Hubungan persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying SMAN 82 Jakarta

(1)

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG BULLYING DENGAN INTENSI

MELAKUKAN BULLYING SISWA SMA NEGERI 82 JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh: DINA AMALIA

105070002229

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG BULLYING DENGAN INTENSI

MELAKUKAN BULLYING SISWA SMA NEGERI 82 JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh: DINA AMALIA

105070002229

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M


(3)

iv

HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG BULLYING DENGAN INTENSI

MELAKUKAN BULLYING SISWA SMA NEGERI 82 JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: Dina Amalia NIM: 105070002229

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Diana Mutiah, M.Si Gazi Saloom, M.Si NIP.19671029 199603 2001 NIP. 19711214 200710 0114

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN PERSEPSI TENTANG BULLYING DENGAN INTENSI MELAKUKAN BULLYING SISWA SMA NEGERI 82 JAKARTA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 November 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 26 November 2010 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP.130 885 522 NIP. 19561223 198303 2001

Anggota:

Ikhwan Luthfi, M.Psi Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP. 19730710 200501 1006 NIP.19671029 199603 2001

Gazi Saloom, M.Si NIP. 19711214 200710 0114


(5)

iv

MOTTO

Two roads diverged in the two woods,

and I took the one less traveled by.

And that has made all the the

difference

-Robert Fross-

"God helps those who

help themselves."

-Benjamin Franklin


(6)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dina Amalia NIM : 105070002229

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Persepsi Tentang

Bullying Dengan Intensi Melakukan Bullying Siswa SMA Negeri 82 Jakarta” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 26 November 2010

Dina Amalia NIM: 105070002229


(7)

v

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi (B) November 2010

(C) Dina Amalia: 105070002229

(D) Hubungan Persepsi Bullying dengan Intensi Melakukan Bullying Siswa SMA Negeri 82 Jakarta

(E) xii + 74 halaman + Lampiran

(F)Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan efisien pada satuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh semua komponen yang berperan dalam mengantarkan peserta didik dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Tetapi dalam kenyataannya tujuan dari pendidikan itu sendiri belum sepenuhnya tercapai, karena masih adanya kasus penyimpangan perilaku seperti kekerasan yang dilakukan di kalangan remaja yang semuanya memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Fenomena yang sering terjadi di sekolah ialah bullying. Bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti “penggencetan”, “pemalakan”, “pengucilan”, “intimidasi” dan lain-lain.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi tentang bullying

dengan intensi melakukan bullying siswa SMAN 82 Jakarta.

Persepsi tentang bullying yang dimaksud ialah kesan atau tanggapan dalam mengelola dan menafsirkan apa yang diterima tentang bullying yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu dalam rangka pemberian makna terhadap perilaku bullying. Skor yang diperoleh berdasarkan faktor – faktor bullying (Sullivan, 2004), yaitu perbedaan (ekonomi, ras, gender), senioritas, keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis (diskriminatif), karakteristik individu, dan pemahaman yang salah. Sedangkan intensi bullying adalah kemungkinan seseorang untuk menampilkan tingkah laku tertentu yang terdiri dari 3 aspek, yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control.

Jenis penelitian ini adalah korelasional. Populasi adalah siswa kelas XI dan XII SMA Negeri 82 Jakarta Selatan yang diambil dengan tehnik stratified random sampling. Sample pada penelitian ini adalah 50 siswa. Instrumen pengumpulan data menggunakan skala likert untuk persepsi dan intensi bullying. Analisis data penelitian ini adalah menggunakan metode korelasi (Spearman Correlation) pada taraf signifikansi 0,05 pada two tailed test. Hasil penelitian menyatakan nilai koefisien korelasi (r hitung) antara persepsi bullying dengan intensi melakukan

bullying adalah (0.286) > rtabel ((Sig. 5% ; N 50 = 0.279), maka hipotesis alternatif

(Ha) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi


(8)

vi

juga menunjukkan positif, yang bermakna bahwa semakin positif persepsi tentang

bullying maka akan semakin tinggi intensi melakukan bullying mereka.

Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah untuk dapat dilakukan penelitian lanjutan yaitu analisis faktor-faktor intensi melakukan bullying dan penelitian dilakukan dengan metode wawancara pada siswa dan guru yang pernah mengalami

bullying.

(G)Bahan bacaan


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Ny , sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Hubungan Persepsi Tentang Bullying Dengan Intensi Melakukan Bullying Siswa SMA Negeri 82 Jakarta”. Shalawat serta salam semoga tetap Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik bantuan moril, materil, masukan, kritik dan pendapat. Dukungan langsung dan dukungan tidak langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Jahja Umar, Ph.D

2. Dosen Pembimbing I, Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si, yang sudah luar biasa dan sabar dalam memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berguna dalam menyelesaikan penelitian ini.

3. Dosen Pembimbing II, Bapak Gazi Saloom ,M.Si, yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini sampai selesai.

4. Pembimbing Akademik Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si, atas bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang sangat luar biasa, semoga ilmu-ilmu yang diberikan bermanfaat dalam kehidupan Penulis


(10)

viii

6. Ayah dan Ibu tercinta, H. Sarman Hidayat, S.Ip dan Hj.Hayati, yang penulis hormati dan sayangi yang tak pernah putus mendoakan dan mendukung penulis dengan penuh cinta, kesabaran dan kasih sayang.

7. Kedua kakakKu, yakni Euis Kurniasih,Se dan Fadly Kurniawan,Ss yang tak henti memberikan dorongan, doa, cinta dan kasih yang tulus kepada penulis hingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan tanggung jawab sebagai mahasiswa.

8. Sahabat – sahabat KKL yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam memyelesaikan skripsi, especially Donna Olivia dan Nadiyya Utami. Serta Risti, Lia dan Arizka yang selalu mensupport penulis.

9. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi, Pian Hermawati, Indri, NurFaujiyanti, Yuniar, Retno, Tika. Terima kasih atas doa dan semangatnya.

10. Baqores: Dhirga, Fahmi,Kamal, Aldin, Ghina, Nadira, Faila, Lana, Dj, Salwa, Iwa, Fayza, Naura, Wafa, Sakura, Nada, atas dukungan, semangat, support, dan doanya kepada penulis. SEMANGAATTT!!!

11. Seluruh sahabat dan teman-teman Fakultas Psikologi khususnya angkatan 2005 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, kakak- kakak dan adik-adik kelasku, terima kasih untuk support, diskusi, saran serta kebersamaannya.

12. Kepala SMA Negeri 82 Jakarta yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian serta siswa-siwa kelas XI dan XII yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis melakukan penelitian.

13. Para staff akademik dan perpustakaan Fakutas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan.

Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.

Jakarta, November 2010


(11)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Lembar Pernyataan... ii

Abstrak ... iii

Motto... v

Kata Pengantar ... vi

Persembahan... viii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Bab 1 Pendahuluan... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Pembatasan Masalah ... 8

1.3Perumusan Masalah... 9

1.4Tujuan Penelitan ... 10

1.5Manfaat Penelitian... 10

1.6Sistematika Penulisan ... 10

BAB 2 Kajian Teori... 12

2.1 Intensi ... 12

2.1.1 Pengertian Intensi ... 12

2.1.2 Perkembangan Teori Intensi... 16

2.1.3 Aspek – aspek Intensi ... 19

2.1.4 Hubungan antara tiga aspek Intensi dengan intensi... 24

2.2 Persepsi... 26

2.2.1 Pengertian Persepsi... 26

2.2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi ... 28

2.3 Bullying... 30

2.3.1 Pengertian Bullying... 30 ix


(12)

2.3.2 Faktor – faktor bullying... 34

2.3.3 Bentuk – bentuk bullying... 35

2.3.4 Ciri perilaku bullying ... 37

2.3.5 Karakteristik bullying ... 38

2.3.6 Sumber – sumber psikologis yang mendasari perilaku bullying ... 39

2.4 Persepsi Bullying ... 40

2.5 Intensi Bulying... 40

2.6 Kerangka Berpikir ... 41

2.7 Hipotesis ... 43

BAB 3 Metodologi Penelitian... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.1.1 Pendekatan... 44

3.1.2 Metode Penelitian ... 44

3.2 Variabel Penelitian ... 45

3.2.1 Definisi Variabel ... 45

3.2.2 Definisi Operasional ... 46

3.2.3 Definisi Konseptual ... 46

3.3 Populasi dan Sampel... 47

3.3.1 Populasi ... 47

3.3.2 Sampel ... 48

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 48

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4.1 Metode dan Instrumen Penelitian ... 48

