Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas,Nurhayati, Hukum Perlindungan Konsumen dan beberapa aspeknya, Ujungpandang : Elips Project, 1996

Abdurahman, Sosiologi dan Metodelogi Penelitian Hukum, Malang : UMM Press : 2009

Anshari,Tampil Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2009

Asyhdie, Zaeni Peradilan Hubungan Industrial, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009

Erwana Fery, Agam, Seputar Kesehatan Gigi dan Mulut, Yogyakarta : Andi Publisher,2013

Suparman, Eman, Arbitrase dan Dilema Penegakkan Keadilan, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2010

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet 2 , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2001

_________. Dokter, Pasien dan Hukum, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996

Guwandi,J, Dugaan Malpraktek Medik & Draft RPP : “Perjanjian Terapetik antara Dokter dan Pasien”,Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006

Hanitjo Soemitro,Ronny Metode Penulisan Hukum Dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982

Indar, Etika Profesi Kesehatan, Makassar: Fakultas Kesehatan UNHAS, 2010 Jawab Produk, Bogor: Panta Rei, 2005

Johan Nasution,Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005

M. Achadiat,Crisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007

M. Hart,Frederic Secured Transaction United States of America: Aspen Publisher, 2007


(2)

Marman Suherman, Ade Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002

Mertokusumo,Sudikno Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2003

Miru,Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004

_________Nasution,AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Medi, 2007

Nasution,AZ, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1995

Nila Ismani, Etika Keperawatan, Jakarta : Widya Medika, 2001

Rajagukguk,Erman Hukum Pelindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000

Ramadhan, Ardyan Gilang, Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut, Jakarta : Bukune, 2010

Sasongko,Wahyu, Ketentuan - Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung,2007

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002

Siahaan,N.H.T Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Bogor. Panta Rei, 2005

Sidabalok,Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, ( Bandung : Citra Aditya, 2006

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2000 Soekamto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1995 Susilawaty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dalam

Perpektif Peraturan Perundang - Undangan, Jakarta : Gramata Publishing, 2013

Sunggono,Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003


(3)

Supranto,J Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Syawali,Husni Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000 Waluyo,Bambang Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991 Wiradharma,Danny, Etika Profesi Medis, Cet 2. Jakarta : Universitas Trisakti,

2005

Siti Yundali,Hongini, Kesehatan Gigi dan Mulut, Bandung : Pustaka Reka Cipta, 2012

Bahan Internet:

18 September 2015 23.30 WIB

diunduh pada tanggal 02 November 2015 21.30 WIB

21.30 WIB

diunduh pada

tanggal 03 November 2015 22.30 WIB

http://www.sekedarinfo.com/tahapan-tahapan-transaksi-antara-konsumen-dan-pelaku-usaha/ diunduh pada tanggal 02 Februari 2016 Pukul 23.00 WIB


(4)

Peraturan Perundang – Undangan :

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Kitab Undang - Undang Hukum Pidana

Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang - Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi


(5)

BAB III

TINJAUAN UMUM PELAYANAN JASA TUKANG GIGI

A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Ilmu Ortodonti

Ortodonti, sebelumnya dikenal ortodontia secara etimologi berasal dari kata orthos dari bahasa Yunani yang berarti lurus atau tepat atau sempurna, dan odous yang berarti gigi. Ortodonti adalah pengkhususan pertama di bidang kedokteran gigi yang berkaitan dengan studi dan perawatan maloklusi, yang merupakan akibat dari ketidakteraturan gigi, hubungan rahang tidak proporsional, atau keduanya. Perawatan ortodontik dapat dilakukan semata karena alasan estetika berkaitan dengan penampilan umum dari gigi pasien. Namun, ada ortodontis yang bekerja untuk merekonstruksi seluruh wajah tidak terfokus secara eksklusif pada pada gigi.66

Profesi tukang gigi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan tukang gigi (tandmeester), yang kala itu dikenal dengan sebutan “dukun gigi” sudah menguasai pasar. Praktik dokter gigi sebenarnya sudah ada, tapi sangat terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang dulunya tinggal di Surabaya. Terbatasnya jumlah dokter gigi saat itu, selain karena tingginya biaya untuk menempuh pendidikan tersebut, bahkan orang pribumi yang ingin menimba ilmu kedokteran harus jauh kuliah di luar negeri.67

66

Milton B. Asbell, A brief History of Orthodontics, ( Amerika Journal of Orthodontics and Dentofacial Orthopedics vol 98, 1990 ) hal. 176

67


(6)

Saat dibuka pertama kali siswa STOVIT ( School tot Opleiding van Indische Tandartsen ) berjumlah 21 orang. Mereka tamatan MULO Bagian B (jurusan IPA). Kurikulum STOVIT dirancang agar siswa dapat menyelesaikan pendidikannya selama lima tahun termasuk latihan klinik selama tiga tahun, agar setelah lulus bisa langsung berprofesi sebagai dokter gigi. Tahun 1933 STOVIT meluluskan dokter gigi pertama. Sampai zaman pendudukan Jepang, sekolah ini menghasilkan 80 ( Delapan Puluh ) dokter gigi.

Pada 5 Mei 1943, lagi-lagi di Surabaya, Jepang mendirikan Ika Daigaku Sika Senmenbu atau Sekolah Dokter Gigi dengan janji dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga dokter gigi berkualitas dalam waktu singkat. Sekolah ini dipimpin Dr Takeda, sebelum diganti oleh Prof Dr Imagawa. Di antara staf pengajar berkebangsaan Jepang, terdapat staf pengajar warga Indonesia. Mereka antara lain Sjaaf, Zainal,M.Salih, Darmawan Mangoenkoesoemo, Soemono,S Mertodidjojo, M. Soetojo, Azil Widjojokoesoemo, R.G Indrajana, dan R. Moestopo.

Proses pendidikan dokter gigi terus berlanjut hingga berdirinya UGM tahun 1949, termasuk Fakultas Kedokteran Gigi-nya. Tukang gigi terus berproses, melakukan aktivitas dan terus mengobati masyarakat yang menderita sakit gigi. Menariknya lagi, pada 1952 R. Moestopo justru membuka kursus tukang gigi di Jakarta.

R. Moestopo yang waktu berpangkat Kolonel dan menjabat Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD Gatot Subroto juga mengelola Kursus Kesehatan Gigi R. Moestopo. Kursus ini berlangsung selama dua jam, pukul 15.00 - 17.00.


(7)

Tujuannya meningkatkan kemampuan dan keterampilan tukang gigi di seluruh Indonesia yang jumlahnya saat itu hampir 2.000 orang. Karena itu, tidak kaget jika banyak tukang gigi senior di negeri ini hasil didikan kursus tersebut.

Peraturan Menteri Kesehatan yang pertama mengatur mengenai tukang gigi dikeluarkan pada tahun 1969 yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/ DPK/ I/ K/ 1969 maka dapat dipastikan sekitar tahun 1960 sudah ada tukang gigi di Indonesia namun mengenai kepastiannya kapan profesi ini pertama kali dikenal di indonesia tidak diketahui. Para tukang gigi tidak mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran gigi, keahlian diperoleh secara turun - temurun.68

Pada tempo dulu minimnya dokter gigi yang dapat memberikan pelayanan kesehatan sampai ke pelosok daerah sehingga masyarakat menggunakan jasa dari tukang gigi, dengan pertimbangan tarif yang dikenakan oleh tukang gigi relatif lebih murah daripada tarif yang dikenakan oleh dokter gigi. Akan tetapi perlu diingat bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada waktu itu sangat terbatas dan belum berkembang pesat hingga saat ini.

69

B. Dasar Hukum Pemberi Layanan Jasa Tukang Gigi

Dengan adanya perkembangan teknologi kedokteran saat ini menimbulkan keahlian - keahlian baru yang harus dipelajari oleh dokter gigi sementara pendidikan keahlian seperti itu tidak pernah dienyam oleh tukang gigi. Oleh karena itu perlunya pembinaan kembali kepada tukang gigi agar dikemudian hari tidak menimbulkan problematika antara tukang gigi dan dokter gigi

68

Indonesia (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan Tukang Gigi Pasal 1 huruf a

69


(8)

Langkah pemerintah untuk mengatur keberadaan tukang gigi di Indonesia pertama kali adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan

Pekerjaan Tukang Gigi.

