1.5 Manfaat
Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah: a. Manfaat Teoritis:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi psikologi pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran
mengenai hubungan persepsi bullying dengan intensi melakukan bullying dan menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya
kepada para orang tua, konselor sekolah dan guru dalam upaya membimbing siswa agar tidak terjadi tindakan bullying di sekolah – sekolah dan merubah persepsinya
tentang intensi melakukan tindakan bullying.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA American Psychology Association – style dan pedoman penyusunan dan penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:
BAB 1: Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan. BAB 2: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal – hal mengenai teori –
teori, kerangka berpikir dan hipotesis.
BAB 3: Merupakan metodologi penelitian yang mencakup
2 masalah utama, yaitu a pengumpulan data, yang mencakup persoalan menetapkan dan
mendefinisikan variabel penelitian, populasi, sampel, instrumen dan
prosedur pengumpulan data, b analisis data, yang meliputi metode statistik analisis data kuantitatif di mana ada variabel yang dijadikan IV dan DV.
Bab 4: Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang gambaran umum
responden penelitian, pengujian instrument penelitian, deskripsi statistik, uji hipotesis.
Bab 5 : Merupakan kesimpulan, diskusi dan saran.
12
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan menjelaskan tentang deskripsi teoritis tentang intensi, persepsi, bullying, persepsi bullying, intensi bullying, kerangka berfikir, serta hipotesis.
2.1 Intensi
2.1.1 Pengertian Intensi
Dalam Attitude and Behavior 1988 Ajzen menggambarkan definisi intensi sebagai berikut:
“intention are assumed to capture the motivational factors that have a impact on a behavior; they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an
effort they are planning to exert, in order to perform the behavior.”
Pengertian ini menjelaskan bahwa intensi adalah faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku sebagai indikasi seberapa kuat keinginan individu untuk mencoba dan seberapa
besar usaha yang direncanakan atau dilakukan untuk menampilkan perilaku tertentu. Intensi menurut Fishbein dan Ajzein 1975, diartikan sebagai sebuah motivasi
yang berdampak timbulnya perilaku. Intensi mengindikasikan bahwa seseorang dengan sengaja mencoba dan merencanakan untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Intensi
ini belum menjadi sebuah perilaku sampai pada waktu dan tempat yang sesuai untuk merubah intensi tersebut menjadi perilaku.
Intensi intention menurut Chaplin 2004 didefinisikan sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan; ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis, yang
mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek. Intensi merupakan sebuah proses mental yang disadari dan timbul atas kemauan manusia itu sendiri, yang tercakup dalam
kognisi merasa dan menerima, konasi usaha, kemauan, hasrat, keinginan, dan perasaan mencintai, membenci.
Menurut Ajzen 1991, intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku; intensi adalah indikasi seberapa kuat keinginan seseorang untuk
mencoba, atau berapa banyak usaha yang direncanakan untuk menampilkan perilaku. Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
intensi merupakan kemungkinan seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu dengan faktor motivasional yang mempengaruhi bagaimana usaha yang digunakan untuk
menampilkan perilaku tersebut. Perilaku manusia adalah hasil dari pemikiran yang dikontrol atas kemauan manusia
itu sendiri volitional control. Dengan kata lain, manusia dapat dengan mudah memunculkan perilaku tertentu jika ia memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
mewujudkan perilaku itu. Demikian juga sebaliknya, manusia tidak akan memunculkan perilaku tertentu jika ia memutuskan untuk tidak mewujudkan suatu perilaku. Contohnya
seseorang bisa memberikan suara dukungan terhadap tokoh politiknya, atau pergi beribadah jika ia berkehendak mewujudkan semua kegiatan itu. Tetapi, jika ia tidak
berkehendak untuk mewujudkannya, maka perilaku-perilaku tersebut tidak akan muncul Ajzen, 1988.
Hal terpenting dari wujudnya perilaku yang disengaja willful behavior adalah timbulnya perilaku tersebut diakibatkan oleh dorongan individual. Proses yang terjadi di
dalam diri manusia, sesuai dengan contoh di atas, disebutkan bahwa manusia mempunyai intention intensi yang kemudian akan diwujudkan dalam bentuk perilaku, seperti yang
telah disebutkan di atas bahwa perilaku itu dikontrol oleh keinginan individu volitional control, maka tindakan yang dihasilkan adalah tindakan atas keinginan diri sendiri.
Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan paling dekat dengan tindakan manusia adalah intensi untuk melakukan tindakan itu. Dengan kata lain, ketika seseorang
menampilkan perilaku atas keinginannya itu sendiri berarti seseorang itu melakukan perilaku yang telah diniatkan untuk dilakukan intend to do. Maka tingkah laku yang
diniatkan untuk dilakukan harus sesuai dengan keinginan inividu itu sendiri Ajzen, 1988 Intensi memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku yang akan diukur. Meskipun
demikian, intensi dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Semakin lama jarak waktu, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya peristiwa – peristiwa yang tidak terduga
yang akan menyebabkan perubahan intensi Ajzen, 1988. Sumber dalam buku Ajzen 1988 menyebutkan bahwa telah banyak dilakukan
penelitian mengenai intensi, dan hasilnya menunjukkan korelasi yang tinggi dan hubungan yang sangat dekat antara intensi dan perilaku yang diinginkan individu volitional
control. Penelitian yang dilakukan, baik mengenai perilaku yang sederhana sampai perilaku pribadi atau sosial membuktikan bahwa intensi dapat meramalkan berbagai
kecenderungan perilaku yang muncul. Penelitian – penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah intensi bekerjasama pada tahanan dalam sebuah permainan yang membuat
dilemma dengan hasil korelasi 0,82 Ajzen, 1971, intensi melakukan aborsi dengan korelasi 0,96 Smetana and Adler, 1980, intensi menggunakan pil pengontrol kehamilan
dengan korelasi 0,85 Ajzen dan Fishbein, 1980, intensi merokok marijuana dengan korelasi 0,72 Ajzen, 1982. Semua korelasi dalam penelitian ini dalam signifikan p 0,05
Ajzen, 1988. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran intensi specificity
of intentions. Pengukuran tersebut harus sesuai dengan sasaran pengukuran yang dituju target, tingkah laku behavior yang dilibatkan, situasi situation tempat tindakan itu
terjadi, dan waktu time yang tepat untuk mewujudkan tingkah laku Fishbein Ajzein, 1975. Keempat elemen ini selalu terlibat dalam setiap pengukuran tingkah laku, baik itu
secara verbal ataupun nonverbal. Berbeda dengan target yang tidak terikat pada tempat dan waktu, perilaku selalu
terjadi dalam kaitan tempat dan situasi konteks serta waktu tertentu. Menurut Fishbein dan Ajzen, pengukuran sikap yang terbaik agar dapat memprakirakan perilaku adalah
dengan memasukkan sekaligus keempat elemen intensi tersebut diatas, yaitu target, perilaku, konteks dan waktu.
Untuk mengukur sikap terhadap niat intensi menurut Fishbein dan Ajzen sama dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan antara niat dan
perilaku adalah yang paling dekat. Setiap perilaku yang bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat. Dan sebaliknya, perilaku itu jika berulang
dalam konteks yang sama pada waktu yang berbeda – beda akan menunjukkan sikap terhadap target.
Pengukuran intensi yang dihasilkan sebelum perubahan perilaku terjadi, tidak dapat diharapkan bahwa pengukuran itu dapat meramalkan perilaku yang tepat. Dengan
kata lain, ketepatan dari pengukuran intensi biasanya tidak sesuai apabila telah terjadi campur tangan waktu yang terlalu lama antara pengukuran intensi yang dihasilkan dengan
perilaku yang teramati. Jadi, intensi adalah motivasi yang terkuat yang dapat mendukung sikap positif
seseorang terhadap perilaku tertentu. Intensi merupakan variabel paling dekat dengan munculnya perilaku. Perilaku yang terwujud atas dasar intensi ini disebut dengan perilaku
yang diniatkan. Perilaku yang telah diniatkan ini akan terwujud pada waktu dan tempat yang tepat untuk mewujudkan perilaku tersebut.
2.1.2 Perkembangan Teori Intensi
Dalam perkembangannya, terdapat dua teori intensi, yaitu teori Reasoned Action dan teori Planned Behavior, yaitu:
1. Teori Reasoned Action Dalam teori reasoned action, Fishbein dan Ajzen 1975 menyatakan bahwa
tingkah laku ditampilkan dengan alasan tertentu, dengan mempertimbangkan akibat dari tingkah laku tersebut serta untuk mencapai hasil akhir dan menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan. Dasar dari theory reasoned action adalah adanya anggapan bahwa pada umumnya
manusia selalu bertindak dengan cara yang masuk akal. Manusia bertindak dengan memperhatikan informasi yang tersedia, serta secara mutlak implicity dan tegas
explicity mempertimbangkan akibat dan maksud dari tindakan yang direncanakan. Sesuai dengan fokusnya pada perilaku volitional, dan batas-batas teori di atas,
disebutkan bahwa intensi seseorang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perilaku merupakan faktor paling dekat dari perilaku yang muncul. Di samping
kemungkinan adanya peristiwa – peristiwa tak terduga, manusia selalu mengharapkan dapat berperilaku sesuai dengan intensi mereka Ajzen, 1988.
