Perkembangan larva chironomida m 5 m

70 3 6 9 12 15 18 21 p a n ja n g t o ta l tu b u h m m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Hari ke- 3 6 9 12 15 18 21 P a n ja n g t o ta l tu b u h m m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- 3 6 9 12 15 18 21 P a nj a ng t o ta l t ub uh m m 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Gambar 24. Sebaran nilai panjang total tubuh mm larva Chironomus setiap hari pada penambahan bahan organik 0 mgL a; 0,5 mgL b; dan 1,0 mgL c. c b a 0,6506 R 2 6729 , 1 9764 , 5 H exp 1 Ln 7209 , 1 L Ln       0,6735 2 R 3266 , 1 0188 , 6 H exp 1 Ln 8202 , 1 L Ln       71 Berdasarkan data hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa panjang larva chironomida yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu menunjukkan pola pertumbuhan tertentu. Pada pola tersebut terdapat 3 fase pertumbuhan, yaitu fase awal dengan peningkatan panjang lambat, fase logaritmik dengan peningkatan cepat, dan fase stasioner dengan peningkatan sangat lambat bahkan stagnan. Pola pertumbuhan populasi yang mengikuti 3 fase tersebut merupakan ciri dari pertumbuhan sesuai dengan model pertumbuhan sigmoid. Populasi larva Chironomus sp. yang ada di kedua perlakuan penambahan bahan organik menunjukkan pola pertumbuhan sigmoid tersebut, masing-masing dengan nilai R 2 sebesar 0,6506 untuk perlakuan penambahan bahan organik 0,5 mgL dan 0,6735 untuk perlakuan 1,0 mgL. Pada kedua perlakuan penambahan bahan organik tampak bahwa fase awal terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke- 4, fase logaritmik pada hari ke-4 hingga hari ke-11,dan fase stasioner pada hari ke- 11 hingga hari ke-21. Periode perlambatan penambahan ukuran panjang total tubuh pada kedua perlakuan dimulai di hari ke-11 pada ukuran 4,4083 mm bahan organik 0,5 mgL dan 4,8556 mm bahan organik 1,0 mgL. Kajian mengenai pertumbuhan larva Polypedilum dilakukan berdasarkan data yang berasal dari kegiatan peletakan substrat buatan di Danau Lido. Pertumbuhan larva Polypedilum dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ialah ketersediaan makanan, bahan organik, dan kualitas lingkungan akuatik yang ditunjukkan dengan nilai parameter kualitas air. Pola pertumbuhan dapat digambarkan dengan hubungan panjang dan berat suatu individu. Berdasarkan informasi bahwa larva chironomida memiliki empat instar, pola pertumbuhan dibuat dengan mempertimbangkan batas instar ini. Gambar 25 memperlihatkan pola hubungan panjang dan berat larva Polypedilum setiap instar pada substrat buatan di lokasi KJA dan Non-KJA. Berdasarkan nilai koefisien determinasi dari setiap model persamaan, persamaan yang diperoleh dapat menjelaskan grafik dengan baik b berkisar antara 2,5741- 3,6205. Laju pertumbuhan dapat dilihat dari nilai koefisien b. Pada larva Polypedilum di lokasi KJA laju pertumbuhan berkisar antara 2,7771-3,6205, dengan nilai terbesar ada pada instar I dan terkecil pada instar IV. Pada lokasi 72 