Steeman sendiri mendefinisikan nilai sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang memberi makna pada hidup, yang memberi
acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai
itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan
etika.
22
Nilai merupakan preferensi yang tercermin dari prilaku seseorang, sehingga seseorang akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung
pada sistem nilai yang dipegangnya.
23
Nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan dan keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dapat
dihargai dan dijunjung tinggi.
24
Dalam pandangan Kalven nilai mempunyai peranan begitu penting dan banyak di dalam hidup manusia, sebab nilai selain
sebagai pegangan hidup, menjadi pedoman penyelesaian konflik, memotivasi dan mengarahkan hidup manusia.
25
Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil
sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan itulah yang disebut nilai.
26
2. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan adalah bagian dari proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.
27
Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan ialah
proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal maupun informal
meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup
28
. Sedangkan pendidikan dalam perspektif Islam adalah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan
pada ajaran Islam. Karena ajaran Islam berdasarkan al-Qur’an, Sunnah,
22
Sjarkawi, op.cit, h. 56
23
Ibid
24
Ibid 57
25
Ibid, h. 59
26
Muhammad Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2002 cet I h. 187
27
Fadillah Suralaga, op.cit, h. 39
28
Ibid, hal 21
pendapat ulama serta warisan sejarah, maka pendidikan Islam pun mendasarkan diri pada al-Quran, sunnah, pendapat para ulama serta warisan
sejarah tersebut.
29
Pendidikan dalam perspektif Islam juga dikatakan sebagai suatu usaha membentuk manusia harus mempunyai landasan keimanan, dan
kepada landasan itulah semua kegiatan dihubungkan.
30
Menurut Hasan Basri penambahan pem-, akhiran –an, mempunyai makna sifat dari perbuatan membina atau melatih, atau mengajar dan mendidik itu
sendiri. Oleh karena itu pendidikan merupakan pembinaan, pelatihan, pengajaran, dan semua hal yang merupakan bagian dari usaha manusia untuk
meningkatkan kecerdasan dan keterampilannya.
31
Pengertian pendidikan menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, pendidikan adalah proses mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam
masyarakat.
32
Menurut Hasan Langgulung pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola
tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.
33
Dalam sebuah Konferensi Pendidikan Islam sedunia yang ke-2, pada tahun 1980 di Islamabad, pendidikan adalah:
Education should aim at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self,
feeling, and bodily sense. Education should therefore cater for thr growth of man in all it’s aspect, spiritual, intellectual, and motivate all
these aspects toward goodness and attaintment of perfection. The ultimate aim for education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of individual, the community and humnanity at large.
Pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh, dengan cara
melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian,
29
Abuddin Nata, Filsafat…….., op.cit h. 29
30
Djunaidatul Munawaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan Perspektif Islam dan Umum, Ciputat, UIN Jakarta Pers: 2003 cet I h. 109
31
Hasan Basri, op.cit h. 53
32
Abuddin Nata, Ilmu…., op.cit h. 28
33
Ibid, h. 28
pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya: spiritual, intelektual, daya imaginasi, fisik, keilmuan, dan
bahasa, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Tujuan akhir pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah SWT, baik pada tingkat individual,
maupun masyarakat dan kemanusiaan secara luas.
34
Dari beberapa pengertian di atas, maka pendidikan adalah suatu proses penanaman potensi dalam diri anak, dimana proses tersebut memberikan
perkembangan kepada anak didik untuk terus berkembang menuju kedewasaan dengan menanamkan nilai-nilai moral agama dan keterampilan
yang di dalamnya mengandung pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik agar berguna untuk dirinya dan masyarakat sekitar.
Sedangkan pengertian dari sisi akhlak, menurut Moh. Ardani, ditinjau dari segi bahasa, kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab akhlaq yang berarti
“perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”.
35
Secara bahasa kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang
begitu adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas.
36
Yatimin Abdullah sendiri mendefinisikan akhlak berdasarkan bahasa sebagai berikut :
Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah
manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani, pengertian khuluq ini disamakan dengan kata
ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian
berubah menjadi etika.
37
Kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
34
Ibid, h. 30-31
35
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai AkhlakBudi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: Karya Mulia, 2005, cet. II, h. 25.
36
Ibid.
37
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007, cet. I, h. 2-3.
٤: ﻢﻠﻘﻟﺍ ٍﻢﻴِﻈَﻋ ٍﻖُﻠُﺧ ٰﻰَﻠَﻌَﻟ َﻚﱠﻧِإَو
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Q.S. Al-Qalam: 4
Menurut Ahmad Amin dalam buku Etika Ilmu Akhlak, bahwa akhlak itu kebiasaan atau kehendak. Berarti apabila membiasakan sesuatu maka
kebiasaannya itu disebut akhlak. Dan bila kehendak itu membiasakan memberi, kebiasaan kehendak ini ialah akhlak dermawan.
38
Perilaku adalah gambaran dan bukti adanya akhlak, maka bila kita melihat seseorang yang
memberi secara berkala maka ini menunjukkan kita bahwa terdapat akhlak di dalam dirinya. Bila perbuatan yang dilakukan hanya sekali atau dua kali,
maka hal ini tidak menunjukkan akhlak. Akhlak dibentuk dengan perbuatan baik yang terus-menerus.
Dari beberapa definisi akhlak di atas, kita dapat mengerti bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih,
sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan yang mudah dan spontan tanpa dipikirkan
dan diangan-angan lagi.
39
Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia akhlak karimah. Proses tersebut tidak
terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara total.
40
Pendidikan akhlak juga dapat diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas
kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan akhlak juga berarti menumbuhkan kepribadian dan menanamkan
tanggung jawab.
41
38
Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998, cet VIII h. 62
39
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung, CV Pustaka Setia: 2014 cet VI h. 15
40
Bukhari Umar, Hadits Tarbawi Pendidikan Dalam Prespektif Hadits, Jakarta; Bumi Akhsara, 2012, cet I h.. 42
41
Yatimin Abdullah, op. cit., h. 22