Berdasarkan teori reasoned action, intensi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari kepribadian orang yang yang bersangkutan personal factor
dan faktor yang berasal dari pengaruh-pengaruh lingkungan sosialnya.
2. Teori Planned Behavior TPB Intensi individu untuk berperilaku sesuai dengan minatnya merupakan pusat dari
teori planned behavior. Perbedaan yang terdapat diantara teori ini dengan teori yang sebelumnya ialah aspek tambahan selain faktor attitude toward behavior dan
subjective norm, yaitu aspek perceived behavior control. Aspek ini merupakan gambaran persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya serta kemampuan dirinya
dalam mengatasi rintangan yang akan dihadapi dalam perwujudan perilaku yang diinginkan. Ketiga aspek yang mendasari teori planned behavior ini saling
berhubungan, karena apabila aspek attitude toward behavior dan subjective norm cenderung besar dan aspek perceived behavior control cenderung kuat, maka intensi
individu dalam mewujudkan tingkah laku tertentu akan semakin tinggi pula. Secara umum, gambaran pembentukan intensi perilaku yang digambarkan dalam
Teori Planned Behavior adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Proses Terjadinya Intensi
1. Faktor Internal Faktor-faktor ini antara lain adalah informasi, keahlian, dan kemampuan.
Seseorang yang berniat untuk mewujudkan suatu perilaku akan tergantung dari faktor – faktor tersebut.
Selain ketiga faktor diatas, ada juga faktor internal lainnya, yaitu emosi dan kompulsi. Keahlian, kemampuan, dan informasi mungkin hanya bermasalah pada
kontrol perilaku pada saat ini saja, karena masalah – masalah ini dapat diatasi. Kesimpulannya, karena manusia bertindak dibalik volitional acts, maka berbagai
faktor internal diatas mungkin akan memperngaruhi kesuksesan terwujudnya suatu perilaku yang diniatkan Ajzen, 1988.
2. Faktor Eksternal Faktor ini ditentukan oleh tingkat kesulitan, keadaan, atau fasilitas yang
mendukung terwujudnya perilaku. Kesempatan juga menjadi bagian dari faktor eksternal. Kesempatan disini maksudnya adalah kejadian-kejadian tak terduga dan
mungkin tidak disadari yang ternyata ikut mendukung atau menghambat terlaksananya suatu perilaku. Misalnya intensi seseorang untuk menyaksikan
sebuah pertandingan olahraga tidak akan dapat terwujud apabila tiketnya sudah habis terjual pada hari itu atau orang tersebut mengalami kecelakaan saat
menempuh perjalanan ke tempat pertandingan berlangsung Ajzen, 1988. Teori ini didasari oleh tiga faktor utama yang saling berhubungan, yaitu
attitude toward behavior, subjective norm, dan yang ketiga adalah tingkat perceived behavior control. Faktor yang ketiga ini merupakan persepsi atau
perasaan seseorang mengenai kemudahan atau kesulitan, dan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan halangan yang akan dihadapi demi terwujudnya perilaku
yang diinginkan. Semakin besar dukungan pada faktor attitude toward behavior dan subjective norm, dan semakin kuatnya perceived behavior control, intensi
seseorang untuk mewujudkan perilaku tertentu akan semakin tinggi.
2.1.3 Aspek-aspek Intensi
Intensi memiliki 3 aspek Ajzen, 1975 yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control¸ berikut penjelasannya:
1. Attitude Toward Behavior
Menurut Fishbein dan Ajzen 1988, attitude toward behavior adalah keyakinan terhadap tingkah laku behavioral beliefs dan evaluasi hasil
outcome evaluation. Behavioral beliefs ditentukan oleh keyakinan yang paling menonjol salient beliefs pada diri individu terhadap tingkah laku tertentu.
Setiap salient beliefs menghubungkan tingkah laku dengan hasil tertentu atau dengan atribut tertentu sehubungan dengan ditampilkannya tingkah laku
tersebut.
2. Subjective Norm
Subjective norm merupakan aspek intensi yang kedua. Aspek ini merupakan persepsi individu terhadap tuntutan dari lingkungan sosialnya untuk
menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku tertentu Fishbein Ajzen, 1975.
Fishbein Ajzen 1975 mengemukakan bahwa norma subjektif adalah : “the subjective norm is the person’s perception that most people who are
important to him think he should or should not perform the behavior in question.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa norma subyektif adalah persepsi individu mengenai harapan orang-orang yang penting bagi dirinya significant
others baik perorangan ataupun kelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak.
