Analisis Pembingkaian Media Pada Program Bingkai Sumatera Episode Ranah Minang Negeri Perempuan di Daai TV

(1)

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM

BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN DI DAAI TV

T E S I S

Oleh :

CONNI ERVINA FRANSISKA 117045012

M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM

BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN DI DAAI TV

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu

Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

CONNI ERVINA FRANSISKA 117045012

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM

BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN DI DAAI TV

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalisis pembingkaian media pada Program Bingkai Sumatera serta untuk mengetahui keberadaan analisis framing membentuk Budaya Massa pada episode Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV.

Dalam upaya mencari jawaban atas permasalahan penelitian, dilakukan berbagai metode penelaahan terhadap berbagai literatur yang ada, hasil jawaban key informan serta dilengkapi dengan informasi penting dari hasil wawancara mendalam sesuai relevansinya terhadap tujuan penelitian dan karakter Program Bingkai Sumatera episode Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV. Selanjutnya data dan informasi yang terkumpul dianalisis secara kualitatif sehingga menghasilkan kesimpulan penelitian yang komprehensif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwasanya penentuan framing budaya massa dalam program bingkai sumatera di DAAi TV sudah dilaksanakan dengan baik. Hasil ini menguatkan bahwa Program Bingkai Sumatera juga memberikan gambaran sesuai dengan keinginan khalayak khususnya tentang nuansa Kultur di wilayah Sumatera dengan penyajian berdasarkan penerapan yang dimaksudkan dalam teori tentang framing.

Kata Kunci : Analisis framing, Program Bingkai Sumatera Episode episode Ranah Minang Negeri Perempuan


(4)

FRAMING ANALYSIS OF MASS MEDIA IN THE PROGRAM OF

BINGKAI SUMATRA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN IN DAAI TV

ABSTRACT

This study aimed to determine and analyze media framing on Bingkai Sumatra program episode Ranah Minang Negeri Perempuan in DAAI TV Frames and framing analysis to determine the existence of mass culture in the program DAAI TV.

In seeking an answer to the problems of research, carried out a review of the various methods of the existing literature, the results answer key informants and equipped with essential information on the results of in-depth interviews fit their relevance to the research purpose and character of Sumatra in DAAI Frame Program TV. Furthermore, the data and information collected qualitatively analyzed to produce a comprehensive research conclusions.

The study concluded behold framing determination of mass culture in the Bingkai Sumatra frame program in DAAI TV already implemented. These results confirm that the program also provides an overview Bingkai Sumatra in accordance with the wishes of the public, especially about the nuances of culture in Sumatra with a presentation based on the intended application of the theory of framing.

Keywords: Framing Analysis, Frame of Sumatra Program, episode Ranah Minang Negeri Perempuan


(5)

Judul Tesis : ANALISIS PEMBINGKAIAN PADA PROGRAM BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI PEREMPUAN

Nama Mahasiswa : Conni Ervina Fransiska Nomor Pokok : 117045012

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

(Drs.Syafruddin, M.Si, Ph.D) (Drs.Safrin, M.Si) NIP. 195812051989031002 NIP. 196110011987011001

Ketua Program Studi Dekan,

(Dra, Lusiana Andriani Lubis, MA,Ph.D) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196704051990032002 NIP. 196007281987032002


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 November 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D Anggota : 1. Drs. Syafruddin, M.Si, Ph.D

2. Drs. Safrin, M.Si

3. Drs. Hendra Harahap, M.Si 4. Haris Wijaya, S.Sos,M.Comm


(7)

PERNYATAAN

JUDUL TESIS

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI PEREMPUAN DI

DAAI TV

Dengan ini penulis menyatakan bahwa:

1. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara benar merupakan hasil karya peneliti sendiri. 2. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar

akademik (sarjana, magister, dan/atau doctor), baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain.

3. Tesis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihakmlain, kecuali arahan Komisi pembimbing dan masukan Tim Penguji

4. Dalam karaya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis oini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai denga peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 13 November 2014


(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesabaran sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Adapun judul penelitian ini adalah

“Analisis Pembingkaian Media Pada Program Bingkai Sumatera Episode Ranah

Minang Negeri Perempuan di Daai TV “. Laporan penelitian ini selesai atas bantuan banyak pihak sehingga kesulitan yang peneliti alami dapat teratasi sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Untuk itu izinkan peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah mencurahkan perhatiannya. Rasa terima kasih yang tulus peneliti ucapkan untuk Bapak Luddin Manullang atas kasih sayang dan do’a yang tiada henti diberikan kepada peneliti dan almarhumah Ibu Lenti Tampubolon. Kepada Abang, Kakak, Adik dan keluarga terima kasih peneliti ucapkan untuk support finansial yang diberikan selama peneliti mengikuti kuliah magister ini. Tidak lupa kepada Bang Andi dari Daii TV peneliti yang telah membantu dalam mengumpulkan data penelitian.

Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada pihak yang turut membantu baik selama proses kuliah maupun dalam menyelesaikan Tesis ini, yaitu:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D sebagai Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara


(9)

4. Drs. Syafruddin Pohan, MSi,PhD Pembimbing I dan Drs. Safrin Lubis MSi sebagai Pembingbing II Terima kasih atas bimbingan yang diberikan.

5. Drs. Hendra Harahap, M.Si sebagai Pembanding I , Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm sebagai Pembanding II. Terima kasih atas masukan yang diberikan. 6. Staf Administrasi Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU Sri Handayani,

S.Sos dan Nurhanifah Nasution, S.Sos.

7. Saurma MGP Siahaan, M.IKom, Dameria Hutabarat, Christian Sipayung M.IKom, Terima kasih untuk waktu, diskusi, informasi dan segala bantuan yang diberikan.

8. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya Magister Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas ilmu yang diberikan.

9. Angkatan I Magister Ilmu Komunikasi Terima kasih untuk kebersamaan yang menyenangkan. Teman-teman Angkatan 2, Angkatan 3 dan Angkatan 4. Terima kasih untuk waktu yang diluangkan sebagai peserta seminar hasil penelitian.

10. Teman Teman di Kantor PT. Raya Padang Langkat yang selalu memberi perhatian kepada penulis untuk menyelasaikan tesis ini dengan sempurna 11. Bonar Agustaf Pardomuan Matondang. Terima kasih untuk kebersamaan

yang penuh warna yang terus memberikan semangat dan mendorong saya untuk menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata peneliti berharap agar laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan referensi kajian sejenis.