3.4.2 Teknik Uji Instrumen ... 51

3.4.3 Metode Analisis Data ... 55

3.4.4 Prosedur Penelitian ... 58


(13)

xi

BAB 4 Presentasi dan Analisis Data ... 60

4.1 Gambaran Umum Responden... 60

4.1.1 Berdasarkan Usia... 60

4.1.2 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

4.1.3 Berdasarkan Kelas/Semester ... 62

4.1.4 Berdasarkan Agama... 62

4.1Deskripsi Hasil Penelitian ... 63

4.2.1 Kategorisasi Skor Persepsi Bullying... 63

4.2.2 Kategorisasi Skor Intensi Bullying ... 64

4.2Hasil Utama Penelitian ... 65

4.3.1 Uji Normalitas ... 65

4.3.2 Uji Hipotesis ... 68

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran ... 71

5.1 Kesimpulan... 71

5.2 Diskusi ... 71

5.3 Saran... 73

5.3.1 Saran Teoritis ... 73

5.3.2 Saran Praktis ... 74


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Skor skala Model Likert ...49

Tabel 3.2 Skor skala Intensi Bullying (semantic defferential)...49

Tabel 3.3 Blue print skala persepsi bullying...50

Tabel 3.4 Blue print skala intensi bullying...51

Tabel 3.5 Blue print skala persepsi bullying setelah uji instument ...53

Tabel 3.6 Blue print skala intensi bullying setelah uji instrumen...54

Tabel 3.7 Tabel interpretasi nilai r...56

Tabel 4.1. Gambaran umum responden berdasarkan usia ...60

Tabel 4.2. Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin ...61

Tabel 4.3 Gambaran umum responden berdasarkan kelas/semester ...62

Tabel 4.4. Gambaran umum responden berdasarkan agama ...62

Tabel 4.5 Deskripsi umum hasil penelitian ...63

Tabel 4.6 Kategorisasi persepsi bullying ...64

Tabel 4.7 Kategorisasi intensi bullying ...65

Tabel 4.8 Uji normalitas persepsi bullying ...66

Table 4.9 Uji normalitas intensi bullying ...67

Tabel 4.10 Hasil uji korelasi skala persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying...69


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan efisien pada satuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh semua komponen yang berperan dalam mengantarkan peserta didik sehingga tercapainya tujuan yang diharapkan. Tetapi dalam kenyataannya tujuan dari pendidikan itu sendiri belum sepenuhnya tercapai, karena masih adanya kasus penyimpangan perilaku seperti kekerasan yang dilakukan di kalangan remaja yang semuanya memerlukan perhatian dari berbagai pihak.

Fenomena yang sering terjadi di sekolah ialah bullying. Bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah – istilah seperti “penggencetan”, “pemalakan”, “pengucilan”, “intimidasi” dan lain-lain. Istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti orang lain sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya (Semai Jiwa Amini, 2006). Bullying (Rigby, dalam Astuti 2004) adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh


(16)

2

seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.

Maraknya fenomena bullying di sekolah – sekolah menimbulkan keinginan pada para siswa untuk melakukukan tindakan bullying. Keinginan mereka dikarenakan adanya tindakan bullying tersebut terjadi di lingkungan terdekat mereka, yakni sekolah, pergaulan, dan keluarga.

Teror yang berupa kekerasan fisik atau mental, pengucilan, intimidasi, perpeloncoan, yang terjadi pada kasus-kasus di atas sebenarnya adalah contoh klasik dari apa yang biasanya disebut bullying. Perilaku ini sering disebut juga sebagai peer victimization dan hazing, yaitu usaha untuk menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih lemah, oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat (Ma, Stein & Mah, 2001: Olweus, 1993 dalam Djuwita, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Whitney dan Smith pada tahun 1993 menyatakan bahwa bullying di sekolah telah berlangsung pada tingkat yang meresahkan, mereka menyebarkan kuisioner kepada 2600 siswa dari 17 sekolah dasar dan 4100 siswa dari 7 sekolah menengah pertama di Sheffield. Didapat data 27% anak sekolah dasar ditindas kadang-kadang; 10% ditindas seminggu sekali atau beberapa kali. Dan di sekolah menengah pertama, siswa yang ditindas kadang-kadang 10%, dan 4 % ditindas seminggu sekali atau beberapa kali. Sedangkan penelitian yang dilakukan kepada 2308 siswa dari 19 sekolah, menunjukkan penurunan jumlah siswa usia 10-14 tahun yang ditindas. Ini dikarenakan di sekolah tersebut telah disosialisasikan anti-bullying.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jennifer (2002) yang memperlihatkan bahwa ”bullying” merupakan masalah internasional yang terjadi hampir di semua


(17)

3

sekolah. Tapi kesamaan permasalahan di tiap – tiap negara dan tidak ada batasan – batasan internasional, status sosial ekonomi ataupun etnis. Berdasarkan hasil penelitian di Norwegia, 15% murid atau satu diantara 7 siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) terlibat dalam aksi “bullying”. Bahkan di Amerika serikat, angkanya lebih tinggi, 30% murid SD dan SMP. Hasil survey di Australia menunjukkan bahwa 20% murid mengalami “bullying” setidaknya satu kali dalam seminggu. Kasus paling tinggi terjadi pada anak remaja kelas 8 dan 9 dan dilakukan lebih sering oleh anak laki-laki. Penelitian lain menyebutkan bahwa di Australia, anak yang menjadi korban tindak penindasan 3 kali lebih tinggi mempunyai resiko depresi.

Di Indonesia penelitian tentang fenomena bullying, dilakukan oleh Amy Huneck (dalam Semai Jiwa Amini, 2006) mengungkapkan bahwa 10-60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun dorongan, sedikitnya sekali dalam seminggu. Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada tahun 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat sekolah menengah atas (SMU) dan 66,1% di tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua ditempati kekerasan verbal (mengejek) dan terakhir kekerasan fisik (memukul). Gambaran kekerasan di SMP di tiga kota besar yaitu: Yogya : 77,5% (mengakui ada kekerasan); 22,5 (mengakui tidak ada kekerasan), Surabaya : 59,8% (ada kekerasan), Jakarta : 61,1% (ada kekerasan).


(18)

4

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk (2005), korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengalaman yang terjadi pada diri siswa sehingga membentuk persepsi siswa untuk melakukan bullying. Persepsi sendiri diartikan sebagai proses pemberian arti terhadap obyek pengamatan. Persepsi (Matlin, 1989, Solso, 1988 dalam Suharnan, 2005) merupakan suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung. Sedangkan menurut Walgito (2002) persepsi merupakan proses bagaimana individu dapat mengenali diri sendiri maupun keadaan sekitarnya, melalui stimulus yang diterimanya, dan individu akan mengalami persepsi, prosesnya didahului oleh penginderaan yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya, kemudian stimulus diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan otak merupakan proses psikologisnya sehingga individu bisa mempersepsi stimulus yang diterimanya. Sensasi – sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal – hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan – harapan, nilai – nilai, sikap, dan ingatan. Para siswa yang mengalami


(19)

5

tindakan bullying, mereka akan mempersepsikan bullying itu menurut apa yang mereka rasakan dan mereka terima selama ini di lingkungan berdasarkan pengalaman mereka.

Namun ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah, yaitu bahwa bullying bisa ’dibenarkan’ meskipun mereka merasakan dampak negatifnya sebagai korban. Mengapa seorang korban bisa kemudian menerima, bahkan menyetujui perspektif pelaku yang pernah merugikannya? Salah satu alasannya dapat diurai dari hasil survei: sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya, korban bisa semakin menyerap ’falsafah’

bullying yang didapat dari seniornya.(www.sampoernafoundation.com/kekerasan siswa ancaman bangsa)

Berdasarkan uraian diatas, terdapat perbedaan persepsi bullying antara siswa yang akan melakukan bullying karena balas dendam karena pernah menjadi korban dan siswa yang lebih suka merahasiakan bullying yang mereka derita karena rasa takut.

Siswa yang melakukan bullying karena balas dendam biasanya mempunyai keinginan yang kuat untuk menampilkan perilaku itu. Keinginan dalam diri seseorang untuk menampilkan perilaku disebut dengan intensi (intention).

Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fisbein & Ajzen,1975).


(20)

6

Sehingga dapat diartikan intensi melakukan bullying adalah keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seorang untuk menampilkan perilaku melakukan bullying. Semakin besar intensi seseorang untuk melakukan bullying, maka semakin besar pula seseorang untuk menampilkan perilaku bullying

Untuk memprediksi dan memahami perilaku bullying, terdapat suatu pendekatan yang cukup banyak digunakan, yakni Theory of Planned Behavior (teori perilaku terencana) yang kemudian disebut dengan TPB (Ajzen, 1988). Menurut TPB, perilaku dapat diprediksi melalui niat (behavioral intention). Intensi untuk melakukan suatu tingkah laku menurut Fishbein dan Ajzen (1975) merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya suatu tingkah laku. Intensi atau niat untuk melakukan perilaku tersebut dipengaruhi oleh tiga determinan yakni: sikap terhadap perilaku (attitudes toward behavior), norma – norma subyektif terhadap perilaku (subjective norms regarding the action), dan persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control).

Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu: (a) attitude toward behavior (keyakinan perilaku), yang merupakan dasar bagi pembentukan norma subyektif. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat – akibat atau hasil – hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap. Dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. (b) Subjective norm (keyakinan normatif), yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. (c) Perceived behavior kontrol (PBC), yang merupakan dasar bagi pembentukan perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi


(21)

7

merupakan persepi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit.

Dari tiga determinan intensi diatas, berdasarkan sebuah penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Armitage dan Conner terhadap 185 penelitian menyimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh yang signifikan dalam memprediksi intensi perilaku. Sedangkan norma subjektif menjadi prediktor paling lemah.

Sumber dalam buku Ajzen (1988) menyebutkan bahwa telah banyak dilakukan penelitian mengenai intensi, dan hasilnya menunjukkan korelasi yang tinggi dan hubungan yang sangat dekat antara intensi dan perilaku yang diinginkan individu (volitional control). Penelitian yang dilakukan, baik mengenai perilaku yang sederhana sampai perilaku pribadi atau sosial membuktikan bahwa intensi dapat meramalkan berbagai kecenderungan perilaku yang muncul. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah intensi bekerjasama pada tahanan dalam sebuah permainan yang membuat dilemma dengan hasil korelasi 0,82 (Ajzen, 1971), intensi melakukan aborsi dengan korelasi 0,96 (Smetana and Adler, 1980), intensi menggunakan pil pengontrol kehamilan dengan korelasi 0,85 (Ajzen dan Fishbein, 1980), intensi merokok marijuana dengan korelasi 0,72 (Ajzen, 1982). Semua korelasi dalam penelitian ini dalam signifikan p < 0,05 (Ajzen, 1988).

Penelitian yang dilakukan oleh Nadia (Paramadina, 2008) dalam skripsinya yang berjudul ”Pengaruh Tiga Determinan Intensi Terhadap Intensi Untuk Melakukan

Bullying” Pada Siswa SMP (Pendekatan Teori Planned Behavior) menyatakan bahwa intensi pada siswa SMP untuk melakukan bullying dipengaruhi oleh attitude toward behavior. Aspek subjective norm tidak terlalu berpengaruh dikarenakan motivasi


(22)

8

internal lebih dominan dibandingkan motivasi eksternal. Perceived behavior control

juga tidak berhubungan secara signifikan,karena perceived behavior control berkaitan dengan self efficacy atau keyakinan seseorang terhadap diri mereka. Metode pengumpulan data dalam penelitiannya, menggunakan kuesioner, yang disebarkan pada siswa kelas VIII SMP X sebanyak 100 orang. Dari hasil penelitian attitude toward behavior merupakan variabel yang sangat signifikan berpengaruh terhadap intensi siswa SMP untuk melakukan bullying.

Fenomena saat ini, bullying di Indonesia banyak terjadi pada siswa SMU. Mereka yang berusia antara 15 – 18 tahun, yaitu pada masa remaja (Desmita, 2005). Dikarenakan pada usia itu remaja masih dalam proses menemukan jati diri, sehingga pengalaman-pengalaman yang mereka dapat sehari-hari merupakan sesuatu yang mereka simpan sebagai sebuah stimulus dan menjadi sebuah persepsi yang dapat dimunculkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin meneliti ”Hubungan persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying siswa SMA Negeri 82 Jakarta”. 1.2 Pembatasan Masalah

Setelah masalah-masalah diidentifikasi, maka selanjutnya penulis membatasi masalah pokok yang akan diketahui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Intensi (niat) yang dimaksud adalah sebuah motivasi yang berdampak timbulnya perilaku. Intensi mengindikasikan bahwa seseorang dengan sengaja mencoba dan merencanakan untuk menampilkan suatu perilaku tertentu (Fishbein dan Ajzein,1975).


(23)

9

b. Persepsi yang dimaksud adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung (Matlin, 1989, Solso, 1988 dalam Suharnan, 2005).

c. Bullying yang dimaksud adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang (Rigby, dalam Astuty, 2004)

d. Siswa yang diteliti ialah siswa kelas XI dan XII SMAN 82 Jakarta, remaja pertengahan (15-18 tahun), di mana individu sudah mulai mengembangkan tingkah laku dan membuat keputusan yang akan dicapai.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan masalahnya adalah “Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying siswa SMAN 82 Jakarta?

1.4 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi tentang bullying


(24)

10

1.5 Manfaat

Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah: a. Manfaat Teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi psikologi pendidikan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai hubungan persepsi bullying dengan intensi melakukan bullying dan menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah dan guru dalam upaya membimbing siswa agar tidak terjadi tindakan bullying di sekolah – sekolah dan merubah persepsinya tentang intensi melakukan tindakan bullying.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA (American Psychology Association) – style dan pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:

BAB 1: Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal – hal mengenai teori – teori, kerangka berpikir dan hipotesis.


(25)

11

BAB 3: Merupakan metodologi penelitian yang mencakup 2 masalah utama, yaitu (a) pengumpulan data, yang mencakup persoalan menetapkan dan mendefinisikan variabel penelitian, populasi, sampel, instrumen dan prosedur pengumpulan data, (b) analisis data, yang meliputi metode statistik (analisis data kuantitatif) di mana ada variabel yang dijadikan IV dan DV. Bab 4: Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang gambaran umum

responden penelitian, pengujian instrument penelitian, deskripsi statistik, uji hipotesis.


(26)

12

BAB

2

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan menjelaskan tentang deskripsi teoritis tentang intensi, persepsi,

bullying, persepsi bullying, intensi bullying, kerangka berfikir, serta hipotesis.

2.1 Intensi

2.1.1 Pengertian Intensi

Dalam Attitude and Behavior (1988) Ajzen menggambarkan definisi intensi sebagai berikut:

“intention are assumed to capture the motivational factors that have a impact on a behavior; they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the behavior.”

Pengertian ini menjelaskan bahwa intensi adalah faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku sebagai indikasi seberapa kuat keinginan individu untuk mencoba dan seberapa besar usaha yang direncanakan atau dilakukan untuk menampilkan perilaku tertentu.

Intensi menurut Fishbein dan Ajzein (1975), diartikan sebagai sebuah motivasi yang berdampak timbulnya perilaku. Intensi mengindikasikan bahwa seseorang dengan sengaja mencoba dan merencanakan untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Intensi ini belum menjadi sebuah perilaku sampai pada waktu dan tempat yang sesuai untuk merubah intensi tersebut menjadi perilaku.

Intensi (intention) menurut Chaplin (2004) didefinisikan sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan; ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis, yang


(27)

13

mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek. Intensi merupakan sebuah proses mental yang disadari dan timbul atas kemauan manusia itu sendiri, yang tercakup dalam kognisi (merasa dan menerima), konasi (usaha, kemauan, hasrat, keinginan), dan perasaan (mencintai, membenci).

Menurut Ajzen (1991), intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku; intensi adalah indikasi seberapa kuat keinginan seseorang untuk mencoba, atau berapa banyak usaha yang direncanakan untuk menampilkan perilaku.

Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa intensi merupakan kemungkinan seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu dengan faktor motivasional yang mempengaruhi bagaimana usaha yang digunakan untuk menampilkan perilaku tersebut.

Perilaku manusia adalah hasil dari pemikiran yang dikontrol atas kemauan manusia itu sendiri (volitional control). Dengan kata lain, manusia dapat dengan mudah memunculkan perilaku tertentu jika ia memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mewujudkan perilaku itu. Demikian juga sebaliknya, manusia tidak akan memunculkan perilaku tertentu jika ia memutuskan untuk tidak mewujudkan suatu perilaku. Contohnya seseorang bisa memberikan suara dukungan terhadap tokoh politiknya, atau pergi beribadah jika ia berkehendak mewujudkan semua kegiatan itu. Tetapi, jika ia tidak berkehendak untuk mewujudkannya, maka perilaku-perilaku tersebut tidak akan muncul (Ajzen, 1988).