Subjective Norm ditentukan oleh keyakinan beliefs, namun keyakinan disini berbeda dengan keyakinan pada attitude toward behavior. Keyakinan
dalam subjective norm adalah keyakinan seseorang akan individu atau kelompok dekatnya terhadap persetujuan atau tidak persetujuannya
diwujudkannya suatu perilaku. Individu-individu lain atau kelompok yang sangat mempengaruhi ini
disebut referents. Referents ini antara lain adalah orang tua, suami atau isteri, teman dekat, rekan kerja, dan orang-orang yang ahli dalam perilaku yang
dituju, seperti psikolog, psikiater, atau konselor. Keyakinan sebagai pokok yang mendasari subjective norm ini dinamakan keyakinan norma normative
beliefs. Secara umum, individu yang yakin kebanyakan referents memotivasinya
untuk mewujudkan perilaku tertentu, akan merasakan motivasi itu sebagai tekanan social dan individu cenderung akan melakukan perilaku tersebut.
Sebaliknya, individu yang percaya bahwa kebanyakan referents memotivasi mereka untuk tidak menyetujuinya, maka perilaku tersebut tidak akan
dilakukan. Norma subjektif merupakan fungsi dari beberapa keyakinan yang disebut
sebagai keyakinan terhadap norma-norma yang berlaku normative beliefs. Keyakinan-keyakinan ini merupakan keyakinan individu terhadap individu atau
kelompok lain, bahwa mereka akan setuju atau tidak setuju apabila ia
melakukan tingkah laku tertentu. Individu atau kelompok itu disebut dengan referents acuan.
Kelompok atau individu tersebut dijadikan sebagai acuan bagi individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku tertentu. Referents
antara lain orang tua, pasangan hidup, teman dekat, rekan kerja, dan orang- orang yang ahli dalam tingkah laku yang dituju, seperti konselor, psikiater,
ataupun psikolog. Referents disebut juga sebagai significant others orang yang berarti bagi individu.
Determinan Norma Subjektif
Menurut Fishbein dan Ajzen 1975, norma subjektif secara umum ditentukan oleh dua determinan berikut:
1. Persepsi atau keyakinan mengenai harapan individu atau kelompok tertentu terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau
tidak normative beliefs. 2.
Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut motivation to comply.
Normative beliefs dapat dibentuk sebagai hasil dari sebuah proses penyimpulan yakni jika seseorang yakin bahwa orang-orang yang penting bagi
dirinya akan merasa senang jika dia menampilkan perilaku tertentu maka seseorang itu akan menyimpulkan bahwa kelompok yang menjadi acuannya
berkeinginan agar dirinya menampilkan perilaku tersebut.
3. Perceived Behavior Control
Perceived Behavioral Control PBC juga merupakan salah satu determinan independen dalam pembentukan intensi perilaku.
Ajzen 1988 memberikan definisi PBC sebagai berikut: “this factor refers to the perceived easy or difficulty of performing the behavior
and it is assumed to reflect past experience as well as anticipated impediments and obstacles.”
Faktor ini memberikan gambaran mengenai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan
diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.
Teori mengenai perceived behavior control memiliki motivasi tersendiri terhadap intensi. Orang yang percaya bahwa mereka tidak memiliki keahlian
ataupun kesempatan untuk mewujudkan suatu perilaku, tidak mungkin dapat mewujudkan perilaku yang diniatkannya itu, meskipun attitude toward
behavior dan subjective norm mendukung terwujudnya perilaku. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perceived behavior control
memang dapat mempengaruhi tingkah laku secara tidak langsung, yaitu melalui intensi, dan juga dapat digunakan untuk memprediksikan tingkah laku
secara langsung karena perceived behavior control dapat dilihat sebagai pengganti untuk mengukur kontrol yang sebenarnya.
Perceived Behavoral Control PBC juga diasumsikan sebagai fungsi yang terkait dengan beliefs keyakinan-keyakinan. Keyakinan dalam PBC adalah
mengenai kehadiran atau ketidakhadiran faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi munculnya perilaku tersebut, yang kemudian disebut dengan
control beliefs. Keyakinan mengenai sumber dan kesempatan dipandang sebagai dasar terbentuknya PBC Ajzen, 1988. Kedua faktor ini, termasuk
faktor internal informasi, skill, kemampuan, emosi dan tekanan dan juga faktor eksternal yakni kesempatan, ketergantungan terhadap faktor lain.
Secara keseluruhan, control belief menunjukkan persepsi bahwa seseorang memiliki atau tidak memiliki kapasitas untuk mengamalkan perilaku. Jadi,
control beliefs ini menjadi dasar persepsi seseorang terhadap kontrol perilaku Ajzen, 2005.
