8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Paradigma Penelitian
Paradigma  konstruksionis  memandang  realitas  kehidupan  sosial  bukanlah realitas  yang  natural,  tetapi  terbentuk  dari  hasil  konstruksi.  Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa  atau  realitas  tersebut  dikonstruksi,  dengan  cara  apa  konstruksi  itu
dibentuk.  Dalam  studi  komunikasi,  paradigma  konstruksionis  ini  sering  sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan
dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Eriyanto, 2011:43 Paradigma  ini  melihat  komunikasi  sebagai  produksi  dan  pertukaran
makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi  bagaimana  masing-masing  pihak  dalam  lalu  lintas  komunikasi  saling
memproduksi dan mempertukarkan makna. Disini  diandaikan  tidak  ada  pesan  dalam  arti  yang  statis  yang  saling
dipertukarkan  dan  disebarkan.  Pesan  itu  sendiri  dibentuk  secara  bersama-sama antara  pengirim  dan  penerima  atau  pihak  yang  berkomunikasi  dan  dihubungkan
dengan  konteks  sosial  dimana  mereka  berada.  Fokus  pendekatan  ini  adalah bagaimana  pesan  politik  dibuat  dan  diciptakan  oleh  komunikator  dan  bagaimana
pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. Eriyanto, 2011: 46 Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri
terhadap  media  dan  teks  berita  yang  dihasilkannya.  Konsep  mengenai konstruksionisme  diperkenalkan  oleh  sosiolog  interpretatif  Peter  L.  Berger.
Universitas Sumatera Utara
9 Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak
menulis karya dan tesis  mengenai  konstruksi sosial  atas realita. Tesis  utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan
plural  secara  terus-menerus  mempunyai  aksi  kembali  terhadap  penghasilnya. Sebaliknya,  manusia  adalah  hasil  atau  produk  dari  masyarakat.  Seseorang  baru
menjadi  seorang  pribadi  yang  beridentitas  sejauh  ia  tetap  tinggal  dalam masyarakatnya.
Proses dialektis tersebut  mempunyai  tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto 2011:  16-17  menyebutnya  sebagai  momen.  Ada  tiga  tahap  peristiwa.  Pertama
eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik  dalam kegiatan mental maupun fisik.  Hal  ini sudah menjadi  sifat  dasar dari
manusia,  ia  akan  selalu  mencurahkan  diri  ke  tempat  dimana  ia  berada.  Manusia tidak  dapat  kita  mengerti  sebagai  ketertutupan  yang  lepas  dari  dunia  luarnya.
Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.  Kedua,
objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa
jadi akan menghadapi  si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di  luar  dan  berlainan  dari  manusia  yang  menghasilkannya.  Lewat  proses
objektivasi  ini,  masyarakat  menjadi  suatu  realitas    sui  generis.  Hasil  dari eksternalisasi
–kebudayaan-itu  misalnya,  manusia  menciptakan  alat  demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.
Baik  alat  maupun  bahasa  tadi  adalah  kegiatan  eksternalisasi  manusia ketika  berhadapan  dengan  dunia,  ia  adalah  hasil  dari  kegiatan  manusia.  Setelah
Universitas Sumatera Utara
10 dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi
realitas  yang  objektif.  Bahkan  ia  dapat  menghadapi  manusia  sebagai  penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di
luar  kesadaran  manusia,  ada  “disana”  bagi  setiap  orang.  Realitas  objektif  itu berbeda  dengan  kenyataan  subjektif  perorangan.  Ia  menjadi  kenyataan  empiris
yang  bisa  dialami  oleh  setiap  orang.  ketiga,  eksternalisasi.  Proses  internalisasi merupakan  penyerapan  kembali  dunia  objektif  ke  dalam  kesadaran  sedemikian
rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi
gejala  realitas  di  luar  kesadarannya,  sekaligus  sebagai  gejala  internal  bagi kesadaran.
Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas  itu  tidak  dibentuk  secara  ilmiah,  namun  tidak  juga  turun  karena  campur
tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi Eriyanto, 2011: 18- 21  dengan  pemahaman  seperti  ini,  realitas  berwajah  ganda  atau  plural.  Oleh
sebab  itu  realitas  yang  sama  bisa  ditanggapi,  dimaknai  dan  dikonstruksi  secara berbeda-beda  oleh  setiap  orang.  Karena  setiap  orang  mempunyai  pengalaman,
preferensi,  pendidikan  tertentu  dan  lingkungan  pergaulan  atau  kehidupan  sosial tertentu,  dimana  kesemua  itu  suatu  saat  akan  digunakan  untuk  menafsirkan
realitas  sosial  yang  ada  disekelilingnya  dengan  konstruksinya  masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis.
Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah copy dari realitas,  ia  harus  dipandang  sebagai  konstruksi  atas  realitas.  Karenanya,  sangat
potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga
Universitas Sumatera Utara
11 mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa,
dan  hal  itu  dapat  dilihat  dari  bagaimana  mereka  mengkonstruksi  peristiwa  itu, yang  diwujudkan  dalam  teks  berita.  Berita  dalam    pandangan  konstruksi  sosial,
bila  merupakan  peristiwa  atau  fakta  dalam  arti  yang  riil.  Disini  realitas  bukan dioper  begitu  saja  sebagai  berita.  Ia  adalah  produk  interaksi  antara  wartawan
dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas  diamati  oleh  wartawan  dan  diserap  dalam  kesadaran  wartawan.
Dalam  proses  eksternalisasi,  wartawan  menceburkan  dirinya  untuk  memaknai realitas.  Konsepsi  tentang  fakta  diekspresikan  untuk  melihat  realitas.  Hasil  dari
berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Eriyanto, 2011: 17. Demikian halnya  ketika seseorang melakukan wawancara. Ketika seseorang
mewawancarai  narasumber,  disana  terjadi  interaksi  antara  wartawan  dengan narasumber.  Realitas  yang  terbentuk  dari  wawancara  tersebut  adalah  produk
interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang  dikatakan  oleh  narasumber  dan  ditulis  sedemikian  rupa  kedalam  berita.
Disana  juga  ada  proses  eksternalisasi:  pertanyaan  yang  diajukan  dan  juga  sudut penggambaran  yang  dibuat  oleh  pewawancara  yang  membatasi  pandangan
narasumber.  Proses  dialektis  diantara  keduanya  yang  menghasilkan  wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi.
Pendekatan  konstruksionis  mempunyai  penilaian  tersendiri  bagaimana media,  wartawan  dan  berita  dilihat.  Penilaian  tersebut  akan  dipaparkan  dengan
uraian  berikut.  Fakta  Peristiwa  adalah  Hasil  Konstruksi.    Bagi  kaum konstruksionis, realitas itu bersifat  subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan
oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang
Universitas Sumatera Utara
12 tertentu  dari  wartawan.  Disini  tidak  ada  realitas  yang  bersifat  objektif,  karena
realitas  tercipta  lewat  konstruksi  dan  pandangan  tertentu.  Realitas  itu  berbeda- beda,  tergantung  pada  bagaimana  konsepsi  ketika  realitas  itu  dipahami  oleh
wartawan  yang  mempunyai  pandangan  yang  berbeda.  Fakta  atau  realitas  bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas
pada dasarnya dikonstruksi. Media  adalah  Agen  Konstruksi.  Dalam  pandangan  konstruksionis,  media
bukanlah  sekedar  saluran    yang  bebas,  ia  juga  subjek  yang  mengkonstruksi realitas,  lengkap  dengan  pandangan,  bias  dan  pemihakannya.  Disini  media
