BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan
Brown dan Davis 1973 mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi bahan
bakar alam yang terdapat dalam hutan misalnya serasah, rumput, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pohon-pohon segar lainnya.
Selanjutnya Clar dan Chatten 1945 mengatakan bahwa kebakaran dapat terjadi bila terdapat tiga unsur sekaligus dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya
yang sering disebut dengan segitiga api atau fire triangle yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen yang digambarkan sebagai berikut:
Bahan bakar Panas
Oksigen Gambar 2. Prinsip segitiga api Brown dan Davis 1973
Kebakaran hutan dapat menjalar baik secara vertikal maupun horizontal ke semua arah free burning karena sifatnya yang tidak tertekan. Proses pembakaran
merupakan kebalikan dari proses fotosintesis Brown dan Davis, 1973 yang dapat dijelaskan secara reaksi kimia, sebagai berikut:
Proses fotosintesis: 6CO
2
+ 6H
2
O + energi matahari C
6
H
12
O
6
+ 6O
2
Proses pembakaran: C
6
H
12
O
6
+ 6O
2
+ energi api 6CO
2
+ 6H
2
O + panas energi Selama proses kebakaran dapat diperlihatkan lima fase pembakaran
Debano et al., 1998, yaitu: a.
Fase pra pemanasan pre-ignition Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai
mengalami pyrolisasi, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO
2
, dan gas-gas mudah terbakar termasuk metana, methanol dan hydrogen. Selulosa menunjukkan suhu
API
yang berkenaan dengan panas dicapai pada suhu 250 C 620
F. Pada suhu tersebut partikel-partikel dengan cepat mengembangkan jumlahnya menjadi lebih
besar dan mudah terbakar. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari exotermic memerlukan panas menjadi endothermic melepaskan panas.
b. Fase penyalaan flaming combustion
Pirolisi melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat terbakar. Sebagaimana temperature dari bahan bakar terus meningkat, gas-gas
mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia benar-benar menjadi proses eksotermik dan mencapai puncak pada suhu 320
C. Meskipun gas-gas lebih mudah terbakar yang dihasilkan pada temperatur di atas 200
C, namun gas- gas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika bercampur dengan udara pada suhu
425-480 C. Suhu maksimum yang dapat dihasilkan dengan terbakarnya gas-gas
pada bahan bakar berkisar 1900 C dan 2200
C dengan status campuran udara dan gas-gas ideal.
c. Fase pembakaran smoldering
Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu 1 zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2 zona arang
dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran api mulai menurun sekitar 3 cmjam karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-
gas yang dapat terbakar dalam konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dasyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan
suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Proses ini bisa menaikkan temperatur tanah mineral di atas 300
C dan pada suhu sekitar 600
C menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian organisme tanah.
d. Fase penjalaran glowing
Fase ini merupakan fase terakhir dari proses smoldering. Pada fase ini temperatur puncak dari pembakaran berkisar antara 300
C – 600 C dan sedikit
atau tidak sama sekali menghasilkan asap. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan
oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO
2
, dan abu sisa pembakaran.