2.1.4 Hubungan antara Tiga Aspek Intensi dengan Intensi
Intensi memiliki tiga aspek utama yang saling berhubungan dengan yang lainnya, yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior
control. Attitude toward behavior ialah penilaian positif ataupun negatif individu
terhadap suatu objek sikap. Aspek ini merupakan hasil dari keyakinan individu behavioral belief dan penilaian hasil akhir outcome evaluation terhadap suatu
objek sikap Ajzen, 1975. Aspek selanjutnya adalah subjective norm. Aspek ini merupakan keyakinan
individu mengenai norma-norma yang berlaku normative belief atau apa yang
orang lain harapkan untuk ia lakukan dan seberapa besar motivasi dirinya untuk memenuhi harapan tersebut. Individu yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian
orang-orang disekitarnya memotivasi dirinya untuk melakukan sesuatu, ia akan merasakan motivasi itu sebagai suatu tekanan sehingga ia cenderung untuk
melakukan suatu tingkah laku yang mendukung tekanan tersebut. Aspek yang terakhir ialah perceived behavior control. Aspek ini terbentuk
dari keyakinan individu mengenai kemampuan yang ia miliki untuk melakukan suatu tingkah laku serta persepsi dirinya dalam melalui hambatan-hambatan yang
ia alami dalam menampilkan tingkah laku. Tingkah laku yang ditampilkan bukan hanya ditentukan oleh motivasi untuk melakukan namun juga ditentukan oleh
kontrol diri terhadap suatu tingkah laku. Hal ini dapat membawa untuk memprediksikan pencapaian tujuan secara terpisah dari intensi untuk menampilkan
suatu tingkah laku. Dari ketiga aspek yang mendasari intensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan aspek yang sangat erat hubungannya
dengan munculnya suatu tingkah laku. Hal ini disebabkan karena bahwa tingkah laku individu seringkali didahului oleh adanya niat atau intensi untuk berperilaku.
Ajzen, 1975
2.2 Persepsi
2.2.1 Pengertian Persepsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1988 persepsi adalah tanggapan penerimaan langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui panca indera. Sedangkan menurut Kamus Psikologi Chaplin, 2005, persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian
obyektif dengan bantuan indera. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu
proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya, kemudian stimulus diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan otak
merupakan proses psikologisnya sehingga individu bisa mempersepsi stimulus yang diterimanya Walgito, 2002.
Pendapat lain tentang persepsi itu sendiri adalah proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan Atksinson,
2000. Senada dengan itu persepsi juga diartikan sebagai suatu proses yang didahului oleh stimulus yang diterima oleh alat indera yang kemudian
diorganisasikan dan iinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diindrakannya itu Davidoff, 1981.
Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Menurut Young 1956 persepsi merupakan aktivitas
mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik
dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik
hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain. Persepsi juga merupakan suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah
dimiliki yang disimpan dalam ingatan untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus rangsangan yang diterima oleh alat indera seperti mata,
telinga, dan hidung Matlin, 1989, Solso, 1988 dalam Suharnan, 2005. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian
terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positifnegatif, senang atau tidak senang dan sebagainya.
Persepsi melibatkan dua proses sekaligus: proses bottom-up apa yang ditampilkan oleh stumulus atau objek persepsi dan proses top-down pengetahuan
seseorang yang relevan dengan stimulus itu. Persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa
menurut Muhyadi 1989 dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1 orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern kebutuhan, kelelahan,
sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian, 2 stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu benda, orang, proses dan
lain-lain, 3 stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana sedih, gembira dan lain-lain.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses dimana setiap individu mengorganisir dan menginterpretasikan apa yang
ditangkap melalui sistem alat indera manusia untuk memberikan arti pada lingkungan.
Proses Terjadinya Persepsi
Interpretasi Tanggapan
Stimulus
Penglihatan Suara
Bau Rasa
Texture Indera
pemerima Perhatian
Persepsi
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Robbins 2001, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu:
1. Orang yang melakukan persepsi. Ada beberapa hal yang dapat memperngaruhi persepsi seseorang, antara lain:
a. Sikap individu yang bersangkutan terhadap obyek persepsi
b. Motif atau keinginan yang belum terpenuhi yang ada dalam diri seseorang akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan
c. Interest ketertarikan. Fokus perhatian individu dipengaruhi oleh ketertarikan tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan obyek persepsi yang
sama dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-masing individu. d. Harapan. Harapan dapat menyebabkan distorsi terhadap obyek yang
dipersepsikan atau dengan kata lain sseseorang akan mempersepsikan suatu objek atau kejadian sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Target atau obyek persepsi, karakteristik dari obyek yang dipersepsikan dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Rangsang obyek yang bergerak di
antara obyek yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang obyek yang paling besar diantara yang kecil, yang kontras dengan latar
belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat. Karakteristik orang yang dipersepsi baik itu karaketrisitik personal sikap ataupun tingkah laku dapat
berpengaruh terhadap orang yang mempersepsikannya karena manusia dapat saling mempengaruhi persepsi satu sama lain, orang tua yang berinteraksi
dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat, selalu antusias, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap persepsi anak akan orang tuanya.