dipandang  sebagai  agen  konstruksi  sosial  yang  mendefenisikan  realitas. Pandangan  semacam  ini  menolak  argumen  yang  menyatakan  media  seolah-olah
sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi
dari  media  itu  sendiri.  Lewat  berbagai  instrumen  yang  dimilikinya,  media  ikut membentuk  realitas  yang  tersaji  dalam  pemberitaan.  Berita  Bukan  Refleksi  Dari
Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita  ibaratnya  seperti  sebuah  drama.  Ia  bukan  menggambarkan  realitas,  tetapi
potret  dari  arena  pertarungan  antara  berbagai  pihak  yang  berkaitan  dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial
dimana selalu  melibatkan pandangan, ideologi  dan nilai-nilai  dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana
fakta  itu  difahami  dan  dimaknai.  Proses  pemaknaan  selalu  melibatkan  nilai-nilai tertentu  sehingga  mustahil  berita  merupakan  pencerminan  dari  realitas  copy  of
reality.  Realitas  yang  sama  bisa  jadi  menghasilkan  berita  yang  berbeda,  karena
Universitas Sumatera Utara
13 ada  cara  melihat  yang  berbeda.  Perbedaan  antara  realitas  yang  sesungguhnya
dengan  berita  dianggap  tidak  salah,  tetapi  difahami  sebagai  suatu  kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik,
bukan  kaedah  baku  jurnalistik.  Sumber  proses  konstruksi  mulai  dari  memilih fakta,  sumber,  pemakaian  kata,gambar,  sampai  penyuntingan  memberi  andil
bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Berita  Bersifat  Subjektif  Konstruksi  Atas  Realitas.  Pandangan
konstruksionis  mempunyai  penilaian  yang  berbeda  dalam  menilai  objektivitas jurnalistik.  Hasil  kerja  jurnalistik  tidak  bisa  dinilai  dengan  menggunakan  sebuah
standar  yang  baku.  Hal  ini  karena  berita  adalah  produk  dari  konstruksi  dan pemaknaan  atas  realitas.  Pemaknaan  seseorang  atas  suatu  realitas  bisa  jadi
berbeda  dengan  orang  lain,  yang  tentunya  menghasilkan “realitas” yang berbeda
pula.  Karenanya,  ukuran  yang  baku  dan  standar  tidak  bisa  dipakai.  Jika  terdapat perbedaan  antara  berita  dengan  realitas    yang  sebenarnya  maka  tidak  dianggap
sebagai  suatu  kesalahan,  tetapi  memang  seperti  itulah  pemaknaan  mereka  atas realitas.
Penempatan  sumber  berita  yang  menonojol  dibandingkan  dengan  sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain;  liputan
yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak  satu  kelompok;  kesemuanya  tidaklah  dianggap  sebagai  kekeliruan  atau
bias,  tetapi  dianggap  memang  itulah  praktik  yang  dijalankan  oleh  wartawan. Konstruksi  wartawan  dalam  memaknai  realitas  yang  secara  strategis
menghasilkan  laporan  yang  semacam  itu.  Wartawan  Bukan  Pelapor.  Ia  agen Konstruksi  Realitas.    Dalam  pandangan  konstruksionis,  wartawan  tidak  bisa
Universitas Sumatera Utara
14 menyembunyikan  pilihan  moral  dan  keberpihakannya,  karena  ia  merupakan
abaian  dari  intrinsik  dalam  pembentukan  berita.  Berita  bukan  hanya  produk individual,  melainkan  juga  bagian  dari  proses  organisasi  dan  interaksi  antara
wartawannya.  Wartawan  juga  dipandang  sebagai  aktor  atau  agen  konstruksi. Wartawan  bukan  hanya  melaporkan  fakta,  melainkan  juga  turut  mendefenisikan
apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka. Etika,  Pilihan  Moral  dan  Keberpihakan  Wartawan  Adalah  Bagian  yang
Integral  Dalam  Produksi  Berita.  Pendekatan  konstruksionis  menilai  aspek  etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media.
