tabung ke II ditetesi MgHCl, Tabung III ditetesi H
2
SO
4
p, tabung IV ditetesi NaOH 10. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat hasilnya.
b. Uji Alkaloid
Biji blustru yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasukkan dalam Erlenmeyer yang berisi methanol. Kemudian dipanaskan dan disaring. Ekstrak yang
telah terbentuk dimasukkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi reagen Meyer, tabung II ditetesi reagen Wagner, Tabung III ditetesi pereaksi Bouchard,
tabung IV ditetesi pereaksi Dragendorf. Kemudian diamati endapan yang terjadi dan dicatat hasilnya.
c. Uji Steroid
Biji blustru yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasukkan dalam Erlenmeyer yang berisi n-heksan. Kemudian dipanaskan dan disaring. Ekstrak yang
telah terbentuk dimasukkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO
4
1, tabung ke II ditetesi reagen Salkowsky H
2
SO
4
p, Tabung III ditetesi larutan Libermen-Bouchard. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat
hasilnya.
d. Uji Terpenoid
Biji blustru yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasukkan dalam Erlenmeyer yang berisi kloroform. Kemudian dipanaskan dan disaring. Ekstrak yang
telah terbentuk dimasukkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO
4
, tabung ke II ditetesi reagen Salkowsky H
2
SO
4
p, Tabung III ditetesi larutan Libermen-Bouchard. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat
hasilnya.
3.3.4 Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat TU dan Ekstrak Biji Blustru Luffa aegyptica Roxb.
Testosteron undekanoat TU 1000gmL buatan Schering AG Jerman dan ekstrak biji Blustru Luffa aegyptica Roxb. 270 mg25 g BB mencit jantan ekstraksi air
Injeksi TU 0,25mgekor interval 6 minggu
Ambil sampel
Pencekokan ekstrak biji blustru 270 mgekormencit
jantan setiap hari
Minggu dengan prosedur standar setelah di dapatkan di Balai Penelitian Pertanian Medan
dirancang jumlahnya dengan membandingkan dosis yang diberikan pada manusia. Perbandingan berat relawan 50 kg=50.000 g dengan mencit adalah 25 g adalah
2000:1. Pada uji klinik digunakan 500 mg TU, maka dosis penyuntikan pada tiap ekor mencit adalah 12000x500 mg TU = 0,25mg TU Moeloek et al, 2008; Ilyas, 2007.
Sedangkan ekstrak biji blustru 270 mg25 g berat badan mencit Dian et al,1998; Ilyas, 2003. Interval waktu injeksi intramuskular TU 6 minggu dan pencekokan
ekstrak biji blustru setiap hari.
Perlakuan penyuntikan TU dan pencekokan ekstrak biji blustru ditampilkan dalam bentuk skema pada Gambar 3.3.4 berikut. Kondisi penelitian terdiri dari lima
5 bagian perlakuan dan 5 lima bagian kontrol.
Gambar 3.3.4 Jadwal kegiatan Pemberian TU+Luffa aegyptica Roxb. Selama 24 Minggu
3.3.5 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 kelompok perlakuan P1 sd P5 dan 5 kelompok kontrolK1 sd K5 Tabel 3.3.5.
6 12
18 24
Tabel 3.3.5 Model Rancangan Penelitian
Minggu Kelompok
6 12
18 24
Kontrol K0 n=5
K1 n=5 K2 n=5
K3 n=5 K4
n=5 Perlakuan
P0 n=5 P1 n=5
P2 n=5 P3 n=5
P4 n=5
Pada Kontrol, K0 sampai K4 merupakan kontrol dari masing-masing perlakuan yang telah dirancang dengan jumlah masing-masing mencit 5 ekor. Sedangkan pada
Perlakuan, P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU interval 6 minggu dan pencekokan ekstrak biji blustru 270 mg25 g berat badan mencit jantanhari. Catatan;
dosis ekstrak biji blustru didasarkan pada dosis optimum penelitian Dian et al. 1998 dan Ilyas 2003 yakni 270 mg25 g BB mencit. Ulangan ditetapkan dengan rumus t-
1n-1 15 Frederer, 1963 dalam Ilyas, 2003, dimana t = perlakuan, dan r = ulangan
sehingga didapatkan ulangan sebanyak 5 kali. Penggunaan dosis TU didasarkan pada penelitian sebelumnya yang merekomendasikan pemakaiannya yakni 0,25 mg25 g
BB mencit6 minggu Moeloek et al, 2008; Ilyas, 2007.
