Indikator Daya Tahan Bank Syariah

2.4. Indikator Daya Tahan Bank Syariah

Daya tahan atau kondisi kesehatan keuangan dan non keuangan bank berdasarkan prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank maupun pihak lainnya. Kondisi bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko. Meningkatnya produk dan jasa perbankan syariah yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi bank berdasarkan prinsip syariah. Perubahan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank berdasarkan prinsip syariah secara keseluruhan. Penilaian tingkat kesehatan bank dan penilaian manajemen risiko dibedakan namun terdapat perpotongan antara keduanya. Dalam penilaian tingkat kesehatan telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank inherent risk yang merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko. Bank Indonesia, 2007 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik. Dengan kata lain, bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter. Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bank harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik, dikelola dengan baik dan dioperasikan berdasarkan prinsip kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi kewajibannya setiap saat. Selain itu, suatu bank harus senantiasa memenuhi berbagai ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang mengacu pada prinsip-prinsip kehati-hatian di bidang perbankan. Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL Capital, Assets Quality, Management, Earning, and Liquidity. Seiring dengan penerapan risk based supervision, penilaian tingkat kesehatan juga memerlukan penyempurnaan. Saat ini, BI sedang mempersiapkan penyempurnaan sistem penilaian bank yang baru, yang memperhitungkan sensitivity to market risk atau risiko pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang diperhitungkan dalam sistem baru ini nantinya adalah CAMEL. Kelima faktor tersebut memang merupakan faktor yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu bank mengalami permasalahan pada salah satu faktor, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan dan stabilitas bank tersebut akan terganggu. Pada tahun 2004 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan baru tentang struktur atau komponen penilaian kesehatan suatu perbankan syariah. Struktur ini yaitu CAMELS sebagai pengganti CAMEL dalam menilai kesehatan bank syariah tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 610PBI2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.623DPNP tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, yaitu Asset Quality, Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk. Sistem penilaian dengan 6 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating System. Jika dibandingkan dengan sistem penilaian kesehatan sebelumnya yaitu dengan metoda CAMEL tanpa faktor S yaitu Sensitivity to Market Risk sistem yang akan berakhir pada tahun 2011 ini memang lebih komprehensif, atau bisa diartikan lebih banyak komponen atau rasio-rasio yang dinilainya, termasuk penambahan komponen baru yaitu Sensitivity to market risk . Sebagai lembaga keuangan yang juga mengambil alih resiko dalam pengelolaan dana masyarakat, kepekaaan terhadap resiko pasar tidak bisa dipungkiri merupakan prinsip perbankan yang tidak bisa ditawar. Namun, Bank Indonesia akan lebih baik jika memperluas pengertian kepekaan tersebut dengan mendorong kepedulian bank terhadap pembangunan nasional yang terasa masih sangat kurang atau kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat yang telah rela menyimpan dananya di bank. Penilaian CAMELS tidak hanya bersifat kuantitatif saja, namun juga mempertimbangkan aspek kualitatif dalam bentuk expert judgment baik oleh penilai dari bank yang bersangkutan maupun oleh pemeriksa dari BI. Inilah perbedaan yang signifikan dari CAMELS dibandingkan CAMEL. Pada CAMEL, sebagian besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika dan sistem scoring dari hasil penilaian untuk setiap parameter, yaitu dengan skala 0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Sedangkan pada versi CAMELS menggunakan matriks penilaian yang tidak hanya sekedar pendekatan kuantitatif saja. Hasil akhirnya pun adalah komposit 1 yang identik sangat baik atau sehat sampai komposit 5 yang bisa dikategorikan buruk atau tidak sehat. Selain itu, penilaian tingkat kesehatan bank syariah dapat dilakukan dengan cara kuantitatif, yaitu melihat nilai NPF Non Performing Financing, ROE return on Equity serta ROA Return on Asset. NPF merupakan rasio pembiayaan bermasalah suatu bank syariah terhadap total seluruh pembiayaan yang diberikan bank. Apabila nilai NPF semakin besar, maka bank dalam keadaan tidak sehat. Selain itu, untuk mengukur kinerja perbankan yang lainnya yaitu dengan menggunakan Return on Assets ROA. ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin besar rasio ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Rasio lain yaitu Return on Equity ROE dapat pula digunakan dalam mengukur kinerja perbankan. ROE merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin tinggi rasio ini berarti bahwa tingkat keuntungan yang dicapai bank semakin besar sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.

2.5. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Syariah