Wartawan  bukanlah  robot  yang  meliput  apa  adanya,  seperti  apa  yang  dia  lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok
atau  nilai  tertentu-    umumnya  dilandasi  oleh  keyakinan  tertentu-    adalah  bagian yang  integral  dan  tidak  terpisahkan  dalam  membentuk  dan  mengkonstruksi
realitas.  Wartawan  disini  bukan  hanya  pelapor,  karena  disadari  atau  tidak  ia menjadi  partisipan  dari  keragaman  penafsiran  dan  sbubjektivitas  dalam  publik.
Karena  fungsinya  tersebut,  wartawan  menulis  berita  bukan  hanya  sebaggai penjelas,  tapi  mengkonstruksi  peristiwa  dari  dirinya  sendiri  dengan  realitas  yang
diamati. Subjektivitas  wartawan  tidak  bisa  dihilangkan.  Karena  pada  dasarnya
semua  kerja  jurnalistik  adalah  proses  yang  sangat  subjektif-bukan  hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif. Nilai,
Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah  satu  sifat  dasar  dari  penelitian  yang  bertipe  konstruksionis  adalah
pandangan  yang  menyatakan  bahwa  peneliti  bukanlah  subjek  yang  bebas  nilai.
Universitas Sumatera Utara
15 Pilihan  etika,  moral  atau  keberpihakan  peneliti  menjadi  bagian  yang  tidak
terpisahkan  dari  proses  penelitian.  campur  tangan  penelitian  yang  dalam  banyak hal  bisa  berupa  keberpihakan  atau  pilihan  moral,  sedikit-banyak  akan
mempengaruhi  bagaimana  realitas  itu  dimaknai  dan  dipahami.  Objek  penelitian yang  sama  akan  menghasilkan  temuan  yang  berbeda  di  tangan  peneliti  yang
berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.
Khalayak  Mempunyai  Penafsiran  Tersendiri  Atas  Berita.  Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek  yang pasif. Ia
juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat  dalam pesan berita  yang dibaca oleh
pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti polisemi. Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi penyebaran dari pembuat berita ke
pembaca.  Ia  lebih  tepat  dipahami  sebagai  suatu  praktik  penandaan.  Karenanya, setiap  orang  bisa  mempunyai  pemaknaan  yang  berbeda  atas  teks  yang  sama.
Kalau  saja  ada  makna  yang  dominan  atau  tunggal,  itu  bukan  berarti  makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. Karena sifat
dan  faktanya  bahwa  pekerjaan  media  massa  adalah  menceritakan  peristiwa- peristiwa,  maka  kesibukan  utama  media  massa  adalah  mengkonstruksi  berbagai
realitas yang akan disiarkan. Media  menyusun  realitas  dari  berbagai  peristiwa  yang  terjadi  hingga
menjadi  cerita  atau  wacana  yang  bermakna.  Pembuatan  berita  di  media  pada dasarnya  adalah  penyusunanan  realitas-realitas  hingga  membentuk  sebuah  cerita
atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah
Universitas Sumatera Utara
16 realitas  yang  telah  dikonstruksi  constructed  reality  dalam  bentuk  wacana  yang
bermakna.  Dalam  proses  konstruksi  realitas,  bahasa  adalah  unsur  utama.  Ia merupakan  instrumen  pokok  untuk  menceritakan  realitas.  Bahasa  adalah  alat
konseptualisasi  atau  alat  narasi.  Begitu  pentingnya  bahasa,  maka  tak  ada  berita, cerita  ataupun  ilmu  pengetahuan  tanpa  bahasa.  Selanjutnya,  penggunaan  bahasa
simbol tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu. Sedangkan jika dicermati  secara  teliti,  seluruh  isi  media  baik  media  cetak  maupun  elektronik
menggunakan  bahasa,  baik  bahasa  verbal  seperti  kata-kata  tertulis  atau  lisan maupun  menggunakan  bahasa  non-verbal  berupa  gambar,  foto,  gerak-gerik,
grafik, angka dan tabel. Paradigma  konstruksionis  ingin  menjelaskan  adanya  sesuatu  di  balik  hal
itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang  media  itu  sendiri.  Sampai  dengan  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  proses
pembentukan  isi  media  tersebut.  Terdapat  tiga  pendekatan  untuk  menjelaskan sesuatu  yang  berada  di  balik  hasil  konstruksi  tersebut.  Pertama,  pendekatan
politik-ekonomi  the  political  economy  approach.  Pendekatan  ini  berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar
pengelolaan  media.  Faktor-faktor  seperti  pemilik  media,  modal,  dan  pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang
dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak  diarahkan.  Kedua,  pendekatan  organisasi  organisational  approaches.