3.4 Penentuan Kadar Testosteron
Mencit jantan yang telah diberi perlakuan dibedah. Kemudian diambil sampel darah dengan menggunakan jarum suntik yang sebelumnya sudah diberi heparin. Darah
diambil dan dimasukkan ke dalam box es kemudian dapat diperiksa kadar testosteron
di Laboratorium Klinik Pramita Medan. Pengamatan dilakukan pada setiap perlakuan
pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kadar testosteron diperiksa dengan menggunakan metoda ELFA Enzyme Link Fluorescent Assay. Solid Phase
Receptacle SPR yang digunakan pada pemeriksaan ini merupakan fase solid seperti pipet. Reagensia pada pemeriksaan ini siap digunakan dan tersimpan dalam satu
bungkus reagensia strip. Semua langkah pemeriksaan ini terjadi otomatis.
Sampel dimasukkan ke dalam well yang berisi Alkaline Phosphate berlabel testosteron Konjugat. Sample dan konjugat dicampur masuk dan keluar SPR pada
waktu tertentu dan kecepatan reaksi tertentu. Antigen akan berikatan dengan antibodi yang telah dilekatkan oleh SPR dan konjugat membentuk ikatan Sandwich.
Komponen yang tidak terikat akan dihilangkan pada saat pencucian. Pada langkah akhir reaksi substrat 4-methyl-umbelliferyl phosphate akan berputar masuk
dan keluar SPR. Enzim konjugat katalisator akan menghidrolisa substrat menjadi product fluorescent 4-methyl-umbelliferone. Fluoresensi ini diukur pada panjang
gelombang 450 nm. Intenstitasnya sebanding dengan konsentrasi testosteron dalam serum Ilyas, 2005.
3.5 Pengamatan
Cara pengukuran konsentrasi dan kualitas spermatozoa mengikuti standar WHO 1988 dalam Berna et al, 2010 sebagai berikut:
3.5.1 Penentuan Jumlah Spermatozoa
Untuk mendapatkan sperma dalam sekresi cauda epididimis dilakukan menurut Soehadi Arsyad 1983 dalam Julahir 2008, sebagai berikut: suspensi sperma
yang diperoleh dari cauda epididimis terlebih dahulu dihomogenkan dengan NaCl 0,9 1ml. Selanjutnya diambil sebanyak 1-2 tetes pipet tetes dan dimasukkan ke
dalam kotak-kotak hemositometer Improved Neubauer serta ditutup dengan kaca penutup. Dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali, hemositometer
diletakkan dan dihitung jumlah sperma pada kotakbidang A,B,C,D,dan E Gambar 3.5.1. Hasil perhitungan jumlahml suspensi sekresi cauda epididimis sebagai berikut:
Jumlah sperma = N2 x 10
5
spermaml suspensi
Dimana N= jumlah sperma yang dihitung pada kotak A,B,C,D,dan E.
Gambar 3.5.1 Kamar Hitung Improved Neubauer Zaneveld et al, 1977
3.5.2 Penentuan Motilitas Spermatozoa
Pemeriksaan motilitas spermatozoa dilakukan setelah penghitungan jumlah spermatozoa. Diamati dengan menggunakan mikroskop dengan melihat dan
menghitung jumlah spermatozoa yang bergerak cepat, tidak bergerak, dan bergerak lamban WHO, 1988.
3.5.3 Penentuan Viabilitas spermatozoa
Pemeriksaan viabilitas spermatozoa dilakukan pemberian pewarnaan Giemsa pada hemositometer. Spermatozoa yang hidup tidak berwarna dan yang mati berwarna.
Kemudian dilakukan pengamatan dengan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x dan dihitung terhadap 100-200 spermatozoa. Sebagai hasilnya dinyatakan dalam
bentuk persen hidup yang didapat dari hasil bagi jumlah spermatozoa hidup dengan jumlah total spermatozoa hidup dan mati yang dikalikan dengan 100 WHO, 1988.