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 B io m a ss a m g 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 Panjang total mm Gambar 25. Grafik pola hubungan panjang-berat larva Polypedilum pada substrat buatan berturut-turut dari atas ke bawah pada instar 1 sampai dengan instar 4 di lokasi KJA kiri dan Non-KJA kanan. KJA Non-KJA Inst a r I Inst a r I I Inst a r I II Inst a r I V 322 9407 , 0047 , 2 1 6205 , 3 1 1    N R L W 131 9532 , 0086 , 2 1 8851 , 2 1 1    N R L W N N N 649 9141 , 0077 , 2 2 0462 , 3 2 2    N R L W 158 9594 , 0075 , 2 1 9997 , 2 2 2    N R L W N N N 696 9192 , 0059 , 2 3 2747 , 3 3 3    N R L W 96 9636 , 0086 , 2 3 8803 , 2 3 3    N R L W N N N 58 9732 , 0137 , 2 4 5741 , 2 4 4    N R L W N N N 503 9471 , 0112 , 2 4 7771 , 2 4 4    N R L W 73 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 B io m a ss a m g 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 2 3 4 5 6 7 8 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 Panjang total mm Gambar 26. Grafik pola hubungan panjang-berat larva Polypedilum pada substrat buatan yang dilindungi jaring berturut-turut dari atas ke bawah pada instar 1 sampai dengan instar 4 di lokasi KJA kiri dan Non-KJA kanan. 117 0,7301 0,0071 2 1 2,6558 1 1    N R L W 360 0,7416 0,0063 2 2 2,9333 2 2    N R L W Inst a r I Inst a r I I Inst a r I II Inst a r I V KJA Non-KJA 496 0,8731 0,0038 2 4 3,3442 4 4    N R L W 325 0,7699 0,0068 2 3 2,9064 3 3    N R L W 81 0,5970 0,0096 2 4 2,7102 4 4    N R L W N N N 118 0,6995 0,0057 2 2 3,0296 2 2    N R L W N N N 44 0,5952 0,0083 2 1 2,3725 1 1    N R L W N N N 56 0,7590 0,0065 2 3 2,9130 3 3    N R L W N N N 74 Non-KJA, nilai ini berkisar antara 2,5741-2,9997, dengan nilai terbesar pada instar II dan terkecil pada instar IV. Secara umum laju pertumbuhan di lokasi KJA lebih besar daripada di lokasi Non-KJA P0,05; Lampiran 14. Gambar 26 menunjukkan pola hubungan panjang dan berat Polypedilum setiap instar pada substrat buatan yang dilindungi jaring di lokasi KJA dan Non- KJA. Secara umum laju pertumbuhan di KJA tidak berbeda nyata dibandingkan laju pertumbuhan di lokasi Non-KJA P0,05; Lampiran 15 yang dapat dilihat dari nilai konstanta pangkat dari ukuran panjang total larva.

4.1.6. Produktivitas larva chironomida

Produktivitas menggambarkan nilai pertambahan biomassa suatu individu atau populasi di suatu lokasi pada waktu tertentu. Secara umum produktivitas sekunder dari suatu biota perairan dapat diduga berdasarkan kohort atau populasi dari umur yang sama. Pada penelitian di laboratorium terhadap larva Chironomus , terdapat kohort yang sama, karena larva pada masing-masing perlakuan dan ulangan berasal dari satu massa telur. Penghitungan nilai produktivitas larva Chironomus dilakukan menggunakan teknik kohort dengan metode jumlah-penambahan increment-summation method . Penghitungan hanya dilakukan pada perlakuan penambahan bahan organik 0,5 mgL dan 1,0 mgL Lampiran 16 dan 17, karena kedua perlakuan tersebut