Peraturan tersebut mengatur tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi, peraturan ini dikeluarkan dengan latar belakang bahwa pada waktu di Indonesia masih banyak terdapat orang - orang yang melakukan pekerjaan di bidang kesehatan tidak memiliki pengetahuan ilmiah yang diperlukan dan melakukan pekerjaannya diluar batas wewenang dan kemampuannya yang dapat membahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat.70

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/Menkes/Per/V/1989 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang gigi, “tukang gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan”.

Oleh karena itu pemerintah pada waktu itu merasa hal tersebut perlu ditertibkan. Peraturan tersebut kemudian dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan No.339/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi.

71

Peraturan Menteri Kesehatan yang sekarang mengatur pengeluaran izin baru bagi tukang gigi yang berlaku dua (2) tahun serta dapat diperbaharui dan

70

71 Lihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014 Tentang Pembinaan,


(9)

diperpanjang selama memenuhi persyaratan.72 Selain itu terdapat persyaratan - persyaratan yang harus dipenuhi oleh tukang gigi agar dapat memperpanjang izinnya, persyaratan tersebut yaitu73

1. Biodata tukang gigi; :

2. Izin tukang gigi;

3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk;

4. Surat keterangan kepala desa/lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai tukang gigi;

5. Surat rekomendasi dari organisasi Tukang Gigi setempat yang diakui oleh Pemerintah;

6. Surat keterangan sehat dari dokter Pemerintah yang memiliki Surat Izin Praktik;

7. Pas foto terbaru ukuran 4x6 cm (berwarna) sebanyak 2 (dua) lembar; 8. Rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau

pejabat yang ditunjuk.

Didalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/Menkes/Per/V/1989 terutama didalam Pasal 5 bahwa tukang gigi harus memenuhi fasilitas yang akan diberikan kepada konsumen yaitu74

1. mempunyai ruangan kerja yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : :

a. lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu yang bersih serta lubang ventilasi yang memadai

b. mebel yang bersih dan rapi

c. tersedia wastafel, sabun,handuk yang bersih dan air buangan yang lancar, serta tempat sampah yang tertutup

2. mempunyai laboratorium teknik gigi yang memadai.

Apabila dilihat dari materi dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/Menkes/Per/V/1989 ada upaya pemerintah untuk menghapus keberadaan tukang gigi secara alamiah dan memperbaiki pelayanan tukang gigi kepada

72 Lihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014 Tentang Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi pasal 2 huruf c

73

Lihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014 Tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi Pasal 3

74 Indonesia (a), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989


(10)

konsumen dengan membuat persyaratan bagi fasilitas tukang gigi. Menghapus keberadaan tukang gigi secara alamiah artinya dengan memberikan persyaratan yang sangat berat kepada tukang gigi. Akan tetapi dalam prakteknya sampai sekarang praktek tukang gigi masih dapat ditemui di pinggir - pinggir jalan sampai di gang - gang yang sempit bahkan ada yang berani menawarkan jasa ortodonti bagi pasiennya.

Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1871/Menkes/Per/IX/2011 tentang pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Pencabutan tersebut berakibat pada tidak diberikannya izin berpraktik maupun memperpanjang izin praktik tukang gigi. Menurut pemohon, hal ini jelas merugikan dirinya dan rekan sejawatnya di seluruh Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap -tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”75

Pada tanggal 20 juli 2012 Mahendra Budianta Ketua Persatuan Tukang Gigi Indonesia (PTGI) melakukan Judicial Review didampingi kuasanya sebagai Pemohon yang terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 20 Juli 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 274/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 74/PUU-X/2012 pada tanggal

.


(11)

30 Juli 2012 dan telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 31 Juli 2012 dan terakhir bertanggal 23 Agustus 2012.76

Kementerian Kesehatan dalam membuat Permenkes No. 1871/Menkes/Per/IX/2011 mempunyai pertimbangan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang, dan bukan merupakan kewenangan tukang gigi. Pemerintah melarang mereka beroperasi sejak 2011 karena banyak kasus kesakitan akibat praktik yang tidak higienis atau terlatih.Selain itu, menurut saksi ahli yang diajukan oleh Kemenkes bahwa persoalan kesehatan sangat terkait dengan tanggung jawab yang menyangkut jiwa seorang, sehingga sulit apabila persoalan ini diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki landasan ilmu pengetahuan.

Kegagalan dalam menangani permasalahan gigi mempunyai dampak terhadap jiwa manusia secara fisik maupun kejiwaan. Sebagai contoh, kelalaian memperhatikan kebersihan dapat mengakibatkan terjadinya infeksi ataupun kelalaian membersihkan alat-alat bisa menularkan penyakit kepada pihak lain. Kekeliruan menciptakan gigi tiruan akan berakibat pada estetika wajah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ahli yang selama ini berada dalam lingkungan kesehatan sangat berkepentingan untuk menjaga martabat profesi. Profesi menjadikan setiap orang yang bergelut dalam keprofesian ini memperoleh manfaat dan akan akan menjaga keprofesionalannya.

tanggal 12 Desember 2015 21.30 WIB


(12)

Mahkamah Konstitusi (MK) didalam PUTUSAN Nomor 74/PUU-X/2012 pun akhirnya mempertimbangkan bahwa sebenarnya kekhawatiran Kemenkes terhadap pelayanan tukang gigi yang pada dasarnya tidak memiliki landasan pengetahuan yang mumpuni sehingga berisiko terhadap jiwa manusia secara fisik maupun kejiwaan dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan, dan pengawasan.77

Sesuai dengan Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 11 yang menyebutkan mengenai definisi upaya kesehatan yaitu, ” setiap kegiatan dan /atau rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.”

78

Pengetahuan dasar mengenai ilmu kedokteran gigi dapat diberikan secara periodik dan menjadi syarat untuk diberikannya perizinan oleh Kemenkes kepada tukang gigi yang ingin memperpanjang izin praktik atau memohon izin praktik Seluruh komponen yang terlibat, dalam hal ini pemerintah, dokter gigi, dan mahasiswa kedokteran gigi haruslah terlibat secara aktif dan proporsional dalam tiga solusi yang telah disebutkan Mahkamah Konstitusi. Pembinaan dimaksudkan agar tukang gigi mempunyai pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi sehingga dapat menjalankan pekerjaan sesuai ketentuan yang berlaku, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah terhadap dukun beranak yang membantu kelahiran.

77

22.30 WIB

78 Lihat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 angka


(13)

baru. Dalam prosesnya, akan lebih baik jika Kemenkes bekerjasama dengan institusi pendidikan dokter gigi di masing-masing daerah. Kemudian, mahasiswa kedokteran gigi, melalui institusi pendidikannya masing-masing, juga dapat melibatkan diri dalam pendidikan yang akan diberikan kepada tukang gigi sesuai dengan status yang telah diampu, dalam hal ini juga dapat merefleksikan poin pendidikan dan pengabdian masyarakat dalam Tridharma Universitas.

Pendidikan haruslah dimaknai secara mendalam, bahwa pemberian ilmu juga harus dibarengi dengan pengujian yang tepat. Pengujian dilakukan dengan tujuan mengetahui apakah kompetensi yang dimiliki seorang tukang gigi sesuai dan mumpuni. Kementerian Kesehatan ditahun 2014 kembali mengeluarkan Peraturan yang mencabut Peraturan No. 028/Menkes/Per/I/2011 yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 tahun 2014 atas dasar pertimbangan Putusan mahkamah Konstitusi untuk memberikan pembinaan, pengawasan dan perizinan, bagi tukang gigi.

C. Sarana Tukang Gigi untuk Memberikan Jasa Kesehatan Kepada

Konsumen

Dalam hukum kesehatan, hubungan hukum antara tenaga medis dengan pasien berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dalam hubungan ini kedudukan tenaga medis dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan tenaga medis lebih tinggi daripada pasien karena tenaga medis dianggap mengetahui tentang segala sesuatu


(14)

yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa - apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan sepenuhnya ditangan tenaga medis.79

Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian /persetujuan maupun undang - undang.

80

1. Berdasarkan perjanjian atau ius contractu

Dengan demikian seseorang atau subyek hukum telah terikat dalam hubungan hukum dengan orang atau subyek hukum yang lain yang disebabkan karena mengikatkan diri dan menetapkan suatu janji dikarenakan adanya suatu perjanjian yang dibuat diantara mereka, atau seseorang atau subyek hukum yang lain karena adanya ketentuan hukum yang mengikat mereka.

