Model of sustainable sugar industry development based on clean development mechanism and society participation

(1)

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA

BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh :

HASAN SUDRADJAT

NRP: P 062059464

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan

Partisipasi Masyarakat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing

dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 1 Oktober 2010

Hasan Sudradjat NRP: P 062059464


(3)

ABSTRACT

HASAN SUDRADJAT. 2010. Model of Sustainable Sugar Industry Development Based on Clean Development Mechanism and Society Participation. Under Supervision of Rizal Syarief, Syaiful Anwar and

In the last decade, Indonesian sugar industry has been facing some inter-related problems that have caused a setback of the industries. The production has been declining with a 3.3% annual rate, due to a decrease in area and productivity. On the other hand, the consumption has been increasing with a 2.96% annual rate, leading to an increase in import of 16.5% of the total consumption per year. The declining performance of the industry has been attributed to the inappropriate government international trade and domestic support policies and inefficiency in farm and plant levels because of lack of integrated production system. In response to these problems, this study is aimed at (1) evaluating socio-economic condition and community perception, (2) evaluating environmental condition, (3) evaluating sustainability of sugar industry, (4) evaluating and formulating alternatives government policies related to international and domestic market policies and (5) building models of integrated production systems between farm and sugar plant activities through an integrated planting and harvesting schedule.

Usman Ahmad.

The methods used in achieving these objectives were an econometric of Indonesian sugar market, a compromised import tariff, and Party- Multy-Objective Model. The results of this study showed that the community have a good socio-economic condition and have a good perception. Environmental factor in sugar industry was also considered in good condition. Experiencing heavy distorted by international market through import of sugar, the policy directly affects the price at farmer level and Indonesian sugar industry more significant compared to other influencing factors. In this respects, provenue price policy is more effective than tariff-rate quota, import tariff, input subsidy, and distribution policy. Sugar cane smallholders in general are more responsive toward government policies, compared to government-owned estates, and private estates. Moreover, productivity in farm and sugar plant can be improved by developing an integrated production system through an integrated planting and harvesting schedule.

The result of this research showed that sugar industry sustainability is good enough; Sustainability analysis in 5 factors of sugar industry showed that the industry sustainability is good enough. Out of f the 5 factors, only law and institutional factor which is considered not sustainable enough, while the other 4 factors (ecology, economy, technology, social and culture) are on sustainable category. Key factor influencing sustainable sugar industry management are area susceptibility, planting period management, product marketing, society formal education, factory contribution to public, society, family atmosphere relationship of society, machine revitalization, human resource productivity, cooperation with society, organizer policy of sugar industry, and local government involved. Alternative policy of sugar industry development is implementing an extensification by observing economy as dominant factor, observing industrialist dominant actor, and improving basic commodity quality and quantity as dominant purpose.

There are three types of policy implementation suggested from this study. Firstly, Indonesian sugar industry has to increase its efficiency in all aspects of production activities. The integrated production system model developed in this study could be


(4)

more applied in increasing efficiency in planting and harvesting schedule in a more compromised fashion. Secondly, to create a fairer playing ground, Indonesian sugar industry still needs some government supporting policies. Provenue price, tariff rate-quota, import tariff, input subsidy, are policies that can be used to achieve the goal of fairer playing ground and the industry development. Thirdly, government can stimulate minimum support if the increase in domestic consumption and efficiency is main target. Sugar industry management model had better notice area, seed, fertilizer, water, human resource, society growth, waste material management, law, and institutional.


(5)

RINGKASAN

HASAN SUDRADJAT. Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SYAIFUL ANWAR dan USMAN AHMAD sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya tidak sebanding. konsep model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, mencoba mengaplikasikan aspek ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum – kelembaga ke sistem produksi berbasis ekologi yang didukung oleh partisipasi masyarakat. Penerapan konsep dimaksud melahirkan istilah RSSC-PC (rountable on sustainable sugarcane–principle and cryteria) yaitu suatu wacana rekayasa sosial yang diwaktu mendatang menuntut antisipasi dari industri gula nasional. Tujuan umum penelitian ini adalah membangun model pengembangan industri gula di Indonesia dalam rangka menuju swasembada di tahun 2014. Tujuan khususnya adalah mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat, mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula, menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula, menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung serta untuk mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipatif masyarakat. Metode yang digunakan adalah desk study, wawancara (pengamatan langsung), observasi, focus group discussion (FGD), multi dimension scalling (MDS) dan analysis hierarchi process (AHP).

Hasil Penelitian terhadap kondisi aktual industri gula dan stakeholdernya

menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar pabrik gula mempeunyai kondisi sosial ekonomi yang baik, dan persepsi masyarakat baik terhadap industri gula maupun terhadap lingkungan cukup baik. Kondisi lingkungan di sekitar pabrik gula memperlihatkan kondisi yang cukup baik, hal ini terbukti dari beberapa parameter kualitas limbah cair dan kualitas air sungai tempat membuang limbah cair pabrik gula yang berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil analisis keberlanjutan pabrik gula juga memperlihatkan nilai yang cukup berlanjut terutama dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya serta teknologi; sedangkan dimensi hukum dan kelembagaan yang kurang berlanjut; dari tahun 2003, kondisi industri gula stagnan, yaitu jumlah pabrik masih 61 buah; produksi 2,5 juta ton dan randemen sekitar 8,3; sedangkan limbah (waste) yang berpotensi sebagai hasil samping juga masih dikelola secara konvensional. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada pengolahan industri gula diperlukan faktor pengungkit/kunci yang harus diperhatikan dan berdasarkan nilai skornya adalah berturut-turut: sosial & budaya: pendidikan formal


(6)

masyarakat, kontribusi pabrik terhadap masyarakat, hubungan kekeluargaan warga masyarakat; ekonomi: pasar produk (tidak boleh ada distorsi), dukungan finansial belum maksimal, ekologi: luas areal dan kerentanan lahan, pengelolaan masa tanam dan limbah belum optimal, teknologi: revitalisasi mesin, produktivitas dan peningkatan kualitas sdm, hukum & kelembagaan: kerjasama dengan masyarakat, kebijakan pendorong industri gula, keterlibatan pemda dan lintas sektoral yang holistik. Alternatif kebijakan pengembangan industri gula yang utama adalah melakukan penertiban dan pemberdayaan dari sisi dimensi hukum dan kelembagaan; sedangkan lainnya memperhatikan faktor dominan seperti: revitalisasi mesin dan peralatan yaitu dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi, peningkatan produktivitas dan memperbaiki on farm, kualitas bahan baku; ekstensifikasi, dengan melibatkan pengusaha yang ada dan calon pengusaha; swastanisasi, melibatkan pengusaha. Merumuskan skenario: pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan. perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan (hukum & kelembagaan), dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal.

Sebagai bahan perbandingan bahwa produksi gula dunia menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. Sedangkan FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/08; artinya menurut FAO produksi dunia mencapai 566 juta ton, atau mengalami kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Hal tersebut diperkirakan sekitar 60% dari panen 2008/09. Industri gula Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Luas tanaman tebu di Brazil sekitar 5 juta ha, sedangkan Indonesia hanya 0,4 juta ha.

Kontribusi kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula, dapat dikategorikan sebagai industri strategis harus melibatkan lintas sektoral dengan

langkah-langkah antara lain: Dimensi ekologi: melakukan perbaikan terhadap atribut

yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif

perluasan lahan; Dimensi ekonomi melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Pasar

produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya

pemeliharaan mesin-mesin; Dimensi sosial melakukan perbaikan terhadap atribut: 1)

Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/ mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan

antar masyarakat; 7) jaringan pengaman sosial (Social safety net); 8) Tingkat

penyerapan tenaga kerja; 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat; Dimensi

Teknologi: perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM,

kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi. Disamping itu harus ada: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin

Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia. Indonesia bila kekurangan gula mengimpor antara lain dari Brazil, Thailand dan China. Disisi lain, WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%. Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India, China, Thailand, Pakistan dan Mexico. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara seperti Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina, dan Turki yang merupakan negara-negara produsen terbesar gula bit.


