Masyarakat yang merasakan hasil dari ekowisata akan merasa tergerak untuk ikut melindungi alam yang menjadi daya tarik ekowisata tersebut dan
menjaga lingkungan dari kerusakan. Hal yang paling penting adalah meyakinkan dan membuktikan kepada penduduk setempat bahwa ekowisata memang dapat
memberikan keuntungan kepada penduduk setempat Panos, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000, sebab tanpa bukti nyata mereka tidak akan termotivasi untuk
mendukung dan terlibat didalamnya Harrison, 1995 seperti dikutip oleh Sugiarti, 2000. Keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata pada penelitian ini akan
ditinjau berdasarkan konsep partisipasi
2.4.1 Konsepsi Partisipasi
Masyarakat
Secara umum partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang dimulai dari perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi. Ada pula yang mengartikan partisipasi atau peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua
kelompok, kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan non elit dan yang selama ini melakukan pengambilan
keputusan elit Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992. Adapun tentang partisipasi masyarakat ini ada yang beranggapan bahwa
tidak diperlukan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat secara langsung karena masyarakat telah terwakili oleh wakil mereka di lembaga perwakilan legislatif
yang dipilih melalui pemilihan umum. Namun melihat kenyataan bahwa para wakil rakyat tersebut sering kali tidak lagi menyuarakan kepentingan
konstituennya. Hampir semua keputusan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak dilakukan oleh eksekutif maka partisipasi masyarakat diperlukan untuk proses pendemokratisasian dalam pengambilan keputusan di tingkat legislatif dan
eksekutif Santosa, 1990 seperti dikutip oleh Afif, 1992. Melibatkan masyarakat dalam usaha ekowisata juga dapat menimbulkan
perasaan memiliki dan keinginan untuk berkontribusi dari masyarakat terhadap penerapan program ekowisata di daerah tersebut. Untuk melakukan hal ini,
diperlukan pendekatan partisipatif yang akan memakan waktu yang lama, tetapi dengan pendekatan ini ternyata akan dapat mengurangi atau menghindari
terjadinya konflik antar pihak yang terlibat. Lebih jauh lagi, dengan partisipasi akan terjadi peningkatan harapan masyarakat luas terhadap pemenuhan kebutuhan
mereka. Masyarakat akan bersedia untuk menerima tanggung jawab, peran dan
resiko ketika bekerjasama dengan pihak pemerintah, swasta maupun mitra dalam proses pengembangan program ekowisata. Ketika kondisi ekonomi menjadi
semakin sulit, serta lebih sedikit dana masyarakat yang tersedia untuk melaksanakan program pengembangan ekowisata ini maka mitra di luar lembaga
pemerintah dapat selalu berperan, baik dalam hal uang ataupun hal lain. Kemitraan dapat membantu memelihara atau meningkatkan pelayanan kepada
publik. Tingkat keterlibatan masyarakat melalui kemitraan terhadap usaha
ekowisata diharapkan tinggi. Pengelola kawasan ekowisata biasanya selalu enggan untuk melibatkan masyarakat, dengan alasan bahwa masyarakat biasanya
apatis dan membuang-buang waktu. Dampaknya, masyarakat juga tidak merasa memiliki dan tidak ingin berkontribusi pada program ekowisata tersebut.
Kemitraan yang dibina dalam usaha ekowisata lebih diarahkan bagi para pihak yang telibat di dalamnya untuk saling bertukar informasi, dana dan tenaga
sehingga terdapat pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang nantinya diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Pengelola memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendekatan partisipasi terhadap masyarakat. Hal inilah yang coba diterapkan dalam ekowisata
berbasis masyarakat dimana terdapat distribusi sebagian kekuasaan dari pengelola kepada masyarakat agar mereka juga dapat mengelola kawasan sesuai dengan
kebutuhan dan pengetahuan lokal masyarakat. Sebagaimana pengamatan Arnstein 1969 seperti dikutip oleh Mitchell 1997, sebuah pendekatan partisipasi
menunjukkan distribusi kekuasaan dari pengelola ke masyarakat. Berdasarkan hal ini, Arnstein berpendapat bahwa berbagai tingkatan pelibatan dapat
diindentifikasikan, mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pelimpahan kekuasaan seperti yang dipaparkan pada Tabel 1. Critical review terhadap
kelemahan teori Arnstein ini adalah bahwa konsep partisipasi yang didefinisikan ternyata diukur dari delapan variabel yang ditinjau dari sudut pandang pihak yang
mendorong partisipasi dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Tabel 1. Delapan Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arnstein 1969
Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan
Tingkatan Pembagian Kekuasaan
1. Manipulasi 2. Terapi
Komitmen resmi Pemegang kekuasaan
mendidik masyarakat Tidak ada partisipasi
3. Pemberitahuan 4. Konsultasi
5. Placation Hak-hak masyarakat dan
pilihan-pilihannya diidentifikasikan
Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai
sarannya Saran masyarakat
diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan
Tokenism
6. Kemitraan 7. Pendelegasian
kekuasaan 8. Kontrol Masyarakat
Timbal balik dinegosiasikan
Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian
atau seluruh program Tingkatan kekuasaan
masyarakat
Tingkatan 1 dan 2 yaitu manipulasi dan terapi merupakan partisipasi yang bersifat mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein
menganggap itu bukan bentuk partisipasi. Tingkatan 3 sampai dengan 5 yaitu
pemberitahuan, knsultasi dan placation termasuk dalam tingkatan kekuasaan
״tokenism ״, dimana rakyatmasyarakat diperbolehkan mengeluarkan pendapat
dan pendapat mereka didengarkan namun masyarkat tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan dipertimbangkan oleh
pihak pengambil keputusan. Pemegang kekuasaan lebih menentukan semua keputusan. Sedangkan pada tingkatan 6 sampai dengan 8 yaitu kemitraan,
pendelagasian kekuasaan dan kontrol masyarakat, rakyat mempunyai pengaruh didalam proses pengambilan keputusan, pada tingkatan ini masyarakat dan
pemerintah melakukan proses tawar menawar. Dalan studi ini, tingkatan
partisipasi Arnstein akan diaplikasikan dari sudut pandang warga masyarakat yang memanfaatkan usaha ekowisata yang terdapat di Kepulauan Seribu.
Tingkatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1.
Manipulasi manipulation. Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif
tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi
untuk mendidik atau ”menyembuhkan” partisipan masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum.
2.
Terapi therapy. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat
terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat
tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan
untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan
yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3.
Informasi information. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak
terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan
kesempatan melakukan tangapan balik feed back. 4.
Konsultasi consultation. Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah
bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan
bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.
5.
Penentraman placation. Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan
sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan.
Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut.
Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan. 6.
Kemitraan partnership. Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan
masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan
keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan.
7.
Pendelegasian kekuasaan delegated power. Ini berarti bahwa pemerintah
memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program.
8.
Pengendalian warga citizen control. Dalam tangga partisipasi ini,
masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.
2.4.2 Manfaat Partisipasi Masyarakat