Apabila ketentuan tersebut diterapkan dalam dunia medis, hubungan hukum antara tenaga medis dan pasien dapat terjadi karena dua hal, yaitu :

Hubungan hukum ini adalah bentuk yang paling umum. Pasien datang ke tempat praktek tukang gigi cdan ditangani oleh tukang gigi. Dalam kondisi seperti ini telah terjadi suatu hubungan hukum secara sukarela antara tukang gigi dan pasien berdasarkan kehendak bebas. Gugatan terhadap tukang gigi dapat timbul karena adanya wanprestasi dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tukang gigi terhadap pasien.81

2. Berdasarkan undang - undang atau ius delictu

Dalam ius delictu, tidak ada perjanjian seperti ius contractu. Dalam bidang medis, contoh terjadinya hubungan ius delictu ini dapat dilihat dari penangan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan membutuhkan pertolongan sesegera mungkin. Tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien tidak didasarkan kepada kehendak bebas pasien untuk menyetujuinya, namun tindakan tersebut tetap dilakukan atas dasar penyelamatan jiwa. Akan tetapi, suatu tindakan atau non tindakan yang dilakukan seseorang dan menimbulkan kerugian

79 Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan

Zaman, ( Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007), hal. 1

80 Lihat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Pasal 1233

81 J. Guwandi (a), Dokter, Pasien, dan Hukum, ( Jakarta : Balai Penerbit Fakultas


(15)

orang lain, menurut hukum perdata, diharuskan untuk membayar ganti kerugian tersebut.82

Dalam dunia medik sendiri terdapat dua jenis perikatan antara tenaga kesehatan dan pasien, yaitu inspanningsverbitennis dan resultaatverbitennis. Perikatan upaya (Inspanningsverbitennis) adalah “perikatan yang prestasinya berupa suatu usaha yang sungguh - sungguh dan usaha keras”. Pada perikatan jenis ini hasilnya belum dapat dipastikan karena prestasinya berupa usaha. Seorang tenaga kesehatan tidak dapat menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada banyak faktor - faktor yang berkaitan misalnya usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit yang diderita, komplikasi, dan lain - lain.83

Perikatan hasil (Resultaatsverbintenis) adalah “memberikan suatu janji atau garansi untuk menyembuhkan pasien atau mencapai hasil tertentu (pemenuhan prestasi). Didalam perjanjian hasil semacam ini, maka seolah - olah telah terjadi suatu kontrak dimana dijanjikan suatu hasil khusus akan tercapai dari tindakan medik tenaga kesehatan tersebut. Pada jenis perikatan ini, apabila tenaga kesehatan dapat digugat berdasarkan wanprestasi”.

84

1. Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari pihak tenaga kesehatan dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.

Hubungan antara kesehatan dengan pasien sebagai konsumen dapat dimasukkan sebagai hubungan kontraktual. Sifat hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien memiliki dua (2) unsur :

2. Adanya kepercayaan (fiduciary relationship), karena hubungan kontraktual tersebut berdasarkan saling percaya satu sama lain.85

82 Ibid, hal 12 83 Ibid, hal 11 84

Ibid, hal 11

85 J.Guwandi (b), Dugaan Malpraktek Medik & Draft RPP : “Perjanjian Terapetik

antara Dokter dan Pasien”, ( Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


(16)

Tukang gigi sebagai salah satu tenaga medis tradisional yang masih dipercaya hendaknya didalam memberikan sarana kesehatan haruslah memberikan suatu jaminan kepada setiap konsumen yang dapat memberikan suatu kepercayaan.

D. Peran Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah Terhadap Praktek

Tukang Gigi

Tukang gigi bekerja dalam bidang kesehatan dan peraturan yang mengatur merupakan produk hukum dari Kementerian Kesehatan yang tunduk kepada Undang - Undang Kesehatan, sehingga ada baiknya untuk diketahui terlebih dahulu mengenai pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah menurut Undang - Undang Kesehatan.

1. Peran Pemerintah sebagai Pembina

Berdasarkan Undang - Undang Kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.86

a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan

Pembinaan tersebut diarahkan untuk :

b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas d. pelayanan kesehatan

e. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman

f. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan

86 Indonesia (e), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


(17)

g. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan

dalam rangka pembinaan, pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan untuk mewujudkan tujuan kesehatan.87

2. Peran Pemerintah dalam Melakukan Pengawasan

Berdasarkan Pasal 182 Undang - Undang Kesehatan peran pengawasan ini dilakukan oleh Menteri. Penjelasan mengenai peran pengawasan tersebut adalah sebagai berikut :88

a. Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan danupaya kesehatan.

b. Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.

c. Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

d. Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat

Dari ketentuan tersebut bahwa kewenangan pengawasan oleh Menteri Kesehatan sangat penting. Kewenangan yang dimiliki Menteri Kesehatan terkait untuk mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dimana tindakan administratif yang dapat diambil dalam bentuk peringatan tertulis dan pencabutan izin baik sementara maupun izin tetap.

87

Indonesia (e), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, LN No. 144, TLN No.0563, Pasal 180

88 Indonesia (e), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


(18)

E. Hak dan Kewajiban Konsumen terkait Praktik Tukang Gigi

Pentingnya mengetahui hak-hak pasien sebagai konsumen dalam memberikan pelayanan kesehatan baru muncul pada akhir tahun 1960. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan membuat sistem pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan konsumen.89

Pandangan Hukum, pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasi sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan.90

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, konsumen penerima jasa tukang gigi dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika dari gigi dan mulut,atas jasa yang diberikan konsumen maka konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan selama menerima jasa tukang gigi

Hak dan kewajiban konsumen terkait dengan praktik tukang gigi ditinjau dari Undang - Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen :

2. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam hukum kesehatan hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dapat berupa informasi mengenai kompetensi dan kewenangan dari tenaga kesehatan yang menangani pasien apakah kompetensi dan kewenangan dari tenaga kesehatan tersebut sesuai dengan pelayanan kesehatan yang diberikan atau tidak.

3. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan apabila konsumen memiliki keluhan selama menerima jasa dari tukang gigi maka konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya

89 Nila Ismani, Etika Keperawatan, ( Jakarta : Widya Medika, 2001), hal. 24-29.

90 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, ( Jakarta : PT


(19)

4. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dapat mengajukan ke pengadilan perdata maupun pidana

5. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, misalnya informasi dan pembinaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) bagi konsumen

6. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, setiap orang yang datang ke tukang gigi memiliki hak yang sama untuk diperlukan ataju dilayani secara benar dan jujur serta tidak didiskriminasi berdasarkan suku, agama,ras atau golongannya.

7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya, misalnya konsumen mengalami gangguan kesehatan akibat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tukang gigi maka konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi dan/atau ganti rugi dari tukang gigi sebagai pelaku usaha.

Apabila dilihat bahwa Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ketujuh pasal tersebut memiliki point yang sangat penting bagi konsumen untuk mendapatkan kepastian hukum apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Akan tetapi dilihat pada Ayat 1 dan ayat 7 hak konsumen memiliki Hubungan yang sangat kompleks sehingga hak dan kewajiban yang dimiliki konsumen yang telah dilanggar oleh tukang gigi mendapat perlindungan hukum.

Sementara menurut Undang - Undang Kesehatan diatur hak - hak sebagai berikut :91

1. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau

2. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab, misalnya dengan diadakannya penyuluhan - penyuluhan atau penyebaran informasi kesehatan oleh Pemerintah dengan media lainnya seperti iklan layanan masyarakat dan brosur

91 Indonesia (e), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


(20)

Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan jasa kesehatan melalui pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penyuluhan yang dilakukan secara merata kepada konsumen sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menambah pengetahuan bagi masyarakat pentingnya kesehatan gigi dan mulut.

Kewajiban konsumen selama menerima jasa dari tukang gigi berdasarkan Undang - Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :92

1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, misalnya konsumen harus membayar harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha

2. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, misalnya dalam membayar barang kepada pelaku usaha di Indonesia, konsumen harus membayar sejumlah uang dengan mata uang Rupiah

3. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut, misalnya dalam upaya penyelesaian sengketa, konsumen harus berupaya penyelesaian secara damai terlebih dahulu.