Medan, 13 November 2014


(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS iv

PERNYATAAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Fokus Masalah 6

1.3. Tujuan Penelitian 6

1.4. Manfaat Penelitian 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8

2.1. Paradigma Penelitian 8

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu 22

2.3 Uraian Teoritis 23

2.3.1 Komunikasi Massa 23

2.3.2 Budaya Massa 27

2.4 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa 32 2.4.1 Sejarah dan Pengertian Televisi 32 2.4.2 Karakteristik Televisi 35

2.4.3 Program Televisi 36

2.5. Kerangka Berpikir 37

2.6 Analisis Framing 39

2.6.1 Akar Historis Analisi Framing 39 2.6.2 Teori Analis Framing 44 2.6.3 Tipologi Framing 47

2.6.4 Konsep Framing 51

2.6.5 Model Framin Gamson dan Modigliani 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 62

3.1. Metode Penelitian 62

3.2. Aspek Kajian 63

3.3. Subyek Penelitian 63

3.4 Instrument Penelitian 64

3.5 Lokasi Penelitian 64

3.6 Subyek atau Informan Penelitian 65

3.7. Metode Pengumpulan Data 66


(11)

BAB IV TEMUAN PENELITIAN 69

4.1. Profil DAAI TV 69

4.2 Program Acara Bingkai Sumatera 71 4.3 Gambaran Episode Ranah Minang Negeri Perempuan 73

BAB V PEMBAHASAN 82

5.1 Analisis Framing pada Program Bingkai Sumatera 82 5.2 Analisis Framing Model William A Gamson pada Frame

Merantau sebagai Warisan Budaya Minangkabau 83 5.3 Analisi Framing Model William A Gamson pada Frame

Peran dan Eksistensi Wanita dalam Kebudayaan Minang Kabau 87

5.3.1 Elemen Inti 91

5.3.2 Perangkat Pembingkaian 94

5.3.3 Perangkat Penalaran 95

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 99

6.1. Simpulan 99

5.2. Saran 101


(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 2.6 Pendekatan Konstruksionis ……….. 40

2. Tabel 2.6 Katagori Konstruksionis ………. 42

3. Tabel 2.6 Defenisi framing ………. ………. 43

4. Tabel 2.6 Tabel Perangkat Framing Gamson & Modligiani…………. 58

5. Tabel 3.4 Konstruksi Berita……… 64

6. Tabel 5.2 Rangkuman Liputan ……… 84

7. Tabel 5.2 Visual Images I …. ……… 86

8. Tabel 5.3 Rangkuman Liputan ……… 87

9. Tabel 5.2 Visual Images II …. ……… 89

DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 2.5 Kerangka Berpikir ……….……….… 39

2. Gambar 4.1 Profil DAAI TV………72


(13)

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM

BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN DI DAAI TV

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalisis pembingkaian media pada Program Bingkai Sumatera serta untuk mengetahui keberadaan analisis framing membentuk Budaya Massa pada episode Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV.

Dalam upaya mencari jawaban atas permasalahan penelitian, dilakukan berbagai metode penelaahan terhadap berbagai literatur yang ada, hasil jawaban key informan serta dilengkapi dengan informasi penting dari hasil wawancara mendalam sesuai relevansinya terhadap tujuan penelitian dan karakter Program Bingkai Sumatera episode Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV. Selanjutnya data dan informasi yang terkumpul dianalisis secara kualitatif sehingga menghasilkan kesimpulan penelitian yang komprehensif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwasanya penentuan framing budaya massa dalam program bingkai sumatera di DAAi TV sudah dilaksanakan dengan baik. Hasil ini menguatkan bahwa Program Bingkai Sumatera juga memberikan gambaran sesuai dengan keinginan khalayak khususnya tentang nuansa Kultur di wilayah Sumatera dengan penyajian berdasarkan penerapan yang dimaksudkan dalam teori tentang framing.

Kata Kunci : Analisis framing, Program Bingkai Sumatera Episode episode Ranah Minang Negeri Perempuan


(14)

FRAMING ANALYSIS OF MASS MEDIA IN THE PROGRAM OF

BINGKAI SUMATRA EPISODE RANAH MINANG NEGERI

PEREMPUAN IN DAAI TV

ABSTRACT

This study aimed to determine and analyze media framing on Bingkai Sumatra program episode Ranah Minang Negeri Perempuan in DAAI TV Frames and framing analysis to determine the existence of mass culture in the program DAAI TV.

In seeking an answer to the problems of research, carried out a review of the various methods of the existing literature, the results answer key informants and equipped with essential information on the results of in-depth interviews fit their relevance to the research purpose and character of Sumatra in DAAI Frame Program TV. Furthermore, the data and information collected qualitatively analyzed to produce a comprehensive research conclusions.

The study concluded behold framing determination of mass culture in the Bingkai Sumatra frame program in DAAI TV already implemented. These results confirm that the program also provides an overview Bingkai Sumatra in accordance with the wishes of the public, especially about the nuances of culture in Sumatra with a presentation based on the intended application of the theory of framing.

Keywords: Framing Analysis, Frame of Sumatra Program, episode Ranah Minang Negeri Perempuan


(15)

BAB I PENDAHULUAN

Salah satu TV Lokal yang konsisten dalam mengangkat isu/konten daerah adalah stasiun DAAI TV merupakan sebuah stasiun televisi milik Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sendiri merupakan kantor cabang dari Yayasan Buddha Tzu Chi Internasional yang berpusat di Hualien, Taiwan. Stasiun ini mulai mengudara di Indonesia secara terestrial di Jakarta dan Medan sejak 2006. DAAI TV memfokuskan diri dalam bidang kemanusiaan yang menitikberatkan pada penyebaran cinta kasih lintas agama, suku, bangsa dan negara.

Tayangan DAAI TV yang membahas tentang budaya humanis adalah program Bingkai Sumatera. Program ini merupakan sebuah program news magazine yang membahas mengenai budaya, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup. Beberapa tema yang pernah diangkat dalam Bingkai Sumatera

antara lain adalah mengenai museum Tjong A Fie, kehidupan seorang pelajar SMK yang membuat sabun cuci piring untuk menghidupi keluarganya, batik Medan, sanggar sehati dan masih banyak lagi. Dengan seorang presenter yang memandu, program ini terbagi atas empat segmen yang terdiri atas segmen pembuka, segmen isi tema yang diangkat dalam episode tersebut (terdiri atas liputan pertama dan kedua), segmen Potret dan yang terakhir adalah segmen penutup. Segmen Potret sendiri dikemas dengan agak berbeda dari tema utama. Biasanya Potret membahas pariwisata atau sejarah yang dikemas dengan lebih ringan dan unik.


(16)

Program ini melibatkan reporter yang menjadi presenter, kameramen yang merangkap sebagai editor gambar, produser, asisten produsen dan editor online

yang bertugas mengedit keseluruhan gambar, tulisan dan audio hingga jadi sebuah tayangan utuh. Semua posisi memang bersinergi untuk menghasilkan sebuah program yang layak tayang. Dengan terselenggarnya program Bingkai Sumatera

ini, kembali menunjukan apresiasi Budaya Massa melalui tayangan-tayangan yang ada. Budaya massa dipandang sebagai budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif, dan tidak memuaskan.

