BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HAK ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN ISLAM
Hak Asasi Manusia adalah hak yang ada dan melekat pada diri atau martabat manusia, karena kewujudannya sebagai manusia. Hak itu merupakan bagian dari
manusia, sehingga tidak dapat dipisahkan darinya. Hak itu dimiliki oleh manusia, karena dia adalah makhluk Allah yang berbentuk manusia. Hak itu bukan diperolehnya dari
suatu otoritas negara atau pemerintahan atau pihak apapun lainnya, tetapi merupakan anugerah Allah kepada manusia supaya bermartabat sebagai manusia. Sebagai manusia,
dia harus memiliki hak yang asasi, fundamental, dan tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Jika haknya itu dipisahkan dari dirinya, maka nilai kemanusiaannya atau martabatnya itu
akan merosot dan direndahkan, dan bahkan dia tidak akan dihargai sebagai manusia lagi. Hak sepenting ini tidak mungkin luput dari perhatian Islam. Islam sebagai agama
universal dan komprehensif mustahil mengabaikan Hak Asasi Manusia. Bahkan menurut ajaran Islam, Hak Asasi Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari syariat Islam
dan harus merujuk kepadanya. Oleh karena itu sumber utama HAM dalam Islam tiada lain adalah al-Quran dan hadis termasuk di dalamnya sirah atau perjalanan hidup Nabi
Muhammad SAW.. Dari kedua sumber utama inilah para ulama dan cendekiawan Muslim menyarikan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai HAM menurut pandangan
Islam. Sesuai perjalanan waktu, hingga hari ini ada tiga dokumen penting dan mendasar
yang membahas tentang HAM menurut pandangan Islam. Dokumen pertama dibuat pada era Nabi Muhammad SAW lebih dari empat belas abad yang lalu sekitar tahun 622M.
Dokumen kedua diadopsi oleh Dewan Islam Eropa tahun 1981M di Paris. Sedang dokumen ketiga dibuat dan ditandatangani oleh negara-negara anggota Organisasi
Konferensi Islam OKI pada tahun 1990M. Ini berarti ada jarak yang cukup jauh antara dokumen pertama dan kedua-ketiga. Tiga dokumen HAM tersebut oleh para cendekiawan
Muslim dianggap mewakili pandangan Islam dalam masalah HAM, yaitu sebagai berikut:
1. Piagam Madinah.
2. Deklarasi Universal Islam Hak Asasi Manusia.
3. Deklarasi Cairo.
Berikut ini keterangan secara rinci mengenai dokumen-dokumen tersebut:
1. Piagam Madinah.
Piagam Madinah dikenal juga dengan istilah Konstitusi Madinah. Di dalam bahasa asalnya yaitu bahasa Arab, disebut
shahifat al-Madinah
. Piagam Madinah adalah sebuah dokumen yang disusun atas perintah Nabi Muhammad SAW. Isinya merupakan
perjanjian formal antara beliau dengan semua kaum dan suku penting di Yathrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah pada tahun 622 Masehi.
Di dalam dokumen tersebut ditetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban- kewajiban bagi kaum Muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansor,
kaum Yahudi yang terdiri dari beberapa puak, dan beberapa komunitas penyembah berhala yang ada di Madinah dan sekitarnya, dengan tujuan utama menggabungkan
mereka semua menjadi umat yang bersatu padu, terhindar dari pertentangan dan peperangan yang berterusan dan saling membantu menghadapi agresi musuh bersama.
Dalam Piagam Madinah hubungan antara sesama warga yang Muslim dan non Muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam
menghadapi serangan dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Melalui perjanjian ini pula, seluruh warga negara --baik Muslim maupun non Muslim-- maupun negara
tetangga yang terikat dengan perjanjian ini, terjamin hak dan kewajiban politiknya secara adil dan merata.
Piagam Madinah berisi 47 pasal yang dimulai dengan mukadimah, lalu dilanjutkan dengan hal-hal seputar pembentukan umat, persatuan seagama, persatuan
segenap warga negara, golongan minoritas, tugas warga negara, perlindungan negara, pimpinan negara, politik perdamaian dan penutup.
Siti Nafidah mencatat, dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan
oleh A.J. Winsick dalam karyanya
Moha mmed en de joden te Madina
tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra Semit. Melalui karyanya itu,
Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah di kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu
dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab. Nafidah, 2010 Oleh karena banyak kesalahan dalam penterjemahan Piagam Madinah ke dalam
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam banyak referensi, maka berikut ini dipaparkan