Adapun hak dan kewajiban tukang gigi telah menjamin perlindungan hukum. Mahkamah Kostitusi menyatakan larangan terhadap profesi tukang gigi dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Inkonstitusional bersyarat. Sebab, profesi tukang gigi dapat dimasukkan atau dikategorikan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi oleh negara.

Mahkamah berpandangan, pada prinsipnya Pasal 27 ayat (2) Undang -Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. “Dengan


(21)

demikian, berarti negara melindungi hak atas pekerjaan setiap warga negaranya dalam rangka mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusian,”.

Akhirnya, dalam amar putusan atas perkara yang diajukan oleh Tukang Gigi Hamdani Prayogo ini, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD menegaskan bahwa Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.


(22)

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMASANGAN BEHEL OLEH TUKANG GIGI DI MEDAN

A. Hubungan Transaksi Antara Konsumen Dengan Jasa Tukang Gigi

Sebagian besar predikat konsumen diperoleh sebagai konsekuensi mengkonsumsi barang dan/atau jasa melalui suatu transaksi konsumen (consumer transaction). Transaksi konsumen adalah “peralihan barang/jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam menggunakannya”.93

Promosi atau kegiatan pengenalan tukang gigi, umumnya dilakukan hanya melalui papan nama praktek tukang gigi yang hanya boleh mencantumkan nama tukang gigi, jam praktek atau jam kerja dan pindah alamat. Papan nama praktek tersebut bertujuan untuk memberitahukan, mengenalkan kepada setiap orang yang melihatnya bahwa ditempat tersebut terdapat profesi tukang gigi yang membuka praktek pada jam tertentu untuk diketahui oleh masyarakat dalam memberikan layanan jasa ortodonti.

Kontrak antara tukang gigi dan pasien, jika dikaitkan dengan hubungan pelaku usaha dan konsumen terfokus pada proses transaksi konsumen yang terdiri dari tiga tahap, tahap pertama yaitu pada tahap pra-transaksi dimana tukang gigi juga melakukan kegiatan promosi, melalui media cetak, media sosial,dan bahkan media elektronik.


(23)

Tukang gigi yang menawarkan jasa ortodonti bahkan menjelaskan kepada pasiennya bahwa jasa ortodonti yang diberikan oleh tukang gigi lebih baik dibandingkan jasa ortodonti yang diberikan oleh dokter gigi. Tukang gigi mengatakan tidak ada perbedaan pemasangan behel yang dibuat oleh dokter gigi dengan tukang gigi, pemasangan behel aman asalkan kawat cekat yang diberikan dalam keadaan steril.94

Hal ini tentu saja menyesatkan, karena tidak memberitahukan kondisi dan resiko konsumen yang sebenarnya didalam pemasangan behel. Bahkan tukang gigi mengaku bahwa keahliannya yang didapatkan dari hasil belajar secara otodidak dan kursus lebih baik dari keahlian dokter gigi spesialis ortodonti yang mendapat pendidikan formal kedokteran dan pendidikan spesialis ortodonti.

95

Keunggulan dari kesepakatan yang dibuat tertulis terletak pada pembuktiannya. Bila nantinya terjadi sengketa, maka kesepakatan yang dibuat

Tahap kedua yaitu tahap transaksi, dalam kontrak antara tukang gigi dan konsumen terjadi peralihan dimana tukang gigi kepada konsumen membuat suatu kesepakatan atau persetujuan kedua belah pihak, Pada tahap ini para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kesepakatan ini kemudian dapat dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulis. Kata “dapat” berarti kesepakatan tidak harus dituangkan ke dalam bentuk tertulis, kecuali dikehendaki oleh para pihak antara tukang gigi dan pasien atau diwajibkan oleh peraturan yang berlaku.

94

Hasil wawancara dengan M.Nisah berprofesi tukang gigi tanggal 27, Hari Sabtu, Bulan Februari, Tahun 2016

95 Hasil wawancara dengan M.Nisah berprofesi tukang gigi tanggal 27, Hari Sabtu, Bulan


(24)

secara tertulis lebih mudah dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak dibuat secara tidak tertulis. Akan tetapi faktanya kesepakatan antara tukang gigi lebih banyak merugikan konsumen ini terbukti hanya disertainya kuitansi pembayaran antara tukang gigi dan pasien.96

Pada tahap purna transaksi, konsumen yang telah dipasangkan behel dapat datang sebulan sekali untuk datang memeriksakan dirinya ke tukang gigi. Konsumen yang datang pertama kali untuk memeriksakan kondisi behelnya mendapat perawatan gratis mengganti karet bracket yang hilang pada saat mengunyah makanan serta proses pembersihan karang gigi. Adapun biaya check up yang diberikan oleh tukang gigi setelah datang kedua kali yakni atas/bawah Rp.100.000,- (Seratus Ribu Rupiah), ganti karet, membersihkan karang, cek kestabilan kawat dan penggantian secara berkala.

Kesepakatan atau persetujuan pelaku usaha profesi dengan konsumen terjadi sejak pelaku usaha profesi menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan atau yang tersirat dengan menunjukan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan, misalnya menerima pendaftaran jasa ortodonti.

97

Keabsahannya dari transaksi ini adalah persetujuan dari jual beli antara dua pihak, pelunasan (pemberesan), dan pembayaran. Transaksi merupakan tindakan atau perbuatan yang didasarkan pada kesepakatan antara pelaku usaha

96 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008) hal 8 97 Hasil wawancara dengan M.Nisah berprofesi tukang gigi tanggal 27, Hari Sabtu, Bulan


(25)

dan konsumen yang bersifat kontraktual.98

1. Harus ada persetujuan (Agreement, consensus) dari pihak - pihak yang berkontrak. Persetujuan itu berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan pemberian pelayanan tersebut yang menyebabkan terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya adalah antara tukang gigi dan konsumen tentang sifat pemberi layanan kesehatan yang diusulkan oleh tenaga kesehatan dan juga telah diterima baik oleh konsumen.dengan demikian persetujuan antara masing - masing haruslah bersifat sukarela.

Adapun keabsahan dari tahap dari transaksi ini adalah :

2. Harus ada objek yang merupakan subtansi dari kontrak, objek atau subtansi kontrak dari hubungan tenaga kesehatan dengan pasien adalah pemberian pelayanan kesehatan yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh tenaga kesehatan. Objek dari kontrak dapat dipastikan legal, dan tidak diluar profesinya.

3. Harus ada suatu sebab (Cause) atau pertimbangan (Consideration). Sebab atau pertimbangan itu adalah faktor yang menggerakkan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian imbalan atau bisa juga sekedar atas dasar kemurahan hati dari tenaga kesehatan. Pembayaran untuk pemberian pelayanan kesehatan sudah dianggap tersirat dan diketahui oleh pasien sebagai konsumen, kecuali diwajibkan oleh hukum, atau dianggap amal dan menolong sesamanya.99

Adapun sebelum pelaksanaan kontrak adanya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai harga, kualitas dan kegunaan barang yang juga dapat memicu konflik. Pemicu konflik ini terbagi menjadi tiga kategori, yakni:

100

1. Produk behel tidak cocok dengan kegunaan dan manfaat yang diharapkan konsumen. Hal ini seringkali disebabkan karena pelaku usaha melakukan tipu daya kepada konsumen.

2. Produk behel menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan keselamatan pada konsumen. Penyebabnya adalah adanya cacat tersembunyi pada produk atau tubuh konsumen tidak cocok dengan bahan yang terkandung di dalam produk (Sering terdapat pada kawat yang melapisi behel).

98 Wahyu Sasongko, Ketentuan - Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,

(Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung) hal 31

99 J. Guwandi, Op Cit, hal 29 - 30

100


(26)

3. Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Konflik ini kerap dikaitkan dengan monopoli atau pemalsuan barang. Sehingga barang yang dibeli nilainya sangat mahal dibanding nilai sebenarnya.

Pemicu konflik yang terakhir adalah layanan purna jual, yang sering dikaitkan dengan hadiah dan garansi. Pemicu konflik ini pun dapat dibedakan menjadi:101

1. Apa yang dijanjikan tidak ada, karena pelaku usaha tidak jujur.

2. Apa yang dijanjikan ada, tetapi tidak sesuai dengan harapan konsumen. Hal ini disebabkan karena janji pelaku usaha yang terlalu berlebihan.