Konten yang diangkat dalam Bingkai Sumatera yang memang mengangkat

human interest sangat dekat cakupannya dengan budaya massa. Kaum konstruksionis jelas beranggapan bahwa semua yang disampaikan oleh media massa jelas sudah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan ideologi dan kepentingan media. Hal ini juga berlaku dalam tayangan Bingkai Sumatera. Apakah DAAI TV, dengan latar belakangnya yang menolak mainstream, sengaja menciptakan tayangan yang berkaitan dengan budaya untuk mengkonstruksi budaya massa yang selama ini jarang diangkat di televisi.

Berkaitan dengan representasi realitas sosial dalam media, media diyakini merupakan cermin yang merefleksikan realitas sosial, sehingga apa yang kita saksikan di media merupakan gambaran yang sebenarnya atas realitas. Akan tetapi kini media massa diyakini tidak hanya sekedar merefleksikan realitas, lebih dari itu media merepresentasikan realitas. Realitas sosial dihadirkan kembali oleh media lewat proses representasi dengan mengolah kembali realitas tersebut sehingga hadir dengan kemasan yang baru sehingga menjadi realitas media.


(17)

Dengan begitu, media massa telah melakukan konstruksi atas realitas.Media memegang peranan penting dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Lebih dari itu, penyampaian sebuah pesan melalui tayangan ternyata menyimpan subjektivitas media . Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Tayangan akan dipandang sebagai barang yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap tayangan program acara menyimpan ideologis/latar belakang skenario. Seorang sutradara pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah analisis tersendiri terhadap isi tayangan sehingga akan diketahui latar belakang seorang sutradara dalam pembuatan tayangan . Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap audiens itu sendiri. Audiens akan lebih memahami mengapakah seorang sutradara mengemas sebuah tayangan sehingga seminimal mungkin menghindari terjadinya respon yang reaksional. Audiens tidak akan fanatik terhadap salah satu institusi media dengan alasan ideologi. Artinya, masyarakat akan lebih dewasa terhadap pers/media.

Dalam hal ini ada beberapa metode yang digunakan untuk menganalisa berita, yaitu analisis isi (content analysis), analisis bingkai (frame analysis), analasis wacana (disccourse analysis), dan analisis semiotik (semiotic analysis). Semuanya memiliki tujuan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan target pelaku analisis.

Dalam penelitian ini metode yang yang diangkat penulis adalah terkait analisis frame (analisis Bingkai). Adapun framing ini layaknya seperti bingkai


(18)

sungguhan, membatasi sebuah peristiwa. Ia memetakannya agar terlihat rapi dan lebih menonjol. Dalam suatu peristiwa terlalu banyak yang menjadi perhatian, sehingga media dengan perangkat bingkainya membatasi peristiwa itu agar khalayak fokus pada hal tertentu saja. Selain itu, durasi atau halaman juga terbatas, sehingga tidak semua sudut suatu peristiwa dapat dimasukkan. Ada dua esensi utama dari framing tersebut. Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan. Digunakannya metode analisis framing dalam penelitian karena framing

merupakan analisis yang dilakukan media untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain). Pembingkaian tersebut merupakan konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan makna dan cara tertentu. Framing digunakan media untuk menojolkan atau memberikan penekanan aspek tertentu sesuai dengan kepentingan media. Akibatnya hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting dan lebih mengena dalam pikiran khalayak (Kriyantono, 2006 : 252).

Ada 4 model dalam analisis framing, antara lain Murray Edelmen, Robert N. Entman, William A. Gamson maupun Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (Eriyanto, 2002 : 188-225). Namun, pada penelitian ini perangkat framing yang peneliti gunakan untuk mengkonstruksi tayangan media ini adalah menggunakan analisis model William A. Gamson. Adapun aplikasi metode analisa pembingkaian model William ini akan digunakan penulis dalam menganalisa


(19)

Salah satu episode yang diangkat dalam program Bingkai Sumatera ini adalah

“Ranah Minang negeri Perempuan”.

Dimana tayangan ini merupakan salah satu episode terbaik dalam sejarah penayangan program acara ini. Tayangan ini mengetengahkan fenomena kebudayaan Minang sangat kompleks dan berbeda dari kebudayaan pada umumnya, misalnya system matrilineal yang menganggap bahwa kaum perempuan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Selain itu, orang Minang hampir ada di setiap penjuru Indonesia karena adanya budaya merantau bagi masyarakat Minangkabau, khususnya bagi kaum lelaki. Juga, banyak kita jumpai orang Minang yang berprofesi sebagai pedagang, terutama dalam usaha rumah makan padang yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.

Dalam tayangan program bingkai Sumatera episode Ranah Minang Negeri Perempuan ini menampilkan fakta tentang beberapa pemikiran menyangkut realitas dan eksistensi perempuan dalam kehidupan adat budaya masyakat minang. Hal inilah yang dimaksud dengan isu ataupun pemikiran yang terkandung dalam tayangan ini yang dikemas dalam frame atau bingkai issu yang ditonjolkan. Adapun konsep pemikiran pada tayangan ini ini terbagi dalam 2 (dua) isu sentral atau frame yaitu : pertama : Merantau sebagai budaya masyarakat Minangkabau, kedua : Peran dan eksistensi perempuan dalam kehidupan Masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana Analisis Pembingkaian Budaya Massa Pada Program Bingkai Sumatera Episode “Ranah Minang Negeri Perempuan.


(20)

Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

“Bagaimanakah pembingkaian yang dibuat oleh media pada Program

Bingkai Sumatera Episode “Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV?”

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui Pembingkaian media Pada Program Bingkai Sumatera

“Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV”

2. Untuk menganalisis Pembingkaian media Pada Program Bingkai Sumatera

Episode “Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV

1.3. Manfaat Penelitian

Adapun manfat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis,

Dalam penelitian ini, peneliti memberikan kontribusi ilmu komunkasi secara umum dan secara khusus pada Analisis Framing dalam pembentukan Budaya Massa pada program Bingkai Sumatera di DAAI TV.

2. Manfaat Praktis,

Dalam penelitian ini, peneliti memberikan masukan ditempat penelitian tentang Analisis Framing dalam pembentukan Budaya Massa pada


(21)

program Bingkai Sumatera di DAAI TV dalam memberikan sajian media yang baik lewat framing program media televisi.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. (Eriyanto, 2011:43)

Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna.

Disini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. (Eriyanto, 2011: 46)

Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger.


(23)

Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak menulis karya dan tesis mengenai konstruksi sosial atas realita. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyarakatnya.

Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto (2011: 16-17) menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi–kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.

Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah


(24)

dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di

luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. ketiga, eksternalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.

Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga turun karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2011: 18-21) dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda atau plural. Oleh sebab itu realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau kehidupan sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis.

Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah copy dari realitas, ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga


(25)

mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan hal itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bila merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas.

Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. (Eriyanto, 2011: 17). Demikian halnya ketika seseorang melakukan wawancara. Ketika seseorang mewawancarai narasumber, disana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa kedalam berita. Disana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan dipaparkan dengan uraian berikut. Fakta/ Peristiwa adalah Hasil Konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang


(26)

tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas itu berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi.

Media adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu difahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (copy of reality). Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena


(27)

ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita dianggap tidak salah, tetapi difahami sebagai suatu kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaedah baku jurnalistik. Sumber proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata,gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.

Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang baku. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Jika terdapat perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas.

Penempatan sumber berita yang menonojol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok; kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis menghasilkan laporan yang semacam itu. Wartawan Bukan Pelapor. Ia agen Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa


(28)

menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan abaian dari intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka.

Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Pendekatan konstruksionis menilai aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, seperti apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan sbubjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebaggai penjelas, tapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

Subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif-bukan hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.


(29)

Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. campur tangan penelitian yang dalam banyak hal bisa berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikit-banyak akan mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan.

Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah


(30)

realitas yang telah dikonstruksi (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi atau alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal seperti kata-kata tertulis atau lisan maupun menggunakan bahasa non-verbal berupa gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka dan tabel.

Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri. Sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut. Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar pengelolaan media. Faktor-faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan. Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan


(31)

yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai-nilai berita di dalamnya. Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach).

Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media). Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa sedikit banyak


(32)

juga dapat mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level rutinitas media (media riutine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita. Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan.

Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian-bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain karena mempunyai tujuan dan target masing-masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan target itu ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu:


(33)

1. Sumber berita, sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik baginya dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut.

2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh

media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi

dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk (kasus) yang berkaitan dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya (tentang kasus) kepada media. Media juga tidak akan menyia-nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media tersebut.

3. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis). Pengaruh ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media-media yang tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan menentukan mana yang boleh diberitakan dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan


(34)

pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat minim, bahkan tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Akan muncul persaingan-persaingan anatar media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.

4. Ideologi. Ideologi dalam hal ini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi \yang sudah ada di dalam masyarakat.

Hal-hal inilah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan media-media massa. Hal-hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Peneliti menemukan beberapa penelitian sejenis terdahulu yaitu karya

Yelmi Andriani tahun 2011 dengan judul penelitian “Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan” Karya Wisran Hadi diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta tahun 2001. Pada penelitian tersebut terdapat kesamaan objek penelitian dengan yang penelitian peneliti ini, yaitu tentang negeri perempuan yang menunjuk pada wilayah Sumatera Barat dengan paham matrilinealnya.


(35)

Hasil penelitian terhadap novel Negeri Perempuan ini menggambarkan ideologi feodal terefleksi pada tokoh perempuan pewaris kerajaan yang selalu berpandangan masalah warisan dan tata cara penganngkatan penghulu sesuai dengan aturan adat yang berlaku, sedangkan ideologi neofeodal yang didukung oleh tokoh perempuan istri pejabat dan saudara konglomerat yang berpandangan bahwab tata cara warisan dan tata cara pengangkatan penghulu bukanlah sesuatu yang sacral tetapi amat fleksibel dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian.

Ideologi politik yang terefleksi dalam novel ini mempunyai dua corak yaitu ideologi politik yang berpotensi positif dan yang berpotensi negatif. Ideologi positif terlihat dari aktifitas keluarga pewaris kerajaan sedangkan ideologi yang berpretensi negatif terefleksi dari aktivitas keluarga di luar pewaris kerajaan.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sosial yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan. Perubahan sosial yang digambarkan dalam novel ini berkaitan erat dengan persoalan adat dan budaya Minangkabau yang mengalami perubahan karena perubahan zaman dan masuknya budaya asing. Ia melakukan penelitian novel Negeri Perempuan dari tinjauan sosiologi sastra, khususnya sosiologi karya. Tujuannya untuk mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan dan faktor-faktor penyebab perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam karya sastra dengan menjabarkan teks-teks yang terdapat dalam novel.

Bardasarkan analisis ditemukan, bentuk-bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2) perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan


(36)

terhadap konsep Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai objek pariwisata, (2) lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.

Penelitiannya itu berbeda dengan yang peneliti lakukan yang fokus pada analisis pembingkaian media pada program Bingkai Sumatera espisode Ranah Minang Negeri Perempuan.

2.3Uraian Teoritis

2.3.1 Komunikasi Massa

Pengertian komunikasi massa, merujuk pada pendapat Tan danWright, merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2007: 3).

Menurut Bittner, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Dari definisi tersebut jelaslah bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukanlah komunikasi massa.

Ahli komunikasi lainnya, Joseph A.Devito merumuskan komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.Ia juga mengatakan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang


(37)

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan media modern yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh sipenyampai pesan, misalnya pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi dan film. Mempelajari komunikasi massa tidak ada gunanya tanpa mengkaitkan peran medianya, bahkan bisa dikatakan media massa menjadi alat utama dalam proses komunikasi massa.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan beberapa karakteristik komunikasi massa, yaitu:

1. Komunikasi massa bersifat satu arah

Komunikasi massa bersifat satu arah, artinya setiap pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak diketahui apakah pesan itu dapat diterima dan dimengerti dengan baik oleh komunikan atau tidak. Dalam komunikasi massa, komunikator tidak tahu sama sekali apakah komunikasinya berhasil atau gagal. Umpan balik terhadap pesan yang disampaikan itu tidak langsung saat ia berkomunikasi, akan tetapi jauh sesudah pesan itu disampaikan (sifatnya tertunda/delayed feedback). Artinya, komunikan tidak dapat secara langsung memberikan umpan balik atas pesan yang disampaikan oleh komunikator.

2. Komunikator bersifat melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi lembaga yang terdiri atas banyak orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem. Di dalam komunikasi massa, yang namanya komunikator itu lembaga media massa itu sendiri. Dalam sebuah sistem ada


(38)

interdependensi, artinya adanya interaksi, saling keterkaitan dan saling ketergantungan antara komponen-komponen didalamnya. Jadi apabila ada satu komponen yang tidak bekerja, tentu akan memengaruhi kinerja komponen yang lainnya.

3. Pesan bersifat massa dan umum

Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural. Oleh karena itu, pesan-pesan yang disampaikanpun tidak boleh bersifat khusus. Khusus disini artinya pesan itu memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Misalnya, televisi. Karena televisi ditujukan dan untuk dinikmati oleh orang banyak, maka pesannya harus bersifat umum. Misalnya dalam pilihan katanya, sebisa mungkin memakai kata popular bukan kata-kata ilmiah. Sebab kata-kata ilmiah itu hanya dapat dimengerti oleh kelompok tertentu.