(7)

produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM; dimensi hukum dan kelembagaan

melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) Kebijakan pendorong industri gula; 3) Keterlibatan pemerintah daerah; 4) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) Kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum. Dengan

demikian maka sasaran dilihat dari multi dimensi yang terdiri atas revitalisasi,

swastanisasi dan ekstensifikasi dapat berjalan dengan simultan. Model pengembangan pabrik gula yang disarankan di sini adalah model pengembangan pabrik gula RSSC-PC, yakni model pengembangan pabrik gula yang berpegang teguh pada prinsip aspek legal (hukum & kelembagaan), ekonomi dan teknologi, lingkungan serta sosial budaya.

Kata kunci: industri gula, industri berkelanjutan, faktor kunci, alternatif kebijakan, pengembangan model.


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA

BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

Oleh:

HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Penguji Luar Komisi:

Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. 2. Dr. Ir. Etty Riani MS.

Ujian Terbuka: 1. Dr. Haris Munandar, MSc. 2. Dr. Ir. A. Sutowo Latif, MS.


(11)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat

Nama : Hasan Sudradjat NIM : P062059464

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Anggota

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc

Anggota

Dr. Ir.Usman Ahmad, MAgr

Plh. Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

DR. Drh. Hasim, DEA. Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(12)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis ingin menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Penulis berharap karya tersebut dapat memberi kontribusi terhadap upaya pengembangan industri gula Indonesia.

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis telah menerima bimbingan, masukan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih secara tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief DESS, Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc, Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr, selaku komisi pembimbing. Begitu pula kepada Prof. Dr. Ir. Soerjono Hadi Sutjahjo MS selaku Ketua Program Studi dan Dr.Ir. Etty Riani MS yang banyak memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi. Selain itu, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada keluarga, terutama ibunda Asiah, anak-anak: Milda Ramdhini, B.A, M.A di Kuenzelsau, Jerman, Melidya Assani di Aalen, Jerman dan Ridwansyah Haryo Zamzami di Wismar, Jerman; adik-adik: Drs Dede Suhardiman MM & keluarga, Ir. Wawan Setiawan MM & keluarga, Drs Udin Sobarudin & keluarga, yang telah membantu dalam penyusunan, pengolahan data serta dukungan moril sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri gula Indonesia.

Bekasi, 1 Oktober 2010


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Majalengka, 9 April 1958 sebagai anak pertama. dari empat bersaudara, pasangan Haryono Wartono (Alm) dan Asiah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di STIA-LAN lulus pada tahun 1990 dan FT Perkapalan lulus pada tahun 1998 Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1996 pada Program Studi Marketing Management. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1979 - sekarang pada Kementerian Perindustrian.

Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Dra. Siti Asiah MM dan telah dikaruniai tiga orang putra yakni Milda Ramdhini BA MA, Melidya Assani, dan Ridwansyah Haryo Zamzami.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kerangka Pemikiran ... 9

1.5 Kegunaan Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Ruang lingkup dan Pembatasan Penelitian ... 12

1.7 Kebaruan (Novelty) ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia ... 13

2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan ... 14

2.3 Penelitian Terdahulu yang Terkait ... 15

2.4 Kerangka Teoritis Proteksi ... 16

2.5 Kerangka Teoritis ... 17

2.6 Pembangunan Berkelanjutan ... 18

2.7 Industri ... 21

2.8 Pengelolaan Lingkungan ... 25

2.9 Pencemaran ... 28

2.10 Analisis Kebijakan ... 30

2.11 Model ... 33

2.12 Alur Proses Industri Gula ... 36

2.13 Produksi Bersih (Green Production) ... 36

2.14 Partisipasi Masyarakat ... 38

III. METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh ... 49

3.2 Analisis data ... 50

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA ... 59

4.1 Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ... 59

4.2 Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ... 61

4.3 Gambaran Umum Industri Gula Dunia ... 67

4.4 Perdagangan Gula Internasional ... 75

4.5 Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia ... 76

4.6 Kebijakan Pemerintah pada Industri gula ... 80

4.7 Pengembangan Industri ... 85


(15)

4.7.2 Masalah lain di Industri Gula ... 87

4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi ... 89

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 95

5.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 95

5.2 Kualitas Lingkungan ... 111

5.3 Analisis Kebijakan ... 116

5.31 Indeks Keberlanjutan Industri Gula ... 116

5.8.2 Analysis Hierarki Process ... 138

5.4 Skenario Pengelolaan Industri Gula ... 144

5.5 Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ... 150

5.6 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ... 155

5.7 Pembahasan Umum ... 158

5.8 Implikasi Kebijakan ... 167

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 168

6.1 Kesimpulan ... 168

6.2 Saran ... 169

DAFTAR PUSTAKA ... 170


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004 ... 14

2 Skala banding secara berpasangan dalam AHP ... 56

3 Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh ... 67

4 5 Produsen gula terkemuka dunia ... ... 74

Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) ... 68

6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor ... ... 75

7 Luas areal tebu per perusahaan ... ... 77

8 Dukungan teknis di setiap pabrik gula ... ... 93

9 Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka . ... 96

10 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik ... 111

11 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik ... 111

12 Hasil pengukuran kedalaman air tanah ... ... 111

13 Hasil analisa kualitas air bersih penduduk sekitar Pabrik Gula Jatitujuh ... 112

14 Hasil analisa kualitas udara... ... 113

15 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula JatiTujuh ... 114

16 Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistic ... 130

17 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%. ... 133

18 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya ... 141

19 Kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan industri gula ... ... 142

20 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula ... 143


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Perumusan masalah industri gula nasional ... 4

2 Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih & partisipasi masyarakat ... 11

3 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan ... 19

4 Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula ... 36

5 Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan pemanfaatannya... ... 38

6. Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor mempunyai kepentingan/konstribusi ... 52

7. Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi rap-fish menggunakan MDS ... 53

8. Struktur hirarki limbah industri gula ... 54

9. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ... 55

10. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah ... 55

11 Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula... 81

12 Asal responden ... 95

13 Persentase responden berdasarkan jenis kelaminnya ... 97

14 Tingkat pendidikan formal responden ... 98

15 Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak ... 98

16 Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula ... 99

17 Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula ... 100

18 Kesempatan masyarakat berpartisipasi pabrik gula ... 100

19 Dampak positif terhadap masyarakat ... 101

20 Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik gula ... 102

21 Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat) ... 103

22 Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula ... 103

23 Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali ... 104

24 Penghasilan rata-rata per bulan yang berasal dari limbah industri gula ... 104

25 Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih ... 106

26 Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial pabrik gula ... 107

27 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi ... 117

28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 118

29 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi ... 119

30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 120

31 Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi sosial budaya ... 123 32 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam


(18)

bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 124 33 Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi teknologi ... 126 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan RMS ikB-berinla ... 127 35 Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas

dimensi hukum dan kelembagaan ... 128 36 Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang

dinyatakan dalam bentuk RMS ikB-Berinla ... 129 37 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri

gula ... 131 38 Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ... 134 39 Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 135 40 Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 136 41 Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 137 42 Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula

berkelanjutan ... 138 43. Model pengelolaan pabrik gula berwawasan lingkungan ... 145


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jenis limbah yang bernilai ekonomi... 181 2 Daftar alamat, nomor telepon dan faximile pabrik gula ... 184 3 Contoh klasifikasi mesin peralatan industri gula 250 TCD (ton can

day) ... 189 4 Tingkat komponen dalam negeri ... 194 5 Gambaran umum industri gula nasional ... 205 6. Hasil perhitungan melalui program komputer (AHP, MDS dan


(20)

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan beriklim tropis serta memiliki dua musim dalam setahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau, dengan penyinaran matahari sepanjang tahun. Kondisi ini merupakan cerminan bahwa Indonesia merupakan negara yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam.