3. Apa yang dijanjikan ada dan pelaku usaha telah berusaha memenuhinya. Namun karena ada halangan diluar kekuasaan pelaku usaha, janji tersebut tidak dapat terpenuhi. Peristiwa ini sering disebut force majeur. Contohnya huru hara dan bencana alam.

Oleh karena didalam lingkup pelayanan purna jual tersebut terkandung suatu hak - hak konsumen, kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha. Suatu layanan purna jual dikatakan baik jika terdapat hubungan yang harmonis yaitu terpenuhinya hak - hak konsumen dan terlaksananya kewajiban serta ada tanggung jawab dari pelaku usaha khususnya tukang gigi yang melayani jasa ortodonti.102

B. Bentuk Tanggung Jawab Tukang Gigi terhadap Konsumen Pengguna

Behel

Tanggung jawab adalah kesediaan dan kesanggupan untuk menerima dan menanggung segala konsekuensi hukum dari segala tindakan dan akibat tindakan yang telah dilakukan. Dalam hubungan dengan ketentuan pelaksanaan tugas

101 Ibid, hal 1-2

102 Erman Rajagukguk, Hukum Pelindungan Konsumen, ( Bandung : Mandar Maju, 2000)


(27)

pelayanan kesehatan membawa konsekuensi hukum dari tindakan yang telah dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun pihak lain yang bukan tenaga kesehatan berlandaskan kepada keahlian dan kewenangannya.103

Mengingat pentingnya perlindungan terhadap konsumen yang melakukan perawatan gigi yakni sebagai landasan perlindungan hukum bagi pengguna behel. Hal ini dikarenakan konsumen enggan menempuh jalur hukum apabila terjadi sengketa didalam pemasangan behel.104

1. Tanggung Jawab Produk (Product Liability) dan Tanggung Jawab Profesional (Professional Liability)

Dalam hal ini kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan kawat pada gigi yang tidak steril bukanlah semata kesalahan konsumen sendiri yang kurang hati - hati, akan tetapi tukang gigi sebagai pelaku usaha mempunyai andil yang besar karena sebagai pihak penjual seharusnya mengerti dan mengetahui bahwa kawat pada gigi yang tidak steril merupakan bahan yang berbahaya dan tidak layak untuk dijual.

Hal inilah yang menimbulkan permasalahan dimana konsumen yang menderita kerugian tidak mengetahui kepada pelaku usaha mana ia akan meminta pertanggung jawaban.

Prinsip - prinsip pertanggung jawaban yang melatarbelakangi lahirnya pertanggung jawaban pelaku usaha dapat diuraikan :

a. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)

103

Indar, Etika Profesi Kesehatan, (Makassar: Fakultas Kesehatan UNHAS, 2010), hal. 77

104 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Bandung : Mandar Maju, 2000) hal 33


(28)

Dua prinsip penting dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Tanggung Jawab Produk ( Product Liability ) dan Tanggung Jawab Profesional (Professional Liability). Tanggung Jawab Produk sebenarnya mengacu kepada Tanggung Jawab Produsen. Tanggung Jawab Produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawa kedalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.105

Tanggung jawab produk oleh banyak ahli dimasukkan dalam sistematika hukum yang berbeda. Ada yang mengatakan tanggung jawab produk sebagai bagian dari hukum perikatan, hukum perbuatan melawan hukum (tort law), hukum kecelakaan (ongevallenrecht, casualty law), dan ada yang menyebutkan sebagai bagian dari konsumen.106

1. Pelanggaran jaminan (breach of warranty)

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya :

2. Kelalaian (negligence)

3. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)107

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (tukang gigi), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat.

105 Agnes M. Toar dalam Johannes Gunawan, Kontroversi Strict Liability dalam Hukum

Perlindungan Konsumen Oratios Dies, Disampaikan Dalam Upacara Dies Natalies Ke 45 (

Lustrum IX ) Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 13 September 2003, hal 20

106 Ibid hal 4


(29)

Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain, dan/atau pelabelan (labeling defect).108

Adapun yang dimaksud kelalaian (negligence) adalah perilaku yang tidak sesuai dengan standar perilaku (standar of product) sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang - undangan, demi perlindungan terhadap masyarakat dari resiko yang tidak rasional (unreasonable risk).109 Adapun salah satu pasien yang melakukan pemasangan behel ke tukang gigi merasa kecewa dan mengatakan giginya malah menjadi renggang dan warnanya pun jadi kuning akibat produk kawat dari tukang gigi.110

Salah satu usaha untuk melindungi hak konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam pelaksanaan tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para pelaku usaha menyadari pentingnya untuk menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya.111

108 Jerry J. Phillips, Product Liability, in nut shell 4 th Ed, St. Paul, Minn, West

Publishing Co, 1993, hal 39

109 Sidharta, Op Cit, hal 66

Sidharta menjelaskan bahwa dalam KUH.Perdata, ketentuan tanggung jawab produk ada dalam Pasal 1504 KUH. Perdata, yang berkaitan dengan Pasal 1322, 1491, 1504, sampai 1511. Pasal 1504 KUH. Perdata berbunyi :

111 H.E Saefullah, Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 2000), hal 58


(30)

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.”112

b. Tanggung Jawab Profesional (Professional Liability)

Para pelaku usaha khususnya tukang gigi harus lebih berhati-hati dalam memproduksi barang sebelum diedarkan di pasaran sehingga para konsumen, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi mereka. Demikian juga bila kesadaran para pelaku usaha terhadap tanggung jawab pelaku usaha tidak ada, dikhawatirkan berdampak buruk terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Tanggung jawab profesional merupakan tanggung jawab hukum ( legal liability) dalam hubungannya dengan jasa profesional yang diberikan kepada konsumen. Sejalan dengan tanggung jawab profesional ini yang timbul karena penyedia jasa profesional tidak memenuhi perjanjian yang disepakati dengan klien atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut yang mengakibatkan terjadinya kerugian / perbuatan melawan hukum.113

Dalam hal ini terdapat perjanjian ( Privity contract ) antara tukang gigi sebagai pelaku usaha dengan pasien sebagai konsumen, dimana prestasi pelaku usaha dalam hal ini sebagai pemberi jasa tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar yang didasarkan pada itikad baik.114

112

Shidarta,Op Cit hal 154

113 Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Profesional, Jurnal Era Hukum No. 10 tahun

III,1996 hal 19

114 Ibid., hal 53

Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban professional atas kerugian yang


(31)

dialami konsumen akibat memanfaatkan atau menggunakan layanan jasa ortodonti dari tukang gigi.

Sebaliknya ketika hubungan perjanjian (privity of contract) tersebut merupakan prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab pelaku usaha juga didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability) yang disepakati dari pelaku usaha sebagai pengelola program investasi apabila timbul kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.115

Pemberian jasa tersebut juga termasuk pertanggung jawaban terhadap masalah yang dimulai dari pemasangan sampai perawatan behel. Tukang gigi beralasan bahwa didalam pemasangan behel aman apabila dipasang steril dan sesuai prosedur.116

2. Tanggung Jawab Perdata, Pidana, Dan Administrasi Negara

Indikator yang menjadi ukuran untuk menyatakan adanya tindakan menyalahi tanggung jawab profesional harus ada parameter yang ditetapkan oleh asosiasi Persatuan Dokter Gigi Indonesia ( PDGI ), yang menentukan standart profesi bersifat teknis, tetapi juga dapat berupa aturan - aturan moral yang dimuat dalam kode etik.

c. Tanggung Jawab Perdata

115 Shidarta,Op Cit halaman 154

116 Hasil wawancara dengan M.Nisah berprofesi tukang gigi tanggal 27, Hari Sabtu,


(32)

Menurut Hukum Perdata ada dua cara untuk menggugat pelaku usaha agar dapat memenuhi tanggung jawab hukum yang diembannya yaitu apabila diantara keduanya telah terikat perjanjian sebelumnya dan salah satu pihak melanggar perjanjian tersebut maka pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat melalui jalur wanprestasi. Hal ini berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang - undang berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dari kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan - alasan yang ditentukan oleh undang - undang.117

Hal ini diatur didalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigedaad ). Gugatan melalui perbuatan melawan hukum ini dimungkinkan karena suatu tindakan yang dilakukan seseorang dan menimbulkan kerugian pada orang lain, menurut hukum perdata diharuskan untuk membayar ganti kerugian tersebut.

