Identifikasi Evaluasi Kinerja N. Vinki Rahman, ST, MT 4. Imam Faisal Pane, ST, MT

25 kriteria kinerja biasanya dokumen dalam program fungsional atau singkat, dan membuat eksplisit melalui kinerja lan mengukur,sebagai lawan spesifikasi untuk solusi tertentu dan sistem perangkat keras, pemilihan yang merupakan domain dari desainer.

2.4 Identifikasi Evaluasi Kinerja

2.4.1 Sistem Evaluasi KinerjaBangunan Kebutuhan manusia yang timbul dari kebutuhan pengguna berupa bentuk interaksi dengan setting pengaturan yang dalam lingkungan binaandidefinisikan ulang sebagai tingkat kinerja. Hal ini sangat analogis dengan hierarki kebutuhan manusiaMaslow, 1948 yaitu: aktualisasi diri, cinta, harga diri, keselamatan, dan kebutuhan fisiologis, dengan rincian tripartit jabaran pengguna yang bekerja sama dalam kebutuhan dan kinerja terhadap kriteriatiga kategori untuk mengevaluasi kualitas bangunan yang telah didalilkan berabad lalu olehArsitek Romawi Vitruvius. Evaluasi kualitas bangunan menurut dalil Vitruvius adalah utility, fitness and puspose, delight merupakan sejarahpendekatan untuk menetapkan prioritas pada pembangunan kinerja dan pada saat sekarang telah berubah menjadi sebuah sistem hierakial kebutuhan pengguna antara lain oleh Lang dan Burnette 1974, dan disintesis menjadikerangka kelayakhunian kerangka oleh Preiser 1983 dan Vischer 1989. Tiga levels prioritas yang ditampilkan dalam Gambar2.8 ini adalah:1Kesehatan, keselamatan dan kinerja keamanan; 2 Fungsional, efisiensi dan alur kerja kinerja; 3 Kinerja psikologis, sosial, budaya dan estetika. Universitas Sumatera Utara 26 Gambar 2.8 Level Prioritas Kinerja Bangunan Setiap kategori tujuan diatas meliputi subtujuan masing-masing. Pada tingkat pertama, salah satu subtujuan mungkinkeselamatan; di tingkat kedua subtujuannya fungsi, efektif dan efisien proses kerja, ruang yang memadai, dan kondisi daerah fungsional terkait; dan, ditingkat ketiga untuk sejumlah subtujuan termasuk privasi, rangsangan sensorik, dan estetika, tingkat kinerja berinteraksi. Mereka juga mungkin bertentangan satu sama lain sehingga membutuhkan resolusi agar efektif. Ketiga bagian tersebut seperti Gambar 2.8yang menunjukkan tiga tingkat hirarki juga paralel dari kategori standar dan pedoman yang tersedia untuk membangun bagi desainer dan profesional. Tingkat1berkaitan dengan kode bangunan dan proyek-proyek standar keselamatan hidup harus dipatuhi. Tingkat 2mengacu pada pengetahuan ketentuan yang bernilai seni tentang jenis dan sistem bangunan, sebagaimana dicontohkan oleh lembaga tertentu mengenai panduan desain atau karya Universitas Sumatera Utara 27 referensi seperti Time Saver Standar: Arsitektural Desain Data Watson, Crosbie, dan Callender, 1997, atau Architect’s Desain Room Data Handbook Stitt, 1992. Level 3 berkaitan dengan pedoman desain berbasis penelitian, yangkurang dikodifikasikan, namun demikian sama pentingnya bagi desainer. Sistem hirarki ini berkaitan dengan unsur-unsur bangunan dan pengaturan untuk membangun pengguna dankebutuhan dan harapan mereka. Dalam menerapkan pendekatan ini, lingkungan fisik dianggap sebagai lebih dari sekedar sebuah bangunan atau shell karena fokus pada pengaturan dan ruanguntuk kegiatan tertentu yang terlibat dalam oleh pengguna. Elemen sistem kinerja bangunan berikut efek variabel, dapat dilihat sebagai hirarki naik dari kecil- skala besar , atau dari bawah ketingkat yang lebih tinggi dari abstraksi seperti terlihat pada Gambar 2.9 . Gambar 2.9 Variabel Kinerja Bangunan Universitas Sumatera Utara 28 Banyak pemangku kepentingan, selain desainer dan insinyur, berpartisipasi