menghadirkan data perkembangan larva sejak awal hingga akhir pengamatan saat larva berubah dari tetasan planktonik hingga menjadi pupa. Pada Tabel 11 ditampilkan data produktivitas larva Chironomus gm 2 tahun pada kedua perlakuan penambahan bahan organik. Berdasarkan data pada Tabel 11 diperoleh informasi bahwa berat rata-rata individu pada perlakuan 0,5 mgL kurang dari berat rata-rata individu pada perlakuan bahan organik 1,0 mgL. Biomassa rata-rata pada perlakuan 0,5 mgl adalah 0,045 gramm 2 , sedangkan pada perlakuan 1,0 mgL sebesar 0,062 gramm 2 . Produktivitas larva Chironomus pada perlakuan 0,5 mgL dan 1,0 mgL berturut-turut adalah 1,86 gramm 2 bulan dan 3,08 gramm 2 bulan. Rasio PB kohort dan rasio PB tahunan untuk perlakuan 0,5 mgL serta 1,0 mgL adalah 2,4 dan 42,4 serta 2,9 dan 50,2. 75 Tabel 11. Nilai produktivitas larva Chironomus menggunakan metode jumlah- penambahan increment-summation method pada penambahan bahan organik 0,5 mgL dan 1,0 mgL Perlakuan Bahan Organik 0,5 mgl 1,0 mgl Rata-rata N indm 2 106 110 Rata-rata W mg 0.4146 0.5499 B gm 2 0,045 0,062 P gm 2 tahun 1,86 3,08 PB kohort 2,4 2,9 PB tahunan 42,4 50,2 Dalam penelitian di lokasi Danau Lido, luasan yang digunakan dalam penghitungan produktivitas sekunder adalah substrat buatan yang luasannya telah dikonversi ke meter persegi dan waktu dalam satu bulan. Larva chironomida yang dapat dihitung produktivitasnya adalah Polypedilum berdasarkan kelengkapan data yang dimiliki genus ini. Metode yang digunakan untuk menghitung produktivitas larva Polypedilum mengikuti teknik Non-Kohort dengan menggunakan metode frekuensi-ukuran size-frequency method Benke Huryn 2007. Pada Tabel 12 dicantumkan data produktivitas larva Polypedilum gm 2 bulan pada dua posisi substrat buatan di kedua lokasi penelitian. Tahap penghitungan data dari Tabel 12 disampaikan pada Lampiran 18-21. Tabel 12. Nilai produktivitas larva Polypedilum pada substrat buatan di lokasi KJA K dan Non-KJA N di kedalaman 1 m dan 2 m Lokasi-Kedalaman K-1 K-2 N-1 N-2 Jumlah selang kelas 12 12 12 12 Rata-rata N indm 2 148 74 38 17 Rata-rata W mg 0,0699 0,0677 0,0620 0,0642 B gm 2 2,4188 1,4396 0,3740 0,1209 P gm 2 tahun 9,8927 5,5420 1,9037 0,5794 PB kohort 4,1 3,8 5,1 4,8 PB tahunan 49,1 46,2 61,1 57,5 76 Berdasarkan data pada Tabel 12 diperoleh informasi bahwa berat rata-rata larva Polypedilum pada lokasi KJA lebih besar daripada berat rata-rata larva Polypedilum pada lokasi Non-KJA. Biomassa rata-rata pada lokasi KJA 1 dan 2 m adalah 2,4188 gramm 2 dan 1,4396 gramm 2 ; sedangkan pada lokasi Non-KJA 1 dan 2 m adalah 0,3740 gramm 2 dan 0,5794 gramm 2 . Produktivitas larva Polypedilum pada lokasi KJA 1 dan 2 m serta Non-KJA 1 dan 2 m berturut-turut adalah 9,8927 gramm 2 tahun, 5,5420 gramm 2 tahun, 1,9037 gramm 2 tahun, dan 0,5794 gramm 2 tahun. Rasio PB kohort dan rasio PB tahunan untuk setiap lokasi dan kedalaman adalah berturut-turut 4,1; 3,8; 5,1; dan 4,8 serta 49,1; 46,2; 61,1; dan 57,2.