Cara kedua apabila antara pihak tidak ada perjanjian sebelumnya maka pihak yang dirugikan dapat menggunakan jalur perbuatan melawan hukum. Gugatan melalui perbuatan melawan hukum ini dimungkinkan karena suatu tindakan yang dilakukan seseorang dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Menurut hukum perdata, diharuskan untuk membayar ganti kerugian tersebut.

118

Merujuk kepada Undang - Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 Tanggung Jawab Perdata adalah Sanksi administratif yang merupakan suatu hak khusus yang diberikan oleh Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8

117 Lihat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Pasal 1338 118 Lihat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Pasal 1365


(33)

tahun 1999 kepada Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atas tugas/atau wewenang untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan. menurut ketentuan Pasal 60 ayat 2 jo. Pasal 60 ayat 1 Undang - Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 60 ayat 2 pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi yang jumlah maksimum Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggung jawaban terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen menganut ganti kerugian yang dianut dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen menganut ganti kerugian subjektif terbatas.119

Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjek terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai negara yang industrinya masih dalam kondisi berkembang dinilai tepat. Oleh karena, disamping memberikan perlindungan kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang tanpa batas.120

d. Tanggung Jawab Pidana

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI ) berpendapat bahwa tindakan tukang gigi menawarkan layanan jasa ortodonti di papan nama atau dibagian luar

119 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal 275 120 Ibid.,hal 275


(34)

kliniknya sudah merupakan tindak pidana penipuan dan seharusnya polisi dapat menindak tukang gigi yang menawarkan jasa ortodonti tersebut.121

Adapun Pasal 378 KUHP yang mengatur penipuan berbunyi “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat ( hoedannigheid ) palsu dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan utang ataupun piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

122

Berdasarkan Pasal 378 KUHP tersebut maka unsur - unsur yang harus dipenuhi dalam terpenuhinya tindak pidana penipuan yaitu adanya maksud/ tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, adanya unsur melawan hukum dengan cara memakai nama palsu atau martabat palsu, nama palsu atau martabat palsu ini dapat berupa berpura - pura menjadi orang lain atau menggunakan gelar - gelar yang tidak dimilikinya. Unsur melawan hukum juga dapat dilakukan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, rangkaian kebohongan berarti tipu muslihat yang dilakukan lebih dari sekali yang dilakukan oleh tukang gigi.

123

Pelayanan ortodonti yang diberikan oleh tukang gigi tentu ada resiko yang besar karena tukang gigi tidak pernah mengenyam pendidikan kedokteran terlebih pendidikan spesialis ortodonti. Oleh karena itu jika penerima layanan jasa ortodonti dirugikan kesehatannya maka tukang gigi tersebut dapat dituntut dengan pasal penganiayaan Pasal 351 KUHP dengan penganiayaan disamakan dengan

Artinya perbuatan yang dilakukan oleh tukang gigi yang menawarkan pelayanan jasa ortodonti khususnya behel dapat diancam pidana penipuan maksimal empat tahun.

121 Hasil wawancara dengan M.Ukur Sembiring tanggal 05, Hari Sabtu, Bulan Desember,

Tahun 2015

122 Lihat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana Pasal 378

123 Hasil wawancara dengan M.Ukur Sembiring tanggal 05, Hari Sabtu, Bulan Desember,


(35)

merusak kesehatan, jika penganiayaan tersebut menimbulkan penyakit atau halangan untuk pekerjaan jabatan atau pencarian diancam dengan pidana ringan paling lama tiga tahun, dan jika mengakibatkan luka berat dikenakan pidana penjara paling lama tiga tahun, dan jika mengakibatkan kematian dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Tanggung jawab hukum pidana agar seseorang dianggap bersalah maka ia harus memenuhi unsur - unsur kesalahan. Sebagai pedoman dapatlah kiranya ditentukan ciri - ciri kesalahan sebagai berikut :124

1. Akibat itu sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya (voorzienbaarheid forseeability)

2. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindarkan (vermijbaarheid avoidable)

3. Sehingga timbulnya akibat tersebut dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid reproachul)

Merujuk kepada Undang - Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 tanggung jawab pidana adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntutan umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Rumusan Pasal 62 Undang - Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap :125

1. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam :

a. Pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan

b. Pasal 9 dan 10 mengenai informasi yang tidak benar

c. Pasal 13 ayat 2, mengenai penawaran obat - obatan dan hal - hal yang berhubungan dengan kesehatan

d. Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik)

124 J. Guwandi, Op Cit, hal 45

125 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN


(36)

e. Pasal 17 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, mengenai iklan yang memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan

f. Pasal 17 ayat 2 mengenai peredaran iklan yang dilarang g. Pasal 18 mengenai pencantuman klausula baku

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:

a. Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang; b. Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;

c. Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma; d. Pasal 14 mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui

undian;

e. Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan;

f. Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f mengenai produksi iklan yang bertentangan dengan etika, kesusilaan, dan ketentuan hukum yang berlaku. Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Ketentuan Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan dengan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, sementara diluar tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Terhadap sanksi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa :126

1. Perampasan barang tertentu 2. Pengumuman keputusan hakim 3. Pembayaran ganti rugi

126 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN


(37)

4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

e. Tanggung Jawab Administrasi Negara

Menurut tanggung jawab hukum administrasi negara sanksi yang bersifat khusus misalnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/Menkes/Per/V/1989 yang memuat ketentuan sebagai berikut :

1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin

2. Selain tindakan administratif sebagaimana dimaksud ayat 1 kepada yang bersangkutan dapat juga dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku.

Pasal tersebut hanya mengatur mengenai sanksi administratif terhadap pelanggaran dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/V/1989 dalam memberikan tanggung jawab sebagai penyedia jasa tukang gigi.

Berdasarkan Pasal 58 Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa “setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.127

Ganti rugi ini dapat dimintakan kepada orang lain, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan apabila orang, tenaga kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan tersebut telah menyebabkan kerugian yang disebabkan

Apabila dilihat dari unsur - unsur pasalnya maka setiap orang memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.

127 Indonesia (e), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang


(38)

adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh orang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan tersebut.

Di bagian Penjelasan Pasal 73 ayat 2 UU 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dijelaskan bahwa yang termasuk kerugian akibat pelayanan kesehatan mencakup pembocoran rahasia kedokteran.128 Berdasarkan Pasal 73 ayat 2 Undang - Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran “setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah - olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”129

Ketentuan mengenai surat tanda registrasi dan surat izin praktik ini justru membebani dan membatasi ruang gerak dokter dan dokter gigi tamatan Perguruan Tinggi. Hal yang sama seharusnya dapat diberlakukan bagi tukang gigi yang

Mengenai pengujian bagi pasal yang memuat sanksi pidana bagi dokter dan dokter gigi yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik sebagaimana diatur dalam praktik kedokteran tidak dapat menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan walaupun mereka memilikikompetensi untuk itu. Bagi dokter dan dokter gigi yang tetap menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan tanpa memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik dokter akan dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 75 dan Pasal 76 Undang - Undang no. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

128

Indonesia (i), Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, LN No.116 Tahun 2004, TLN No. 4431, Pasal 73

129 Indonesia (i), Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang


(39)

keahliannya didapat secara turun temurun tanpa adanya jaminan kesehatan terhadap keahlian yang dimilikinya.