Hal terpenting dari wujudnya perilaku yang disengaja (willful behavior) adalah timbulnya perilaku tersebut diakibatkan oleh dorongan individual. Proses yang terjadi di


(28)

14

dalam diri manusia, sesuai dengan contoh di atas, disebutkan bahwa manusia mempunyai

intention (intensi) yang kemudian akan diwujudkan dalam bentuk perilaku, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perilaku itu dikontrol oleh keinginan individu (volitional control), maka tindakan yang dihasilkan adalah tindakan atas keinginan diri sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan paling dekat dengan tindakan manusia adalah intensi untuk melakukan tindakan itu. Dengan kata lain, ketika seseorang menampilkan perilaku atas keinginannya itu sendiri berarti seseorang itu melakukan perilaku yang telah diniatkan untuk dilakukan (intend to do). Maka tingkah laku yang diniatkan untuk dilakukan harus sesuai dengan keinginan inividu itu sendiri (Ajzen, 1988)

Intensi memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku yang akan diukur. Meskipun demikian, intensi dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Semakin lama jarak waktu, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya peristiwa – peristiwa yang tidak terduga yang akan menyebabkan perubahan intensi (Ajzen, 1988).

Sumber dalam buku Ajzen (1988) menyebutkan bahwa telah banyak dilakukan penelitian mengenai intensi, dan hasilnya menunjukkan korelasi yang tinggi dan hubungan yang sangat dekat antara intensi dan perilaku yang diinginkan individu (volitional control). Penelitian yang dilakukan, baik mengenai perilaku yang sederhana sampai perilaku pribadi atau sosial membuktikan bahwa intensi dapat meramalkan berbagai kecenderungan perilaku yang muncul. Penelitian – penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah intensi bekerjasama pada tahanan dalam sebuah permainan yang membuat dilemma dengan hasil korelasi 0,82 (Ajzen, 1971), intensi melakukan aborsi dengan korelasi 0,96 (Smetana and Adler, 1980), intensi menggunakan pil pengontrol kehamilan


(29)

15

dengan korelasi 0,85 (Ajzen dan Fishbein, 1980), intensi merokok marijuana dengan korelasi 0,72 (Ajzen, 1982). Semua korelasi dalam penelitian ini dalam signifikan p < 0,05 (Ajzen, 1988).

Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran intensi (specificity of intentions). Pengukuran tersebut harus sesuai dengan sasaran pengukuran yang dituju (target), tingkah laku (behavior) yang dilibatkan, situasi (situation) tempat tindakan itu terjadi, dan waktu (time) yang tepat untuk mewujudkan tingkah laku (Fishbein & Ajzein, 1975). Keempat elemen ini selalu terlibat dalam setiap pengukuran tingkah laku, baik itu secara verbal ataupun nonverbal.

Berbeda dengan target yang tidak terikat pada tempat dan waktu, perilaku selalu terjadi dalam kaitan tempat dan situasi (konteks) serta waktu tertentu. Menurut Fishbein dan Ajzen, pengukuran sikap yang terbaik agar dapat memprakirakan perilaku adalah dengan memasukkan sekaligus keempat elemen intensi tersebut diatas, yaitu target, perilaku, konteks dan waktu.

Untuk mengukur sikap terhadap niat (intensi) menurut Fishbein dan Ajzen sama dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan antara niat dan perilaku adalah yang paling dekat. Setiap perilaku yang bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat. Dan sebaliknya, perilaku itu jika berulang dalam konteks yang sama pada waktu yang berbeda – beda akan menunjukkan sikap terhadap target.

Pengukuran intensi yang dihasilkan sebelum perubahan perilaku terjadi, tidak dapat diharapkan bahwa pengukuran itu dapat meramalkan perilaku yang tepat. Dengan


(30)

16

kata lain, ketepatan dari pengukuran intensi biasanya tidak sesuai apabila telah terjadi campur tangan waktu yang terlalu lama antara pengukuran intensi yang dihasilkan dengan perilaku yang teramati.

Jadi, intensi adalah motivasi yang terkuat yang dapat mendukung sikap positif seseorang terhadap perilaku tertentu. Intensi merupakan variabel paling dekat dengan munculnya perilaku. Perilaku yang terwujud atas dasar intensi ini disebut dengan perilaku yang diniatkan. Perilaku yang telah diniatkan ini akan terwujud pada waktu dan tempat yang tepat untuk mewujudkan perilaku tersebut.

2.1.2 Perkembangan Teori Intensi

Dalam perkembangannya, terdapat dua teori intensi, yaitu teori Reasoned Action dan teori

Planned Behavior, yaitu: 1. Teori Reasoned Action

Dalam teori reasoned action, Fishbein dan Ajzen (1975) menyatakan bahwa tingkah laku ditampilkan dengan alasan tertentu, dengan mempertimbangkan akibat dari tingkah laku tersebut serta untuk mencapai hasil akhir dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dasar dari theory reasoned action adalah adanya anggapan bahwa pada umumnya manusia selalu bertindak dengan cara yang masuk akal. Manusia bertindak dengan memperhatikan informasi yang tersedia, serta secara mutlak (implicity) dan tegas (explicity) mempertimbangkan akibat dan maksud dari tindakan yang direncanakan. Sesuai dengan fokusnya pada perilaku volitional, dan batas-batas teori di atas,


(31)

17

disebutkan bahwa intensi seseorang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu perilaku merupakan faktor paling dekat dari perilaku yang muncul. Di samping kemungkinan adanya peristiwa – peristiwa tak terduga, manusia selalu mengharapkan dapat berperilaku sesuai dengan intensi mereka (Ajzen, 1988).

Berdasarkan teori reasoned action, intensi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari kepribadian orang yang yang bersangkutan (personal factor) dan faktor yang berasal dari pengaruh-pengaruh lingkungan sosialnya.

2. Teori Planned Behavior (TPB)

Intensi individu untuk berperilaku sesuai dengan minatnya merupakan pusat dari teori planned behavior. Perbedaan yang terdapat diantara teori ini dengan teori yang sebelumnya ialah aspek tambahan selain faktor attitude toward behavior dan

subjective norm, yaitu aspek perceived behavior control. Aspek ini merupakan gambaran persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya serta kemampuan dirinya dalam mengatasi rintangan yang akan dihadapi dalam perwujudan perilaku yang diinginkan. Ketiga aspek yang mendasari teori planned behavior ini saling berhubungan, karena apabila aspek attitude toward behavior dan subjective norm

cenderung besar dan aspek perceived behavior control cenderung kuat, maka intensi individu dalam mewujudkan tingkah laku tertentu akan semakin tinggi pula.

Secara umum, gambaran pembentukan intensi perilaku yang digambarkan dalam Teori Planned Behavior adalah sebagai berikut:


(32)

18

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Intensi

1. Faktor Internal

Faktor-faktor ini antara lain adalah informasi, keahlian, dan kemampuan. Seseorang yang berniat untuk mewujudkan suatu perilaku akan tergantung dari faktor – faktor tersebut.

Selain ketiga faktor diatas, ada juga faktor internal lainnya, yaitu emosi dan kompulsi. Keahlian, kemampuan, dan informasi mungkin hanya bermasalah pada kontrol perilaku pada saat ini saja, karena masalah – masalah ini dapat diatasi. Kesimpulannya, karena manusia bertindak dibalik volitional acts, maka berbagai faktor internal diatas mungkin akan memperngaruhi kesuksesan terwujudnya suatu perilaku yang diniatkan (Ajzen, 1988).


(33)

19

2. Faktor Eksternal

Faktor ini ditentukan oleh tingkat kesulitan, keadaan, atau fasilitas yang mendukung terwujudnya perilaku. Kesempatan juga menjadi bagian dari faktor eksternal. Kesempatan disini maksudnya adalah kejadian-kejadian tak terduga dan mungkin tidak disadari yang ternyata ikut mendukung atau menghambat terlaksananya suatu perilaku. Misalnya intensi seseorang untuk menyaksikan sebuah pertandingan olahraga tidak akan dapat terwujud apabila tiketnya sudah habis terjual pada hari itu atau orang tersebut mengalami kecelakaan saat menempuh perjalanan ke tempat pertandingan berlangsung (Ajzen, 1988).

Teori ini didasari oleh tiga faktor utama yang saling berhubungan, yaitu

attitude toward behavior, subjective norm, dan yang ketiga adalah tingkat

perceived behavior control. Faktor yang ketiga ini merupakan persepsi atau perasaan seseorang mengenai kemudahan atau kesulitan, dan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan halangan yang akan dihadapi demi terwujudnya perilaku yang diinginkan. Semakin besar dukungan pada faktor attitude toward behavior

dan subjective norm, dan semakin kuatnya perceived behavior control, intensi seseorang untuk mewujudkan perilaku tertentu akan semakin tinggi.

2.1.3 Aspek-aspek Intensi

Intensi memiliki 3 aspek (Ajzen, 1975) yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control¸ berikut penjelasannya:


(34)

20

1. Attitude Toward Behavior

Menurut Fishbein dan Ajzen (1988), attitude toward behavior adalah keyakinan terhadap tingkah laku (behavioral beliefs) dan evaluasi hasil (outcome evaluation). Behavioral beliefs ditentukan oleh keyakinan yang paling menonjol (salient beliefs) pada diri individu terhadap tingkah laku tertentu. Setiap salient beliefs menghubungkan tingkah laku dengan hasil tertentu atau dengan atribut tertentu sehubungan dengan ditampilkannya tingkah laku tersebut.