4.1.7. Hubungan bahan organik dengan larva chironomida

Peningkatan biomassa pada suatu biota dapat terjadi dengan adanya masukan nutrisi sebagai makanan untuk menambah biomassa. Dalam hal penambahan biomassa larva chironomida, input nutrisi ini diekspresikan dalam bentuk bahan organik baik dalam bentuk detritus maupun organisme autotrof mengingat keragaman makanan dari larva chironomida. Pada penelitian digunakan nilai COD dan klorofil-a sebagai wakil dari jenis bahan organik. Sesuai ketersediaan data, maka informasi mengenai hubungan larva chironomida dengan bahan organik menggunakan data larva Polypedilum. Sebelum dilakukan pengujian untuk menghubungkan larva Polypedilum dengan bahan organik di lokasi penelitian, dilakukan pengujian terhadap ukuran panjang total larva pada kedalaman yang berbeda di masing-masing lokasi. Berdasarkan uji-t berpasangan terhadap ukuran panjang total, tidak terdapat perbedaan antara kedalaman 1 m dengan 2 m P 0,05, baik untuk lokasi KJA maupun untuk lokasi Non-KJA Lampiran 22. Dengan demikian data yang digunakan adalah data gabungan dari dua kedalaman bagi larva instar III di lokasi KJA. Larva Polypedilum yang digunakan dalam penentuan hubungan bahan organic dengan larva adalah larva instar III. Pemiihan ini dilakukan disesuaaikan dengan ketersediaan data. Berdasarkan analisis regresi berganda terhadap larva Polypedilum di lokasi KJA diperoleh persamaan sebagai berikut. Polypedilum = 2,557 + 0,020 COD - 3,266AFDM - 11,768Chl-a 77 Berdasarkan persamaan regresi berganda tersebut, dapat dilihat bahwa larva Polypedilum lebih dipengaruhi oleh nilai COD dengan R 2 =99 Lampiran 18. Untuk lokasi Non-KJA, dengan menggunakan regresi berganda tidak terdapat hubungan antara larva Polypedilum dengan bahan organik. Untuk memastikan digunakan regresi sederhana antara larva Polypedilum dengan masing tipe bahan organik. Tidak terdapat hubungan antara larva dengan COD dan AFDM, akan tetapi terdapat keeratan hubungan antara larva Polypedilum dengan kandungan klorofil-a meskipun hanya dengan R 2 = 79,4 Lampiran 23.

4.2. Pembahasan

Posisi kedalaman substrat buatan di dalam air menjadi titik tolak kajian mengenai produktivitas larva chironomida di perairan yang kaya bahan organik. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan terlihat bahwa faktor kedalaman bukan menjadi penentu manakala kandungan bahan organik di perairan tersebut berlebih. Berlebihnya bahan organik seringkali diiringi penurunan kandungan oksigen terlarut di dalam air. Hal ini diduga kuat merupakan faktor penentu distribusi vertikal larva chironomida di perairan tergenang. Meskipun larva chironomida pada umumnya toleran terhadap kandungan bahan organik, tampaknya kandungan oksigen terlarut menjadi pembatas keberadaannya di perairan tersebut. Heinis Davids 1993 dalam penelitiannnya mengenai larva chironomida di substrat dasar perairan dengan berbagai kedalaman juga menemukan bahwa ketersediaan oksigen menjadi pembatas keberadaan dan penyebaran larva chironomida. Hal ini diperkuat penelitian Real et al. 2000 yang menemukan bahwa larva Chironomus berkorelasi negatif dengan kedalaman perairan, suhu perairan, dan kandungan H 2 S di dasar perairan, namun larva menunjukkan preferensi yang nyata terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi. Saat kandungan oksigen dalam perairan sangat rendah, larva Chironomus anthracinus akan kehilangan sebagian besar cadangan energinya. Bahkan jika kondisi anaerob berlangsung lama, larva jenis ini dapat menjadi dorman. Nilai kritis