dalam penciptaan danpenggunaan bangunan, termasuk investor, pemilik, operator, staf pemeliharaan dan mungkin yang palingpenting adalah pengguna akhir, yaitu orang-orang yang sebenarnya yang menempati dan menggunakan bangunan. Sementara istilahevaluasi mengandung kata nilai, karena itu evaluasi penghuni harus menyatakan secara eksplisitnilaiyang dipanggildievaluasi ketika menilai kinerja bangunan. Sebuah evaluasi juga harus menyatakanyang nilai-nilainya mendominasi dalam konteks di mana kinerja sebuah bangunan diukur. Kerangka BPE mengacu pada model peningkatan mutu berkelanjutan untuk mencakupdesain dan kinerja teknis bangunan, dan memberikan kontribusi untuk pembangunan pengetahuan didesain dan konstruksi industri. Pendekatan ini komprehensif untuk membangun evaluasi kinerja yang berlaku untuk semua jenis fasilitas. Pada jenis bangunan tertentu dengan lokasi dan konteks budaya, kinerja yang diharapkan daribangunan perlu didefinisikan dan dikomunikasikan kepada orang-orang yang memprogram, desain, dan yang pada akhirnya mengoperasikan fasilitas. Penting untuk diingat bahwa teknis fisik dan kinerja bangunan secara langsung terkait dengan kualitas bangunan yang dirasakan oleh penghuni.Hal ini berati bahwa persepsi penghuni adalah menjadi signifikan sebagai atribut dari bangunan yang yangdidefinisikan oleh tindakan independen ketika bangunan dievaluasi. Perancang harus memuat desain yang dievaluasiberdasarkankesesuaian dengan bagaimana disain itu digunakan dan bukan pada bagaimana tampilannya. Universitas Sumatera Utara 29 Berikutnya adalah enam tahap evaluasi kinerja bangunan BPE yangdisajikan sebagai kategori untuk menentukan kinerja kuantitatif dan kualitatif yang diharapkan padaberbagai jenis skala lingkungan terbangun pada Gambar 2.10. Hal ini didasarkan pada jenis dan jumlahpengguna, pola ruang digunakan, kesehatan, keselamatan dan keamanan kriteria yang diharapkan, kriteria fungsional,kriteria sosial, psikologis dan budaya, kondisi lingkungan ambien, relativitas hubungan spasial, kriteria peralatan, kriteria kode, persyaratan khusus, dan terakhir, namun harus diingat adalah perkiraan kebutuhan ruang Preiser, Rabinowitz, dan White, 1988. BPE merupakan sebuah konsep awal dalam memvalidasi standar kinerja yang mungkin sudah ada, atau yang harusdikembangkan untuk jenis bangunan tertentu. Gambar 2.10 Kategori Tahapan BPE Sementara dalam pengadaan bangunan masa lalu dipandang linear dimana proses produk yang berorientasi hanya pada akhir tertentu. Kerangka integratif adalah Universitas Sumatera Utara 30 model dinamis, berkembang dan non mekanik Petzinger, 1999,yang dapat digambarkan sebagai pitahelixyang akan terus berkembang untuk pengetahuan tentang kinerja bangunan.Sebagaimana dinyatakan diatas yang mencoba untuk menghormati sifat kompleks evaluasi kinerja dalammembangun proses pengadaan serta di seluruh siklus hidup bangunan. Kerangka BPE mendefinisikan pengadaan bangunan dan siklus hidup dari perspektif semua pihak yangterlibat dengan bangunan. Seiring waktu dan dengan berfokus pada kondisi pendataanyang berulang adalah evaluasinegosiasi bangunan, diharapkan bahwa pengetahuan tentang membangun kinerja akan akuratdalam membangun database jenis tertentu dan tempat transaksi informasi Gambar 2.10. Kriteria kuantitatif dan kualitatif kinerja bangunan yang mewakili hasil atau produk yang diharapkanhasil dari proses pengadaan bangunan, serta membangun kinerja selama siklus hidupnya, merupakan model yang menjadi acuan. Gambar 2.11 ini menunjukkan enam sub tahapan, masing-masingmemiliki internal yang meninjau dan umpan balik loop dan