4. Menimbulkan keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Dalam komunikasi massa, komunikasi yang banyak itu secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Effendy mengartikan keserempakan media massa itu ialah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.


(39)

5. Komunikan bersifat anonim dan heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media massa dan tidak tatap muka. Dalam komunikasi massa, komunikannya juga heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Baik dari segi usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, tingkat ekonomi dan lain-lain.

6. Stimuli alat indera “terbatas”

Karakteristik komunikasi massa lainnya yang dapat dianggap salah satu kelemahannya adalah stimuli alat indera yang terbatas. Pada komunikasi antar pribadi yang bersifat tatap muka, maka seluruh alat indera pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan) dapat digunakan secara maksimal. Kedua belah pihak dapat melihat, mendengar secara langsung, bahkan mungkin merasa. Dalam komunikasi massa, stimuli alat indera bergantung pada jenis media massanya. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat, pada media televisi dan film, kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran, sedangkan pada media radio kita menggunakan indera pendengaran.

7. Dikendalikan oleh Gatekeeper

Gatekeeper atau yang sering disebut dengan penjaga gawang adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa.

Gatekeeperberfungsi sebagai orang yang menambah atau mengurangi, menganalisis, atau menginterpretasikan pesan serta mengemas kembali sebuah pesan dari media massa sebelum disebarkan kepada komunikan. Keberadaan gatekeeper sama pentingnya dengan peralatan teknis yang harus


(40)

dipunyai media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, gatekeeper

menjadi sesuatu yang pasti keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya.

8. Umpan balik tertunda

Ciri ini berhubungan dengan ciri komunikasi massa yang bersifat satu arah. Umpan balik (feedback) merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Pada komunikasi massa, umpan baliknya bersifat tertunda (delayed), artinya komunikan tidak dapat secara langsung memberikan respons terhadap pesan yang telah diterimanya dari komunikator (media massa).

2.3.2 Budaya Massa

Perkembangan media massa bagi manusia sempat menumbuhkan perdebatan panjang tentang makna dan dampak media massa pada perkembangan masyarakat. Pemahaman tentang masyarakat massa sempat menggoncang persepsi anggota masyarakat mengenai dampak media massa yang cukup signifikan dalam merubah tata sosial masyarakat. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Bukan kebetulan bahwa dua pemahaman tentang masyarakat massa dengan budaya massa mempunyai titik permasalahan yang menggantung. Pertanyaan kritis yang perlu ditampilkan adalah sejauh mana hubungan antara masyarakat massa dengan produk budaya massa yang ada? Apakah memang di antara dua konsep tersebut mempunyai hubungan antar entitas


(41)

yang berdiri sendiri atau memang dua konsep itu mempunyai hubungan yang saling mengandalkan?

Sebelum masuk pada tesis utama teori masyarakat massa dan fungsi media massa, perlu diketahui terlebih posisi masing-masing teori yang mengembangkan persepsi tentang masyarakat massa dan fungsi media massa yang ada. Dalam konsiderasi teori tradisional, tekanan tema utama dalam teori ini adalah bahwa ada posisi media dalam sebuah masyarakat. Di satu pihak, teori tradisional mengenai masyarakat massa dan media massa melihat secara pesimis, dalam arti bahwa media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam seluruh konteks sistem pengaruh pada masyarakat. Modernisasi dengan media massa sebagai salah satu perkembangan modern yang cukup signifikan ternyata memberikan pengaruh negatif bagi perubahan sosial.

Dalam bentuknya yang mulai modern, teori masyarakat dan fungsi media massa - dalam perspektif empirik-kritis - melihat secara optimis persepsi yang berkembang dalam masyarakat atas perkembangan media massa. Artinya, bahwa masyarakat ternyata juga mempunyai kemampuan untuk mengontrol media massa berikut dampak-dampaknya.

Dari pemahaman seperti itu, terlihat bahwa media massa berperan untuk membentuk keragaman budaya yang dihasilkan sebagai salah satu akibat pengaruh media terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Pada titik tertentu, masyarakat massa mengembangkan sistem budaya massa. Dalam konteks yang hampir sama, terlihat dua ragam budaya massa yang bisa dihasilkan oleh masyarakat.


(42)

Di satu pihak, budaya dalam konteks masyarakat massa dengan didukung oleh media massa dilihat sebagai entitas cair dan mampu menghegemoni sebuah masyarakat (terlihat bagaimana media mampu membentuk selera masyarakat atau membentuk cara pandang tertentu terhadap sebuah realitas, dan lain-lain). Tapi di lain pihak, budaya dalam konteks masyarakat harus dilihat sebagai entitas yang juga turut membentuk media massa. Isi yang biasa diproduksi dan didiseminasikan oleh media massa adalah budaya massa. Hanya masalahnya

sering makna budaya massa dipahami sebagai suatu yang “murahan”. Meskipun

sebetulnya istilah budaya massa harus dipahami sebagai sesuatu yang baik, karena merujuk sebuah proses pluralisme dan demokrasi yang kental. Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim,

praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”.

Secara evaluatif dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik.

Berbeda dengan budaya massa, budaya tinggi mempunyai sistem nilai dan evaluasi yang berbeda. Budaya tinggi lebih dilihat sebagai hasil produksi elite, terkontrol, secara estetis ternilai dan mempunyai standar yang ketat - tidak tergantung pada konsumen produk mereka.

Dari perbedaan definisi budaya massa dan budaya tinggi, kita dapat melihat bahwa secara sosial manusia membagi hasil produk kulturnya dalam konteks kultur yang berbeda pula. Ini berarti ada hubungan tak terelakkan bahwa kultur, konteks sosial dan media massa sebagai media penyebaran nilai sosial serta budaya. Beberapa kajian sosial mengenai dampak media massa dalam sebuah


(43)

masyarakat membuat persepsi baru bahwa media massa, masyarakat dan budaya massa secara simultan saling berhubungan satu sama lain. Corak hubungan

faktor-faktor di atas bersifat “interplay”. Tentu saja perubahan makna sosial tersebut

juga dipengaruhi oleh perkembangan sosial baru dalam era modernisasi. Dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu dilihat.

Pertama, perkembangan media sampai pada satuan kecil masyarakat membuat kita harus membuat sikap baru dan lebih kompleks terhadap terminologi-terminologi sosial tradisional yang diyakini oleh masyarakat. Kedua, perkembangan media massa baru seperti televisi sempat mengubah persepsi sosial masyarakat karena pengaruhnya yang sedemikian dahsyat. Bahkan dapat dikatakan bahwa televisi mampu menjadi sentra kehidupan sosial meski tidak menutup kemungkinan bahwa media cetak juga tetap mempunyai kekuatan yang cukup signifikan dalam masyarakat. Ketiga, proses transisi sosial baru yang dialami oleh masyarakat menuntut kita untuk memperbaharui konsep sosial yang sudah ada. Proses transisi sosial baru juga mengandung paradoks, dalam arti bahwa proses diferensiasi struktural bersinergi dengan uniformitas kebudayaan. Proses paradoks ini akan berpengaruh bagaimana kita memaknai masyarakat massa, masyarakat industri dan budaya massa. Keempat, maka diperlukan sistesa baru yang mengatasi kelemahan atau kekurangan konsep masyarakat massa dan sintesa baru yang mengatasi konsep pluralisme dan otoritarianisme modernisasi. Segmentasi dan fragmentasi masyarakat harus dimaknai kembali dalam konteks bahwa masyarakat dilihat sebagai sebuah kerangka sosial yang lebih kompleks. Proses pluralisme sosial yang sempat didorong oleh kehadiran media massa juga perlu mendapatkan posisi epistemologi, ontologi dan aksiologi baru. Masyarakat


(44)

modern bersifat cair dan mobile. Pemahaman tentang ini juga akan mempengaruhi keseluruhan sikap yang diambil dalam proses perkembangan budaya masyarakat itu sendiri.

Pemahaman tentang interdependensi dan independensi masyarakat massa dan budaya massa memang harus digugat. Tapi setidaknya ada beberapa masalah yang perlu diungkapkan. Pertama, pemahaman masyarakat massa sebagai kesatuan entitas sosial. Apakah memang masih harus dipertahankan. Konsep masyarakat dalam proses globalisasi telah menghantarkan kita pada konsepsi mobilitas, heterogenitas dan sifat kecairan loyalitas makna kolektif masyarakat. Ketersebaran dan keterkaitan secara instan masyarakat global telah mengubah bahwa media massa tidak hanya dilihat sebagai entitas di luar masyarakat. Dapat dikatakan media massa adalah unsure penting dalam masyarakat global. Masyarakat global adalah masyarakat informasi. Masyarakat yang di satu pihak sangat tergantung dengan media massa. Tapi di lain pihak, masyarakat menjadi penentu dan pemain kunci media massa itu sendiri. Saya kira konsep interdependensi harus menjadi konsep sentral dalam perkembangan masyarakat, budaya massa dan budaya tinggi. Kedua, ambiguitas dalam perkembangan masyarakat modern juga berakibat pada tumbuhnya kegamangan prioritas nilai dalam mengevaluasi media massa sebagai unsur pokok kebudayaan. Permasalahannya tidak lagiterletak pada bagaimana kita harus bersikap pada media massa, budaya massa dan budaya tinggi tapi sejauh mana manusia tetap mampu menjadi pembuat simbol (masters of symbol) yang dihasilkan oleh media massa, budaya massa atau budaya tinggi. Ketiga, sulit juga apabila kita mau


(45)

menentukan siapa mempengaruhi siapa dalam perkembangan dunia media massa, masyarakat massa dan budaya.

2.4 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa 2.4.1 Sejarah dan Pengertian Televisi

Media televisi lahir karena perkembangan teknologi. Penemuan televisi telah melalui berbagai eksperimen yang dilakukan oleh James Clark Maxwell dan Heinrich Hertz, serta penemuan Marconi pada tahun 1890. Lalu ditemukan

electriche telescope sebagai wujud dari gagasan seorang mahasiswa di Berlin, Jerman Timur, yang bernama Paul Nipkov. Nipkov dan William Jenkis kemudian menemukan sistem penyaluran sinyal gambar untuk mengirim gambar melalui udara dari suatu tempat ke tempat lain melalui kabel. Sistem ini dianggap praktis sehingga diadakanlah percobaan pemancaran sinyal televisi tersebut. Percobaan ini terjadi antara tahun 1883-1884. Akhirnya, Nipkov digelari sebagai Bapak Televisi.

Televisi sudah mulai dinikmati di Amerika Serikat pada 1939, ketika berlangsungnya World’s Fair di New York. Kegiatan ini terhenti pada masa Perang Dunia II dan kembali hidup pada 1946. Pada saat itu, hanya ada beberapa buah pemancar. Kemudian teknologi berkembang pesat dan jumlah pemancar televisi pun meningkat tajam. Tahun 1948 merupakan tahun yang penting bagi perkembangan televisi karena pada tahun tersebut, televisi berubah status dari televisi eksperimen menjadi televisi komersial. Negara-negara di benua Eropa kemudian melalukan hal yang sama. Perkembangan televisi menjadi cepat sehingga memberi dampak yang luas.


(46)

Pertelevisian di Indonesia mulai berkembang pada 1961. Saat itu pemerintah memutuskan untuk memasukkan rencana pembangunan media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV. Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mengadakan siaran percobaan dengan menyiarkan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Baru pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI secara resmi mengudara dengan menyiarkan upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno secara langsung.

Pemerintah akhirnya memberi izin operasi kepada kelompok usaha Bimantara untuk membuka stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tahun 1989. RCTI merupakan televisi swasta pertama yang kemudia disusul oleh SCTV, Indosiar, ANTV, dan TPI.

Reformasi juga memicu perkembangan industri media massa, khususnya televisi. Jumlah stasiun televisi di Indonesia baik di Jakarta maupun di daerah-daerah berkembang pesat, ditambah dengan jaringan televisi kabel dengan siaran-siaran mengglobal dengan sajian berbagai macam acara. Semua ini pertanda bahwa industri komunikasi di Indonesia makin maju (Cangara, 2009: 144).

Menjelang tahun 2000, lima stasiun televisi swasta baru bermunculan dalam waktu yang berdekatan, yaitu Metro TV, Trans, TV7, Lativi dan Global TV, juga dibarengi televisi berlangganan yang menyajikan beragam program baik dari dalam maupun luar negeri. Setelah Undang-undang Penyiaran disahkan pada tahun 2002, jumlah stasiun televisi terus bertambah.


(47)

Televisi merupakan media yang mendominasi komunikasi massa karena sifatnya yang mampu memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan khalayak umum. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audiovisual (dapat didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan secara langsung dan mampu menyajikan berbagai macam peristiwa yang terjadi di luar ke dalam rumah para pemirsa, di mana pun mereka berada. Dengan ini dapat dikatakan bahwa televisi sebagai media massa dapat berfungsi secara efektif, karena selain dapat menjangkau ruang yang sangat luas, juga dapat mencapai massa dan pemirsa yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat (Morissan, 2008: 35).

Effendy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan televisi adalah televisi siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, audiensnya bersifat anonim dan heterogen, dan memiliki gatekeeper atau penjaga gawang (Effendy, 2000: 66).

2.4.2 Karakteristik Televisi

Menurut Elizabeth Noelle Neuman (dalam Rakhmat, 2008: 189), sebagai media komunikasi massa, televisi memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Bersifat tidak langsung

Bersifat tidak langsung artinya harus melewati media teknis. Televisi adalah satu jenis dan bentuk media massa yang paling canggih, dilihat dari sisi teknologi yang digunakan dan paling mahal, jika dilihat dari segi investasi.


(48)

Televisi sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit.

2. Bersifat satu arah

Bersifat satu arah artinya tidak ada interaksi antara komunikastor dengan komunikan. Pemirsa televisi hanya dapat menerima berbagai program acara yang sudah disiapkan oleh pihak pengelola televisi, tidak mencela, atau melakukan interupsi saat suatu program disiarkan. Ada beberapa siaran langsung yang memungkinkan penonton menelepon atau berinteraksi langsung tetapi masih dianggap tidak optimal karena hanya satu atau dua orang yang diterima dan disiarkan secara langsung. Dapat dikatakan umpan balik (feedback) dalam televisi bersifat tertunda.

3. Bersifat terbuka

Televisi ditujukan kepada masyarakat secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh pemancar siaran, artinya ketika siaran televisi sedang mengudara, tidak ada lagi batas-batas yang dikenal sebagai wilayah geografis, usia, atau bahkan tingkat akademik khalayak. Khalayak yang dituju bersifat heterogen yang teridir dari berbagai jenis latar belakang, usia, suku, agama, dan kepercayaan, bahasa, budaya, perilaku sosial, lingkungan, dan sebagainya. Khalayak juga berisfat anonim yang berarti mereka tidak saling mengenal satu sama lain.

4. Publik tersebar

Khalayak televisi tidak hanya berada pada suatu wilayah yang kecil tetapi tersebar ke berbagai wilayah dalam daerah lokal, regional, nasional, atau bahkan internasional.


(49)

2.4.3 Program Televisi

Secara garis besar, berbagai jenis program dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya menjadi dua bagian, yaitu program informasi dan program hiburan. Jika dilihat dari sifatnya, maka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu program faktual (meliputi program berita, dokumenter, dan reality show) dan program fiksi (meliputi program komedi dan drama) (Morissan, 2005).

1. Program Informasi (Berita)

Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada khalayak. Daya tarik program ini adalah informasi itu sendiri, sehingga informasi inilah yang dijual kepada audiens.

2. Program Hiburan (Entertainment)

Program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur audiens dalam bentuk musik, lagu, cerita, dan permainan. Program yang termasuk dalam kategori hiburan adalah drama, musik, dan permainan (game). Jenis program televisi dapat dibedakan berdasarkan format teknisatau berdasarkan isi. Format teknis merupakan format-format umum yang menjadi acuan terhadap bentuk program televisi seperti talk show,dokumenter, film, kuis, musik, instruksional, dan lain-lain. Berdasarkan isi, program televisi berbentuk berita dapat dibedakan antara lain berupa program hiburan, yaitu drama, olahraga, dan agama. Sedangkan untuk program televisi berbentuk berita secara garis besar dikategorikan ke dalam hard news dan soft news.

1. Hard news atau berita keras sebuah berita yang sajiannya berisi segala informasi penting dan menarik yang harus disiarkan oleh media penyiaran


(50)

kerena sifatnya yang segera untuk diketahui khalayak dan disebut dengan straight news. Contoh infotaiment yeng merupakan salah satu bentuk program berita dan fungsinya lebih besar sebagai hiburan bagi audiens. (Morissan, 2008: 219).

2. Soft news atau berita lunak adalah sebuah program berita yang menyajikan informasi penting dan menarik yang disampaikan secara mendalam (indepth) namun tidak bersifat harus segera ditayangkan, misalnya news magazine,

current affair, talkshow dan lain-lain) (Morissan 2008: 207).

2.5 Kerangka Berpikir

Dijelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk meneliti tayangan program Bingkai Sumatera Episode Ranah Minang Negeri Perempuan adalah pendekatan framing William A. Gamson yang mana dalam model tersebut perangkat framing dibagi menjadi dua struktur besar, yaitu: pertama, Struktur framing devices yang mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depictions,

dan visual images menekankan aspek bagaimana “melihat” suatu isu. Kedua

Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara

“melihat” isu, yakni roots (analisis kausal) dan appeals to principle (klaim moral).

Pada penelitian ini, peneliti hendak menganalisis bagaimana kebudayaan Minangkabau ditampilkan dalam tayangan program Bingkai Sumatera Episode

“Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV”, serta pesan apa yang ingin disampaikan melalui tayangan ini. Kemudian jenis analisis yang peneliti gunakan adalah analisis teks media dengan pendekatan framing model analisis framing


(51)

William A. Gamson. Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain.

3.

Gambar 2.5 : Kerangka berpikir penelitian

Sumber : Data Primer

2.6 Analisis Framing

2.6.1. Akar Historis Analisis Framing.

Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan ktegori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Namun, kemudian pengertian framing berkembang yaitu ditafsirkan untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah studi komunikasi,

PENULIS NASKAH Program Bingkai Sumatera Episode “Ranah Minang

Negeri Perempuan di DAAI TV

ANALISIS FRAMING MODEL WILLIAM GAMSON DAN ANDRE MODIGLIANI

STRUKTUR FRAMING DEVICES

1. Metaphors, 2. Exemplars, 3. Catchphrases, 4. Depictions, dan 5. Visual images

STRUKTUR REASONING DEVICES

Roots (analisis kausal) dan

Appeals to principle (klaim moral)


(52)

analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi.

Analisis framing sebagai suatu metode analisis isi media, terbilang baru. Ia berkembang terutama berkat pandangan kaum konstruksionisme. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Beger bersama Thomas Luckman, yang banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial dan realitas. Tesis utamadari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan, tetapi ia dibentuk dan direkonstruksi.

Dengan pemahaman seperti itu, realitas berwajah ganda / plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas dapat merupakan realitas subyektif dan realitas objektif. Realitas subyektif, menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antar individu dengan objek. Sedangkan realitas objektif, merupakan sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan.

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh


(1)

budayanya diperkuat dengan pembentukan organisasi Bundo Kanduang.Hal ini merupakan suatu kondisi yang sedang digalakkan saat ini di kalangan masyarakat Minangkabau yang mana dalam menyikapi realitas semakin berkurangnya jumlah dan keberadaan Rumah Gadang yang merupakan pusaka dan citra utama masyarakat Minangkabau maka dari berbagai elemen pemerhati kebudayaan baik dari pemerintah, lembaga-lembaga, instansi dan akademisi turun ke lapangan untuk mengkampanyekan usaha dan upaya melestarikan keberadaan dan eksistensi rumah gadang yang salah satunya dilaksanakan dengan strategi pembentukan organisasi Bundo Kanduang. Bundo kanduang di ranah Minangkabau merupakan ujung tombak dalam merealisasikan dan melestarikan segala adat dan budaya Minang ditengah masyarakat. Organisasi ini dibentuk berlandaskan pada pemikiran dasar bahwa tumbuhnya generasi yang memahami dan melaksanakan adat dan budaya yang diinginkan sangat tergantung kepada peran aktif bundo kanduang yang notabene adalah seluruh kaum ibu di Minangkabau. “Bondo kandaung adalah kapai tampek batanyo, kapulang tampek babarito, kok auih tampek mintak aia, peran dan fungsi yang sangat dalam pada pepatah ini menuntut kerja keras dari Bundo kanduang untuk mampu menggiring generasi muda kita sebagai pewaris adat dan budaya dimasa yang akan datang, Penalaran ini juga semakin diperkuat narasi yang menunjukkan sebuah fenomena aksi dan reaksi, dimana dalam hal ini amanah yang diembankan bagi kaum perempuan minang sebagai penentu pertahanan rumah gadang disikapi dengan pengorganisasian diri para kaum perempuan Minangkabau dalam satu wadah yang bernama Bundo Kanduang sebagai tempat mereka menyatukan visi dan misi terkait amanah yang mereka emban tersebut.


(2)

Peran Bundo kanduang di ranah Minang memang sangat menentukan teraplikasinya adat dan budaya ditengah masyarakat. Terlebih menghadapi tantangan dengan segala kemajuan dan perubahan yang terjadi dewasa ini. Mengakibatkan generasi muda sekarang mulai mengabaikan tuntunan yang ada dalam adat dan budaya Minangkabau dalam menjalani kehidupan sehari-hariNarasi dan fakta yang disusun sedemikan rupa tersebut sehingga membuat roots yang membenarkan bahwa fenomena tersebut sangat relevan. Hal ini tampak pada kutipan teks berikut:

Perjuangan perempuan minang dalam mempertahankan Rumah gadang dan budayanya diperkuat dengan pembentukan organisasi Bundo Kanduang

Pertahanan rumah gadang ditentukan oleh perempuan yang masih menjaga adat dan tradisinya

Perangkat penalaran juga dipakai untuk menggambarkan bahwa Masyarakat Minangkabau memiliki optimisme dan keyakinan yang tinggi terhadap kelestarian dan keberlanjutan kebudayaan Minangkabau maupun Rumah Gadang. Dalam hal ini masyarakat Minangkabau memiliki strategi dan juga komitmen dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai adat budaya dan kearifan lokal sehingga masih dapat diteruskan kepada generasi-generasi selanjutna sepanjang masa. Hal ini diajukan dengan memakai pembenar berupa Appeal to Principle dengan mengatakan pembenaran bahwa Rumah gadang adalah pusaka kaum yang tidak dapat dijual hanya bisa di gadai, peraturan adat ini membuat kelangsungan hidup dan budaya masyarakat minang terjamin. Reasoning seperti ini dapat dilihat pada cuplikan teks berikut :

Selagi masih ada perempuan maka rumah gadang akan tetap ada . Reasoning seperti ini dapat dilihat pada cuplikan teks berikut


(3)

Pembenaran dalam teks dipergunakan untuk menekankan kepada khalayak bahwa terdapat sebuah alasan yang sangat mendasar/fundamental terkait dengan stigma yang tertanam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Minangkabau bahwa pertahanan Rumah Gadang ditentukan oleh keberadaan kaum perempuan.


(4)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN

1. Adapun konsep pemikiran pada tayangan ini ini terbagi dalam 2 (dua) isu sentral atau frame yaitu : pertama : Merantau sebagai budaya masyarakat Minangkabau, kedua : Peran dan eksistensi perempuan dalam kehidupan Masyarakat Minangkabau.

2. Pemikiran atau ide yang ditekankan dalam tayangan ini adalah mengenai :  Nuansa kentalnya rasa kecintaan orang-orang Minang terhadap kampung halamannya. Hal ini lebih ditekankan kepada orang Minang yang merantau jauh dari Ranah kelahirannya, namun secara psikologi nuansa kampun selalu terngiang dan dekat dihati mereka.

 Perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan Adat Minangkabau

 Rumah Gadang adalah sebuah pertahanan budaya, Rumah Gadang yang dijaga oleh perempuan adalah pusaka yang telah turut merawat kebudayaan Minang agar tetap hidup hingga kini

3. Pada tayangan ini perangkat pembingkaian itu paling tidak dipakai untuk beberapa tujuan

 Untuk menunjukkan citra bahwa masyarakat Minangkabau memiliki tingkat sosialisasi dan penyebaran yang sangat tinggi di wilayah nusantara khususnya dan termasuk juga di berbagai wilayah mancanegara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sudibyo.1999.Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru. Yogyakarta: Bigraf

Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar.Bandung: Simbosa Rekatama Media.

Bogdan, Robert C. Dan Steven J. Taylor, 1992, Introduction to Qualitative Research Methotds : A Phenomenological Approach in the Social Sciences, alih bahasa Arief Furchan, John Wiley dan Sons, Surabaya, Usaha Nasional

Cangara, Hafied. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Effendy, Onong Uchjana. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2000

Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS.Yogyakarta

_______.2011.Analisis Wacana Pengantar Teks Media :Lukis Pelangi Aksara, Yogyakarta

Gitlin, Todd. (1979). “Prime time ideologi: The Hegemonic process in Television”, dalam Horace Newcomb (ed). (1994). Television: The Critical View. Fifth edition. New York: Oxford University Press.

Hadi, Wisran dalam Yelmi Andriani. Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan. Pustaka Firdaus Jakarta. 2001.

Imawan, Ruswanda. (1997). Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kriyantono. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana : Jakarta

Moleong, J. Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Remaja Karya

Morissan,2005. Media Penyiaran Strategi mengelola radio dan televisi.Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Nugroho, Bimo. Eriyanto, dan Surdiasis, Politik Media Mengenai Berita, Jakarta, ISAI, 1999

Panuju, Redi. 2003. Framing Analysis. Makalah. Surabaya: Universitas dr. Sotomo


(6)

Rakhmat, Jalaludin, Drs. M.Sc. 2008. Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Siahaan, Hotman M, dkk. 2001. “Pers yang Gamang Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur”. Surabaya: Lembaga Studi Perubahan Sosial dan Jakarta Institut Studi Arus Informasi

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian., Metode Penelitian Survai, LP3ES, Edisi Revisi, 1995

Sobur, Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, 2004, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudibyo, Agus, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Lkis, Yogyakarta, 2001 Sudjana. (1989). Metoda Statistika. Edisi Kelima. Bandung: Tarsito

Tuchman, Gaye. Klaus Bruhn Jensen (ed). 1991. Qualitative Methods in The Study of News dalam A Handbook of Qualitative Mathodologies for Mass Communication Research. London : Routledge