Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan

commit to user 45 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan untuk mengeluarkan putusan Mahkamah Agung No. 152 PKPis2010 yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima karena Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan memeriksa perkara tersebut. Mahkamah Agung menolak alasan yang menjadi dasar jaksa untuk melakukan peninjuaan kembali atas putusan praperadilan tersebut. Hal ini didasari dengan aturan Pasal 45 A ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung MA dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2005.

B. Pembahasan

Pada pembahasan ini akan dibahas secara mendalam mengenai kasus yang terjadi. Pembahasan ini akan dibagi menjadi dua sub bagian untuk mempermudah menjelaskan dam menganalisis hasil penelitian. Pada sub bagian yang pertama akan menguraikan tentang argumentasi Jaksa Agung sebagai alasan dalam mengajukan peninjauan kembali atas kasus yang terjadi. Pada sub bagian yang kedua akan menjelaskan putusan Mahkamah Agung atas pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa yang mengakibatkan alasan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali tidak bisa diterima.

1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan

Kembali Kasus yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang dituduh melakukan kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya menimbulkan polemik hukum yang rumit. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKPP atas kasus yang menimpa Bibit dan Chandra yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tidak serta merta menghentikan kasus tersebut. Alasan sosiologis yang dinyatakan dalam commit to user 46 SKPP tersebut mengundang reaksi pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo untuk melakukan permohonan praperadilan atas SKPP tersebut. Alasan sosiologis tersebut dinilai tidak tepat digunakan untuk mengeluarkan SKPP dan lebih tepatnya digunakan untuk dasar deponering. Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKPP yang meminta agar SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada Mahkamah Agung. Permasalahan yang terjadi yaitu suatu putusan praperadilan diajukan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa. KUHAP tidak mengatur secara jelas mengenai hal tersebut. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang Pasal 1 butir 10 KUHAP : a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa hukum tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; commit to user 47 c. permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan, Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut menantang pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM. Sekalipun lembaga praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum. Tetapi dalam praktek dialami bahwa putusan hakim dalam perkara praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan bahwa penghentian penuntutan oleh penuntut umum adalah tidak sah dan memerintahkan kejaksaan untuk meneruskan penuntutan Otto Cornelis Kaligis, 2006:157. Bentuk putusan praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undang- undang. Bentuk putusan dari praperadilan berupa penetapan. Bentuk putusan praperadilan merupakan rangkaian berita acara dengan isi putusan itu sendiri. Penggarisan isi putusan atau penetapan praperadilan pada garis besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat 2 dan 3 KUHAP, oleh karena itu penetapan praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan hakim. Menurut Moch. Faisal Salam, dalam putusan praperadilan memuat hal-hal sebagai berikut Moch. Faisal Salam,2001:333: a. dalam hal suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau penuntut umum jaksa harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; commit to user 48 c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang dibayarkan diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII Bagian Kedua Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap in krach van guwijsde. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan peninjauan atas putusan praperadilan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap SKPP Bibit dan Chandra diajukan oleh jaksa didasari dengan tiga alasan. Ada keadaan baru atau novum, putusan yang bertentangan dan kekhilafan hakim. Jaksa mengajukan PK dengan alasan adanya keadaan baru atau novum. Dalam hal adanya keadaan baru, dimaksudkan jika hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan adanya suatu keadaan pada waktu sidang masih berlangsung maka putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 130 PIDPrap2010PT DKI tertanggal 3 Juni 2010 akan memutuskan bahwa penerbitan SKPP terhadap Bibit dan Chandra adalah sah. Alasan kedua, adanya alasan putusan yang saling bertentangan. Putusan PT DKI Jakarta menunjukkan adanya