2. Subjective Norm

Subjective norm merupakan aspek intensi yang kedua. Aspek ini merupakan persepsi individu terhadap tuntutan dari lingkungan sosialnya untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975).

Fishbein & Ajzen (1975) mengemukakan bahwa norma subjektif adalah :

“the subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa norma subyektif adalah persepsi individu mengenai harapan orang-orang yang penting bagi dirinya (significant others) baik perorangan ataupun kelompok untuk menampilkan perilaku tertentu atau tidak.


(35)

21

Subjective Norm ditentukan oleh keyakinan (beliefs), namun keyakinan disini berbeda dengan keyakinan pada attitude toward behavior. Keyakinan dalam subjective norm adalah keyakinan seseorang akan individu atau kelompok dekatnya terhadap persetujuan atau tidak persetujuannya diwujudkannya suatu perilaku.

Individu-individu lain atau kelompok yang sangat mempengaruhi ini disebut referents. Referents ini antara lain adalah orang tua, suami atau isteri, teman dekat, rekan kerja, dan orang-orang yang ahli dalam perilaku yang dituju, seperti psikolog, psikiater, atau konselor. Keyakinan sebagai pokok yang mendasari subjective norm ini dinamakan keyakinan norma (normative beliefs).

Secara umum, individu yang yakin kebanyakan referents memotivasinya untuk mewujudkan perilaku tertentu, akan merasakan motivasi itu sebagai tekanan social dan individu cenderung akan melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, individu yang percaya bahwa kebanyakan referents memotivasi mereka untuk tidak menyetujuinya, maka perilaku tersebut tidak akan dilakukan.

Norma subjektif merupakan fungsi dari beberapa keyakinan yang disebut sebagai keyakinan terhadap norma-norma yang berlaku (normative beliefs). Keyakinan-keyakinan ini merupakan keyakinan individu terhadap individu atau kelompok lain, bahwa mereka akan setuju atau tidak setuju apabila ia


(36)

22

melakukan tingkah laku tertentu. Individu atau kelompok itu disebut dengan

referents (acuan).

Kelompok atau individu tersebut dijadikan sebagai acuan bagi individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku tertentu. Referents

antara lain orang tua, pasangan hidup, teman dekat, rekan kerja, dan orang-orang yang ahli dalam tingkah laku yang dituju, seperti konselor, psikiater, ataupun psikolog. Referents disebut juga sebagai significant others (orang yang berarti bagi individu).

Determinan Norma Subjektif

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), norma subjektif secara umum ditentukan oleh dua determinan berikut:

1. Persepsi atau keyakinan mengenai harapan individu atau kelompok tertentu terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak (normative beliefs).

2. Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut (motivation to comply).

Normative beliefs dapat dibentuk sebagai hasil dari sebuah proses penyimpulan yakni jika seseorang yakin bahwa orang-orang yang penting bagi dirinya akan merasa senang jika dia menampilkan perilaku tertentu maka seseorang itu akan menyimpulkan bahwa kelompok yang menjadi acuannya berkeinginan agar dirinya menampilkan perilaku tersebut.


(37)

23

3. Perceived Behavior Control

Perceived Behavioral Control (PBC) juga merupakan salah satu determinan independen dalam pembentukan intensi perilaku.

Ajzen (1988) memberikan definisi PBC sebagai berikut:

“this factor refers to the perceived easy or difficulty of performing the behavior and it is assumed to reflect past experience as well as anticipated impediments and obstacles.”

Faktor ini memberikan gambaran mengenai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.

Teori mengenai perceived behavior control memiliki motivasi tersendiri terhadap intensi. Orang yang percaya bahwa mereka tidak memiliki keahlian ataupun kesempatan untuk mewujudkan suatu perilaku, tidak mungkin dapat mewujudkan perilaku yang diniatkannya itu, meskipun attitude toward behavior dan subjective norm mendukung terwujudnya perilaku.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perceived behavior control

memang dapat mempengaruhi tingkah laku secara tidak langsung, yaitu melalui intensi, dan juga dapat digunakan untuk memprediksikan tingkah laku secara langsung karena perceived behavior control dapat dilihat sebagai pengganti untuk mengukur kontrol yang sebenarnya.


(38)

24

Perceived Behavoral Control (PBC) juga diasumsikan sebagai fungsi yang terkait dengan beliefs (keyakinan-keyakinan). Keyakinan dalam PBC adalah mengenai kehadiran atau ketidakhadiran faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghalangi munculnya perilaku tersebut, yang kemudian disebut dengan

control beliefs. Keyakinan mengenai sumber dan kesempatan dipandang sebagai dasar terbentuknya PBC (Ajzen, 1988). Kedua faktor ini, termasuk faktor internal (informasi, skill, kemampuan, emosi dan tekanan) dan juga faktor eksternal yakni (kesempatan, ketergantungan terhadap faktor lain). Secara keseluruhan, control belief menunjukkan persepsi bahwa seseorang memiliki atau tidak memiliki kapasitas untuk mengamalkan perilaku. Jadi,

control beliefs ini menjadi dasar persepsi seseorang terhadap kontrol perilaku (Ajzen, 2005).

2.1.4 Hubungan antara Tiga Aspek Intensi dengan Intensi

Intensi memiliki tiga aspek utama yang saling berhubungan dengan yang lainnya, yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control.

Attitude toward behavior ialah penilaian positif ataupun negatif individu terhadap suatu objek sikap. Aspek ini merupakan hasil dari keyakinan individu (behavioral belief) dan penilaian hasil akhir (outcome evaluation) terhadap suatu objek sikap (Ajzen, 1975).

Aspek selanjutnya adalah subjective norm. Aspek ini merupakan keyakinan individu mengenai norma-norma yang berlaku (normative belief) atau apa yang


(39)

25

orang lain harapkan untuk ia lakukan dan seberapa besar motivasi dirinya untuk memenuhi harapan tersebut. Individu yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian orang-orang disekitarnya memotivasi dirinya untuk melakukan sesuatu, ia akan merasakan motivasi itu sebagai suatu tekanan sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tingkah laku yang mendukung tekanan tersebut.

Aspek yang terakhir ialah perceived behavior control. Aspek ini terbentuk dari keyakinan individu mengenai kemampuan yang ia miliki untuk melakukan suatu tingkah laku serta persepsi dirinya dalam melalui hambatan-hambatan yang ia alami dalam menampilkan tingkah laku. Tingkah laku yang ditampilkan bukan hanya ditentukan oleh motivasi untuk melakukan namun juga ditentukan oleh kontrol diri terhadap suatu tingkah laku. Hal ini dapat membawa untuk memprediksikan pencapaian tujuan secara terpisah dari intensi untuk menampilkan suatu tingkah laku. Dari ketiga aspek yang mendasari intensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan aspek yang sangat erat hubungannya dengan munculnya suatu tingkah laku. Hal ini disebabkan karena bahwa tingkah laku individu seringkali didahului oleh adanya niat atau intensi untuk berperilaku. (Ajzen, 1975)


(40)

26

2.2 Persepsi

2.2.1 Pengertian Persepsi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sedangkan menurut Kamus Psikologi (Chaplin, 2005), persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera.

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya, kemudian stimulus diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan otak merupakan proses psikologisnya sehingga individu bisa mempersepsi stimulus yang diterimanya (Walgito, 2002).

Pendapat lain tentang persepsi itu sendiri adalah proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan (Atksinson, 2000). Senada dengan itu persepsi juga diartikan sebagai suatu proses yang didahului oleh stimulus yang diterima oleh alat indera yang kemudian diorganisasikan dan iinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diindrakannya itu (Davidoff, 1981).

Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Menurut Young (1956) persepsi merupakan aktivitas


(41)

27

mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain.

Persepsi juga merupakan suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang disimpan dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung (Matlin, 1989, Solso, 1988 dalam Suharnan, 2005).

Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif, senang atau tidak senang dan sebagainya.

Persepsi melibatkan dua proses sekaligus: proses bottom-up (apa yang ditampilkan oleh stumulus atau objek persepsi) dan proses top-down (pengetahuan seseorang yang relevan dengan stimulus itu).

Persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa menurut Muhyadi (1989) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern (kebutuhan, kelelahan, sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian), 2) stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses dan


(42)

28

lain-lain), 3) stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana (sedih, gembira dan lain-lain).