3. Faktor situasi yaitu sat persepsi muncul, konteks situasi saat melihat objek baik berupa lokasi, cahaya dan suasana sangatlah penting. Pada faktor situasi
terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi, antara: a. Konteks sosial, bagaimana lingkungan social memandang objek persepsi
seseorang adalah kecenderungan sesuai dengan apa yang dipersepsikan lingkungan sosialnya.
b. Konteks pekerjaan, persepsi seseorang terhadap suatu peristiwa dalam lingkup pekerjaan.
c. Waktu, pada saat objek persepsi tersebut dipersepsikan.
2.3 Bullying
2.3.1 Pengertian Bullying
Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak diberikan oleh para ahli, peneliti dan pengarang mengenai bullying. Terlebih pada beberapa
tahun belakangan ini, banyak dari mereka para ahli, peneliti, ataupun pengarang yang tertarik pada permasalahan mengenai bullying, terutama bullying yang terjadi
di sekolah-sekolah. Dalam Kamus Bahasa Indonesia bullying diartikan sebagai perilaku
menggertak atau `menggencet namun padanan kata tersebut dirasa belum tepat untuk merepresentasikan kata bullying itu sendiri sehingga untuk pembahasan
selanjutnya, kata bullying akan tetap dipakai.
Diantaranya ialah Sullivan 2000, ia menjelasakan definisi bullying dalam bukunya yang berjudul “The Anti-Bullying Handbook on 2000
th
” ialah: “Bullying is a conscious and willful act of aggression andor manipulation
by one or more people against another person or people. Bullying can last for a short period or go on for years, and is an abuse of power by those who carry it out.
It is sometimes premeditated, and sometimes opportunistic, sometimes directed mainly towards one victim, and sometimes occurs serially and randomly.”
Menurut Sullivan, dalam bukunya “The Anti-Bullying Handbook Tahun 2000”, mendefinisikan bullying adalah tindakan menyerang yang dilakukan secara
sadar dan sengaja dan atau di manipulasi oleh satu atau lebih banyak orang terhadap orang lain atau orang banyak. Bullying dapat bertahan untuk waktu yang
singkat atau bahkan selama bertahun-tahun, dan ini adalah sebuah penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang melakukannyanya. Kadang-kadang direncanakan, dan
kadang-kadang dilakukan dengan oportunis, kadang-kadang dilakukan terutama terhadap satu korban, dan kadang-kadang terjadi berturutan dan acak.
Sedangkan menurut Olweus 1993 menyatakan bahwa bullying ialah: “I define bullying or victimization in the following general way: A student
is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students Olweus, 1993.”
Olweus mendefinisikan bahwa bullying atau penganiayaan sebagai berikut: Seorang siswa sedang ditindas atau menjadi korban ketika ia dipermalukan secara
berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, untuk sebuah tindakan negatif dari satu atau lebih siswa lain Olweus, 1993.
Menurut Ken Rigby dalam Astuti, 2004 Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang
menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan
perasaan senang. Lebih luas lagi, berdasakan definisi Papalia 2007 mengatakan bahwa
bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan tenangtanpa beban, disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus
adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Sedangkan bila kita mengkhususkan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah
school bullying maka dapat diambil sebuah pengertian yang diberikan oleh Riauskina, Djuwita, dan Soesetio 2005. Mereka mengartikan school bullying
sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorangsekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswasiswi lain yang lebih lemah,
dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Menurut Olweus 2003 bullying adalah perilaku yang menyakiti seseorang
atau sekelompok orang baik dalam bentuk kekerasan fisik, verbal, ataupun psikologis. Tindakan ini bisa dengan mudah dikenali, di antaranya adalah
pelecehan, diskriminasi, intimidasi, pengucilan, ejekan, dan kekerasan nonfisik lainnya. Dampaknya bukan hanya pada fisik tetapi aspek psikologis, apalagi bagi
anak-anak usia sekolah yang sangat rentan menciptakan awal yang buruk bagi
masa depannya. Dampak paling fatal yang sangat ditakutkan adalah bagi perkembangan psikologi anak itu sendiri. Karena konsekuensi logisnya bisa
menjadi efek negatif yang permanen dan merusak masa depan anak yang khususnya ada dalam kondisi yang transisional. Anak yang menjadi korban
bullying umumnya akan terlihat enggan pergi ke sekolah, roman wajah muram, dan prestasi akademik menurun.