Kondisi lahan yang subur, iklim serta penyinaran matahari yang mendukung untuk segala jenis tanaman, menjadikan Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk membangun dan mengembangkan industri agro (agro base industries). Industri agro ini diartikan sebagai industri yang mengolah hasil tanaman (agro) seperti hasil pertanian, hasil hutan dan hasil perkebunan, atau dengan kata lain merupakan kelompok industri pengolahan.

Salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai potensi besar untuk diolah sebagai bahan baku industri (industri agro) ialah tebu (Sacharum officinarum). Tebu mempunyai beberapa nama dalam beberapa bahasa lokal yakni tebu, rosan (Jawa), tiwu (Sunda), tebhu (Madura), isepan (Bali), teubee (Aceh), tewu (Nias, Flores), atihu (Ambon), tepu (Timor); dalam Bahasa Inggris yaitu sugar cane. Tebu merupakan bahan baku industri gula putih (white sugar) yang sering disebut sebagai gula pasir.

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar. Konsumsi yang besar ini antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Dari tahun ke tahun, konsumsi gula ini cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri makanan dan minuman.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2009 kebutuhan atau konsumsi gula nasional untuk industri makanan dan minuman, dan untuk rumah tangga mencapai 4,85 juta ton. Sayangnya kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi sekitar setengahnya saja (55%) oleh industri gula nasional, sedangkan sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara lain.

Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya belum sebanding. Pada periode tahun 2004/2005 produksi gula mengalami defisit sekitar 3 juta ton, karena kebutuhan gula dunia meningkat


(21)

sebesar 1,3% atau mancapai 145,1 juta ton pada tahun 2005, sedangkan produksi hanya meningkat 1% atau 142,5 juta ton pada tahun yang sama. Sedangkan p

Selain adanya permasalahan rendemen yang kurang dari sembilan, industri gula juga mengeluarkan limbah yang dapat mencemari lingkungan, untuk itu maka harus dicari jalan keluar dari masalah tersebut. Berbagai upaya untuk melakukan pengolahan sisa produksi (limbah) pabrik gula menjadi komoditi yang bermanfaat dapat dilaksanakan, mengingat diantara limbah yang dikeluarkan ini, limbah dari industri gula dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pada dasarnya industri gula sudah melakukan berbagai upaya produksi bersih clean development mechanism (CDM) seperti melakukan pemanfaatan pucuk dan daun tebu untuk makanan ternak, pemanfaatan ampas menjadi bahan bakar, particle board, pulp selulosa, dan funtural,

pemanfaatan nira sebagai blotong, molase, dan gula. Namun demikian pemanfaatan bahan-bahan tersebut belum cukup beragam dan masih memberikan nilai tambah yang relative rendah, sebagai contoh pemanfaatan nira hanya terbatas untuk blotong, molase, dan gula; padahal nira dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan baku semen, bahan cat, pupuk, mancori cement; (molase) sebagai gula cair, L-lysin, asam glutamat, asam organik, bahan kimia, atau untuk membuat protein sel tunggal dan bahan obat-obatan (kanker). Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan saja akan dapat meminimalkan pencemaran dan mengurangi degradasi lingkungan karena telah melakukan clean development mechanism (CDM), namun juga akan memberikan keuntungan ekonomi tersendiri bagi perusahaan, sekaligus akan mengurangi pengangguran karena dalam pengolahan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi

roduksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/2008.

Keadaan industri gula di Indonesia mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an, saat itu jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik gula (PG), produktivitas 14,8 persen dan rendemennya 11-13,8 persen, ekspor gula mencapai 2,4 juta ton dengan jumlah produksi puncak mencapai 3 juta ton pertahun (Sudana et al.,

2000). Namun sejak saat itu keadaan industri gula nasional terus menurun kemampuannya hingga akhirnya tidak dapat/mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri (kebutuhan nasional), akibatnya untuk memenuhi kebutuhan nasional harus dilakukan dengan mengimpor gula dari negara lain.


(22)

akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sekaligus melibatkan masyarakat dalam industri gula tersebut (partisipasi). Namun di lain pihak industri gula juga menghasilkan limbah cair yang mengakibatkan tercemarnya perairan, serta mengakibatkan tercemarnya udara dan kebisingan (Laporan AMDAL Pabrik Gula Jati Tujuh, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula seharusnya melakukan produksi bersih, yakni melakukan berbagai upaya mulai dari awal, dalam proses, hingga di akhir. Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu, yang perlu diterapkan secara terus-menerus (sustainable) pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan, sehingga tidak mencemari lingkungan.

Industri gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing, meningkatkan keuntungan dan sebagainya, namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah industri gula sudah berlanjut atau belum. Industri gula juga belum berperan optimal dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dan bagi kegiatan pembangunan di wilayahnya. Selain itu juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula; serta belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, kiranya diperlukan penelitian mengenai model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Industri gula pada umumnya mengalami masalah yang sangat kompleks, disebabkan antara lain (Gambar 1):

a. Budi Daya Tanam Sub Optimal

Usaha tani yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya dilakukan secara profesional. Banyak lahan-lahan yang ditanami tebu tetapi tingkat budidayanya belum bertitik tolak pada yang seharusnya, seperti: pemilihan bibit yang kurang disesuaikan habitat tanah, pemupukan yang belum tepat baik jenis maupun kuantitasnya, penyiangan


(23)

yang juga kurang tepat. Lahan-lahan irigasi untuk persawahan yang dipaksakan ditanami tebu, sehingga hasilnya kurang optimal (Suntoro dan Sudaryanto, 1996).

Peralatan Limbah Budi Daya Jadwal Tanam,

Produksi tidak Tanam Jadwal Tebang

Tidak Efisien dioptimalkan Sub Optimal Kurang Tepat

Rendemen

Rendah

Produksi

Rendah Kemitraan

yang Artifisial

Luas Areal

Berkurang

Distorsi Pasar

Kapasitas

Kurang

Memadai

Kemitraan masyarakat berkurang

Harga relatif

fluktuatif

Produktivitas

Tidak

Optimal

POTENSI DAMPAK

UMUM LINGKUNGAN

 Peningkatan Impor Gula Limbah Tidak Dimanfatkan

 Penurunan Daya Tahan Ekonomi Mengganggu Lingkungan

 Inflasi Potensi Ekonomi ”stagnan”

 Penurunan Penyerapan Tenaga Kerja Industri Pendukung tidak optimal

Gambar 1 Perumusan masalah industri gula nasional

Kebijakan Sub Optimal  Perbankan

 Perpajakan  Iklim Usaha

Kebutuhan Meningkat


(24)

b. Jadwal Tanam dan Jadwal Tebang Kurang Tepat

Hingga saat ini para petani tebu, belum sepenuhnya diajak berfikir ke arah industrialisasi gula. Padahal sejak perencanaan sampai evaluasi tentang kinerja pabrik seharusnya sudah melibatkan sekaligus membudidayakan serta memberdayakan para petani, bukan hanya petani penggarap. Penentuan jadwal tanam dan jadwal tebang seringkali hanya batas naluri dan kebiasaan, tidak atas dasar kebutuhan para pelaku industri yang langsung memproses bahan baku. Dengan demikian pada gilirannya hanya dihasilkan gula giling dengan kualitas belum optimal (Wuryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000).

c. Peralatan Produksi Tidak Efisien

Sebagian besar industri gula di Indonesia dibuat pada zaman penjajahan Belanda, dengan umur rata-rata diatas 50 tahun. Peralatan produksinya masih kuno, sehingga menurut asosiasi industri gula, tingkat efisiensinya hanya 25%. Namun jika teknologinya diperbaharui maka diperlukan investasi yang sangat besar. Di sisi lain, keuntungan (profit margin) yang selama ini diperoleh hanya cukup untuk biaya operasional. Sehingga untuk pembaharuan mesin-mesin produksi sangat memerlukan inovasi dan keuangan yang cukup tinggi (Wuryanto. 2000; Arifin 2000; Murdiyatmo, 2000).

d. Kebijakan Sub Optimal

Kebijakan yang mendukung industri gula bersifat sub optimal dan relatif belum mendukung industri. Adapun kebijakan yang ada adalah SK Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang mengakhiri peran BULOG dalam penstabilan harga membuat harga gula di pasar menjadi sangat fluktuatif, mengingat impor oleh para pedagang gula sangat berpengaruh terhadap gula produksi dalam negeri. Para importir berlomba-lomba mendatangkan gula dengan harga yang lebih murah dibanding produk lokal. Namun dengan pembatasan jumlah importir sesuai dengan SK Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002, jumlah importir dibatasi sehingga kontrol terhadap pemasukan gula dapat dilakukan dengan efektif. SK Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Gula Impor. Kondisi yang sama juga terjadi pada dukungan finansial (Soentoro et al., 1999, Adisasmito, 1998, Sudana et al., 2000).