Pendekatan  ini  bertolak  belakang  dengan  pendekatan  sebelumnya.  Pendekatan organisasi  mengatakan  bahwa  pihak  pengelola  media  yang  aktif  dalam  proses
pembentukan  dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan
Universitas Sumatera Utara
17 yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi
pemberitaan.  Terdapat  mekanisme  pemilihan  nilai-nilai  berita  di  dalamnya. Ketiga,  pendekatan kulturalis culturalist approach.
Pendekatan  ini  merupakan  gabungan  antara  pendekatan  ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme
yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal  media.  Media  yang  memiliki  pola  aturannya  sendiri  tidak  dapat
dilepaskan  dari  kekuatan-kekuatan  ekonomi-politik  di  luar  media.  Hanya pengaruh  eksternal  media  terhadap  internal  media  pada  pendekatan  kulturalis
berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh  eksternal  pada  pendekatan  kulturalis  tidaklah  secara  langsung
pengaruhnya  seperti  tidak  disadari  oleh  media.  Sedangkan  pada  pendekatan ekonomi-politik,  pengaruh  eksternalnya  langsung  dan  koersif.  Sehingga  produk
media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi. Pamela  J.  Shoemaker  dan  Stephen  D.  Reese  dalam  Agus  Sudibyo,
2001:7  juga  meringkas  berbagai  faktor  yang  mempengaruhi  pengambilan keputusan  dalam  proses  pemberitaan.    Pertama,    faktor  individual.  Faktor  ini
berhubungan  dengan  latar  belakang  profesional  dari  pengelola  media.  Level individual  melihat  bagaimana  pengaruh  aspek-aspek  personal  dari  pengelola
media  mempengaruhi  pemberitaan  yang  akan  ditampilkan  kepada  khalayak. Seperti  jenis  kelamin,  umur,  agama,  suku  bangsa  sedikit  banyak  mempengaruhi
apa  yang  akan  ditampilkan  oleh  media.  Selain  itu,  level  individu  juga berhubungan  dengan  segi  profesionalisme.  Latar  belakang  pendidikan  atau
kecenderungan orientasi  pada partai  politik atau  organisasi  massa sedikit  banyak
Universitas Sumatera Utara
18 juga  dapat  mempengaruhi  pemberitaan.  Kedua,  level  rutinitas  media  media
riutine.  Rutinitas  media  berhubungan  dengan  mekanisme  dan  proses  penentuan berita.  Setiap  media  tentu  memiliki  ukuran  tersendiri  tentang  apa  yang  disebut
berita,  apa  ciri-ciri  berita  yang  baik,  atau  apa  kriteria  berita  yang  baik.  Ukuran tersebut  adalah  rutinitas  yang  berlangsung  setiap  hari  dan  menjadi  prosedur
standar  bagi  pengelola  media  yang  ada  di  dalamnya.  Rutinitas  media  ini  juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa
yang  hendak  diliput,  akan  ditentukan  bagaimana  bentuk  pendelegasian  tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang
akan  menjadi  penulisnya,  siapa  editornya,  dan  seterusnya.  Ini  semua  akan mempengaruhi  bagaimana  bentuk  akhir  sebuah  berita.  Ketiga,  level  organisasi.