kandungan oksigen yang dapat ditolerir larva Chironomus anthracinus adalah 2-3 mgL Hamburger et al. 2000 in Dettinger-Klemm 2003. Dettinger- 78 Klemm 2003 dalam penelitiannya menemukan bahwa selain pembentukan kondisi dorman, level oksigen terlarut yang rendah juga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan yang dapat mempengaruhi ukuran individu ketika dewasa. Kisaran kandungan oksigen terlarut di kedalaman 3,5 m dan 5 m saat penelitian tergolong rendah bahkan tidak ada 0 mgL di kedalaman 5 m, terutama di lokasi KJA. Hal ini dijadikan sebagai dasar pemilihan posisi kedalaman 2 m sebagai posisi untuk mengkaji penelitian lanjutan mengenai perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida di lokasi KJA dan Non-KJA. Tingginya bahan organik dapat mendukung penambahan biomassa dari larva chironomida. Hal ini dapat menjadi pemicu percepatan penggantian kulit pada bagian tubuh yang berkitin, yang berarti percepatan waktu pencapaian instar. Pada kegiatan untuk melihat waktu capaian instar yang dilakukan terhadap larva Chironomus dapat dilihat adanya perbedaan waktu capaian instar untuk setiap perlakuan. Penambahan bahan organik dengan kadar yang lebih tinggi membuat waktu yang diperlukan untuk melewati suatu instar menjadi lebih pendek dibandingkan larva yang dipelihara di wadah dengan penambahan bahan organik dengan kadar lebih rendah. Hal ini terjadi karena pada kondisi ketersediaan bahan organik yang tinggi, energi yang dibutuhkan untuk menyempurnakan kelengkapan biologis morfologi dan fisiologi pada instar tersebut dapat lebih segera tercukupi. Pada perlakuan dengan penambahan bahan organik 0,5 mgL dan 1,0 mgL, instar I dan II dilalui dengan capaian yang relatif sama, yaitu 4 hari untuk instar I dan 2 hari untuk instar II. Akan tetapi, saat memasuki instar III perlakuan bahan organik 0,5 mgL memerlukan waktu lebih lama, yaitu 13 hari dibandingkan perlakuan bahan organik 1,0 mgL yang hanya 10 hari. Pada instar IV perlakuan 0,5 mgL memerlukan waktu 2 hari, sedangkan perlakuan 1,0 mgL memerlukan waktu 5 hari. Mengacu pada data capaian instar Zilli et al. 2001, pada perlakuan tanpa bahan organik larva Chironomus tidak berkembang ke instar selanjutnya, bahkan jauh melewati waktu yang digunakan dari kedua perlakuan lain untuk berganti menjadi instar II. Hal ini dapat terjadi karena energi yang dibutuhkan larva untuk menambah biomassa tidak mencukupi, sehingga terjadi perlambatan pergantian menuju instar selanjutnya, bahkan larva mengalami kematian. 79 Pada akhir waktu pengamatan hari ke-20 dan 21, sebagian larva Chironomus , pada perlakuan bahan organik 1,0 mgL, sebenarnya telah menjadi kepompong. Besar kemungkinan pembentukan kepompong pada perlakuan 0,5 mgL terjadi lebih lambat terkait dengan ketersediaan bahan organik yang terbatas. Dalam hal ini larva memerlukan waktu lebih lama untuk mengumpulkan energi yang memadai untuk melakukan proses pembentukan kepompong. Pada perlakuan bahan organik 1,0 mgL sebagian larva telah menjadi kepompong karena energi yang dikumpulkan telah mencukupi untuk berubah menjadi kepompong. Bahan organik yang terdapat di substrat buatan yang diletakkan di perairan tersusun atas bahan organik mati detritus dan bahan organik yang berupa makhluk hidup alga dan hewan mikro. Dalam kajian tidak dilakukan pemilahan secara rinci terhadap komposisi bahan organik yang terdapat pada substrat buatan. Bahan organik direpresentasikan dalam nilai COD, AFDM, dan klorofil-a. Sekar et al. 2004 dalam penelitiannya menemukan bahwa di