(25)

e. Luas Areal Berkurang

Jumlah areal cenderung berkurang terus sebagai akibat konversi lahan bagi kegiatan diluar kegiatan pertanian seperti untuk industri, perhotelan, perumahan, dan pariwisata sebagai contoh tahun 1993 luasnya 421.000 hektar, saat ini hanya 350.000 hektar. Menurut Adisasmito et al. (1998) dan Syaefullah et al. (1999) luas lahan idealnya 450.000 hektar.

f. Kapasitas Kurang Memadai

Produktivitas tebu lahan tegalan rata-rata 54,4 ton tebu per hektar, sedangkan lahan irigasi mencapai 78,9 ton tebu per hektar dan peralatan produksi yang sudah tua, membuat kapasitas produksi menjadi sangat kurang memadai. Di sisi lain, dengan pertambahan penduduk yang kian meningkat maka kebutuhan gula, baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk industri makanan juga akan meningkat; oleh karena itu maka pemenuhan kebutuhan gula akan semakin keteteran. Agar dapat mencapai jumlah tonase yang diperlukan yang selama ini berproduksi sedikitnya dibutuhkan 4 buah pabrik baru lagi dengan kapasitas 12.000 ton tebu perhari. (Adisasmito et al., 1998 dan Woeryanto. 2000).

g. Adanya Distorsi Pasar (Impor)

Sebagai akibat produkstivitas industri dalam negeri jauh lebih rendah dari permintaan terhadap komoditi gula, maka dilakukan impor. Produksi dalam negeri pada tahun 2006 sebesar 1,45 juta ton, sedangkan impor gula 1,6 juta ton berupa gula putih dan gula rafinasi (raw sugar) mencapai 400.000 ton. Harga gula dipasaran sekitar Rp. 5.600,- sampai Rp. 6.500,- per kg. Gula rafinasi Rp. 3.500,- per kg, namun harga aslinya berkisar Rp. 2.200 – 2.800,- per kg. Padahal masyarakat tidak mau tahu apakah produk lokal (gula putih) ataukah gula rafinasi, yang penting harganya murah. Dengan demikian maka akan terjadi distorsi harga, dan yang terkena dampak malah para petani itu sendiri (Suntoro et al., 1999 dan Adisasmito, 1998).

h. Kebutuhan Meningkat

Kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dengan kenaikan mencapai 2,96%. Kebutuhan ini tidak sejalan dengan produksi yang mengalami penurunan sebesar 6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002).


(26)

Secara agregat ada dua jenis limbah yang saat ini belum diproses lebih kearah nilai ekonomi yang lebih tinggi (Koentardi, Jawa Manis, 2006). Di lain pihak jika limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, juga akan dapat menarik masyarakat untuk terlibat dalam pengolahan limbah industri gula tersebut

j. Kemitraan/Partisipasi Tidak Berdasarkan Prinsip Bisnis

Banyak pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan baku industri gula konvensional (tebu), seperti petani, penyedia pupuk, perbankan, instansi pemerintah terkait (pemangku kepentingan) dan penggarap tanah. Kemitraan yang dibangun tidak melembaga sebagai mitra bisnis yang lestari, dan tidak dijalankan atas dasar saling menguntungkan secara berkelanjutan, sehingga hanya sekedar menguntungkan dalam kurun waktu beberapa kali waktu panen (Gumbira – Sa’id, 2001). Selain itu partisipasi masyarakat belum terlalu baik, padahal menurut Purnaningsih dalam Sitorus (1994) prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan.

k. Penerapan Produksi Bersih (Green Production) Belum Optimal

Peralatan produksi industri gula yang digunakan saat ini adalah peralatan yang telah ada sejak zaman Belanda, sehingga tingkat produkstifitas rata-ratanya hanya ±25%. Untuk memenuhi demand gula bagi industri dan masyarakat luas, setiap kerusakan pada umumnya hanya tambal sulam. Itupun tidak mengubah percepatan dan efisiensi produksi secara keseluruhan. Idealnya peralatan produksi yang digunakan harus yang bersifat ”electricalsystem” produksi bersih (greenproduction).

Dalam beberapa hal industri gula sudah menerapkan produksi bersih dengan cara memanfaatkan kembali limbah yang dihasilkannya, namun produksi bersih yang dilakukan masih belum optimal, sehingga belum dapat membantu mensejahterakan masyarakat sekitar yang seyogyanya dapat memanfaatkan limbah tersebut untuk diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis.

Namun demikian kiranya masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat ini adalah:

1. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat di sekitar pabrik (industri) gula


(27)

3. Seperti apa keberlanjutan industri gula dan apa faktor pengungkit (parameter apa yang paling dominan) yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula.

4. Alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang, seperti apa yang akan membuat industri gula yang keberlanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

5. Skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan,

6. Model pengembangan industri gula seperti apa yang dapat menciptakan industri gula yang transparan dan dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengembangan industri gula yang berbasis produksi bersih dengan memanfaatkan limbahnya, dan partisipasi dengan cara melibatkan masyarakat sekitar pabrik untuk ikut serta mengembangkan dan mengelola industri gula dan limbah yang dihasilkannya. Guna mencapai tujuan utama tersebut, ada beberapa tahapan penelitian dan sub tujuan yang perlu dilakukan, antara lain:

1. Mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat 2. Mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula.

4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

5. Merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung.


(28)

6. Mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

1.4 Kerangka Pikir

Industri gula merupakan salah satu industri agro yang mempunyai nilai strategis yang sudah melakukan produksi bersih dengan cara memanfaatkan limbahnya walau masih terbatas pada pucuk dan daun untuk makanan ternak, niranya yang hanya digunakan sebagai blotong, molase, dan gula dan belum dideversivikasi lebih lanjut menjadi bahan yang lebih komersial. Ampasnya juga masih dimanfaatkan terbatas yakni sebagai bahan bakar, particle board, makanan ternak, pulp selulosa, funtural. Oleh karena itu maka industri gula harusnya dapat menjadi industri terpadu (in-house production) untuk memperoleh keberagaman komoditi dan mempunyai nilai tambah yang sangat signifikan.

Dalam rangka mencapai kondisi ideal (industri terpadu) tersebut perlu dukungan dari berbagai sektor seperti hukum, politik, sosial budaya budaya budaya, ekonomi, keamanan, teknologi produksi, sumber daya manusia yang handal, skala produksi yang cukup, permodalan yang dipenuhi, dan sebagainya. Jika kondisi ideal tercapai, sudah barang tentu akan memperkecil ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri.

Keuntungan lain secara makro jika dapat mencapai kondisi industri gula ideal antara lain adalah dapat terjadi penguatan ekonomi lokal maupun nasional. Hal ini terjadi karena hanya dengan memanfaatkan limbahnya saja pun sudah dapat memperkokoh ekonomi masyarakat lokal secara keseluruhan, bahkan secara nasional akan relatif memperkuat struktur ekonomi, karena didukung oleh ekonomi rakyat yang menjadi tulang punggungnya. Selain itu juga akan terjadi peningkatan teknologi industri yang dapat meningkatkan keuntungan (profit margin), sehingga diharapkan dapat melakukan pemeliharaan dan percepatan revitalisasi mesin dan peralatan. Industri ideal akan meningkatkan kesinambungan eksistensi industri gula asal didukung oleh modal yang cukup kuat dan iklim usaha yang kondusif. Namun demikian untuk mencapai


(29)

industri ideal tersebut harus didukung oleh kebijakan terpadu, tidak ”ego-sektoral” seperti yang relatif terjadi saat ini, sehingga dapat menanggulangi permasalahan lahan yang belum mendapat kepastian kesinambungan pertanian tebu, dari sisi perdagangan tidak hanya melihat sisi suplai atau demand, dan ada keberpihakan dari perbankan, moneter dan fiskal. Oleh karena itu maka industri gula akan menjadi kuat (ideal), apabila terdapat keterpaduan dukungan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan antara lain Idha Haryanto Soemodihardjo (2007) yang melakukan penelitian tentang optimasi penggunaan lahan di daerah penghasil padi dan tebu di Jawa Timur; Victor Siagian (1999) tentang analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia; pendekatan fungsi biaya multi-input; Ruchiyat Deni Djakapermana (2006) disain kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Kalimantan; Eko Sulistiyono (2006) hubungan pengelolaan air dengan produksi, kandungan gula nikotin daun tembakau; Wayan Reda Susila (2006) pengembangan industri gula Indonesia; analisis kebijakan dan keterpaduan sistem produksi, dan sebagainya. Namun demikian penelitian tentang model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu maka harus segera dilakukan penelitian tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1.5 Kegunaan/Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat penelitian diharapkan memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi pemerintah dapat dijadikan salah satu acuan bagaimana mengambil kebijakan

secara terpadu mulai dari hulu (lahan, irigasi, penyediaan bibit, bahan baku), antara (teknologi produksi, ekonomi, perbankan, fiskal), hilir (perdagangan) khususnya bagi penguatan serta pengembangan industri gula di dalam negeri.

2. Untuk para pelaku industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan faktor pengungkit yang perlu ditingkatkan kembali sehingga industri gula akan berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan

3. Sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam perencanaan produksi melalui teknologi industri yang berwawasan serta wacana lingkungan hidup yang progresif.


(30)

HUKUM & KELEMBAGAAN

POLITIK SOSIAL

BUDAYA

EKONOMI KEAMANAN

KEBIJAKAN

TERPADU

Gambar 2. Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

PEMBANGUNAN EKONOMI INDUSTRI GULA UTUH/KONVENSIONAL INDUSTRI GULA RAFINASI NILAI STRATEGIS TEKNOLOGI PRODUKSI PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI PROGRAM PEMANFAATAN BERBASIS EKONOMI Masalah:

•Modal Kerja •SdM •Teknologi •Produksi •Skala Ekonomi Memperkecil Ketergan- tungan thd LN Nilai ”margin” Meningkat Kelestarian Lingku-ngan Industri Pendukung Kuat Penberda-yaan Masya- rakat/ Partisipasi Penghe- matan Devisa EKSISTENSI INDUSTRI GULA PENINGKATAN TEKNOLOGI INDUSTRI PENGUATAN EKONOMI LOKAL & NASIONAL PARTISIPASI MASYARAKAT


(31)

1.6 Ruang Lingkup dan Pembatasan Penelitian

Mengingat luasnya penelitian, maka ruang lingkup yang akan dilakukan adalah: 1. Mencari gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat

2. Mencari gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula

3. Melihat keberlanjutan dari industri gula yang menjadi objek dan mencari parameter yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pasbrik gula

4. Mencari alternatif yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut dengan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat

5. Mencari skenario yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan

6. Mencari model pengembangan industri gula yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.

1.7 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini dapat disampaikan beberapa kemajuan (advantage) yaitu dari sisi pendekatan kebijakan, dari sisi pendekatan teknologi yang dipakai, dari segi finansial (modal kerja, fiskal, moneter), dari sudut proses produksi (pemanfaatan limbah untuk suatu komoditi bernilai ekonomis).

1. Kebaruan dari pendekatan kebijakan, merupakan konsep baru dimana pemangku kepentingan (stakeholder, termasuk kemitraan masyarakat) saling mendukung terhadap keberadaan industri gula di dalam negeri.

2. Model pengembangan industri gula RSSC - PC (roundtable on sustainable sugar cane – princip and criteria) yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat. 3. Membantu memecahkan masalah dari sisi ekologi, ekonomi, sosial budaya,

teknologi dan kelembagaan serta hukum, dalam rangka pengembangan industri gula yang berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula. Tanaman ini mungkin berasal dari India, tetapi mungkin juga berasal dari Irian karena disana ditemukan tanaman liar tebu. Di Jawa Barat tebu dikenal dengan nama tiwu sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

2.1 Kondisi Industri Gula di Indonesia

Walaupun Indonesia dulu mengalami kejayaan dalam bidang industri gula sejak masa kolonial Belanda, tetapi saat ini mengalami kemunduran yang cukup tragis dimana jumlah pabrik menurun dan peralatan produksi yang hanya dapat bertahan (belum dapat dikembangkan secara proporsional). Padahal kebutuhan gula justru dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengalihan areal/lahan pertanian tebu menjadi konversi lain semakin kuat yang salah satunya dari kebijakan ketahanan pangan (Sudana et al., 2000). Industri perumahan, juga semakin mengurangi luasan areal tanaman tebu dimana 65% menjadi berubah fungsi (Sumaryanto et al.,1995)

Di sisi lain periode tahun 2004/2005 merupakan periode yang cukup menggembirakan bagi industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US $ 261,92./ton untuk white sugar dan US$193,78/ton untuk raw sugar, atau meningkat sekitar 9,8 % untuk white sugar dan 24 % untuk raw sugar dari rata-rata harga tahun 2003/04. Hal ini disebabkan pada periode 2004/2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004/2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 % dari periode sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi


(33)

meningkat lebih pesat yaitu 1,3 %, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO dalam Susila, 2006a).

Pada tahun 2004, konsumsi gula dunia meningkat menjadi sekitar 143,3 juta ton, atau meningkat sekitar 4 juta ton atau 2,9% lebih tinggi dari periode tahun 2003. Peningkatan konsumsi terutama bersumber dari kelompok negara berkembang sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Di negara berkembang, konsumsi pada tahun 2004 meningkat 3,8%, dari 91,9 juta ton pada tahun 2003 menjadi 95,4 juta ton pada tahun 2004. Kelompok negara di Afrika diperkirakan mengalami peningkatan produksi sebesar 5,3%. Pada negara maju, laju peningkatan konsumsi relatif marjinal yaitu hanya sekitar 1,3%, dari 47,3 juta ton pada tahun 2003 menjadi 47,9 juta ton pada tahun 2004. Tingkat konsumsi gula dunia pada tahun 2003-2004 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004

Kelompok Negara

Konsumsi

(juta ton) Pertumbuhan (%)

2003 2004

Dunia 139.2 143.3 2.9

Negara Berkembang 91.9 95.4 3.8

Amerika Latin dan Karibia 24.8 25.7 3.6

Afrika 7.6 8.0 5.3

Near East 10.6 10.8 1.9

Far East 48.9 50.8 3.9

Negara Maju 47.3 47.9 1.3

Eropa 20.3 20.5 1.0

Amerika Utara 10.1 10.3 2.0

CIS 11.1 11.3 1.8

Oceania 1.4 1.4 0.0

Lainnya 4.4 4.4 0.0

Sumber : FAO dalam Susila, 2006a.

2.2 Kebijakan Industri dan Perdagangan serta Pola Distribusi Gula

Kebijakan pemerintah terhadap usaha tani padi, pencabutan subsidi pupuk, berdampak pada produktivitas industri gula (Soentoro et al., 1999). Jaminan harga dan ketidak pastian berusaha dalam sektor industri gula, salah satu sebab para petani tebu dan industri gula menjadi ragu dalam melakukan usahanya (Murdiyatmo etal., 2000).

Penurunan produksi oleh industri gula nasional, otomatis diisi oleh gula impor. Hal ini terjadi dimanapun, bukan di Indonesia saja, sehingga devisa yang harus


(34)

dikeluarkan cukup besar. Hal ini berdampak pada ketahanan stabilitas ekonomi dan politik (Simatupang etal., 2000)

2.3. Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu yang berkaitan dengan tanaman tebu dan industri gula dan antara lain adalah:

1. Idha Haryanto Soemodihardjo (2007): Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diuraikan mengenai permasalahan lahan yang ditanami tebu sering tumpang tindih dengan padi, dimana tidak ada kesinambungan penanaman tebu. Sehingga penyediaan bahan baku berupa tebu untuk industri gula sangat tidak menentu. Walaupun demikian, hal ini menjadi salah satu inputan dalam menelaah industri gula, dari sisi penyediaan lahan bagi kelangsungan produktifitas industri gula

2. Victor Siagian (1999): Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input. Penelitian ini menitik beratkan kepada optimalisasi produksi dari sisi off farm, artinya orientasi pada mesin-mesin pengolah di pabrik gula. Sedangkan untuk on farm (di lahan produksi), belum mendapat sorotan yang lebih luas. Hasil penelitian inipun menjadi salah satu rujukan dalam penentuan kebijakan untuk revitalisasi permesinan selanjutnya di industri gula berbasis tebu.

3. Ruchiyat Deni Djakapermana (2006): Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Seperti kita ketahui bahwa Kalimantan adalah Raksasa lahan yang masih tidur, belum dimanfaatkan optimal untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas. Untuk itu agar tidak terjadi salah kelola atau menjadi berantakan dalam peruntukkannya, maka telah dikaji pemanfaatan lahan dari sisi tata ruang. Kondisi ini penting mengingat nilai tanah yang sangat strategis guna kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam penyelenggaraan penjaminan kehidupannya yang adil, merata dan berkesinambungan. Penelitian ini juga menjadi salah satu acuan dalam penataan ruang untuk industri gula di masa datang

4. Wayan Reda Susila (2006): Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Di dalam penelitian tersebut hampir komprehensif, antara lain mengenai kebijakan pemerintah dibidang harga, impor


(35)

dan tarifnya; pertanahan, sistem produksi. Belum dilihat secara menyeluruh tentang pengaruh yang bisa menimbulkan dampak terhadap produktifitas; seperti manajemen, teknologi produksi dilihat dari permesinan dan on farm itu sendiri.

2.4 Kerangka Teoritis Proteksi

Dalam rangka menjamin kelangsungan usaha maka salah satu kiat yang perlu segera dievaluasi yaitu perlindungan/proteksi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi beberapa perjanjian internasional seperti AFTA dan WTO, bukan berarti serta merta terbuka seluas-luasnya terhadap impor semua barang termasuk gula. Hal ini karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak (Houck, 1986).

Kebijakan perdagangan (trade policies) yang dalam hal ini menyangkut tarif impor, selalu menimbulkan perdebatan yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Bila tarif impor ditinggikan, sedangkan produk gula di dalam negeri belum memenuhi volume yang dibutuhkan; maka akan merugikan konsumen yang jumlahnya sangat banyak. Apabila tarif impor terlalu rendah di satu sisi harga gula akan menjadi murah, sehingga konsumen sangat diuntungkan, sisi lain yaitu produsen dan petani sangat dirugikan karena keuntungannya sangat kecil. Hal ini sangat mengganggu gairah dalam pergerakan dibidang agro, walaupun para petani dan pabrik gula jumlahnya sangat kecil (+ 1,5 juta orang) dibanding jumlah konsumen yang 240 jutaan orang.

Jalan tengah yang biasa ditempuh untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan pendekatan penerimaan maksimum pemerintah atau pendekatan tarif optimum. Pendekatan tersebut bertitik tolak dari berbagai aspek dengan melihat berbagai dampak seperti produksi, konsumsi, harga, ekspor/impor dan distribusi kesejahtraan. Dengan demikian pendekatan surplus konsumen dan surplus produsen dapat diprediksi dan diestimasi dengan baik.

Ada beberapa kelemahan dari pola pendekatan ini, antara lain:

1. Tidak memperhitungkan jumlah kelompok yang memperoleh dampak positif maupun dampak negatif. Padahal hal tersebut penting bagi pemerintah dalam rangka salah satu tawaran kebijakan.


(36)

2.5 Kerangka Teoritis Lainnya

Tariff-RateQuota (TRQ)

Adalah suatu kebijakan harga domestik melalui peraturan pengendalian impor secara terpadu. Artinya bila impor tersebut sangat mengganggu harga produk lokal, maka besarnya tarif terhadap kuota impor harus diberlakukan sehingga semangat berproduksi gula maupun penyediaan bahan baku berupa tebu oleh para petani tidak terganggu (Elbehri et al., 2000).

Banyak negara yang menggunakan instrumen kebijakan ini seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, China, India, Thailand (LMC, 2002; USDA, 2002 dalam Susila, 2005). Pengaturan atau kebijakan ini esensinya adalah pengenaan tarif impor berdasarkan volume impor. Bila volume yang diimpor melebihi kuota yang telah ditetapkan, maka tarifnya dikenakan tinggi. Sebaliknya bila impor masih dalam kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka tarifnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai ilustrasi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2003 melakukan pengenaan tarif US$ 0,625/pound pada volume quota sebesar 1,3 juta ton. Di atas volume quota tersebut dikenakan tarif US$ 15.36/pound. Hal tersebut dalam rangka pengendalian harga dalam negeri.

Harga Provenue

Harga provenue di sini diartikan sebagai harga di tingkat petani sama dengan harga yang berlaku di dunia. Kondisi tersebut akan terjadi jika asuransi, transportasi dan sebagainya dianggap nol, karena dianggap bahwa Indonesia saat ini sebagai negara kecil dalam hal industri gula dunia (Susila, 2005)

Subsidi Input

Agar tidak bertentangan dengan peraturan internasional, maka subsidi yang diberikan harus selektif seperti subsidi harga pupuk, subsidi harga input, subsidi suku bunga kredit. Salah satu keuntungan pula adalah harga gula domestik tidak naik; karena asuransi, transportasi dianggap nol (Murdiyatmo, 2000).

Produktivitas

Produktivitas dalam kajian ini adalah rasio antara input dan output. Bila output lebih besar dari input dengan kuantiti tertentu dianggap bahwa usaha tersebut dinyatakan sehat. Namun sebaliknya bila proses produksi mulai dari hilir sampai hulu tidak menghasilkan angka yang diinginkan maka usaha dimaksud adalah suatu peluang bisnis yang tidak menjanjikan. (Sitorus, 2004).


(37)

2.6 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan dengan konsep yang mengintegrasikan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang disepakati secara internasional pada saat dilakukan United Nation Conference On The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pada pembangunan berkelanjutan selalu diupayakan agar menjadi pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Serageldin (1996) yang menyatakan bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut baik ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, maupun dari aspek sosial budaya bersifat berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada saat awal dicanangkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan relatif hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang. Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial budaya seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial budaya.

Komisi Burtland selanjutnya semakin memperkokoh keinginan yang harus dicapai dalam pembangunan berkelanjutan, antara lain dalam mengintegrasikan keselarasan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya tidak boleh kaku. Oleh karenanya World Bank menjabarkan konsep dalam mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.


(38)

EKONOMI

Efisiensi Pertumbuhan

EKOLOGI Sumberdaya alam

dan lingkungan

SOSIAL Keadilan Pemerataan § Penanggulangan

Kemiskinan § Pemerataan § Kelestarian

Kesempatan kerjaRedistribusi pendapatanResolusi konflik

Nilai-nilai budayaPartisipasiKonsultasi

Asesmen lingkungan

Valuasi lingkungan

Internalisasi

Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan

Adapun arti berkelanjutan dari setiap aspek adalah sebagai berikut: Berkelanjutan secara ekonomi diartikan bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.

