih dominan dibandingkan motivasi eksternal. Perceived behavior control juga tidak berhubungan secara signifikan,karena perceived behavior control berkaitan
dengan self efficacy atau keyakinan seseorang terhadap diri mereka. Metode pengumpulan data dalam penelitiannya, menggunakan kuesioner, yang disebarkan pada
siswa kelas VIII SMP X sebanyak 100 orang. Dari hasil penelitian attitude toward behavior merupakan variabel yang sangat signifikan berpengaruh terhadap intensi siswa
SMP untuk melakukan bullying. Fenomena saat ini, bullying di Indonesia banyak terjadi pada siswa SMU. Mereka
yang berusia antara 15 – 18 tahun, yaitu pada masa remaja Desmita, 2005. Dikarenakan pada usia itu remaja masih dalam proses menemukan jati diri, sehingga
pengalaman-pengalaman yang mereka dapat sehari-hari merupakan sesuatu yang mereka simpan sebagai sebuah stimulus dan menjadi sebuah persepsi yang dapat
dimunculkan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin meneliti ”Hubungan persepsi
tentang bullying dengan intensi melakukan bullying siswa SMA Negeri 82 Jakarta”.
1.2 Pembatasan Masalah