Tidak jauh beda dengan pernyataan Sullivan mengenai elemen-elemen di dalam bullying, Olweus 1993 pun mengatakan: “Bullying involves a desire to
hurt, hurtfill action, a power imabalance an imbalance is obvious enough when a bully towers over a cowering victim or group of bullies abuse a solitary I
ndividual, typically repetition, an unjust use of power, avidental enjoyment by aggressor and a sense of being oppressed on the part of the victim”.
Berdasarkan pernyataan Olweus di atas, maka di dapat pengertian bahwa bullying dapat terjadi karena adanya hasrat untuk menyakiti atau perilaku
merugikan, adanya kekuatan atau power yang tidak seimbang ketidakseimbangan tersebut cukup jelas terlihat, ketika pelaku bullying atau yang biasa disebut bully
menyebabkan ketakutan yang berlebih pada korban atau melakukan macam- macam dari perilaku bullying itu terhadap individu yang dikucilkan. Terdapat
adanya pengulangan dalam melakukan bullying, adanya penyalahgunaan kekuatan kekuasaan, merasakan adanya kenikmatan dengan melakukan tindakan agresif
dan penindasan terhadap korbannya.
2.3.2 Faktor – faktor bullying
Tindakan bullying mencerminkan bahwa bullying adalah masalah penting yang dapat terjadi di setiap sekolah jika tidak terjadi hubungan sosial yang akrab oleh
sekolah terhadap komunitasnya, yakni murid, staf, masyarakat sekitar, dan orang tua murid. Maka, Sullivan, dkk 2004 menyimpulkan bahwa faktor-faktor bullying
antara lain disebabkan sebagai berikut: 1. Perbedaan kelas senioritas, ekonomi, agama, jender, etnisitasrasisme.
2. Senioritas, sebagai salah satu perilaku bullying, seringkali pula justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten. Keinginan mereka
untuk melanjutkan masalah senioritas adalah untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau untuk
menunjukkan kekuasaan. 3. Keluarga yang tidak rukun.
4. Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif. 5. Karakter individukelompok, seperti:
b. Dendam atau iri hati; c. Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan daya
tarik seksual; dan d. Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan
peer group-nya. e. Pemahaman nilai yang salah atas perilaku korban.
2.3.3 Bentuk-bentuk Bullying
Perilaku bullying yang merupakan bentuk dari tindakan agresivitas yang membuat korban merasa tidak nyaman dan terluka, baik secara fisik maupun
psikologis, seperti telah dikatakan oleh para ahli di atas, maka terdapat jenis-jenis dari perilaku bullying tersebut diantaranya, menurut Sullivan 2000 membedakan
bullying dalam 2 bentuk: a. Fisik: Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang
mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan
merusak kepemilikan property korban, penggunaan senjata dan perbuatan kriminal.
b. Non - Fisik: Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal
Verbal: Contohnya, panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan,
mengancam, atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, menyebarluaskan kejelekan korban.
Non-Verbal : terbagi menjadi langsung dan tidak langsung:
1. Tidak Langsung: Diantaranya adalah manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut,
curang, dan sembunyi-sembunyi.
2. Langsung: Contohnya gerakan tangan, kaki, atau anggota badan lain kasar atau mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram, hentakan,
mengancam, atau menakuti. Berdasarkan penjelasan di atas, jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-
bentuk bullying terbagi manjadi dua, yaitu fisik dan non fisik. Fisik seperti memukul dan menendang, sedangkan non-fisik terbagi menjadi dua, yaitu verbal
seperti mengancam atau mengintimidasi, dan non-verbal seperti menghasut dan mengancam.
Berdasarkan kategori, Riauskina, dkk 2005 mengelompokkan perilaku bullying dalam 5 kategori, diantaranya ialah:
1. Kontak fisik langsung memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga
termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. 2. Kontak verbal langsung mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, memberi panggilan nama name-calling, sarkasme, merendahkan put-downs, mencelamengejek, mengintimidasi, memaki,
menyebarkan gosip. 3. Perilaku non-verbal langsung melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
4. Perilaku non-verbal tidak langsung mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,
mengirimkan surat kaleng. 5. Pelecehan seksual kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.
Berdasarkan penjelasan di atas, kategori bullying ialah kontak fisik langsung seperti memukul dan mendorong, kontak verbal langsung seperti mengejek,
perilaku non-verbal langsung seperti mengancam, non-verbal tidak langsung seperti memanipulasi pertemanan, dan yang terakhir ialah pelecehan seksual.