substrat buatan yang terbuat dari gelas objek, kolonisasi alga pada tahap awal didominasi oleh alga hijau berbentuk uniseluler dan koloni kecil, cyanobacteria, serta diatom. Tahap lanjutan kolonisasi terutama terdiri dari alga hijau berfilamen dan cyanobacteria. Perkembangan bahan organik ini menjadi bagian dari penyediaan makanan dan bahan pembuat berumbung tubes dari larva chironomida. Dari hasil pengamatan terhadap perkembangan bahan organik di substrat buatan diperoleh informasi bahwa nilai COD mencapai puncak pada hari ke-15 untuk lokasi KJA dan hari ke-22 pada lokasi Non-KJA. Hal ini berarti bahwa kandungan bahan organik di daerah KJA lebih tinggi daripada di daerah Non-KJA, sehingga puncak perkembangannya mendahului daerah Non-KJA. Akan tetapi, dalam bentuk AFDM puncak penumpukan di daerah Non-KJA lebih dahulu dicapai yaitu pada hari ke-22 sedangkan di daerah KJA terjadi pada hari ke-26. Berdasarkan kedalaman, secara umum penumpukan AFDM di kedua lokasi di kedalaman 2 mencapai puncaknya lebih dahulu dari kedalaman 1 m, yaitu pada hari ke-15, setelah itu cenderung terjadi penurunan. Kandungan klorofil-a yang menjadi gambaran bahan organik dalam bentuk autotrof selama penelitian cenderung lebih besar di lokasi Non-KJA dibandingkan 80 di lokasi KJA, serta lebih besar di kedalaman 1 m dibandingkan di kedalaman 2 m. Kandungan klorofil-a di lokasi Non-KJA jauh lebih tinggi dari kandungan klorofil-a di lokasi KJA. Hal ini diduga karena di lokasi Non-KJA lebih banyak organisme autotrof yang terakumulasi di substrat buatan dibandingkan dengan di lokasi KJA. Kondisi ini didukung dengan informasi bahwa kecerahan perairan di daerah Non-KJA adalah sekitar 60 kedalaman rata-rata 247 cm sementara di daerah KJA hanya 30 kedalaman rata-rata 830 cm. Dengan demikian, lokasi Non-KJA lebih mendukung berkembangnya organisme aoutotrof karena ketersediaan cahaya matahari yang mencukupi. Perbandingan antara nilai AFDM dan kandungan klorofil-a menghasikan sebuah nilai yang disebut indeks autotrof. Nilai indeks autotrof di lokasi KJA jauh lebih besar dibandingkan dengan lokasi Non-KJA. Peningkatan nilai indeks autotrof terjadi sejalan dengan waktu peletakan substrat buatan. Hal ini berarti bahwa bahan organik yang terdapat di substrat buatan di lokasi KJA cenderung lebih didominasi organisme heterotrof dibandingkan di lokasi Non-KJA. Banyaknya organisme heterotrof di substrat buatan dapat dilihat juga dari kepadatan larva chironomida yang meningkat di substrat buatan seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan dan pertumbuhan memberi arti yang berbeda pada serangga umumnya. Perkembangan lebih mengarah pada perubahan bentuk morfologi, sementara pertumbuhan lebih berupa pertambahan ukuran tubuh. Kedua hal ini saling berkaitan. Saat terjadi pertumbuhan terdapat bagian tubuh serangga yang tidak dapat bertambah ukuran karena adanya bagian yang berkitin. Akibatnya, perlu proses penggantian kulit berkitin tadi dalam bentuk molting untuk memberi kesempatan suatu serangga bertambah ukuran. Pertambahan ukuran tubuh merupakan pengaruh dari asupan energi dalam bentuk makanan serta kenyamanan kondisi lingkungan hidup. Dengan demikian, suatu perairan yang memberi kenyamanan serta makanan yang cukup bagi larva chironomida akan memicu percepatan proses molting. Sampel larva chironomida yang diperoleh dari pengamatan pada substrat buatan didominasi oleh larva Polypedilum. Berdasarkan data yang terkumpul dari larva Polypedilum dibuat pengelompokan terhadap instar, dan diperoleh empat