Level  ini  berhubungan  dengan    struktur  organisasi  yang  secara  hipotetik mempengaruhi pemberitaan.
Pengelola  media  dan  wartawan  bukan  orang  tunggal  yang  ada  di  dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu
sendiri.  Dalam  organisasi  media  terdapat,  selain  redaksi,  ada  bagian  pemasaran, bagian  iklan,  bagian  sirkulasi,  bagian  umum,  dan  seterusnya.  Bagian-bagian  ini
tidak  selalu  sejalan  satu  sama  lain  karena  mempunyai  tujuan  dan  target  masing- masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan  target itu
ketika  bagian  redaksi  menginginkan  agar  berita  tertentu  yang  menjadi  headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama.
Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan  media.  Ada  beberapa  faktor  pula  yang  termasuk  ke  dalam  level  ini,
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
19 1.
Sumber  berita,  sumber  berita  bukan  sebagai  pihak  yang  netral  yang memberikan  informasi  apa  adanya.  Ia  juga  mempunyai  kepentingan  untuk
mempengaruhi  media  dengan  berbagai  alasan.  Sumber  berita  melakukan politik  pemberitaan.  Ia  akan  memberikan  informasi  yang  baik  baginya
dirinya,  dan  mengembargo  informasi  yang  tidak  baik  bagi  dirinya. Kepentingan  mereka  sering  tidak  disadari  oleh  media.  Lalu,  media  secara
tidak  sadar  pula,  telah    menjadi  corong  dari  sumber  berita  untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut.
2. Sumber  penghasilan  media.  Sumber  penghasilan  media  bisa  berupa  iklan,
ataupun  pelanggan  pembeli  produk  media.  Sumber  ini  dibutuhkan  oleh media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi
dengan  sumber  daya  yang  menghidupi  mereka.  Media  mungkin  akan mengesampingkan  untuk  meliput  peristiwa  buruk  kasus  yang  berkaitan
dengan  pihak  pengiklan  mereka.  Pihak  pengiklan  sendiri  pun  dapat memaksakan versinya  tentang kasus kepada media. Media juga tidak  akan
menyia-nyiakan  untuk  meliput  peristiwa  yang  disenangi  banyak  khalayak. Walaupun  terkadang  tidak  masuk  dalam  kriteria  kelayakan  berita  media
tersebut. 3.
Pihak  eksternal  pemerintah  atau  lingkungan  bisnis.  Pengaruh  ini  sangat bergantung  pada  lingkungan  eksternal  media  itu  sendiri.  Media-media  yang
tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat  dominan  dalam  menentukan  berita  yang  disajikan.  Negara  akan
menentukan  mana  yang  boleh  diberitakan  dan  mana  yang  tidak  boleh diberitakan.  Media  harus  mengikuti  berbagai  lisensi  yang  dikeluarkan
Universitas Sumatera Utara
20 pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh
di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat  minim,  bahkan  tidak  ada.  Pengaruh  yang  besar  malah  datang  dari
lingkungan  bisnispasar.  Akan  muncul  persaingan-persaingan  anatar  media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.
4. Ideologi.  Ideologi  dalam  hal  ini  diartikan  sebagai  kerangka  berfikir  atau
kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan  bagaimana  mereka  menghadapinya.  Level  ini  merupakan  hal  yang
abstrak.  Ia  berhubungan  dengan  konsepsi  atau  posisi  seseorang  dalam menafsirkan  realitas.  Pada  level  ideologi  akan  dapat  dilihat  kepada  yang
berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya  akan  beradaptasi  dengan  ideologi  \yang  sudah  ada  di  dalam
masyarakat. Hal-hal  inilah  yang  selalu  berpengaruh  kepada  hasil  akhir  dari  bentukan
media-media  massa.  Hal-hal  yang  dipaparkan  oleh  Pamela  J.  Shoemaker  dan Stephen  D.  Reese  serta  yang  diungkapkan  dari  studi  media  di  atas  yang  akan
dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.
2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu