Pengaruh Ekstrak Pepes Iradiasi Terhadap Proliferasi Limfosit

asumsi berkurangnya zat-zat nutrisi yang ada untuk mendukung proses pertumbuhan sel. Medium pertumbuhan sel limfosit hanya berfungsi secara maksimal selama tiga hari, bila ingin dikultur lebih lama maka harus dilakukan penyegaran media dan penambahan glutamin. Prinsip pengujian aktivitas proliferasi dilakukan dengan membandingkan dengan jumlah sel limfosit yang hidup tanpa penambahan ekstrak dengan sel yang ditambahkan ekstrak melalui peningkatan ataupun penurunan jumlahnya setelah inkubasi selama 72 jam. Pengukuran jumlah sel dilakukan dengan menggunakan metode MTT melalui pembacaan absorbansi kultur menggunakan microplate reader. Kesalahan perhitungan absorbansi dapat terjadi pada metode MTT akibat adanya kontaminasi dari bakteri ataupun khamir. Mitokondria sel bakteri juga menghasilkan enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT sehingga menghasilkan kristal formazan berwarna biru dan menyebabkan kesalahan positif. Oleh karena itu, penelitian harus dilakukan dalam kondisi yang aseptis dan ekstrak yang digunakan harus steril untuk mengantisipasi kontaminasi yang terjadi. Tabel hasil pembacaan absorbansi uji proliferasi limfosit dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Pengaruh Ekstrak Pepes Iradiasi Terhadap Proliferasi Limfosit