alasan atau pertimbangan putusan yang saling bertentangan yaitu dalam putusan PT DKI Jakarta nomor 130 PIDPrap2010PT DKI tertanggal 3 Juni 2010. Penuntut umum tidak commit to user 49 diperkenankan menggunakan alasan penutupan perkara demi hukum berdasarkan Pasal 140 ayat 2 KUHAP. Sedangkan dalam putusan PT DKI Jakarta nomor 149PIDPrap2006PT DKI tertanggal 1 Agustus 2006 penuntut umum diperkenankan menggunakan alasan penutupan perkara demi hukum berdasarkan Pasal 140 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian, dalam 2 putusan PT DKI Jakarta tersebut terdapat putusan yang saling bertentangan. Alasan ketiga, terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pertimbangan PT DKI Jakarta yang menyatakan bahwa Pasal 139 KUHAP bukanlah pasal berdiri sendiri tetapi harus dimaknai dalam kaitan yang erat dan tidak terpisahkan dengan pasal lainnya. Bahwa adapun Pasal 50 KUHP tergabung dalam kelompok ketentuan tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman bukan pasal yang memberikan pengaturan mengenai gugurnya hak penuntutan adalah merupakan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata http:www.detiknews.com read 2010 07141324291399033103-alasan-jpu-ajukan-pk-skpp-bibit- chandra[Senin, 13 Desember 2010 Pukul 10.50 wib]. Sesuai dengan alasan yang telah disebutkan di atas maka akan diuraikan lebih lanjut mengenai argumentasi Jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali. Alasan yang digunakan jaksa yaitu adanya keadaan baru novum, adanya alasan yang saling bertentangan, dan terdapat kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130PidPrap2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, sebagai berikut: a. Adanya Keadaan Baru Novum Dalam hal adanya keadaan baru, dimaksudkan jika Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertimbangkan adanya suatu keadaan pada waktu sidang masih berlangsung, maka putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130PidPrap2010 PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, akan memutuskan bahwa penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap Chandra Martha Hamzah commit to user 50 dan Bibit Samad Rianto adalah sah; Keadaan baru dimaksud adalah didasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut: 1 Bahwa Anggodo Widjojo berkedudukan sebagai saksi yang tidak menjadi korban dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto Pimpinan KPK yang diduga melakukan tindak pidana dimaksud Pasal 12 huruf e danatau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Pol. : Sprin Sidik98.BIX2009 Pidkor WCC, tanggal 15 September 2009, atas nama Tersangka Bibit Samad Rianto dan No. Pol : Sprin Sidik91.A VIII2009Dit-I, tanggal 26 Agustus 2009, atas nama Tersangka Chandra Martha Hamzah; 2 Bahwa atas perkara tersebut Kejaksaan Negeri JakartaSelatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP- 010.1.14Ft.1122009, tanggal 1 Desember 2009, atas nama Chandra Martha Hamzah dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP 020.1.14Ft.112,2009, tanggal 1 Desember 2009, atas nama Bibit Samad Rianto; 3 Bahwa Anggodo Widjojo selanjutnya ditetapkan sebagai Tersangka diduga melakukan tindak pidana percobaan penyuapan kepada Pimpinan KPK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP- 030112010, tanggal 13 Januari 2010; 4 Bahwa selanjutnya perkara pidana atas nama Tersangka Anggodo Widjojo tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Penuntut Umum KPK berdasarkan Surat Pelimpahan Perkara Nomor PP-1224 042010, tanggal 19 April 2010; 5 Bahwa Anggodo Widjojo berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 020RBS-SKIII2010, tanggal 12 Maret 2010 mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan atas diterbitkannya Surat commit to user 51 Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh Termohon I Jaksa Agung RI, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan; 6 Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 14Pid.Prap2010PN.Jkt.Sel, tanggal 19 April 2010, antara lain memutuskan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam perkara Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah tidak sah; 7 Bahwa Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku Pembanding semula Termohon I mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor Prin 400.1.14Ft.1032010, tanggal 26 Maret 2010; 8 Bahwa atas permohonan banding tersebut Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusan Nomor 130PidPrap 2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, antara lain menyatakan : a Menetapkan bahwa penghentian penuntutan sesuai Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP 020.1.14Ft.1122009, tanggal 1 December 2009, atas nama Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh Pembanding semula Termohon I adalah tidak sah; b Menetapkan bahwa penghentian penuntutan sesuai Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP- 020.1.14Ft.11212009, tanggal 1 Desember 2009, atas nama Bibit Samad Rianto yang diterbitkan oleh Pembanding semula Termohon I adalah tidak sah; c Mewajibkan Pembanding semula Termohon I untukmelanjutkan penuntutan perkara Bibit Samad Rianto, sebagaimana tercantum dalam Berkas Perkara Hasil Penyidikan Turut Terbanding Semula Termohon II Nomor commit to user 52 Pol. : BPB.10X2009PlDKOR WWC, tertanggal 9 Oktober 2008; Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat diketahui bahwa dalam masa pengujian atas penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto terdapat suatu keadaan baru, sebagai berikut: 1 Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto Pimpinan KPK diduga melakukan tindak pidana pemerasan sesuai Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam perkara ini, Anggodo Widjojo sebagai saksi dalam kaitan menyerahkan sejumlah uang yang dititipkan Anggoro Widjojo kakak Anggodo Widjojo kepada Ary Muladi untuk diserahkan kepada oknum Komisi Pemberantasan Korupsi, antara lain Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto; 2 Apabila perkara Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto diajukan ke persidangan dengan dakwaan Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang No. 20 Tahun 2001, maka akan terjadi konstruksi yuridis yang saling bertentangan dengan perkara atas nama Tersangka Anggodo Widjojo yang diduga melakukan tindak pidana percobaan penyuapan terhadap Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto Pimpinan KPK, karena substansi perkara antara perkara pemerasan yang dilakukan Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto dan perkara percobaan penyuapan kepada Pimpinan KPK yang dilakukan oleh Anggodo Widjojo, tidak mungkin disidangkan dalam waktu yang bersamaan, karena 2 dua perkara tersebut commit to user 53 bersifat saling meniadakan satu sama lain, artinya tidak mungkin 2 dua perkara tersebut terbukti semua; Oleh karena materi perkara atas nama Terdakwa Anggodo Widjojo yang didakwa melakukan percobaan penyuapan, pada saat ini tengah diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, sehingga tidak memungkinkan materi perkara atas nama Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diduga melakukan pemerasan terhadap Anggodo Widjojo diajukan ke persidangan; Berdasarkan uraian tersebut maka hal ini dapat dinilai sebagai keadaan baru yang dijadikan alasan oleh Kejaksaan Republik Indonesia untuk mengajukan peninjauan kembali demi terselenggaranya tertib hukum dalam penegakan hukum; b. Adanya Alasan Pelbagai Putusan yang Saling Bertentangan Dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130PidPrap2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, pada halaman 8 sampai dengan halaman 9, pertimbangan tersebut merupakan dasar pertimbangan putusan yang saling bertentangan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 149PidPrap2006PT.DKI, tanggal 1 Agustus 2006, atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor TAP-010.1.14Ft.1052006, tanggal 11 Mei 2006, dalam perkara atas nama Tersangka H. M. Soeharto alias Soeharto, dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut : 1 “Menimbang, bahwa seiring perjalanan waktu, terjadi perobahan kondisi dan kebutuhan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan rasa keadilan masyarakat, dan karenanya sudah selayaknya timbul alasan baru tentang hapusnya kewenangan untuk menuntut; 2 Menimbang, bahwa Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang salah satu silanya adalah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum, dipergunakan pula dalam menilai commit to user 54 peristiwa konkrit yang terungkap di persidangan dihubungkan dengan ketentuan perundang-undangan yang telah berusia hampir seabaddimaksud; 3 Menimbang, bahwa demikian alasan a quo merupakan juga satu keadaan yang dapat dijadikan dasar untuk penutupan perkara demi hukum sebagaimana dimaksud Pasal 140 ayat 2 KUHAP” Dalam kedua putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut menunjukkan adanya alasanpertimbangan putusan yang saling bertentangan, yaitu dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130PidPrap2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010, Penuntut Umum tidak diperkenankan menggunakan alasan Penutupan Perkara Demi Hukum berdasarkan Pasal 140 ayat 2 KUHAP, sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 149PidPrap2006PT.DKI, tanggal 1 Agustus 2006, Penuntut Umum diperkenankan menggunakan alas an Penutupan Perkara Demi Hukum berdasarkan Pasal 140 ayat 2 KUHAP; Dengan demikian dalam 2 dua putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut terdapat putusan yang saling bertentangan, sehingga demi tertib hukum dalam penegakan hukum, kami Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor 130PidPrap2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010; c. Adanya Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliruan yang Nyata Bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut mengandung suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, dengan penjelasan sebagai berikut: 1 Pasal 140 ayat 2 KUHAP menegaskan, bahwa Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan perkara, karena: tidak terdapat cukup bukti; atau perkara tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau perkara ditutup demi hukum. commit to user 55 2 Bahwa perkara ditutup demi hukum sebagai alasan dihentikannya penuntutan, dalam logika umum akan bermakna hukum tidak menghendaki suatu perkara diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Dalam hal pernyataan hukum tidak menghendaki”, secara luas di dalamnya terkandung maksud adanya suatu situasi dan kondisi personal yang menghendaki untuk ditiadakannya pemidanaan tanpa harus melalui suatu persidangan perkara berhenti di tingkat penuntutan atau penyidikan 3 Selain ketiga alasan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 76, 77 dan 78 KUHP, terhadap pencabutan pengaduan pada delik-delik aduan, seperti Pasal 284 ayat 4 KUHP dan Pasal 332 ayat 1, 2 dan 3 KUHP, 310 jo 313 KUHP, 315 KUHP dan 367 ayat 2 KUHP atau telah ada pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda Pasal 82 KUHP atau terhadap perkara yang diberikan amnesti atau abolisi yang merupakan hak konstitusional Kepala Negara pada saat perkaranya dalam proses penuntutan, maka Penuntut 4 Berdasarkan alasan penghentian penuntutan pada Pasal 140 ayat 2 KUHAP dengan alasan perkara ditutup demi hukum didasarkan azas-azas yang berkembang dalam hukum pidana Buku I KUHP berdasarkan alasan tempat place, waktu time dan ruang space, seperti: nebis in idem Pasal 76 KUHP, meninggal dunia Pasal 77 KUHP, daluwarsa Pasal 78 KUHP, penyelesaian di luar persidangan Pasal 82 KUHP bahkan adanya pencabutan pada delik aduan. Jadi penghentian penuntutan dengan alasan perkara ditutup demi hukum didasarkan azas hukum pidana Buku I dalam prinsip expertise-causaliteit”, antara actus reus dan mens rea, sehingga alasan yuridis dengan mempergunakan Pasal 50 KUHP dengan alasan perkara ditutup demi hukum adalah telah tepat dan sah;” commit to user 56 5 Pada dasarnya undang-undang itu harus ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri, tetapi memperhatikan juga keadaan yang berubah, maka dapat diberlakukan secara menyimpang dari maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang; 6 Apabila alasan pembenar maupun alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, 45, 48, 49, 50 dan 51 KUHP sebagai alasan peniadaan pidana hanya dimaknai sebagai wewenang hakim dan tidak dapat dipergunakan sebagai alasan penghentian penuntutan, kemudian Pasal 76, 77 dan 78 KUHP hanya dimaknai sebagai wewenang penuntut umum dalam menghentikan perkara, maka akan terjadi pemaksaan terhadap seseorang yang tidak perlu disidangkan karena telah diketahuinya terdapat keadaankeadaan yang meniadakan pidana dalam tahap penyidikan maupun penuntutan. Disamping itu, dengan pemaknaan sebagaimana pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, maka Penyidik tidak mempunyai kewenangan Iagi untuk menghentikan penyidikan dengan alasan perkara dihentikan demi hukum, padahal hukum acara pidana memberikan kewenangan tersebut ; Dengan demikian penafsiran atas alasan peniadaan pidana maupun alasan penghapusan penuntutan tidak semestinya hanya didasarkan atas makna yang bersifat terminologis, tetapi harus dimaknai secara substansial dalam menentukan dapat tidaknya dipidananya seseorang adalah juga sebagai alasan ditutupnya perkara demi hukum baik oleh Penuntut Umum maupun Penyidik; 7 Pasal 139 KUHAP menentukan: Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan;” commit to user 57 Rumusan menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik dalam Pasal 139 KUHAP, dimaksudkan proses penerimaan Tersangka dan barang bukti dalam tahap penuntutan, dimana Jaksa Penuntut Umum diberi kewenangan untuk menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan atau tidak. Jaksa Penuntut Umum diberi kewenangan untuk melakukan penelitian dalam tahap penuntutan, karena penelitian berkas perkara yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan penyidikan tahap prapenuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 138 ayat 2 KUHAP, hanyalah penelitian kelengkapan formal dan materiil atas berkas perkara hasil penyidikan tanpa Jaksa Penuntut Umum bertemu dengan Tersangka dan meneliti kebenaran atas barang bukti; Dengan demikian dimungkinkan pada tahap prapenuntutan Jaksa Penuntut Umum menyatakan suatu berkas perkara telah lengkap secara formal maupun materiil P.21, akan tetapi setelah Jaksa Penuntut Umum melakukan penelitian pada tahap penuntutan setelah diterimanya berkas perkara berikut tersangka dan barang buktinya, ternyata diketahui bahwa tersangka tidak dapat dipertanggungjawabkan karena keadaan-keadaan tertentu sebagai alasan peniadaan pidana maupun penghapusan hak penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Dalam kondisi tersebut, Jaksa berdasarkan Pasal 139 jo Pasal 140 ayat 2 KUHAP haruslah berpendapat perkara tidak memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, karena tidak cukup bukti, bukan merupakan peristiwa pidana maupun perkara ditutup demi hukum. Kiranya dalam kondisi demikian, Jaksa Penuntut Umum tidak perlu melimpahkan perkara ke pengadilan, karena hal-hal commit to user 58 yang menyebabkan tidak dapat dipidananya tersangka telah diketahui di tahap penuntutan demi kemanfaatan hukum. Sebaliknya jika harus melimpahkan perkara ke pengadilan terhadap materi perkara yang sudah diketahui bahwa pengadilan akan memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan, akan bertentangan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan; 8 Selanjutnya jika dicermati, sebenarnya perbuatan Tersangka Chandra Martha Hamzah yang menerbitkan Surat Perintah Penggeledahan PT Masaro Radiokom dan PT Masaro Korporatindo, Surat Keputusan Pelarangan Bepergian Ke Luar Negeri atas nama Anggoro Widjojo, dkk. dan perbuatan Tersangka Bibit Samad Rianto yang menerbitkan Keputusan Pelarangan Bepergian Ke Luar Negeri atas nama Joko S. Tjandra, tidak ada hubungannya dengan penerimaan uang Ary Muladi dari Anggoro Widjojo melalui Anggodo Widjojo, sehingga perbuatan Tersangka Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto tersebut dapat dikategorikan melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Secara yuridis formal perbuatan para Tersangka tersebut dalam sangkaan Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP telah terpenuhi, karena telah melakukan pelarangan ke luar negeri terhadap orang yang tidak terkait langsung dengan perkara pidana yang sedang ditangani, namun perbuatan para Tersangka tersebut dianggap hal yang wajar dan meneruskan perbuatan para pendahulunya dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 50 KUHP, sehingga perbuatan para Tersangka commit to user 59 yang demikian itu dapat dibenarkan dan tidak dapat dipidana karena tidak diliputi oleh kesalahan dolus culpa; Berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud 1 sampai dengan 8, dapat disimpulkan bahwa: Alasan penghapus pidana strafuitsluitings gronden dapat dijadikan sebagai alasan penghapusan penuntutan vervolgingsuitsluitings gronden bahwa dua terminologi tersebut hanyalah perbedaan terminologi untuk tidak dapat diterapkannya peraturan hukum; Bahwa Pasal 139 KUHAP bukanlah pasal berdiri sendiri, tetapi ia harus dimaknai dalam kaitan yang erat dan tidak terpisahkan dengan pasal-pasal lainnya dalam kelompok Pasal-Pasal Bab XV KUHAP yang mengatur perihal penuntutan, termasuk dengan Pasal 140 KUHAP; Bahwa adapun Pasal 50 KUHP tergabung dalam kelompok ketentuan tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman, bukan pasal yang memberikan pengaturan mengenal gugurnya hak penuntutan; adalah merupakan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata; Alasan-alasan yang diuraikan di atas merupakan dasar jaksa melakukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan dalam kasus Bibit dan Chandra. KUHAP tidak mengatur secara jelas mengenai peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan yang diajukan oleh jaksa. KUHAP juga tidak mengatur secara eksplisit mengenai peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa. commit to user 60 Di bawah ini skema upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa maupun penuntut umum yang dibedakan menjadi dua alur pemeriksaan yakni pemeriksaan praperadilan dan pemeriksaan perkara biasa. Gambar 2. Skema upaya hukum yang dilakukan jaksa Skema tersebut menggambarkan bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa dalam pemeriksaan praperadilan dan pemeriksaan perkara pidana biasa. Pemeriksaan dalam perkara pidana biasa, jaksa dapat melakukan upaya hukum yang dengan jelas diterangkan atau diatur dalam KUHAP terkecuali pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Jaksa dapat melakukan upaya hukum banding yang diajukan ke pengadilan tinggi sesuai dengan Pasal 63 jo. Pasal 233 KUHAP. Selain upaya hukum banding, jaksa dapat melakukan upaya hukum kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Perkara pidana biasa Praperadilan Peninjauan Kembali Kasasi Banding Banding Pasal 83 ayat 2 KUHAP Pasal 63 jo. 233 ayat 1 KUHAP Pasal 244 KUHAP Tersirat dalam Pasal 263 Ayat 3 KUHAP Upaya Hukum oleh Jaksa commit to user 61 Pasal 244 KUHAP. Pengajuan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa termasuk juga kasasi demi kepentingan hukum, peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Pada pasal tersebut terdiri atas tiga ayat yang berbunyi: ”1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 2 Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntutan umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagi dasar dan alasan putusan tang telah terbukti, itu ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3 Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2 terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Pasal 263 KUHAP tidak menyebutkan secara tegas bahwa jaksa berhak untuk mengajukan peninjauan kembali. Jaksa jelas adalah salah satu pihak dalam sistem peradilan pidana kita. Jaksa mewakili kepentingan masyarakat atau negara, meski dakwaan yang diajukan dipersidangan hanya menimbulkan korban bagi seseorang saja. KUHAP tidak diatur secara eksplisit mengenai kemungkinan bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali, tetapi disiratkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 263 ayat 3. Ketentuan dimaksud menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan dapat diajukan peninjauan kembali apabila perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai dengan pemidanaan. Perihal commit to user 62 putusan seperti itu membuat jaksa merasa tidak adil dan bukan terpidana atau ahli warisnya sebab putusan seperti itu tidak merugikan mereka. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, ”terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yakni Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa jika perkara tersebut perkara pidana. Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa dijatuhi putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum maka jaksa sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, karena terpidana yang juga sebagai pihak yang berkepentingan tentu tidak mungkin mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan seperti itu, karena Pasal 263 ayat 1 melarangnya dan dalam logika tidak mungkin seorang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum mengajukan peninjauan kembali. Ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang menyatakan bahwa “Atas dasar yang sama sebagaimana tersebut pada ayat 2, terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan Peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Di samping itu, Pasal 263 KUHAP, sama sekali tidak melarang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali, sehingga oleh karenanya jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali. Selain itu, dalam Pasal 14 huruf i menyebutkan wewenang penuntut umum bahwa mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang. Dalam hal mengadakan tindakan lain dapat ditarik kesimpulan bahwa demi rasa keadilan jaksa dapat melakukan peninjauan kembali commit to user 63 apabila perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai dengan pemidanaan. Pemeriksaan dalam praperadilan, jaksa dapat melakukan upaya hukum banding sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat 2 KUHAP. Upaya hukum banding ini dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan ahkir ke pengadilan tinggi. Upaya hukum kasasi dalam praperadilan tidak dapat diajukan oleh jaksa karena melanggar Pasal 45 ayat 2 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan upaya hukum luar biasa pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa terhadap putusan praperadilan tidak terdapat aturan yang mengaturnya. Peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan agaknya sulit diterima oleh peradilan. Hal tersebut dikarenakan praperadilan dilakukan dengan acara cepat sesuai dengan Pasal 82 ayat 1 huruf c KUHAP yang menyatakan pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Putusan praperadilan juga dapat dilakukan upaya hukum lain yakni upaya hukum banding. Putusan praperadilan yang dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 83 ayat 2 KUHAP. Putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan saja yang dapat diajukan banding. Berdasarkan ketentuan Pasal 83 ayat 2 tersebut terhadap putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, tidak dapat diajukan banding; terhadap putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding; pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus dalam tingkat akhir. Ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 83 ayat 2 KUHAP tidak semua putusan praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding dan hanya terbatas commit to user 64 mengenai putusan yang berisi penetapan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Putusan Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan banding adalah merupakan putusan akhir bukan putusan tingkat terakhir. Sifat dari putusan akhir adalah putusan yang sudah ”final” dan tidak lagi diajukan permintaan pemeriksaan yang lain. hal tersebut mendasari bahwa peninjauan kembali tidak dapat dilakukan dalam putusan praperadilan.

2. Putusan Mahkamah Agung atas Pengajuan Peninjauan Kembali oleh