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses dimana setiap individu mengorganisir dan menginterpretasikan apa yang ditangkap melalui sistem alat indera manusia untuk memberikan arti pada lingkungan.

Proses Terjadinya Persepsi

Interpretasi Tanggapan

Stimulus Penglihatan

Suara Bau Rasa Texture

Indera pemerima

Perhatian

Persepsi

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Menurut Robbins (2001), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu:

1. Orang yang melakukan persepsi. Ada beberapa hal yang dapat memperngaruhi persepsi seseorang, antara lain:


(43)

29

b. Motif atau keinginan yang belum terpenuhi yang ada dalam diri seseorang akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan

c. Interest (ketertarikan). Fokus perhatian individu dipengaruhi oleh ketertarikan tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan obyek persepsi yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-masing individu.

d. Harapan. Harapan dapat menyebabkan distorsi terhadap obyek yang dipersepsikan atau dengan kata lain sseseorang akan mempersepsikan suatu objek atau kejadian sesuai dengan apa yang diharapkan.

2. Target atau obyek persepsi, karakteristik dari obyek yang dipersepsikan dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Rangsang obyek yang bergerak di antara obyek yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang obyek yang paling besar diantara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat. Karakteristik orang yang dipersepsi baik itu karaketrisitik personal sikap ataupun tingkah laku dapat berpengaruh terhadap orang yang mempersepsikannya karena manusia dapat saling mempengaruhi persepsi satu sama lain, orang tua yang berinteraksi dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat, selalu antusias, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap persepsi anak akan orang tuanya.


(44)

30

3. Faktor situasi yaitu sat persepsi muncul, konteks situasi saat melihat objek baik berupa lokasi, cahaya dan suasana sangatlah penting. Pada faktor situasi terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi, antara:

a. Konteks sosial, bagaimana lingkungan social memandang objek persepsi seseorang adalah kecenderungan sesuai dengan apa yang dipersepsikan lingkungan sosialnya.

b. Konteks pekerjaan, persepsi seseorang terhadap suatu peristiwa dalam lingkup pekerjaan.

c. Waktu, pada saat objek persepsi tersebut dipersepsikan.

2.3 Bullying

2.3.1 Pengertian Bullying

Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak diberikan oleh para ahli, peneliti dan pengarang mengenai bullying. Terlebih pada beberapa tahun belakangan ini, banyak dari mereka para ahli, peneliti, ataupun pengarang yang tertarik pada permasalahan mengenai bullying, terutama bullying yang terjadi di sekolah-sekolah.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia bullying diartikan sebagai perilaku "menggertak' atau `menggencet' namun padanan kata tersebut dirasa belum tepat untuk merepresentasikan kata bullying itu sendiri sehingga untuk pembahasan selanjutnya, kata bullying akan tetap dipakai.


(45)

31

Diantaranya ialah Sullivan (2000), ia menjelasakan definisi bullying dalam bukunya yang berjudul “The Anti-Bullying Handbook on 2000th ialah:

“Bullying is a conscious and willful act of aggression and/or manipulation by one or more people against another person or people. Bullying can last for a short period or go on for years, and is an abuse of power by those who carry it out. It is sometimes premeditated, and sometimes opportunistic, sometimes directed mainly towards one victim, and sometimes occurs serially and randomly.”

Menurut Sullivan, dalam bukunya “The Anti-Bullying Handbook Tahun 2000”, mendefinisikan bullying adalah tindakan menyerang yang dilakukan secara sadar dan sengaja dan atau di manipulasi oleh satu atau lebih banyak orang terhadap orang lain atau orang banyak. Bullying dapat bertahan untuk waktu yang singkat atau bahkan selama bertahun-tahun, dan ini adalah sebuah penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang melakukannyanya. Kadang-kadang direncanakan, dan kadang-kadang dilakukan dengan oportunis, kadang-kadang dilakukan terutama terhadap satu korban, dan kadang-kadang terjadi berturutan dan acak.

Sedangkan menurut Olweus (1993) menyatakan bahwa bullying ialah:

“I define bullying or victimization in the following general way: A student is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students (Olweus, 1993).”

Olweus mendefinisikan bahwa bullying atau penganiayaan sebagai berikut: Seorang siswa sedang ditindas atau menjadi korban ketika ia dipermalukan secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, untuk sebuah tindakan negatif dari satu atau lebih siswa lain (Olweus, 1993).


(46)

32

Menurut Ken Rigby (dalam Astuti, 2004) Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.

Lebih luas lagi, berdasakan definisi Papalia (2007) mengatakan bahwa

bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan tenang/tanpa beban, disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Sedangkan bila kita mengkhususkan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah

(school bullying) maka dapat diambil sebuah pengertian yang diberikan oleh Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005). Mereka mengartikan school bullying

sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Menurut Olweus (2003) bullying adalah perilaku yang menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik dalam bentuk kekerasan fisik, verbal, ataupun psikologis. Tindakan ini bisa dengan mudah dikenali, di antaranya adalah pelecehan, diskriminasi, intimidasi, pengucilan, ejekan, dan kekerasan nonfisik lainnya. Dampaknya bukan hanya pada fisik tetapi aspek psikologis, apalagi bagi anak-anak usia sekolah yang sangat rentan menciptakan awal yang buruk bagi


(47)

33

masa depannya. Dampak paling fatal yang sangat ditakutkan adalah bagi perkembangan psikologi anak itu sendiri. Karena konsekuensi logisnya bisa menjadi efek negatif yang permanen dan merusak masa depan anak yang khususnya ada dalam kondisi yang transisional. Anak yang menjadi korban

bullying umumnya akan terlihat enggan pergi ke sekolah, roman wajah muram, dan prestasi akademik menurun.

Tidak jauh beda dengan pernyataan Sullivan mengenai elemen-elemen di dalam bullying, Olweus (1993) pun mengatakan: “Bullying involves a desire to hurt, hurtfill action, a power imabalance (an imbalance is obvious enough when a bully towers over a cowering victim or group of bullies abuse a solitary I ndividual), (typically) repetition, an unjust use of power, avidental enjoyment by aggressor and a sense of being oppressed on the part of the victim”.

Berdasarkan pernyataan Olweus di atas, maka di dapat pengertian bahwa

bullying dapat terjadi karena adanya hasrat untuk menyakiti atau perilaku merugikan, adanya kekuatan atau power yang tidak seimbang (ketidakseimbangan tersebut cukup jelas terlihat, ketika pelaku bullying atau yang biasa disebut bully

menyebabkan ketakutan yang berlebih pada korban atau melakukan macam-macam dari perilaku bullying itu terhadap individu yang dikucilkan). Terdapat adanya pengulangan dalam melakukan bullying, adanya penyalahgunaan kekuatan (kekuasaan), merasakan adanya kenikmatan dengan melakukan tindakan agresif dan penindasan terhadap korbannya.


(48)

34

2.3.2 Faktor – faktor bullying

Tindakan bullying mencerminkan bahwa bullying adalah masalah penting yang dapat terjadi di setiap sekolah jika tidak terjadi hubungan sosial yang akrab oleh sekolah terhadap komunitasnya, yakni murid, staf, masyarakat sekitar, dan orang tua murid. Maka, Sullivan, dkk (2004) menyimpulkan bahwa faktor-faktor bullying

antara lain disebabkan sebagai berikut:

1. Perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, jender, etnisitas/rasisme.

2. Senioritas, sebagai salah satu perilaku bullying, seringkali pula justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten. Keinginan mereka untuk melanjutkan masalah senioritas adalah untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau untuk menunjukkan kekuasaan.

3. Keluarga yang tidak rukun.

4. Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif. 5. Karakter individu/kelompok, seperti:

b. Dendam atau iri hati;

c. Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual; dan

d. Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan (peer group)-nya.


(49)

35

2.3.3 Bentuk-bentuk Bullying

Perilaku bullying yang merupakan bentuk dari tindakan agresivitas yang membuat korban merasa tidak nyaman dan terluka, baik secara fisik maupun psikologis, seperti telah dikatakan oleh para ahli di atas, maka terdapat jenis-jenis dari perilaku bullying tersebut diantaranya, menurut Sullivan (2000) membedakan

bullying dalam 2 bentuk:

a. Fisik: Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak kepemilikan (property) korban, penggunaan senjata dan perbuatan kriminal.

b. Non - Fisik: Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal

Verbal: Contohnya, panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, menyebarluaskan kejelekan korban.

Non-Verbal: terbagi menjadi langsung dan tidak langsung:

1. Tidak Langsung: Diantaranya adalah manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang, dan sembunyi-sembunyi.


(50)

36

2. Langsung: Contohnya gerakan (tangan, kaki, atau anggota badan lain) kasar atau mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram, hentakan, mengancam, atau menakuti.