C. Bentuk Penyelesaian Sengketa yang Timbul antara Konsumen dan Ahli

Tukang Gigi

Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha ( publik atau privat ) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu.130

1. Pihak konsumen yang bersengketa harus merupakan konsumen akhir, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan apakah suatu sengketa termasuk dalam sengketa konsumen dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 :

2. Produk yang disengketakan haruslah merupakan produk konsumen

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsumen yang dimaksud dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 ini merupakan konsumen akhir, yaitu konsumen yang menggunakan barang (consumer goods) dengan maksud memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, keluarga, dan/atau rumah tangganya.131

Oleh karena itu, yang bersengketa hanyalah konsumen akhir dan yang disengketakan adalah consumer good/produk konsumen yang digunakan oleh konsumen. Yang dimaksud dengan produk konsumen adalah “ barang dan/atau

130 Az Nasution, Op Cit, hal 38 131 Sidharta, Op Cit, hal 33


(40)

jasa yang umumnya dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau rumah tangga konsumen ”.132

Sengketa konsumen dalam pelayanan jasa ortodonti dapat diselesaikan melalui dua (2) cara penyelesaian, yaitu penyelesaian sengketa secara damai atau penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang.133 Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan pilihan sukarela pada pihak yang bersengketa.134

1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Non Litigasi)

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah pilihan alternatif untuk para pihak apabila para pihak yang menghadapi sengketa konsumen ingin menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Pasal 47 Undang - Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan penyelesaian sengketa diluar Pengadilan Sebagai berikut :

“ Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”135

a. Penyelesaian Sengketa Damai

Adapun bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yakni :

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing - masing

132 Ibid, hal 229-230 133 Ibid, hal 232 134

Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 45 ayat 2

135 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN


(41)

pihak melaui cara - cara damai. Cara damai dapat dilakukan dengan cara musyawarah atau mufakat para pihak. Cara penyelesaian sengketa dengan cara damai ini diusahakan agar mudah, murah, dan relatif lebih cepat. Dasar hukum penyelesaian ini terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Pasal 1851 - 1854 tentang perdamaian/dading dan dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 2 jo. Pasal 47.136

Di dalam Hukum Perdata dan Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 telah dituangkan agar penyelesaian sengketa konsumen antara tukang gigi dan pengguna jasa tukang gigi dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Namun umumnya musyawarah mufakat dapat dilakukan melalui negosiasi artinya tukang gigi bertanggung jawab apabila ada keluhan dari konsumen, misalnya behel yang dipasang menimbulkan kerusakan baik yang ringan maupun berat. Pada kerusakan yang ringan tukang gigi dapat memberikan perawatan secara gratis kepada konsumen apabila bracket yang menempel pada gigi tidak memenuhi secara prosedural dalam hal pemasangan seperti longgar atau lem yang dipakai untuk merekatkan kawat pada bracket tidak sesuai dalam pemasangannya, sedangkan kerusakan yang berat tukang gigi bertanggung jawab mengobati konsumen sampai pulih apabila menimbulkan pendarahan dan pembengkakan pada gigi dan mulut setelah dipasangi behel.

137

Penyelesaian sengketa damai ini dilakukan kepada kedua belah pihak antara tukang gigi dan konsumen sebagai pengguna jasa tukang gigi dalam pemasangan behel dengan cara melalui negosiasi untuk mendapatkan atau

136 Az Nasution, Op Cit, hal 233

137


(42)

memenuhi kepentingan yang telah direncanakan sebelumnya dimana hal tersebut disediakan atau dimiliki oleh orang lain sehingga konsumen memerlukan negosiasi untuk mendapatkan yang diinginkan berupa kompensasi ganti rugi pengobatan secara gratis akibat kerusakan yang terjadi pada gigi dan mulut yang dimiliki oleh konsumen setelah dipasangi behel. Negosiasi ini dibuat sebagai bukti tukang gigi bertanggung jawab atas segala tindakan didalam pemasangan behel.138

1. Negoisasi memberi peluang yang sangat luas bagi para pihak untuk menentukan pilihannya

Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa secara kompromi (antara kedua belah pihak) dengan tujuan pemecahan masalah bersama. penyelesaian sengketa damai melalui negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan yakni :

2. Tidak bergantung pada hukum tertulis

3. Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk bisa menang secara bersama - sama

4. Semua pihak memperoleh kesempatan untuk menjelaskan persoalan dalam proses negoisasi 139

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu yang menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.140

138

http://www.ahmadzakaria.net/blog/2007/05/02/negosiasi-suatu-penantar-teori-praktis/comment-page-1/ diunduh pada tanggal 22 Maret 2016

Untuk memenuhi tujuan tersebut maka diperlukan

140 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN


(43)

adanya jaminan pemulihan kesehatan dari pelaku usaha khususnya tukang gigi bahwa perilaku yang merugikan konsumen itu tidak akan terjadi lagi.141

b. Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK ( Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Penyelesaian sengketa ini adalah penyelesaian sengketa melalui peradilan umum atau melalui lembaga khusus yang dibentuk oleh UU, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).142 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini dibentuk disetiap daerah tingkat II dan menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Setiap keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mempunyai kekuatan yang mengikat para pihak yang bersengketa. Meskipun keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri untuk dihapus. Walaupun Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 hanya memberikan hak kepada pihak yang merasa tidak puas untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun peluang untuk mengajukan kasasi terbuka bagi setiap pihak dalam perkara.143

Rumusan pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai badan yang membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen seperti disebut dalam penjelasan Pasal 1 angka 12 Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 adalah pengertian yang luas. Sudah tentu hal ini

141 Az Nasution, Op Cit, hal 235 142 Ibid, hal 235-236


(44)

sangat menguntungkan konsumen. Hal tersebut memperlihatkan kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan konsumen dari kedudukan yang sebelumnya berada pada pihak yang lemah tatkala berhadapan dengan pelaku usaha yang memiliki bargaining position yang sangat kuat dalam aspek sosial, ekonomi, dan bahan psikologis.144

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada prinsipnya hubungan hukum antara pelaku usaha khususnya tukang gigi dengan konsumen adalah hubungan hukum keperdataan. Ini berarti bahwa tiap perilaku yang merugikan konsumen harus diselesaikan secara perdata. Namun pada Pasal 45 ayat 3 Undang - Undang perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 terdiri dari sanksi administratif, sanksi pidana pokok, dan sanksi pidana tambahan. Sesungguhnya untuk mendapatkan perlakuan hukum bagi konsumen telah diatur secara umum didalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Dalam kitab tersebut pada intinya dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian maka wajib mengganti kerugian. Namun khusus bagi konsumen yang dirugikan belum cukup maka dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ini, konsumen mendapatkan perlindungan yang komprehensif di dalam tatanan hukum Indonesia.


(45)

Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal. 145

Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa hal ini ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Perlindungan Konsumen.146

a. Tahap Pengajuan Gugatan

Proses beracara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibagi dalam beberapa tahap yang dimulai dari tahap pengajuan gugatan sampai pada tahap keputusan dan atau eksekusi putusan.

Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdekat dengan tempat tinggal konsumen. Permohonan dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan permohonan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

145 Setiawan, Produsen atau Konsumen: Siapa Dilindungi Hukum, makalah pada seminar

“Damai Pemasaran antara Pengusaha dan Konsumen, diselenggarakan Asosiasi Manajer Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian Indonesia (ISIK), di Jakarta, 27 Juni 1992. Pada uraiannya, Setiawan sepertinya ingin mengatakan bahwa konsumen dapat dilindungi dengan instrumen hukum pokok, dalam hal ini instrumen hukum perdata betapa pun minimnya.

146 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK (Teori dan Praktek


(46)

yang berlaku terhadap orang asing/warga negara asing.Hal ini berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001.147

Permohonan yang diajukan secara tertulis, kepada sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan memberikan tanda terima kepada pemohon. Berdasarkan Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis hendaknya melampirkan dokumen mengenai:148

1. Nama dan alamat lengkap dokumen atau ahli warisnya atau kuasanya yang disertai dengan bukti diri.

2. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha 3. Barang dan/atau jasa yang diadukan

4. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain) bila ada 5. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan/atau jasa

tersebut

6. Saksi yang mengetahui barang dan/atau jasa tersebut diperoleh 7. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa (bila ada)

Permohonan yang diajukan secara lisan, maka sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus, dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Apabila permohonan ternyata tidak lengkap (tidak sesuai dengan Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001) atau permohonan bukan merupakan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menolak permohonan tersebut. Jika permohonan memenuhi pensyaratan dan diterima, maka Ketua Badan

147 Lihat Pasal 15 ayat 2 SK, Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 148 Lihat Pasal 16 SK, Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001


(47)

Penyelesaian Sengketa Konsumen harus memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan kopi permohonan konsumen, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan.149

Namun dalam hal permohonan bantuan oleh Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kepada penyidik untuk memanggil pelaku usaha secara paksa ini, pada umumnya tidak dipatuhi oleh penyidik, karena disamping kepada belum adanya sosialisasi kepada penyidik mengenai “tugas baru” ini juga karena tidak diaturnya secara jelas mengenai bagaimana proses pemanggilannya dan sanksinya, sedangkan Undang - Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 sendiri tidak memberikan penjelasan secara jelas

Pemanggilan pelaku usaha terlebih dahulu dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama (Sesuai Pasal 26 ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001). Pada tahapan ini, jika pada hari yang telah ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampaui 3 hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi.

Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i Undang - undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 jo. Pasal 3 huruf i Kepmenperindag N0. 350/MPP/12/2001. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.


(48)

tentang bagaimana mekanisme penyidik dalam melaksanakan ketentuan tersebut.150

Hal inilah yang terkadang menjadi hambatan bagi para anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal memanggil pelaku usaha untuk menghadiri panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Bagi pelaku usaha yang telah hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha. Cara yang bisa dipilih dan disepakati para pihak adalah: konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.151

Jika cara yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen segera menunjuk majelis sesuai dengan ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih oleh para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis.152

Penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk berdasarkan Penetapan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan dibantu oleh panitra. Majelis tersebut harus berjumlah ganjil dan paling sedikit terdiri dari 3 anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang mewakili unsur pemerintah (sebagai ketua) dan unsur konsumen dan pelaku usaha masing-masing sebagai anggota.

150 Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung

: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 52

151

Bismar Nasution, Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi, Makalah, (Medan : Universitas Sumatera Utara), hal 8 -9

152 Zaeni Asyhdie, Peradilan Hubungan Industrial, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,


(49)

Sedangkan panitera ditunjuk dari anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan153

b. Tahap Persidangan

.

Secara keseluruhan ketentuan Pasal 26 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tersebut mendorong dan menuntut Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berbuat teliti dan cermat tentang prosedur pemanggilan pada persidangan pertama. Persidangan pertama harus sudah dilakukan pada hari ke-7 (ketujuh) ini terhitung sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) telah dinyatakan dan benar menurut Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001.

Maksimal Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberi waktu 3 hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran (secara formal) permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK). Pada tahap ini, dituntut sikap aktif Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jadi maksimal waktu yang dimiliki Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari mulai pemerikasaan kelengkapan dan kebenaran (secara formal) permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen sampai dengan dilaksanakannya persidangan pertama, yaitu maksimal 10 hari kerja, tidak termasuk hari libur nasional. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mempunyai kewajiban menjaga

153 Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakkan Keadilan, ( Jakarta :


(50)

ketertiban jalannya persidangan (sesuai Pasal 27 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001).154

Terdapat 3 (tiga) tata cara persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (sesuai Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001), yaitu :

155

1. Persidangan dengan cara konsiliasi

cara ini ditempuh berdasarkan inisiatif salah satu pihak yang bersengketa atau para pihak yang bersengketa. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen hanya bersikap pasif, hanya sebagai perantara antara para pihak yang bersengketa tersebut.

2. Persidangan dengan cara mediasi

Mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif dengan menjadi perantara dan penasihat. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga merupakan pihak netral mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati.

3. Persidangan dengan cara arbitrase

Arbitrase ini ditempuh dengan cara para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.

Ketiga tata cara persidangan tersebut kehadiran kuasa hukum memang tidak dilarang, baik dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 maupun Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dalam Pasal 15 ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 menentukan sebagai berikut: “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya” bahkan, Pasal 5 ayat (5) surat keputusan tersebut juga menegaskan: “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa

154 Lihat Pasal 27 SK,Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001


(51)

Konsumen dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dari ahli waris atau kuasanya”.156

Ketentuan Pasal 5 ayat (5) surat keputusan Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 ini menyangkut permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen secara tertulis, jika yang dimaksudkan bukan kuasa hukum (bukan advokad, pengacara, pengacara publik, penasehat hukum, dan sebutan-sebutan lainnya), melainkan:

157

1. Suami atau istri dalam hal ini konsumen sakit atau cacat

2. Anak konsumen dalam hal konsumen sudah lanjut usia atau keadaan sakit atau cacat

3. Orang tua atau wali konsumen dalam hal konsumen masih anak-anak atau dibawah umur, atau

4. Tetangga atau orang terdekat konsumen dalam hal konsumen sakit atau cacat, padahal tidak ada keluarga terdekat lainnya.

Konsumen yang tidak dapat mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa dan/atau memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka tidak ada salahnya kuasa disitu (bukan kuasa hukum) diperkenankan mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen secara tidak tertulis.

c. Tahap Putusan

Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dibedakan atas 2 jenis putusan yaitu:158

1. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa dengan cara konsiliasi atau mediasi. Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

156 Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis ( Alternative Dispute Resolution ) :

Tehnik & Strategi dalam Negoisasi, Mediasi & Arbitrase, ( Bandung : PT. Ghalia Indonesia,2010)

hal 17

157 Lihat Pasal 5 ayat (5) surat keputusan Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 158 Suyud Margono, Op Cit., hal 53


(1)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat-Nya dan karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dengan program kekhususan Hukum Perdata BW.

Skripsi ini berjudul “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN JASA TUKANG GIGI BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai kelemahan dan kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini di masa mendatang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(2)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M.H.,D.F.M., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH. M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Prof. Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak M. Husni S.H.M.H , Selaku dosen pembimbing I penulis, yang telah banyak memberikan dukungan, nasehat, dan bimbingan kepada penulis

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH. M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam membimbing dan memberikan saran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini 8. Bapak M.Hayat SH.M.H, yang telah memberikan nasihat dan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis

9. Bapak dan ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta seluruh pegawai tata usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Orang tua saya yang tercinta Bapak saya, Jonny Sitohang SH.MH yang tak henti-hentinya memberikan semangat pada penulis dalam perkuliahan,


(3)

mendoakan dan memberi semangat pada penulis mulai dari sejak perkuliahan sampai akhirnya dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Abang saya yang sangat saya sayangi Daud JR Sitohang S.H, Harun Sitohang S.H, M.H, dan Adekku Justin Sitohang yang selalu memberi semangat dalam perkuliahan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Abang saya Zorro S.H.M.H yang selalu memberikan kegembiraan dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Buat sahabatku Andreas Jonathan Siregar S.H, Bahari Sitinjak S.H, Frans Josua S.H ,Cahya Wijaya S.H, dan Frihard D. Sitinjak S.E yang selalu menemani disaat suka maupun duka dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Kepada Naposo Bulung HKBP Eprata yang selalu memberikan kekuatan

doa bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini

15. Kepada teman - temanku Group B penulis mengucapkan terima kasih telah menemani selama 3 tahun yang singkat ini dan buat yang masih bergelut dalam skripsinya cepatlah menyusul. In The Name of GOD

16. Seluruh teman-teman penulis khususnya Angkatan 2012, yang telah banyak memberi semangat dan dukungan kepada penulis hingga akhirnya penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang.

Medan, April 2016 Penulis,

Daniel Partogi Sitohang


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 7

D. Keaslian penulisan ... 8

E. Metode penelitian ... 9

F. Sistematika penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999 ... 16

A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen... 16

B. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ... 22

C. Asas, Prinsip, dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ... 27

D. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 33

E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 36

BAB III TINJAUAN UMUM PELAYANAN JASA TUKANG GIGI ... A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Ilmu Ortodonti ... 40


(6)

C. Sarana Tukang Gigi untuk Memberikan Jasa Kesehatan Kepada

Konsumen ... 49

D. Peran Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah Terhadap Praktik Tukang Gigi ... 52

E. Hak dan Kewajiban Konsumen terkait Praktik Tukang gigi ... 54

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMASANGAN BEHEL OLEH TUKANG GIGI DI MEDAN ... 57

A. Hubungan Transaksi antara Konsumen dengan Jasa Tukang Gigi ... 57

B. Bentuk Tanggung Jawab Tukang Gigi terhadap Konsumen Pengguna Behel ... 62

C. Bentuk Penyelesaian Sengketa yang Timbul antara Konsumen dan Ahli Tukang Gigi ... 75

BAB V PENUTUP ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU NO.8 Tahun 1999 (Studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan )

2 82 103

Perlindungan Konsumen Terhadap Jasa Pelayanan Tukang Gigi Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12 99 88

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

0 1 8

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

0 0 1

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

3 6 14

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

0 1 24

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Jasa Tukang Gigi Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Tempat Usaha Tukang Gigi di Kota Medan)

0 0 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS JASA TUKANG GIGI DI KOTA PANGKALPINANG SKRIPSI

0 0 14

Perlindungan hukum terhadap konsumen atas jasa tukang gigi di Kota Pangkalpinang - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 18

TANGGUNG JAWAB HUKUM PEKERJAAN TUKANG GIGI TERHADAP KONSUMEN PENERIMA JASA TUKANG GIGI DI KOTA SEMARANG - Unika Repository

0 0 15