Sperma hidup =
100 mati
hidup a
spermatozo hidup
a spermatozo
x 100
3.5.4 Penentuan Morfologi spermatozoa
Untuk menentukan morfologi sperma, sperma dari cauda epididimis yang ada di hemositometer diberi pewarnaan Giemsa kira 1-2 tetes di sekitar pinggiran cover
hemositometer. Kemudian dengan mikroskop cahaya dihitung jumlah 100 sperma, ditentukan persentasi sperma yang normal dan abnormal. Ciri sperma normal yaitu
mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing dan ekor panjang lurus, sedangkan sperma abnormal mempunyai bentuk kepala tidak beraturan, dapat berbentuk seperti
pisang, atau tidak beraturan amorphous, atau terlalu bengkok, dan ekornya tidak lurus bahkan tidak berekor, atau hanya terdapat ekornya saja tanpa kepala
WHO,1988.
Sperma Normal = 100
abnormal normal
a Spermatozo
Normal Sperma
x 100
3.6 Analisis Statistik
Data yang didapat dari setiap parameter variabel pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif variabel dependen yang didapatkan, diuji
kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan variabel independen dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 15. Urutan uji
diawali dengan uji normalitas, uji homogenitas. Apabila hasil uji menunjukkan p0,05 maka data tersebut ditransformasi dan dilanjutkan dengan uji non parametrik. Untuk
melihat perbedaan dari 2 perlakuan dilanjutkan uji Mann-Whitney, sedangkan untuk melihat perbedaan antara masing-masing kontrol dan perlakuan dilanjutkan uji
wilcoxon. Apabila hasil uji menunjukkan p0,05 maka dilanjutkan uji sidik ragam ANOVA satu arah untuk data dengan pengamatan berulang lebih dari 2 kali atau
lebih dari 2 perlakuan. Jika berbeda nyata p0,05 maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc-Bonferroni taraf 5. Untuk melihat perbedaan 2 perlakuan
dilakukan dengan uji t parametrik. Sebagai sumber keragaman dari uji sidik ragam ANOVA adalah: Perbedaan waktu pengamatan T mulai dari minggu ke-0
pertama perlakuan sampai minggu ke-24.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap studi kandungan testosteron plasma, kuantitas dan kualitas spermatozoa mencit Mus musculus L. setelah pemberian
kombinasi Testosteron Undekanoat TU dan ekstrak air biji blustru Luffa aegyptica Roxb. diperoleh hasil sebagai berikut:
4.1 Hasil Uji Skrining Fitokimia Biji Blustru Luffa aegyptica Roxb
Hasil uji skrining fitokimia biji blustru Luffa aegyptica Roxb dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4. 1 Hasil Skrining Fitokimia Biji Blustru Luffa aegyptica Roxb NO
Hasil Skrining Fitokimia Senyawa Bahan Alam Terhadap Biji BlustruLuffa aegyptica Roxb
Pengamatan 1
Senyawa Flavonoida +
2 Senyawa Alkaloida
+++ 3
Senyawa Steroida
+ 4
Senyawa Terpenoida ++
Keterangan: semakin banyak tanda + semakin besar kandungan senyawa yang terdapat pada biji blustru
Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa biji blustru memiliki kandungan senyawa flavonoida, alkaloida, steroida, dan terpenoida. Berdasarkan hasil pengamatan, senyawa alkaloida
merupakan senyawa yang paling banyak terkandung di dalam biji blustru. Alkaloid merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar yang pada umunya
mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Alkaloid yang terkandung dalam biji blustru berefek
sitotoksik. Efek sitotoksik tersebut menyebabkan gangguan metabolisme jumlah spermatid Arsyad, 1990. Menurut Alfaina 2002, bahwa senyawa alkaloid
menyebabkan menurunnya motilitas dan viabilitas sperma. Selain itu penurunan motilitas spermatozoa kemungkinan disebabkan oleh senyawa alkaloid yang diduga
dapat mengganggu aktifitas enzim ATP-ase pada membran sel spermatozoa dibagian tengah ekor Kong et al, 1985 dalam Nisa, 2004.