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari nilai pembacaan kultur tampak bahwa nilai indeks stimulasi yang didapatkan bervariasi dan menunjukkan pola tertentu untuk tiap pengenceran. Nilai indeks kultur limfosit ini merupakan nilai rataan dari hasil pembacaan sampel pada dua batch dengan tiga kali ulangan. Kontrol positif LPS dan Pokeweed menunjukkan nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan kontrol standar maupun sampel-sampel yang diujikan, dimana nilai indeks stimulasi LPS adalah 1.813 dan nilai indeks stimulasi Pokeweed adalah 1.466 dari nilai kontrol standar yaitu 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa mitogen yang digunakan masih berfungsi dengan baik untuk menginduksi proliferasi dari limfosit yang diujikan. Perbandingan indeks stimulasi kultur limfosit masing-masing sampel pada berbagai pengenceran dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar Perbandingan pengenceran 1x menunjukkan indeks stimulasi lebih pepes kontrol memiliki menunjukkan nilai indeks indeks stimulasi sebesar stimulasi sebesar 1.347. terlihat bahwa masing nilai indeks stimulasi selang kepercayaan 99. sampel pepes iradiasi yang didapatkan juga menyatakan bahwa baik menginduksi proliferasi 1.356 1.289 1.084 1.144 1.105 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 Ekstrak B Ekstrak Pengenceran Gambar 10. Grafik indeks stimulasi proliferasi kultur Perbandingan antara sampel pepes iradiasi dan sampel pepes menunjukkan bahwa sampel -sampel pepes iradiasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.161, indeks stimulasi seb esar 1.356, sampel pepes C sebesar 1.289, dan sampel pepes D menunjukkan 1.347. Berdasarkan pengujian statisitik menggunakan masing-masing sampel pepes iradiasi pada pen genceran stimulasi yang tidak berbeda nyata dengan sampel pepes 99. Selain itu saat dibandingkan nilai indeks iradiasi dan sampel pepes kontrol dengan kontrol standar juga tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes proliferasi dari limfosit maupun membunuh sel non- 1.347 1.161 1.466 1.813 1.144 1.344 1.259 1.169 0.984 1.293 Ekstrak C Ekstrak D Kontrol Pepes Pokeweed LPS Pengenceran 1x Pengenceran 2x Pengenceran 4x ultur limfosit sampel pepes kontrol pada iradiasi memiliki nilai pepes kontrol. Sampel 1.161, sampel pepes B C menunjukkan nilai menunjukkan nilai indeks menggunakan ANOVA genceran 1x memiliki sampel pepes kontrol pada indeks stimulasi dari standar te rnyata nilai kepercayaan 99. Hal ini sampel pepes kontrol tidak -sitolitik. 1.813 1.000 LPS Kontrol Standar 4x Pada pengenceran 2x terlihat bahwa ekstrak pepes kontrol dengan nilai indeks stimulasi 1.259 memiliki nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes iradiasi B dan sampel pepes C yaitu dengan nilai indeks stimulasi 1.084 dan 1.144. Sedangkan sampel pepes D memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.344. Pada pengujian statistik ANOVA yang digunakan terlihat bahwa nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi sampel pepes kontrol pada pengenceran 2x tidak memiliki perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 99. Saat dibandingkan antara nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi dan pepes kontrol dengan kontrol standar ternyata nilai yang didapatkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes kontrol tidak menginduksi proliferasi dari limfosit maupun membunuh sel non- sitolitik. Sementara itu pada pengenceran 4x terlihat bahwa sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes iradiasi, bahkan nilai indeks stimulasi pada sampel pepes D menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol standar. Nilai indeks stimulasi dari sampel pepes kontrol adalah 1.293, nilai indeks stimulasi sampel pepes B adalah 1.105, sampel pepes C memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.169, sementara nilai indeks stimulasi dari pepes D adalah 0.984. Berdasarkan pengujian statistik ANOVA yang digunakan terlihat bahwa pada pengenceran 4x, nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi sampel pepes kontrol tidak memiliki perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 99. Saat dibandingkan antara nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi dan pepes kontrol dengan kontrol standar ternyata nilai yang didapatkan juga tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes kontrol tidak menginduksi proliferasi dari limfosit dan sampel pepes D tidak mengurangi jumlah sel limfosit yang dikulturkan. Data mengenai pengujian toksisitas in vitro mengenai pangan iradiasi sangat terbatas, terutama pada pangan siap saji. Selama ini pengujian in vitro yang dilakukan juga terbatas pada efek mutagenik dari senyawa radiolitik yang terdapat pada produk iradiasi, misalnya senyawa 2-ACBs dan 2-DCB. Pengujian ini dilakukan pada sel bakteri dan sel mamalia. Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh Ashley et. al. 2004, dari 19 penelitian yang dilakukan secara in vitro terhadap efek mutagenik sel, ada 7 penelitian yang menyatakan bahwa produk dapat menyebabkan mutagenik maupun sitotoksik sel. Namun hal ini dianggap tidak berbahaya karena agen mutagenik yang ada dianggap tidak menyebabkan tumor atau kanker. Sementara itu dari studi in vitro yang dilakukan, dari 26 penelitian yang dilakukan, hanya empat penelitian yang menyatakan bahwa pemberian ransum iradiasi pada tikus menyebabkan mutasi sel. Menurut penelitian lain, pada studi in vivo yang dilakukan, pemberian ransum pangan iradiasi hingga dosis 50 kGy tidak menyebabkan terbentuknya egfek toksik yang signifikan. Saat ditemukan efek yang tidak diinginkan, biasa nya hal itu terjadi akibat alergi maupun ketidakseimbangan nutrisi ransum, terutama akibat tingginya persentase bahan yang diujikan dalam ransum. Pada penelitian ini tampak bahwa ekstrak pepes ikan iradiasi tidak menyebabkan penghambatan proliferasi sel limfosit selama masa inkubasi 72 jam. Hal ini membuktikan bahwa dalam lingkungan pertumbuhan sel limfosit tidak terdapat senyawa yang bersifat toksik, termasuk ekstrak sampel pepes iradiasi. Menurut Diehl 1990, energi yang dihasilkan dari radiasi gamma sumber radioaktif Cobalt-60 terlalu kecil untuk menginduksi radioaktivitas elemen dalam matriks pangan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Doyle 1999. Salah satu kekhawatiran atas keamanan pangan iradiasi juga akibat adanya dugaan pembentukan produk radiolitik berbahaya dalam produk iradiasi. Besar kecilnya keberadaan produk radiolitik ini di dalam produk tergantung pada dosis iradiasi yang diaplikasikan, kadar air bahan, dan keberadaan oksigen Diehl, 1990. Bahkan menurut Nawar 1986, pembentukan senyawa radiolitik yang terjadi akibat proses pemasakan panas biasa lebih besar dibandingkan dengan proses iradiasi. Kombinasi pembekuan dan kondisi vakum pada produk juga mencegah terbentuknya rantai radikal bebas pada produk. Pada suhu -20 ˚C sampai -79˚C, radikal bebas yang terbentuk akibat energi ionisasi akan terperangkap. Umur radikal bebas sendiri hanyalah beberapa nanodetik sehingga tidak mampu bereaksi dengan radikal di sekitarnya maupun dengan terjadinya rantai radikal mencegah proses radiolisis lainnya sehingga unsur kerusakan

3. Pengaruh Variasi