Berkelanjutan secara sosial budaya mengandung arti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial budaya, kohesi sosial budaya, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial budaya, dan pengembangan kelembagaan, sehingga dapat menciptakan rasa aman dan rasa berkeadilan. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Roderic dan Meppem (1997), yang mengatakan bahwa untuk mencapai status berkelanjutan diperlukan pengelolaan terhadap (1) Keberlanjutan ekonomi yang mendukung sistem ekologi, (2) Terdapat pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi


(39)

sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) Terdapat efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya.

Menurut Mitchell (1997) terdapat dua prinsip keberlanjutan yang sangat penting untuk digaris bawahi, yakni prinsip lingkungan/ekologi dan prinsip sosial budaya politik. Prinsip lingkungan/ekologi, merupakan prinsip yang akan selalu berupaya untuk melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. Prinsip sosial budaya politik, akan mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer. Pada prinsip sosial budaya politik, juga sudah memperhatikan (mengenakan) biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan memperhatikan (mengharuskan) adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Hanley (2001) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan terutama dalam hal mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial budaya dan etika, baik untuk skala nasional maupun skala internasional, sehingga dapat menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu maka implementasi konsep pembangunan berkelanjutan ini perlu diterapkan pada banyak negara. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, maka FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan (wilayah) berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, teknologi, dan aspek pertahanan keamanan.

Pada dasarnya dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, di dalamnya pasti akan melakukan pengelolaan lingkungan, yang dapat dikatakan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, sekaligus implementasi dari aspek ekologi pada pembangunan berkelanjutan. Adapun yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan disini adalah pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan UU 23/1997 dan No. 32/2009, yakni upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU PPLH No. 32/2009). Definisi ini dapat dikatakan cukup baik karena mengartikan pengelolaan lingkungan dengan cakupan yang luas, yang tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses


(40)

terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Adapun ciri-ciri pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukung langsung maupun tidak langsung.

2. Memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumberdaya alam sebanyak mungkin dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkan secara lestari.

3. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lain di daerah untuk ber-kembang bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun berbeda secara berkelanjutan.

4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk me- masok sumberdaya alam, melindungi serta mendukung kehidupan secara terus menerus.

5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan baik sekarang maupun masa yang akan datang.

2.7. Industri

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri (Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Industri). Pada industrialisasi lebih mengarah pada suatu proses atau kegiatan industri yang tengah berlangsung (Soerjani et al., 1987).

Dilaksanakannya kegiatan industri ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, atau hasil budidaya serta memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Departemen Perindustrian (2010) yang mengatakan bahwa peran sektor industri dalam pembangunan ekonomi bertujuan untuk memperluas kesempatan kerja, menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan menghemat devisa melalui substitusi produk impor. Hal ini juga terbukti dari adanya kenyataan bahwa jika pertumbuhan industri pesat, maka akan dapat merangsang


(41)

terjadinya pertumbuhan sektor pertanian dalam rangka menyediakan bahan baku bagi kebutuhan industri tersebut. Menurut Arsyad (1999) selain dapat merangsang pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan industri juga akan dapat merangsang pengembangan sektor jasa seperti lembaga keuangan, pemasaran, perdagangan, periklanan dan transportasi. Semua sektor jasa tersebut akan mendukung laju pertumbuhan industri yang dapat menyebabkan meluasnya kesempatan kerja yang pada akhimya meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Padahal terdapatnya kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat ini menunjukkan bahwa perekonomian tersebut mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan sehat.

Adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat ini mendorong setiap daerah melakukan kegiatan industri, oleh karenanya maka dapat dimaklumi jika perkembangan industri dewasa ini dapat dikatakan semakin pesat. Adapun faktor lain yang juga ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri antara lain adalah sebagai akibat dari adanya penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Di lain pihak menurut Allenby (1999) akibat dari adanya dorongan peningkatan kesejahteraan material guna meningkatkan kualitas hidup ini dibutuhkan barang dan jasa yang semakin banyak.

Dalam industrialisasi juga dituntut adanya sumberdaya manusia yang cukup berkualitas, oleh karenanya maka industrialisasi selalu berkaitan dengan diadakannya usaha-usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan SDM tersebut di atas dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya lain secara optimal. Namun di lain pihak industrialisasi juga dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang masyarakat agraris seperti halnya Indonesia, yang beranggapan bahwa sektor industri adalah sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, atau dengan kata lain sektor industri merupakan sektor yang dapat mendongkrak berbagai hal sesuai dengan keinginan semua pihak. Cara pandang masyarakat yang kurang tepat tersebut dapat mendorong masyarakat untuk beramai-ramai melakukan urbanisasi, sehingga masyarakat agraris yang tadinya hidup di perdesaan akan meninggalkan lahan pertaniannya untuk kemudian berpindah ke kota industri dengan bekal keterampilan yang kurang memadai (Allenby, 1999).

Urbanisasi masyarakat perdesaan ke perkotaan hampir sangat sulit untuk dicegah pada era industrialisasi. Faktor penarik utamanya berupa adanya kesempatan kerja yang


(42)

lebih baik di kota sehingga dapat meningkatkan penghasilannya, disamping ketersediaan fasilitas yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong hal tersebut adalah kemiskinan akibat dari tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan ketersediaan lahan atau tanah di desa. Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini mengakibatkan mereka tanpa ada paksaan dari siapapun mereka bermigrasi dan cenderung ke arah mendekati tempat kerjanya (industri). Namun demikian menurut Soemarwoto (2001) selain untuk bekerja pada industri, ada diantara mereka yang dalam tujuan migrasinya bukan untuk bekerja menjadi buruh industri, namun bertujuan untuk melakukan kegiatan sosial budaya ekonomi di luar industri, seperti: membuka warung dan pemondokan.

Dalam melaksanakan kegiatan industri tersebut, sudah pasti akan dilakukan pembangunan fisik berupa pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya. Namun sayangnya pembangunan sarana dan prasarana tersebut seringkali masih mengabaikan aspek lingkungan, sehingga pembangunan tersebut seringkali tanpa didukung oleh usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam (Sunu, 2001). Hal itu dapat ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terkontaminasinya biota-biota yang ada di sekitarnya, terutama biota air yang hidup di perairan penerima limbah cair industri, berkurangnya beberapa biota dan spesies, bahkan terjadi perubahan morfologi dari biota tersebut, sehingga berbeda dari morfologi aslinya (Riani dan Cordova, 2008). Selain hal tersebut, menurut Djajadiningrat (2001) industrialisasi juga dapat mempengaruhi transformasi struktur sosial budaya, seperti urbanisasi, karena industri yang dikembangkan bersifat padat karya.

Di sisi lain, jika terdapat suatu kegiatan industri di suatu tempat, walaupun secara ekonomi terjadi dampak positif berupa terjadinya pertumbuhan ekonomi yang sehat, namun di lain pihak, dapat muncul dampak negatif dari kegiatan industri tersebut. Salah satu contoh dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kegiatan industri dan teknologi adalah terjadinya pencemaran lingkungan, baik pencemaran udara, pencemaran air, maupun pencemaran tanah. Terjadinya pencemaran-pencemaran tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya berbagai kerugian, seperti lingkungan menjadi tidak sehat, mahluk hidup yang ada di dalamnya menjadi terganggu hidup dan kehidupannya serta akan mengurangi daya dukung lingkungan (Riani dan Cordova, 2008). Oleh karena itu maka dibutuhkan komitmen semua pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan agar generasi yang akan datang tidak mewarisi


(43)

kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia saat ini dan dapat menaikan tingkat sosial budaya ekonomi masyarakat (Soemarwoto, 2001).

Menurut Soemarwoto (2001) kualitas lingkungan yang baik akan mempunyai potensi untuk didapatkannya kualitas hidup yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bahwa dalam menilai kualitas hidup tersebut, terdapat tiga buah kriteria yang menunjukkan tercapai tidaknya kualitas hidup yang diinginkan. Adapun ketiga kriteria tersebut, adalah sebagai berikut.

1. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kebutuhan ini bersifat mutlak, didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan juga masyarakat dan terutama keturunannya. Kebutuhan ini terdiri atas udara, air, pangan. Kesempatan ini untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan hidup ini dalam keadaan terpaksa mengalahkan kebutuhan hidup yang lain.

2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini bersifat relatif, walaupun ada kaitan dengan kebutuhan hidup jenis pertama di atas. Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, bukanlah kebutuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup manusiawi yang lain adalah pendidikan, agama, seni dan kebudayaan.

3. Derajat kebebasan untuk memilih. Dalam masyarakat yang tertib, derajat kebebasan dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Adanya hubungan antara kualitas lingkungan dengan kualitas hidup yang diukur berdasarkan tiga kriteria tersebut di atas, memperlihatkan bahwa pada dasarnya kualitas lingkungan dapat diukur. Adapun yang dimaksud dengan kualitas lingkungan di sini adalah kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, semakin tinggi pula kualitas hidup dan sebaliknya. Semakin memburuknya kualitas lingkungan maka semakin tinggi dan berat biaya pencapaian tujuan pembangunan yang diinginkan.


(1)

Ibid-Includes All of Continental Africa except Egypt. 14 Juni 2010

Ibid-Includes Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, and the United Arab Emirates. Diunduh: 14 Juni 2010

Ibid-Indian Data Includes Production Of Khandsari Sugar, A Native Type, Semi-White Centrifugal Sugar. Estimated output of Khandsari Sugar In Thousand of Metric Tons (Raw Value Equivalent) Is as Follows: 2001/02 - 714; 2002/03 - 590; 2003/04 - 620; 2004/05 - 683; 2005/06 - 683; 2006/07 - 500; 2007/08 - 425; 2008/09 - 435; 2009/10 -404. Diunduh: 14 Juni 2010

Ibid-Includes Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, and Uzbekistan. Diunduh: 14 Juni 2010

Ibid-The 'Unrecorded' Category is a Balancing Mechanism to Equalize World Exports and Imports. It is Assumed there is a Certain Quantity of Trade that will not be Recorded, with The Result that Imports and Exports will Differ by a Certain Amount. To View Country Crop Years Click on The Following URL:

2:40:49 PM. Diunduh: 14 Juni 2010

IPCC, 2006. Special Report on Carbon Captures and Storages. Edited by B. Metz, O. Davidson. H. Deconnick, M. Loos, L. Meyer. Cambridge University.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.

Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project: RAPFISH Software Description (for Microsoft Excel). Fisheries Centre. University of British Columbia.

Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana.

Kinerja PTPN dan Pabrik Gula Swasta. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). 2009.

Koentardi. 2006. PT Jawa Manis, Laporan Internal, Cilegon

Kotler, P. 1997. Majemen Pemasaran. Irianto [Penerjemah]. Terjemaahan dari: Marketing Management. Erlangga. Jakarta

Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun 2005. 2006. Dewan Gula Indonesia dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan.


(2)

Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts, A3-A21.

LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003.

LMC International, “Brazil: Outlook for Ethanol Demand and Implications for Sugar Exports.” Sweetener Analysis, 12 pp., March 2001. Diunduh: 14 Juni 2010

Lunelli, B.H. E.R. Duarte, E.C.V. de Toledo, M.R.W.Maciel and M. Filho. 2007. A New Process for Acrylic Acid Synthesis bu Fermentation Process. Applied Biochem and Biotech. 136-130: 487-500.

Manahan, S.E. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition. Lewis Publisher. Inc. NewYork.

Mitchell, B. Setiawan B.B., Rohmi, D.H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Muluk, K.M.R. 2007. Menggugat Pastisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Cetakan Pertama. Penerbit Banyumedia Publishing. Malang.

Munasinghe, M. 1993. Environmetal Economic and Sustainable Development/ THE WORLD BANK. Washington D. C. 20433. U.S.A.

Murdiyatmo, U. 2000. Dukungan Teknologi dalam Pembangunan Industri Gula Indonesia. Dalam Supriyono, A., Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 43-48.

Murdiyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme pembangunan Bersih. PT Kpmpas Media Nusantara. Jakarta.

Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.

[NRTEE] National Round Table on the Environment and the Economy. 1998, Sustainable Strategies for Oceans: A Co-management Guide. Ontario: NTREE.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 44/M-IND/PER/4/2010 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.


(3)

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 31/M-IND/PER/3/2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.

Prior, B.A. and D.F.Day. 2007. Hydrolysis of Ammonia-Pretreated Sugar Cane Bagasse with Cellulase, β-Glucosidase and Hemicellulase Preparations. Appl Biochem Bioetanol (2008) 146: 151-164

Pudjianto, K. 2009. Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan, dan Konservasi Sumberdaya Air Di Sub Das Keduang, Daerah Hulu Das Bengawan Solo [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome.

Departemen Perindustrian. 2010. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula. Januari.

Saaty, T.l. and L.G, Vargas. 1994. The Analystic Hierarchy Process Series VII, RWS Publication Ellsworth Avenue 4922, Pittsburgh, PA 15213 USA. Sanim, B. 1999; Klasifikasi Kebijakan dan Instrumennya. Fakultas Pertanian,

Jurusan Sosial Ekonomi, IPB, Bogor

Serageldin, I. 1996. Sustainability and Wealth of Nation First Step in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington D.C.

Siagian V., 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Simatupang, P., N. Syafaat, KM. Noekman, A. Syam, S.K. Dermoredjo, dan B. Santoso. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat Penelitian Social Ekonomi Pertanian, Bogor.


(4)

Sitorus, S.R.P., 1994. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan; Laboratorium Peremcanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, 1992. 2002. 2004, Bogor Soemarwoto, O2001. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

Cetakan Kesepuluh. Djambatan. Jakarta.

Stohr, W. 2001. Introduction. in W. Stohr, J. Edralin and D. Mani. New Regional Development Paradigms. Vol. 3: Decentralization, Governance and the New Planning for Local-Level Development. Westport. CT: Greenwood Press, Chapter 1, 1-19.

Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Sulistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sudaryanto, T. Erwidodo, Soentoro, V T Manurung, M Rahmat, dan K Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor.

Soentoro, V., Sudaryanto, T. Erwidodo, T Manurung, M Rahmat, dan K Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor.

Sulistiyono E., 2006. Hubungan Pengelolaan Air Dengan Produksi, Kandungan Gula Nikotin Daun Tembakau. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Sumaryanto., N. Syafaat , M. Ariani dan Friyanto S. 1995. Analisa Kebijakan Konversi Lahan Sawah Penggunaan Non-Pertanian, Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Susila W.R., 2006: Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan Dan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan

Soemodihardjo I.H. 2001. Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. 2006. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan


(5)

Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.

Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor

Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998.

Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Industri ITB Bandung.

Sutamihardja, R.T.M. 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management, 6-10 Januari 1992. Jakarta

Syahrial, A dan Bioletty, L. 2007. Kajian Potensi CO2 dan EOR dalam Mrnciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia . Jurnal Lemigas M & E Vol V No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Jakarta: 33-55

Takeda, N. 2001. People Participation in Regional Development Management. Japanese Experiences. Paper presented for the Seminar on Regional Developmnet and Management Policy to Support Autonomy. 29 March 2001. Jakarta.

Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan No 32 tahun 2009. Jakarta.

United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar: World Production May 2009; The U.S. PS&D estimates conform to those released in the World Agricultural Supply and Demand Estimates (WASDE) 'miscellaneous' category allocated to domestic consumption. The U.S. PS&D includes Puerto Rico. Diunduh: 14 Juni 2010

USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC.

Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunitie


(6)

Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunitie fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Sugar%20

Annual_Bangkok_Thailand_4-9-2010.pdf, Diunduh: 14 Juni 2010 Woeryanto. 2000. Peningkatan Efisiensi Manajemen Industri Gula. Dalam

Supriono, A., (Ed), Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 49-54.

WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. Oxford and New York.