Berdasarkan penjelasan di atas, jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk bullying terbagi manjadi dua, yaitu fisik dan non fisik. Fisik seperti memukul dan menendang, sedangkan non-fisik terbagi menjadi dua, yaitu verbal seperti mengancam atau mengintimidasi, dan non-verbal seperti menghasut dan mengancam.

Berdasarkan kategori, Riauskina, dkk (2005) mengelompokkan perilaku

bullying dalam 5 kategori, diantaranya ialah:

1. Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain).

2. Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip).

3. Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).


(51)

37

4. Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).

5. Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal). Berdasarkan penjelasan di atas, kategori bullying ialah kontak fisik langsung seperti memukul dan mendorong, kontak verbal langsung seperti mengejek, perilaku non-verbal langsung seperti mengancam, non-verbal tidak langsung seperti memanipulasi pertemanan, dan yang terakhir ialah pelecehan seksual.

2.3.4 Ciri perilaku bullying

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Astuti (2004), dapat diamati bahwa pelaku bullying mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di sekolah; 2. Menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah/di sekitarnya;

3. Merupakan tokoh popular di sekolah;

4. Gerak-geriknya seringkali dapat ditandai: sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata kasar, menyepelekan/melecehkan.

Sedangkan, ciri-ciri korban yang mengalami bullying antara lain: 1. Pemalu/pendiam/penyendiri;


(52)

38

3. Mendadak menjadi penyendiri/pendiam;

4. Sering tidak masuk sekolah dengan alasan tak jelas;

5. Berperilaku aneh atau tidak biasa (takut/marah tanpa sebab, mencoret-coret, dsb).

Berdasarkan pemaparan di atas, dijelaskan ciri – ciri pelaku bullying dan korban bullying. Ciri pelaku bullying diantaranya ialah hidup berkelompok, berkuasa, tokoh popular di sekolah, sedangkan ciri – ciri korban bullying ialah pemalu, pendiam, bodoh, sering tidak masuk sekolah karena alasan yang tidak jelas dan berperilaku yang aneh (tidak biasa).

2.3.5 Karakterisitik Bullying

Berdasarkan hasil penelitian para ahli, antara lain oleh Rigby (dalam Astuti, 2004), bullying yang banyak dilakukan di sekolah umumnya mempunyai tiga karakteristik yang terintegrasi sebagai berikut:

1. Ada perilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk menyakiti korbannya. 2. Tindakan itu dilakukan secara tidak seimbang sehingga menimbulkan perasaan

tertekan korban.

3. Perilaku itu dilakukan secara berulang atau terus-menerus.

Dalam harian Jakarta Post (Mei 2005), diungkapkan bahwa bagi sebagian siswa, fenomena bullying tidak terlalu menjadi masalah besar bagi mereka, karena ini dianggap bagian dari proses sosialisasi atau pergaulan antar teman di sekolah yang ada dengan sendirinya (talent for granted). Sebagian diantara mereka


(53)

39

berpendapat bahwa jenis bullying seperti malicious talks (teasing, devaluing, isolation) atau gossip yang mempunyai segi positif, karena ini dilakukan sebagai pelajaran supaya korban segera mawas diri bahwa ia diledek.

2.3.6 Sumber - Sumber Psikologis yang Mendasari Perilaku Bullying

Olweus (1993) mengemukakan beberapa sumber psikologis yang mendasari munculnya perilaku bullying. Sumber-sumber psikologis tersebut adalah:

1. Para pelaku bullying mempunyai keinginan yang kuat untuk kekuasaan dan dominansi. Mereka terlihat sangat menikmati dalam mengontrol orang lain dan adanya keinginan untuk memiliki orang lain dalam maksud yang tidak baik. 2. Bagaimana para pelaku bullying ini dibesarkan di lingkungan keluarganya.

Pelaku bullying dibesarkan di dalam keluarga yang authoritarian dengan tingkat kepaduan yang rendah dan menunjukkan sikap bermusuhan. Orangtua menganggap bahwa pendapat orangtualah yang benar dan tidak menghargai pendapat anak. Hukuman fisik pun sering dilakukan untuk menghukum anak mereka. Dengan demikian, adalah hal yang wajar untuk berasumsi bahwa para pelaku bullying tersebut telah mengembangkan sikap bermusuhan terhadap lingkungan mereka sendiri, seperti perasaan yang dapat membuat mereka merasa senang atau puas ketika telah membuat seseorang terluka dan menderita.


(54)

40

3. Adanya komponen keuntungan atas perilaku mereka. Para pelaku bullying

terkadang suka memakan korban bullying untuk memberikan mereka rokok, uang, bir, atau sesuatu yang berharga atau ada harganya untuk para pelaku

bullying. Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang mengandung komponen antisocial dan perilaku yang suka melanggar aturan. Hal itu dapat menyebabkan remaja yang berperilaku agresif dan suka melakukan bullying terhadap orang lain mempunyai kesempatan menjadi seseorang yang selalu dipenuhi dengan masalah-masalah seperti kriminalitas dan alkoholik (pecandu minuman keras).

2.4 Persepsi Bullying

Pengertian Persepsi Bullying

Persepsi bullying adalah kesan atau tanggapan yang diterima oleh alat indera tentang bullying yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diindrakannya itu dalam rangka memberikan makna terhadap perilaku bullying.

2.5 Intensi Bullying

Pengertian Intensi Bullying

Intensi bullying adalah keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seorang untuk menampilkan perilaku melakukan bullying. Semakin besar intensi


(55)

41

seseorang untuk melakukan bullying, maka semakin besar pula seseorang untuk menampilkan perilaku bullying

2.6 Kerangka Berfikir

Fenomena yang sering terjadi di sekolah ialah bullying. Bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti “penggencetan”, “pemalakan”, “pengucilan”, “intimidasi” dan lain-lain.

Fenomena ini membuat korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.

Maraknya fenomena bullying di sekolah – sekolah menimbulkan keinginan pada para siswa untuk melakukan tindakan bullying. Keinginan mereka dikarenakan adanya tindakan bullying tersebut terjadi di lingkungan terdekat mereka, yakni sekolah, pergaulan, dan keluarga.

Siswa yang melakukan bullying karena balas dendam biasanya mempunyai keinginan yang kuat untuk menampilkan perilaku itu. Keinginan yang kuat dalam diri seseorang untuk menampilkan perilaku disebut dengan intensi.


(56)

42

Faktor yang berpengaruh dalam pembentukan intensi yaitu attitude toward behavior, subjective norm dan perceived behavioral control (PBC). PBC adalah persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.

Ketiga determinan tersebut akan menjadi pertimbangan dalam diri seseorang dan akan mempengaruhi intensinya untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku melakukan bullying.

Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fisbein & Ajzen,1975).


(57)

43

KERANGKA BERPIKIR

Tinggi Faktor - faktor yang mempengaruhi:

(Fishbein & Ajzen)

1. Attitude Toward Behavior (penilaian baik atau buruk suatu perilaku)

2. Subjective Norm (Norma yang berlaku)

3. Perceived Behavior Control (keyakinan individu untuk menjalankan atau tidak suatu perilaku)

Persepsi Bullying

INTENSI

BULLYING

Rendah

SISWA

2.7 Hipotesis

Ha: Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying pada siswaSMA Negeri 82 Jakarta.

Ho: Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying pada siswaSMA Negei 82 Jakarta.


(58)

44

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, dan dalam hal ini akan

dibatasi secara sistematis sebagai berikut: jenis penelitian, variabel penelitian, subjek

penelitian, metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur

dan teknik analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan ialah penelitian

kuantitatif, yaitu penelitian yang informasi atau datanya dianalisis menggunakan teknik

statistik. Dengan demikian, hipotesis pada penelitian kuantitatif diuji dengan prosedur

pengujian statistik (Kountur, 2009). Sedangkan menurut Azwar (2005) penelitian

dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metode statistika. Dengan pendekatan kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan anatara satu variabel dengan variabel yang lain (Sevilla, 1993).