terhubung dengan ketentuan pengetahuan yang terkandung pada gedung dengan jenis database tertentu sebagai pedoman yang diterbitkan serta kelayakan keahlian yang berada di area khusus. Universitas Sumatera Utara 31 Gambar 2.11 Kerangka BPE Universitas Sumatera Utara 32 2.4.2 Metode Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court Definisi pengukuran kinerja, oleh konsensus dalam komunitas manajemen bisnis, dapat didefinisikan sebagai mengukur efisiensi dan efektivitas dari suatu tindakan Neely et al., 1995. Efisiensi dan efektivitas berhubungan, sebagai konsep, untuk Best Practice efisiensi: mengejar kesempurnaan dari pendekatan tertentu, dan Best Valueefektivitas: mengejar yang paling ekonomis dalam arti luas pendekatan. Berdasarkan pertimbangan efisensi dan efektivitas kualitas disain bangunan dalam menghadapi perkembangan aspek fungsional ditelaah agar menghasilkan suatu perhitungan kinerja bangunan setelah digunakan pada jangka waktu tertentu.Evaluasi kinerja yang dilakukan terhadap aspek fungsional bangunan Amaliun Food Court menggunakan metode komparasi dalam konsep BPE. Konsep BPE adalah upaya untuk mengevaluasikinerja bangunan agar tetap optimal setelah digunakan. Komparasi yang dilakukan adalah kondisi yang akan menggunakan strategi pemecahan masalah apakah lebih mendekati kriteria perancangan awal Amaliun Food Court dengan kondisi saat ini yang terjadi. Evaluasi Kinerja Bangunan pada bangunan Amaliun food court terkonsentrasi pada level fungsional yang merupakan hasil studi perancangan terhadap pengakomodasian kegiatan retail food court yang mengalami penambahan jumlah. Evaluasi Kinerja Bangunan pada diagram alurnya memiliki dua sifat tujuan yaitu: medium term dimana strategi yang dijabarkan berupaya mengoptimalkan kinerja, dan long term yang akan menjadi masukan bagi perencana maupun investor dalam proyek Universitas Sumatera Utara 33 sejenis. Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court akan distudi perancangannya berdasarkan aspek fungsional akomodasi retail food court dalam lingkup kinerja teknis letak dan sirkulasi, fungsi luasan serta behavioralperilaku interaksi pedagang dan pengunjung berdasarkan diagram pada Gambar 2.9 diatas dalam skala ruangan dengan masukan dari pengguna pengunjung sebagai masukan dan harapan kinerja karena pedagang hanya menempati area retail berdasarkan petunjuk pemilikpengelola. Upaya memperoleh strategi pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan pendapat pengguna pengunjung terhadap aspek fungsional pengakomodasian kegiatan retail yang optimal terhadap kriteria standar disain pada kondisi awal hasil dari rencana pemilik dengan standar arsitek. Hubungan terhadap dua kondisi ini diperoleh dengan mengadakan analisa numerical weighting pada rencana awal serta dari pengguna dengan mengadakan quisioner. Kedua hasil numerical weighting ini ditemukan dalam sistem matriks agar diperoleh masukan yang dapat memenuhi harapan pengguna dan pemilik yang telah direncanakan dengan standar arsitek.Penelitian akan kinerja pasca bangunan digunakan untuk melihat apakah perkembangan aspek fungsional masih bisa ditanggulangi oleh bangunan tersebut. Bila aspek fungsional masih dapat dilakukan berdasarkan standard minimal dari kenyamanan dan keamanan pengguna maka kinerja bangunan masih baik. Namun bila tidak maka perlu diadakan pertimbangan terhadap aspek fungsional karena bangunan sudah tidak bisa melayani kegiatanaktivitas yang layak. Universitas Sumatera Utara 34 BAB III ANALISA ASPEK FUNGSIONAL BANGUNAN AMALIUN FOOD COURT

3.1 Aspek Fungsional Bangunan Amaliun Food Court