2.3.4 Ciri perilaku bullying
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Astuti 2004, dapat diamati bahwa pelaku bullying mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di sekolah; 2. Menempatkan diri di tempat tertentu di sekolahdi sekitarnya;
3. Merupakan tokoh popular di sekolah; 4. Gerak-geriknya seringkali dapat ditandai: sering berjalan di depan, sengaja
menabrak, berkata kasar, menyepelekanmelecehkan. Sedangkan, ciri-ciri korban yang mengalami bullying antara lain:
1. Pemalupendiampenyendiri; 2. BodohDungu;
3. Mendadak menjadi penyendiripendiam; 4. Sering tidak masuk sekolah dengan alasan tak jelas;
5. Berperilaku aneh atau tidak biasa takutmarah tanpa sebab, mencoret-coret, dsb.
Berdasarkan pemaparan di atas, dijelaskan ciri – ciri pelaku bullying dan korban bullying. Ciri pelaku bullying diantaranya ialah hidup berkelompok,
berkuasa, tokoh popular di sekolah, sedangkan ciri – ciri korban bullying ialah pemalu, pendiam, bodoh, sering tidak masuk sekolah karena alasan yang tidak
jelas dan berperilaku yang aneh tidak biasa.
2.3.5 Karakterisitik Bullying
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, antara lain oleh Rigby dalam Astuti, 2004, bullying yang banyak dilakukan di sekolah umumnya mempunyai tiga
karakteristik yang terintegrasi sebagai berikut: 1. Ada perilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk menyakiti korbannya.
2. Tindakan itu dilakukan secara tidak seimbang sehingga menimbulkan perasaan tertekan korban.
3. Perilaku itu dilakukan secara berulang atau terus-menerus. Dalam harian Jakarta Post Mei 2005, diungkapkan bahwa bagi sebagian
siswa, fenomena bullying tidak terlalu menjadi masalah besar bagi mereka, karena ini dianggap bagian dari proses sosialisasi atau pergaulan antar teman di sekolah
yang ada dengan sendirinya talent for granted. Sebagian diantara mereka
berpendapat bahwa jenis bullying seperti malicious talks teasing, devaluing, isolation atau gossip yang mempunyai segi positif, karena ini dilakukan sebagai
pelajaran supaya korban segera mawas diri bahwa ia diledek.
2.3.6 Sumber - Sumber Psikologis yang Mendasari Perilaku Bullying
Olweus 1993 mengemukakan beberapa sumber psikologis yang mendasari munculnya perilaku bullying. Sumber-sumber psikologis tersebut adalah:
1. Para pelaku bullying mempunyai keinginan yang kuat untuk kekuasaan dan dominansi. Mereka terlihat sangat menikmati dalam mengontrol orang lain dan
adanya keinginan untuk memiliki orang lain dalam maksud yang tidak baik. 2. Bagaimana para pelaku bullying ini dibesarkan di lingkungan keluarganya.
Pelaku bullying dibesarkan di dalam keluarga yang authoritarian dengan tingkat kepaduan yang rendah dan menunjukkan sikap bermusuhan. Orangtua
menganggap bahwa pendapat orangtualah yang benar dan tidak menghargai pendapat anak. Hukuman fisik pun sering dilakukan untuk menghukum anak
mereka. Dengan demikian, adalah hal yang wajar untuk berasumsi bahwa para pelaku bullying tersebut telah mengembangkan sikap bermusuhan terhadap
lingkungan mereka sendiri, seperti perasaan yang dapat membuat mereka merasa senang atau puas ketika telah membuat seseorang terluka dan
menderita.
3. Adanya komponen keuntungan atas perilaku mereka. Para pelaku bullying terkadang suka memakan korban bullying untuk memberikan mereka rokok,
uang, bir, atau sesuatu yang berharga atau ada harganya untuk para pelaku bullying. Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang
mengandung komponen antisocial dan perilaku yang suka melanggar aturan. Hal itu dapat menyebabkan remaja yang berperilaku agresif dan suka
melakukan bullying terhadap orang lain mempunyai kesempatan menjadi seseorang yang selalu dipenuhi dengan masalah-masalah seperti kriminalitas
dan alkoholik pecandu minuman keras.
2.4 Persepsi Bullying
Pengertian Persepsi Bullying
Persepsi bullying adalah kesan atau tanggapan yang diterima oleh alat indera tentang bullying yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari tentang apa yang diindrakannya itu dalam rangka memberikan makna terhadap perilaku bullying.
2.5 Intensi Bullying
Pengertian Intensi Bullying
Intensi bullying adalah keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seorang untuk menampilkan perilaku melakukan bullying. Semakin besar intensi
seseorang untuk melakukan bullying, maka semakin besar pula seseorang untuk menampilkan perilaku bullying
2.6 Kerangka Berfikir