3.1.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah korelasional. Penelitian korelasional adalah


(59)

45

mengetahui tingkat hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu

populasi (Kountur, 2009). Pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan

besarnya arah hubungan (Sevilla, 1993). Alasan peneliti menggunakan penelitian

korelasional adalah karena peneliti ini bertujuan untuk melihat hubungan antara 2

variabel, yaitu antara persepsi tentang bullying dengan intensi melakukan bullying. Pengukuran dalam korelasi ini digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan

antara satu variabel dengan variabel lain.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Definisi Variabel

Variabel menurut (Hasan, 2002) adalah konstruk yang sifat-sifatnya sudah diberi nilai-nilai dalam bentuk bilangan, atau konsep yang mempunyai dua nilai atau lebih pada suatu kontinumnya yang dapat dinyatakan dengan angka atau kata-kata. Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis variabel, yaitu variabel terikat (dependent variable),

dan variabel bebas (independent variable). Sevilla (1993) mendefinisikan variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau mengakibatkan hasil, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau dari hasil penelitian. Adapun variabel-variabel tersebut ialah:

1. Dependent Variable/Variabel Terikat (DV): Intensi bullying


(60)

46

3.2.2 Definisi Konseptual Variabel

Definisi konseptual adalah definisi yang diperoleh dari kamus. Definisi ini adalah arti universal dari sebuah kata atau kelompok kata. Definisi ini lebih formal dan abstrak dibandingkan dengan definisi operasional (Sevilla, 1993). Definisi konseptual diambil berdasarkan teori. Dalam penelitian ini definisi konseptual dari masing-masing variabel adalah:

1. Persepsi bullying adalah kesan atau tanggapan yang diterima oleh alat indera tentang bullying yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diindrakannya itu dalam rangka memberikan makna terhadap perilaku bullying.

2. Intensi bullying adalah keinginan yang menunjukkan adanya usaha atau kesiapan seorang untuk menampilkan perilaku melakukan bullying. Semakin besar intensi seseorang untuk melakukan bullying, maka semakin besar pula seseorang untuk menampilkan perilaku bullying.

3.2.3 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional penelitian adalah suatu definisi yang memberikan penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang akan diukur (Kountur, 2005).

Definisi operasional yang dipakai untuk kedua variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Persepsi bullying adalah skor yang diperoleh oleh responden berdasarkan pengalaman skala persepsi bullying yang meliputi dimensi bullying yang terdiri dari


(1)

72

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan berdasarkan analisa hasil penelitian, serta diskusi dan saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi bullying dengan intensi melakukan bullying. artinya semakin positif persepsi siswa tentang bullying maka akan semakin tinggi intensi siswa melakukan bullying.

5.2 Diskusi

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi bullying dengan intensi melakukan bullying. hal ini sesuai dengan hasil statistik pada uji hipotesis yang menjelaskan (0.286) > rtabel ((Sig. 5% ; N 50 = 0.279). Maka dapat dikatakan bahwa antara persepsi bullying terhadap intensi melakukan bullying memiliki pengaruh yang signifikan dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Dengan demikian hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizi, Shahrin, dan Ibrahim (2009) di Batu Pahat, Malaysia. Dalam penelitiannya persepsi siswa untuk melakukan bullying memnujukkan adanya hubungan yang signifikan. Sehingga ada hubungan yang positif


(2)

73

73 antara faktor-faktor yang mempengaruhi bullying dengan persepsi siswa terhadap bullying. Di antaranya siswa melakukan bullying diantaranya karena untuk kesenangan, balas dendam, menunjukkan kekuasaan, karena diperlakukan seperti itu oleh seniornya dan juga mendapatkan kepuasan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk (2005) yang menjelaskan bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), iri hati (menurut korban perempuan. Pada penelitiannya faktor-faktor tersebut diatas merupakan penyebab siswa mempunyai persepsi positif terhadap bullying. Dijelaskan pula, bahwa siswa yang mempunyai persepsi negatif tentang bullying merasa hal itu sebagai salah satu untuk mentaati peratutan sekolah.

Siswa yang melakukan bullying karena balas dendam biasanya mempunyai keinginan yang kuat untuk menampilkan perilaku itu. Keinginan dalam diri seseorang untuk menampilkan perilaku erat kaitannya dengan intensi (intention). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ajzen (1988) dengan asumsinya bahwa semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fisbein & Ajzen,1975). Faktor-faktor yang dapat menghambat atau mendukung munculnya perilaku menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dapat berupa faktor kesempatan, kemampuan, ketersediaan dan halangan.

Dari ketiga aspek yang mendasari intensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan aspek yang sangat erat hubungannya dengan munculnya suatu


(3)

tingkah laku. Hal ini disebabkan karena bahwa tingkah laku individu seringkali didahului oleh adanya niat atau intensi untuk berperilaku. (Ajzen, 1975)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nadia ( Paramadina, 2008) yang mengemukakan bahwa intensi pada siswa SMP untuk

melakukan bullying yang dipengaruhi oleh tiga determinan intensi, yakni attitude

toward behavior, subjective norm perceived behavior control. Hasil penelitian ini

mendapatkan ada hubungan yang signifikan antara intensi bullying dengan ketiga

determinan intensi tersebut. Dan yang memberikan sumbangsih terbesar dalam penelitian ini ialah perceived behavior control.

5.3 Saran

Berdasarkan penulisan penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Peneliti mencoba memberikan saran dan masukan untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya.

5.3.1 Saran Teoritis

a. Untuk dapat mengungkap lebih dalam mengenai persepsi bullying berkaitan dengan aspek-aspek persepsi bullying, alasan siswa melakukan bullying, penelitian-penelitian tentang persepsi bullying dan lain-lain dapat dilakukan wawancara dengan siswa dan guru yang pernah mengalami bullying.

b. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian lanjutan yaitu analisis faktor-faktor intensi melakukan bullying.


(4)

75

75 c. Karena keterbatasan waktu dari pihak sekolah, sebaiknya pada penelitian

yang akan datang diadakan kerja sama antara pihak peneliti dan pihak sekolah agar siswa-siswa dapat memberikan respon yang kondusif dalam penelitian.

5.3.2 Saran Praktis

a. Sekolah agar lebih mensosialisasikan lagi pengetahuan tentang bullying, agar fenomena bullying ini tidak menjadi suatu tradisi yang berkepanjangan. Dan menjadikan sekolah sebagai sekolah anti-bullying.

b. Kepada pihak sekolah agar diperbanyak kegiatan ekstrakulikuler yang positif agar siswa dapat mengisi waktu kosongnya dengan hal yang bermanfaat.

c. Orang tua bekerja sama dengan sekolah agar lebih memberikan perhatian khusus kepada para siswa, agar mereka tidak melakukan pergaulan bebas di sekolah ataupun di luar sekolah tanpa kontrol orang tua.

d. Masyarakat dan lingkungan sekitar agar mendukung pihak sekolah ataupun pemerintah, jika terjadi kegiatan bullying di sekitar sekolah sehingga pihak sekolah dapat mengantisipasi.


(5)

Ajzen, Icek. 1988. Attitudes, personality, and behavior. Milton Keynes: Open University Press

Astuti, Ponny Retno. 2008. Meredam bullying: 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada Anak. Jakarta: Grasindo

Atkinson, Rita. L, Atkinson, Richard, C., & Hilgard, Ernest, R, 1988. Pengantar psikologi, terj. Nurdjannah Taufik dan Rukmini Bahana, Edisi Ke Delapan, jilid 1. Jakarta: Erlangga

Azwar. Syaifuddin. 2008. Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Chaplin, J. P.2004. Kamus Lengkap psikologi, terj. Kartini-Kartono (Cetakan Ke-9). Jakarta: Raja Grafindo Persada

Davidoff, Linda. 1991. Psikologi suatu pengantar jilid 2. Jakarta: PT Erlangga Desmita. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Fishbein, M. S & Ajzen. 1975. Beliefs, Attitude, Intention, and Behavior.

Massachussets: Addison Wesley Publishing Company

Fishbein, M. S & Ajzen. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social Behavior. Englewood: Prentice Hall, Inc

Hasan, M. Iqbal. 2002. Metodologi penelitian dan aplikasinya (cetakan pertama). Bogor: Ghalia Indonesia

Holliday, Jennifer. 2002. Bullying: Policy, Research and influencing Unit. Barnado’s


(6)

Kountur, Ronny. 2007. Metode penelitian untuk penulisan skripsi dan tesis. Jakarta: Penerbit PPM

Kuncono. 2004. Aplikasi Komputer Psikologi. Jakarta. Universitas Persada Indonesia

Monks, F. J, et al. 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Olweus, Dan. 1931. Bullying at School: What we know and what we can do. Oxford : Blackwell.

Robbins, P. Stephen. 2006. Perilaku organisasi. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia (Prentice-Hall, 2003)

Sevilla, dkk. 2000. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suharnan, MS. 2006. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi

Sullivan, Keith, Mark Cleary, & Ginny Sullivan. 2004. Bullying in Secondary Schools: What it looks like and how to manage it. Corwin Press

Sullivan, Keith. 2000. The Anti-Bullying Handbook. Oxford University Press Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.

Yahaya, Azizi., Ramli, Jamaluddin., Hashim Shahrin., Ibrahim., Mohd. Ali., Abd. Rahman, RR. (2009). Teachers and student perception towards bullying in Batu Pahat District Secondari schools. European Journal of Social Science, Vol. 11, No. 4.

Yayasan Semai Jiwa Amini.2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo