Sharing Collateral Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Secara Cross Collateral (Studi Di PT. Bank Mandiri (Persero), TBK Cabang Medan Imam Bonjol

74 wanprestasi juga menggantungkan, yaitu pada adanya default perjanjian fasilitas kredit lainnya, tetapi fasilitas kredit yang belakangan tidak menggantungkan default- nya dengan fasilitas kredit lain yang menunjuk. Kelemahan cross default sepihak ini, antara lain kesulitan untuk dapat memonitor perjanjian yang digantungkan wanprestasi, terlebih apabila perjanjian kredit yang ditunjuk berada di luar control, misalnya perjanjian kredit yang ditunjuk merupakan perjanjian kredit dari bank lain. Cross default sepihak sering dilakukan oleh lembaga perbankan dalam hal tidak terdapat kesepakatan mengenai addendum perjanjian kredit existing yang hendak di-crossdefault-kan dengan perjanjian kredit baru. Pihak yang menandatangani fasilitas kredit baru bersedia untuk di-crossdefault-kan dengan perjanjian kredit exsisting, sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian kredit exsisting tidak terdapat kesepakatan untuk di-cross-default-kan dengan perjanjian kredit baru atau tehadap kredit exsisting tidak dilakukan perubahan addendum perjanjian kredit. Cross default sepihak juga tidak dapat dilakukan cross collateral karena dalam cross collateral diperlukan adanya persamaan waktu terjadinya default, sedangkan dalam cross default sepihak, mungkin saja tidak terjadi wanprestasi atau default secara bersama-sama.

4. Sharing Collateral

Sasaran akhir dari adanya cross default tentunya berkaitan dengan pembagian hasil eksekusi agunan yang dijadikan cross collateral. Oleh karena itu, jika dilakukan cross collateral, seyogianya dibuat juga sharing collateral. Dalam hal ini terdapat Universitas Sumatera Utara 75 beberapa perjanjian kredit yang di-crossdefault-kan merupakan satu debitur, misalnya antara kredit investasi di-crossdefault-kan dengan kredit modal kerja untuk debitur yang sama dan oleh kreditur yang sama, sekalipun tidak dibuat security sharing agreement, maka pembagian hasil penjualan agunan tidak begitu rumit karena debiturnya satu dan dikelola oleh kreditur yang sama. Namun demikian, jika yang di- crossdefault-kan meupakan beberapa debitur, apalagi debitur dikelola oleh bank berbeda, dapat dipastikan pembagian hasil penjualan agunan debitur akan mengalami kesulitan, terutama terkait dengan bagian masing-masing kreditur. Jika para pihak menghendaki adanya cross default di masing-masing perjanjian kredit, maka seyogianya dinyatakan juga dalam klausula terdapat pada perjanjian-perjanjian kreditnya seluruh perjanjian yang di-crossdefault-kan bahwa akibat hukum dari wanprestasi tersebut, yaitu munculnya hak kreditur untuk melakukan eksekusi pada seluruh agunan yang menjadi jaminan kredit pada masing- masing fasilitas kredit yang di-crossdefault-kan. Hal demikian untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya perbedaan interprestasi bahwa atas cross default tersebut hanya berkaitan dengan wanprestasi pada masing-masing perjanjian kredit saja dan tidak menyangkut mengenai sisi agunan kredit. Untuk memberikan kemudahan pemahaman mengenai cross default ini, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut. Dalam suatu perjanjian fasilitas kredit tertentu, misalnya perjanjian kredit diberi nama A, dimana atas perjanjian kredit A tersebut mempunyai agunan kredit, yaitu benda B. Di sisi lain, terdapat perjanjian fasilitas kredit, misalnya bernama C, yang mempunyai agunan kredit berupa benda D. dalam Universitas Sumatera Utara 76 hal ini,perjanjian yang di-cross default-kan tersebut adalah antara perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C. Ilustrasi tersebut berbeda dengan apa yang telah dijelaskan di atas mengenai cross default sepihak. Dalam contoh tersebut cross default murni, berarti jika perjanjian kredit C default, maka perjanjian kredit A menjadi jatuh tempo seketika dalam hal ini perjanjian A tidak default, tetapi jatuh tempo seketika, sedangkan jika perjanjian kredit C dinyatakan default, maka perjanjian kredit A tidak terpengaruh. Dalam perjanjian kredit yang di-cross default-kan tersebut cross default murni, jika perjanjian kredit A default, berarti juga perjanjian kredit C juga default, demikian sebaliknya. Jika perjanjian kredit C default, berarti perjanjian kredit A juga default. Jika dalam suatu kasus bahwa perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C telah dinyatakan default, maka pada masing-masing perjanjian kredit yang telah di-cross default-kan itu dipastikan terlebih dahulu telah memuat atau termasuk juga mengatur mengenai cross collateral. Dengan adanya default atas perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C, otomatis hal ini berarti terhadap agunan masing-masing perjanjian kredit A yaitu, berupa benda B dan perjanjian kredit C dengan agunan berupa benda D, dapat dilakukan eksekusi berdasarkan eksekusi hak-hak agunan kredit. Teknis pelaksanaan dari cross default dan cross collateral tersebut adalah sebagai berikut: 1. Masing-masing perjanjian kredit A dan C dicantumkan klausula cross default. Kemudian, dalam akta pemberian agunannya untuk masing-masing perjanjian Universitas Sumatera Utara 77 kredit, yaitu dlam akta pemberian hak tanggungan atau akta pemberian fidusia atau akta pemberian hipotek atau akta gadai menunjuk seluruh perjanjian kredit yang di-crossdefault-kan, dalam hal ini adalah perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C sebagai perjanjian pokok. Dalam hal ini, untuk benda-benda yang menjadi objek jaminan yang sama dapat dibuatkan 1 satu akta pemberian jaminan. Jadi hanya ada 1 satu akta pemberian agunan untuk masing-masing APHT atau APJF atau akta pemberian hipotek atau akta gadai. Untuk benda agunan yang berbeda, misalnya benda berupa tanah dan kendaraan bermotor dapat dibuatkan masing-masing akta pemberian jaminan. Yaitu untuk benda berupa tanah dibuat akta pemberian hak tanggungan dan untuk kendaraan bermotor dibuatkan akta pemberian jaminan fidusia. Kemudian, terhadap perjanjian ikutannya tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran hak agunan, yaitu pada kantor pendaftaran tanah untuk akta pemberian hak tanggungan, kantor pendaftaran fidusia untuk akta pemberian jaminan fidusia, dan kantor pendaftaran hipotek untuk akta pemberian hipotek. Lahirnya hak preferent atas pemberian fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C adalah pada saat pendaftaran agunan di masing- masing kantor pendaftaran. Sebagai bukti adanya hak preferent adalah sertifikat hak tanggungan atau sertifikat jaminan fidusia atau grosse acte hipotek. Dengan demikian, atas seluruh hak preferent tersebut lahirnya secara bersamaan, tidak ada hak preferent yang lahir lebih dahulu dari yang lain. Lahirnya hak Universitas Sumatera Utara 78 preferent atau pendaftaran tersebut merupakan hal yang sangat penting karena jika terdapat selisih waktu pendaftaran, maka mempunyai akibat hukum yang sangat luas, yaitu seperti berikut ini. a. Jika benda yang dijadikan jaminan kredit adalah objek jaminan fidusia, maka pendaftaran atau hak preferent yang diakui hanya terhadap pendaftaran pertama kali atau yang lebih dahulu dan pendaftaran yang kedua dan seterusnya menjadi batal demi hukum. Pasal 17 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Dengan demikian, sebagai tanda bukti hak preferent yang benar adalah sertipikat jaminan pertama yang didaftarkan lebih dahulu. Pendaftaran atas objek jaminan kedua dan seterusnya dilarang dan dengan demikian, dapat menjadi batal demi hukum. Hal yang menjadi kendala adalah jika debitur diberikan fasilitas kredit modal kerja oleh beberapa lembaga pembiayaan, misalnya beberapa lembaga perbankan, maka mungkin sekali atas stok danatau piutang debitur yang bersangkutan telah saling didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia oleh masing-masing bank yang memberikan fasilitas kredit modal kerja karena untuk kredit modal kerja, sebagai agunan utama adalah berupa stok dan piutang. Untuk memudahkan pembagian hasil eksekusi atas barang yang dijadikan jaminan, maka seyogianya jika krediturnya lebih dari 1 subjek hukum perlu mengadakan perjanjian pembagian hasil eksekusi atau security sharing Universitas Sumatera Utara 79 agreement. Dalam security sharing agreement tersebut mungkin diatur pembagiannya secara paripasu atau sama rata dan lain sebagainya. b. Jika objek jaminan menyangkut objek hak tanggungan atau objek hipotek yang bendanya sama, maka pendaftaran yang pertama akan diberikan status hak tanggungan peringkat I satu dan selanjutnya tanpa batas atas hipotek peringkat I satu dan selanjutnya tanpa batas. Artinya jika terdapat pendaftaran kembali terhadap benda agunan fasilitas kredit yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran hak tanggungan atau kantor pendaftaran hipotek, maka sertipikat hak tanggungan atau grosse acte hipotek yang pertama kali didaftarkan akan menjadi hak tanggungan peringkat I satu atau hipotek peringkat I satu, sedangkan pendaftaran kedua dan seterusnya diberikan hak tanggungan peringkat II dan seterusnya atau hipotek II dan seterusnya. Jika hak tanggungan peringkat I atau hipotek peringkat I belum dilakukan eksekusi, maka hak tanggungan peringkat II atau hipotek peringkat II tidak dapat langsung melakukan eksekusi, sekalipun telah terjadi default. Acara yang dapat dilakukan adalah gugatan kepada pengadilan. Selanjutnya, jika hak tanggungan peringkat I telah hapus atau hipotek peringkat I telah hapus, maka hak tanggungan peringkat II atau hipotek peringkat II berubah menggantikan kedudukannya menjadi hak tanggungan peringkat I atau hipotek peringkat I. Universitas Sumatera Utara 80 Untuk memudahkan pembagian hasil eksekusi atas barang yang dijadikan jaminan, seyogyanya jika kreditornya lebih dari 1 subjek hukum, maka perlu diadakan perjanjian pembagian hasil eksekusi atau security sharing agreement. Dalam security sharing agreement diatur pembagian hasil penjualan agunan kredit secara paripasu atau sama rata dan lain sebagainya. 2. Dalam hal masing-masing perjanjian kredit A dan C telah terdapatdicantumkan klausula cross default dan dalam pemberian agunannya, baik dalam akta pemberian hak tanggungan atau akta pemberian jaminan fidusia, atau akta pemberian hipotek atau akta gadai tidak menunjuk seluruh perjanjian kredit yang di-cross default-kan, maka terdapat perbedaan interpretasi yaitu, sebagai berikut a. Perjanjian cross default hanya menyangkut wanprestasi atau default saja, tidak menyangkut terhadap jaminannya. Artinya, terhadap jaminan agunan berlaku pada masing-masing akta pemberian jaminan agunan yang menunjuk pada perjanjian kredithanya yang ditunjuk saja, hal ini didasarkan pada pendapat bahwa yang ditunjuk dalam perjanjian pemberian agunan adalah hanya nomor dan tanggal perjanjian itu saja, tidak menunjuk perjanjian kredit lainnya. b. Perjanjian cross default tersebut tidak hanya menyangkut wanprestasi saja, tetapi juga telah menyangkut agunannya, karena sekalipun yang ditunjuk dalam perjanjian pemberian agunan adalah hanya nomor dan tanggal perjanjian itu saja, tidak menunjuk perjanjian kredit lainnya, tetapi dalam pengertian luas, perjanjian lain tersebut telah ditunjuk di-renvoi oleh perjanjian yang satu dengan yang lainnya. Universitas Sumatera Utara 81 Oleh karena itu, agar lebih memberikan perlindungan kepada kreditur, maka dalam perjanjian kredit yang dimaksudkan adanya klausula cross default juga perlu ditindaklanjuti dengan adanya cross collateral dan juga adanya security sharing agreement. Jika suatu kredit hendak di-crossdefault-kan dengan suatu fasilitas kredit existing, maka pelaksanaan cross default dalam perjanjian kredit yang existing tentunya sepenuhnya tergantung addendum perubahan terhadap perjanjian kredit. Artinya, jika para pihak dlam pemberian fasilitas kredit yang existing tidak bersedia melakukan perubahan terhadap perjanjian fasilitas, maka tidak akan terjadi cross collateral default murni, tetapi cross default sepihak. Apalagi jika fasilitas kredit yang existing tersebut ternyata mempunyai kondisi yang lebih baik, maka hal tersebut biasanya akan ada keengganan untuk melakukan cross default dengan fasilitas kredit lainnya yang belum jelas prospeknya. 63 Pengertian addendum dalam hal ini adalah perubahan terhadap perjanjian kredit. Secara teknis, perubahan demikian dapat dibuat secara lengkap atau secara sederhana. Yaitu melalui surat-menyurat yang dapat dijadikan bukti adanya saling setuju mengenai perubahan perjanjian, sepanjang memenuhi persyaratan sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 63 Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, ibid, hal.283 Universitas Sumatera Utara 82

E. Perjanjian Kredit Secara Cross Collateral pada PT Bank Mandiri Persero,

Tbk 1. Pengaturan Perjanjian Kredit Secara Umum Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata dimana perjanjian menurut pasal tersebut dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas, seharusnya perjanjian harus diartikan sebagai suatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 64 Pemberian kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit tidak dikenal dalam Undang-Undang Perbankan, tetapi pengertian kredit dalam Undang-Undang Perbankan mencantumkan kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan yang berdasar pada perjanjian atau kontraktual yang berbentuk pinjam meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjam meminjam. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu 64 Hasanuddin, Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 34 Universitas Sumatera Utara 83 memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Pendapat lain dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini, yaitu bahwa perjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti halnya perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam meminjam dan berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam dalam KUH Perdata. Perjanjian kredit memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam. Ciri-ciri pembeda itu adalah: 65 a. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat riil.Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan perjanjian peminjaman yang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas- jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. 65 Johannes, Ibrahim, loc.cit, hlm. 27. Universitas Sumatera Utara 84 b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku Ketiga KUH Perdata. c. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman uang adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan. Pada perjanjian peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu diberikan dalam Universitas Sumatera Utara 85 bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada dalam pengawasan bank. Disamping pendapat diatas, pendapat lain juga dikemukakan oleh Djuhaendah Hasan bahwa perjanjian kredit juga memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam, yaitu bahwa : 66 1 Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas. 2 Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan pegadaian, anjak piutang atau factoring, leasing yang memiliki kegiatan hampir sama dengan bank dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam pemberian pinjaman dapat dilakukan oleh individu. 3 Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam. Bagi perjanjian pinjam meminjam berlaku ketentuan umum dari buku III dan bab XIII buku III KUH Perdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi, ketentuan umum KUH Perdata khususnya buku III, UU Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Ekonomi terutama bidang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia PBI, Surat Edaran Bank Indonesia SEBI dan peraturan terkait lainnya. 4 Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai dengan bunga, imbalan atau pembagian hasil. Sedangkan dalamperjanjian pinjam meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan. 5 Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur untuk melunasi kredit diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immateriil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam,jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang dan inipun baru ada bila diperjanjikan. Selanjutnya Remy Sjahdeini menyimpulkan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yakni : Perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur 66 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 174 Universitas Sumatera Utara 86 untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Mengkaji rumusan kredit yang diberikan oleh UU Perbankan, dikatakan bahwa kredit adalah : “….. berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga..” “…. berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Dari pengertian “kredit” dan “pembiayaan” di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 67 1 Kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank, baik dengan sistem ataupun syariah, keduanya berakar pada suatu perjanjian yang merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. 2 Pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan tidak terbatas pada cara konvensional di mana peminjam harus memberikan imbalan berupa bunga melainkan berkembang dengan imbalan bagi hasil. 3 Pemberian kredit atau pembiayaan diatur secara khusus dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, merupakan hal yang lazim mengingat kepentingan manusia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, dan kredit atau pembiayaan tidak dapat diberikan dalam suatu bentuk tertentu saja. 67 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 18 Universitas Sumatera Utara 87 4 Subjek pemberi kredit atau kreditur diatur oleh suatu lembaga yaitu bank sebagai lembaga intermediasi atau perantara. Ketentuan pengaturan lembaga intermediasi tidak hanya bank, dikarenakan dalam praktik terdapat pula lembaga lainnya, yaitu pegadaian, anjak piutang atau factoring dan leasing yang memiliki kegiatan hampir sama dengan bank. 5 Penyediaan kredit tidak dapat dikatakan hanya bersifat konsensual saja, tetapi juga riil. Penyediaan kredit yang bersifat konsensual diberikan dalam fasilitas rekening koran, demand loan atau fasilitas kredit lainnya. Akan tetapi terdapat pula penyediaan kredit secara riil, misalnya fasilitas kredit secara fixed loan atau fasilitas kredit konsumtif, misalnya untuk pembelian rumah atau kendaraan. 6 Syarat penggunaannya tidak selalu menggunakan cara giral melalui cek, giro ataupun pemindahbukuan. Dalam praktik perbankan, tidak mustahil pula dilakukan penarikan secara tunai melalui kasir dengan menggunakan kuitansi atau tanda terima lainnya sebagai bukti pengambilan. Oleh karenanya, perjanjian kredit masih berakar pada perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yaitu : a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Universitas Sumatera Utara 88 b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batas hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. Bentuk perjanjian kredit sendiri dapat bermacam-macam. Setiap bank, dengan atau tanpa menggunakan bantuan kantor notaris atau konsultan hukum dapat membuat sendiri perjanjian kredit yang digunakan oleh banknya. 68 Namun pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar, bentuk yang lazim digunakan adalah akta notariel. Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPER, yaitu mengenai hapusnya perikatan. Namun pada prakteknya hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak disebabkan : a. Pembayaran, merupakan kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan; b. Subrogasi, diatur dalam Pasal 1400 KUHPER dimana disebutkan bahwa subrogasi adalah penggantian hak-hak si berpiutang kreditur oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang kreditur. c. Pembaharuan utang novasi yaitu dibuatnya perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus atau berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Dalam Pasal 1413 KUHPER disebutkan ada 3 tiga cara untuk terjadinya novasi yaitu : 68 Sutan Remy, Sjahdeini, Op Cit, hlm 190. Universitas Sumatera Utara 89 1 Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan kreditur baru 2 Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti debitur lama dengan debitur baru 3 Membuat perjanjian baru yang bertujuan untuk memperbaharui atau merubah objek atau isi perjanjian. Pembaharuan objek perjanjian ini terjadi jika kewajiban tertentu dari debitur diganti dengan kewajiban lain. d. Perjumpaan utang atau kompensasi, menurut Pasal 1425 KUHPER adalah suatu keadaan di mana pihak kreditur dan debitur memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang sehingga perjanjian kredit tersebut menjadi hapus. Disamping itu kreditur atau bank juga berhak secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan meminta agar debitur melunasi sekaligus outstanding kredit apabila salah satu atau lebih syarat-syarat yang diatur dalam perjanjian kredit dilanggar. Pelanggaran tersebut merupakan event of default yang memungkinkan bank untuk menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut oleh debitur sekaligus memberikan hak pada bank untuk menagih kredit. Salah satu asas fundamental dari cross collateral kredit adalah klausula ingkar janji silang dirumuskan karena seorang debitur terikat dalam 2 dua hubungan kontraktual atau 2 dua orang debitur yang memiliki kepentingan sama antara satu dan lainnya diikat dalam konsep one obligor system. Klausula ingkar janji silang dalam perjanjian kredit sendiri bertujuan untuk : Universitas Sumatera Utara 90 a. meminimalisir resiko kredit dikarenakan kelalaian debitur dalam melakukan pemenuhan berbagai kewajiban yang dipersyaratkan bank dari berbagai hubungan kontraktual berdasarkan perjanjian-perjanjian kredit yang ditandatangani debitur; b. untuk mengalokasikan risiko kredit dalam penanganan one obligor system sehingga bank dapat melakukan pemantauan secara efektif; c. menyelesaikan kewajiban debitur secara keseluruhan dan tidak dilakukan secara partial; d. menumbuhkan saling kepercayaan antara bank dan debitur sebagai mitra dalam berbisnis. Menjelaskan pengakhiran perjanjian sebelum berakhirnya masa berlaku perjanjian tersebut pada tanggal semula yang disepakati bersama pengakhiran yang bersifat mendahului dapat dikembalikan pada tiga sebab, yaitu : a kegagalan atau kelalaian default yang dilakukan oleh salah satu pihak yang memberi alasan kepada pihak lainnya untuk mengakhiri atau membatalkan berlakunya kontrak; b keadaan kahar force majeur yang dialami oleh salah satu atau semua pihak pada suatu perjanjian dan yang berlangsung secara berkepanjangan sehingga mendorong para pihak untuk sepakat mengakhiri saja perjanjian yang mengikat mereka; c ketentuan hukum yang mengatasi kehendak dan kesepakatan para pihak, yang dapat terjadi jika misalnya pada suatu ketika lahir undang-undang yang melarang dibuatnya kontrak-kontrak tertentu. Universitas Sumatera Utara 91 Rumusan klausula ingkar janji silang cross default yang dicantumkan dalam perjanjian kredit dapat dituliskan sebagai berikut: “Para pihak dengan ini, sepakat dan setuju untuk memberlakukan seluruh ketentuan-ketentuan yang diatur didalam ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat perjanjian kredit atas perjanjian kredit, karenanya ketentuan-ketentuan dan syarat- syarat perjanjian kredit mengikat debitur kepada bank serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian kredit. Debitur dan bank sepakat bahwa debitur akan dinyatakan lalai terhadap fasilitas kredit berdasarkan akta ini; apabila telah terjadi keadaan lalai dari debitur baik berdasarkan akta ini, maupun berdasarkan akta perjanjian kredit nomor …..tanggal…. Demikian pula sebaliknya”.

2. Pengaturan Perjanjian Kredit Secara Cross Collateral di PT Bank Mandiri