maupun negatif pada pembacaan absorbansi pada metode MTT ataupun pengambilan sel yang tidak merata pada metode pewarnaan biru tripan.
I. UJI TOKSISITAS PADA SEL LIMFOSIT
Toksisitas adalah kapasitas suatu bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan dari mahkluk hidup yang menimbulkan efek yang tidak diharapkan
oleh tubuh Vries, 1997. Efek toksisitas sangat erat hubungannya dengan senyawa toksik. Senyawa toksik mampu membunuh sel karena menyebabkan rusaknya
materi-materi genetik seperti DNA-RNA, menyebabkan denaturasi protein, dan merusak membran sel Bitton dan Dutka, 1986.
Salah satu metode pengujian toksisitas dapat dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Efek dari toksisitas suatu senyawa
diamati dengan seberapa banyak sel limfosit yang mati bila dibandingkan dengan jumlah awal sel serta dengan mengamati tingkat proliferasi sel limfosit. Pengujian
secara in vitro memiliki keunggulan yaitu uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat secara langsung. Teknik pengujian in vitro
yang dikembangkan adalah teknik kultur sel. Terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel dalam kultur in vitro dengan
sel di dalam tubuh in vivo. Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel
semakin meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur memiliki
kekurangan yaitu beberapa
komponen yang
berpengaruh pada
pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem saraf dan sistem endokrin. Menurut Novikoff dan Erick 1970, teknik kultur sel dapat digunakan
untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal ataupun keberadaan senyawa berbahaya pada sel, selain itu juga dapat digunakan untuk
mempelajari sifat sel di luar tempat pertumbuhan alaminya. Teknik kultur sel ini biasanya juga dilakukan untuk sel limfosit. Teknik yang paling banyak digunakan
dalam pengkulturan limfosit adalah tanpa agitasi dimana sel diatur berada di dasar well Malole, 1990. Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan
kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O
2
dan CO
2
, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan Davis, 1994.
Kekurangan dari penggunaan kultur sel adalah hilangnya spesifitas dari sel karena pada awalnya sel bekerja secara terinteregasi dalam jaringan sedangkan di
dalam kultur sel terpisah dari jaringan awal sel Freshney, 1994. Selain kekurangan di atas, aplikasi teknik kultur sel juga harus dilakukan dalam kondisi
steril sehingga membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur serta biaya yang relatif mahal.
Faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan
sel Malole,
1990. Media
kultur sel
berfungsi untuk
mempertahankan pH dan osmolalitas esensial, menyediakan lingkungan yang kondusif bagi sel bertahan hidup, dan menyediakan substansi-substansi yang tidak
dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Secara umum, media kultur sel terdiri dari asam amino, vitamin, garam, glukosa, suplemen organik seperti protein, peptida,
nukleotida, lipid, hormon, dan faktor pertumbuhan. Pemilihan media pertumbuhan disesuaikan dengan jenis sel yang dikultur. Media yang sering digunakan untuk
mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI-1640 yang dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute Davis, 1994.
Pada pembuatan medium kultur ditambahkan buffer dan antibiotik. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO
3
. Buffer berfungsi untuk menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7,4. Pertumbuhan sel memerlukan pH
normal apabila pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat Freshney, 1994. Regulasi pH dilakukan segera setelah sel
disemaikan dalam kultur dan biasanya dilakukan dengan menggunakan satu atau dua sistem buffer yaitu sistem buffer alami yang menggunakan keseimbangan
antara gas CO
2
dengan CO
3
HCO
3
dalam media kultur yang umumnya berupa buffer bikarbonat dan buffer kimia HEPES. Penambahan antibiotik bertujuan
untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme pada medium. Pemilihan antibiotik didasarkan pada senyawa yang tidak bersifat toksik, memiliki spektrum
antimikroba yang
luas, ekonomis,
dan kecenderungan
minimum untuk
menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Faktor pertumbuhan bagi sel terkadang tidak cukup hanya didapatkan dari
media pertumbuhan, dibutuhkan tambahan nutrisi lain bagi pertumbuhan sel. Biasanya ditambahkan serum sebagai sumber utama faktor pertumbuhan dan
faktor hormonal stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sel. Serum yang digunakan pada umumnya adalah serum hewan yang kaya akan faktor pertumbuhan dan
mengandung sedikit globulin, yaitu serum janin sapi Fetal Bovine Serum atau Fetal Calf Serum. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20
Walum et. al., 1990. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam teknik kultur sel adalah konsentrasi
sel yang dikulturkan. Sel limfosit yang akan dikulturkan tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel kurang dari 10
5
selml. Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 10
6
selml. Untuk bertahan hidup sel limfosit membutuhkan O
2
. Pada kondisi O
2
rendah terjadi induksi proses proliferasi, namun pertumbuhan tidak berlangsung lama. Selain memberikan
pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO
2
dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer.
III. METODOLOGI PENELITIAN