8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Paradigma Penelitian
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan
dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Eriyanto, 2011:43 Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling
memproduksi dan mempertukarkan makna. Disini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling
dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan
dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh komunikator dan bagaimana
pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. Eriyanto, 2011: 46 Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri
terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger.
Universitas Sumatera Utara
9 Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak
menulis karya dan tesis mengenai konstruksi sosial atas realita. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan
plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru
menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyarakatnya.
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto 2011: 16-17 menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama
eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari
manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.
Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua,
objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa
jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses
objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi
–kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.
Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah
Universitas Sumatera Utara
10 dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi
realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di
luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris
yang bisa dialami oleh setiap orang. ketiga, eksternalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian
rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi
gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga turun karena campur
tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi Eriyanto, 2011: 18- 21 dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda atau plural. Oleh
sebab itu realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang. Karena setiap orang mempunyai pengalaman,
preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau kehidupan sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk menafsirkan
realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis.
Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah copy dari realitas, ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat
potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga
Universitas Sumatera Utara
11 mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa,
dan hal itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial,
bila merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan
dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan.
Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari
berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Eriyanto, 2011: 17. Demikian halnya ketika seseorang melakukan wawancara. Ketika seseorang
mewawancarai narasumber, disana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk
interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa kedalam berita.
Disana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan
narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi.
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan dipaparkan dengan
uraian berikut. Fakta Peristiwa adalah Hasil Konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan
oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang
Universitas Sumatera Utara
12 tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena
realitas tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas itu berbeda- beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh
wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas
pada dasarnya dikonstruksi. Media adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media
bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media
dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah
sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi
dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Berita Bukan Refleksi Dari
Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi
potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial
dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana
fakta itu difahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas copy of
reality. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena
Universitas Sumatera Utara
13 ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya
dengan berita dianggap tidak salah, tetapi difahami sebagai suatu kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik,
bukan kaedah baku jurnalistik. Sumber proses konstruksi mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata,gambar, sampai penyuntingan memberi andil
bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Berita Bersifat Subjektif Konstruksi Atas Realitas. Pandangan
konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah
standar yang baku. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi
berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda
pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Jika terdapat perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap
sebagai suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas.
Penempatan sumber berita yang menonojol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan
yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok; kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau
bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis
menghasilkan laporan yang semacam itu. Wartawan Bukan Pelapor. Ia agen Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa
Universitas Sumatera Utara
14 menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan
abaian dari intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara
wartawannya. Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan
apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka. Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang
Integral Dalam Produksi Berita. Pendekatan konstruksionis menilai aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media.
Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, seperti apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok
atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi
realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan sbubjektivitas dalam publik.
Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebaggai penjelas, tapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang
diamati. Subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya
semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif-bukan hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif. Nilai,
Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah
pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.
Universitas Sumatera Utara
15 Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari proses penelitian. campur tangan penelitian yang dalam banyak hal bisa berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikit-banyak akan
mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang
berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.
Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia
juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan berita yang dibaca oleh
pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi. Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi penyebaran dari pembuat berita ke
pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.
Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. Karena sifat
dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa- peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai
realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga
menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita
atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah
Universitas Sumatera Utara
16 realitas yang telah dikonstruksi constructed reality dalam bentuk wacana yang
bermakna. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat
konseptualisasi atau alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa
simbol tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik
menggunakan bahasa, baik bahasa verbal seperti kata-kata tertulis atau lisan maupun menggunakan bahasa non-verbal berupa gambar, foto, gerak-gerik,
grafik, angka dan tabel. Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal
itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri. Sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses
pembentukan isi media tersebut. Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan
politik-ekonomi the political economy approach. Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar
pengelolaan media. Faktor-faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang
dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan. Kedua, pendekatan organisasi organisational approaches.
Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses
pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan
Universitas Sumatera Utara
17 yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi
pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai-nilai berita di dalamnya. Ketiga, pendekatan kulturalis culturalist approach.
Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme
yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat
dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis
berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung
pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media. Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya langsung dan koersif. Sehingga produk
media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam Agus Sudibyo,
2001:7 juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini
berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola
media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa sedikit banyak mempengaruhi
apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau
kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa sedikit banyak
Universitas Sumatera Utara
18 juga dapat mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level rutinitas media media
riutine. Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut
berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur
standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa
yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang
akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita. Ketiga, level organisasi.
Level ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan.
Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu
sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian-bagian ini
tidak selalu sejalan satu sama lain karena mempunyai tujuan dan target masing- masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan target itu
ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama.
Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini,
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
19 1.
Sumber berita, sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk
mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik baginya
dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara
tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut.
2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan,
ataupun pelanggan pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi
dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk kasus yang berkaitan
dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya tentang kasus kepada media. Media juga tidak akan
menyia-nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media
tersebut. 3.
Pihak eksternal pemerintah atau lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media-media yang
tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan
menentukan mana yang boleh diberitakan dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan
Universitas Sumatera Utara
20 pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh
di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat minim, bahkan tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari
lingkungan bisnispasar. Akan muncul persaingan-persaingan anatar media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.
4. Ideologi. Ideologi dalam hal ini diartikan sebagai kerangka berfikir atau
kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang
abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dapat dilihat kepada yang
berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi \yang sudah ada di dalam
masyarakat. Hal-hal inilah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan
media-media massa. Hal-hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan
dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.
2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu