Pengembangan wahana pencitraan bawah air guna identifikasi dan kuantifikasi terumbu karang dengan metode jaringan syaraf tiruan

(1)

PENGEMBANGAN WAHANA PENCITRAAN BAWAH AIR

GUNA IDENTIFIKASI DAN KUANTIFIKASI TERUMBU

KARANG DENGAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN

JUSRON ALI RAHAJAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis Pengembangan Wahana Pencitraan Bawah Air Guna Identifikasi Dan Kuantifikasi Terumbu Karang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini

Bogor, Maret 2011

Jusron Ali Rahajaan NRP.C552080061


(3)

Abstract

Initially finger printing methods was used by police for criminal case investigation; then expanded to other practical application. Artificial Neural Network is one of the technique to process data to identify and recognize a particular pattern similar to the way human brain functions. In this thesis, I investigate and identify various coral features using artificial neural network (ANN) back-propagation method. The underwater vehicle was constructed to collect coral imagery, using; stainless steel body with two floats on the left and right and equipped with camera, GPS-map sounder, and light sources. The 3000 images were collected and pre-processed, to extract descriptor or key parameters of the features, during field measurements. The ANN back-propagation applied to identify the life form as sub-massive coral has an accuracy of 92.86%. Therefore, the application of this technique for features identification of the coral life form is recommended..

Key words: Underwater Observation Platform, Underwater Image, finger print, Coral reef, Artificial Neural Network


(4)

RINGKASAN

JUSRON ALI RAHAJAAN. Pengembangan Wahana Pencitraan Bawah Air Guna Identifikasi Dan Kuantifikasi Terumbu Karang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Metode Sidik Jari awalnya dibangun dan digunakan polisi pada penyelidikan bekas perkara pidana, yang saat ini telah berkembang dan digunakan dalam pekerjaan praktis lain. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) mulai dikenal pada tahun 1940-an, yang didasari kemampuan otak manusia memroses informasi, mengenali bentuk wajah, tulisan, bunyi dan sebagainya dengan pola dan sudut pandang yang belum pernah dialami sebelumnya sebagaimana dialami bayi dan anak-anak. Dewasa ini telah berkembang pula penelitian pengenalan pola sidik jari berbasis JST. Untuk transformasi dan pengenalan dilakukan dengan pendekatan nyata berdasarkan geometris dan biometrik yang diekstrasi menyadi deskriptor dalam mengidentifikasi suatu obyek target.

Karakteristik terumbu karang dapat diketahui secara spesifik untuk tiap jenisnya, sehingga dapat dilakukan identifikasi berdasarkan perbedaan tersebut. Pengembangan metode dasar identifikasi menggunakan karakteristik alami terumbu karang yang dikenali sebagai biometrik, mencakup karakteristik fisiologis dan behaviour.

Thesis ini merupakan hasil analisis terhadap obyek dasar perairan khususnya terumbu karang, dengan menetapkan analisis JST sebagai bagian metode sidik jari bagi pengenalan pola karang berdasarkan deskriptor dari data yang didapat dari unjuk kerja WPBA yang di bangun dan diuji lapang untuk mendapatkan informasi jenis dan kuantifikasi obyek target secara akurat.

Perancangan dan pembangunan serta pengujian wahana di lakukan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan IPB sejak Februari hingga Maret, kemudian tahap kedua pengambilan data lapang di Perairan Pantai Tanjung Kolser, Pulau Nuhuroa di Kepulauan Kei, Maluku, April hingga Juni 2010.

WPBA dibuat dengan rangka utama pelat stainless steel jenis 316 tahan terhadap pengkaratan dengan dimensi tebalnya 2 milimeter, lebar dan panjang masing-masing 60 centimeter. Pelat dilubangi sebanyak empat jendela berukuran 10 x 10 centimeter; dua jendela didepan (kiri dan kanan) sebagai jendela untuk penempatan dua unit lampu 50 Watt sebagai sumber cahaya. Satu jendela ditengah untuk penempatan Kamera Sony CCTV + Cashing Kedap Air, serta satu jendela dibelakang sejajar jendela tengah, untuk penempatan transducer dan GPSmap Sounder C170 portable. Vitek Color LCD Car Television 10", DVR 60800, Stik Kontrol + Memori SD External 2 GB, Unit Power System 3000 Watt, Accu 24 VA), dengan peralatan pendukung Obyek Hexagon putih, Secchi Disk, Alat Selam, Sony Underwater Camera, Computer, Motor Tempel. Untuk pre-processing dan analisis menggunakan Perangkat Photoshop versi 7.0, Imagej, Arc View GIS 3.3, Surfer 08, Matlab 7.0, Minitab 16. Corel Draw X4.

Citra karang diperoleh dengan melakukan pemotretan jenis life form karang dari arah vertical (atas) dengan titik dan jarak ditentukan, dimana pengambilan


(5)

data dilakukan berulang-ulang sebanyak mungkin agar memenuhi target data minimal 3000 citra, dengan asumsi bahwa setiap perubahan situasi mempengaruhi citra, sehingga akan didapatkan citra yang berbeda dalam jumlah diinginkan, sebanyak 3000 citra.

Setelah pre-processing citra, ekstraksi data deskriptor dilakukan dan dikelompokan dalam dua proses, hal ini didasarkan atas bagaimana proses fisis dari deskriptor itu bisa muncul dan berada pada sebuah obyek yang nantinya menjadi data input (X1 sampai X14) pada pelatihan JST yang digunakan nanti. Bila berdasarkan fisik, deskriptor geometrik adalah sebagai berikut; X1 = Area (A), X2 = Perimeter (P), X3 = Lebar (W), X4 = Panjang (L), X5 = Elongation

(Elo n g = L/W), X6 = Circu larity (Circ = P/4 ΠA), X7 = Rectangu lar (Rect =

P*L/A). Data descriptor X1, X2, X3 dan X4 dapat di ekstrak langsung namun X5, X6 dan X7 harus dihitung terlebih dahulu karena merupakan deskriptor turunan dari keempat deskriptor lainya. Berdasarkan intensitas energy dan spectrum warna yang dihasilkan, diantaranya; X8= Indeks warna merah (IRredR = R/(R+G+B)), X9 = Indeks warna hijau (IRgreenR = G/(R+G+B)), X10 = Indeks warna biru (IRblueR = B/(R+G+B)), X11 = Indeks warna kuning (IRyelowR = Y/(C+M+Y)), X12 = Intensitas (I = (R+G+B)/3), X13 = Hue (Cos Hu = (2R-G-B)/(2√β(R+G)+(R+B)+(R+G)), X14 = Saturation (S = I – 3/(R+G+B)-(RGB).

Tingkat kecerahan yang diukur dengan sechi disk adalah 100% berada pada 11 meter laut, namun kamera yang digunakan hanya mampu mengenali obyek di titik ke -35, sebagaimana di darat yakni 10,5 meter ukuran obyek berubah secara teratur tanpa efek dari kamera pada titik ke 14 sedangkan titik 1 sampai 13 dipengaruhi kecembungan kamera.

Hasil ekstraksi geometris memberikan sebaran nilai-nilai geometris serta nilai-nilai kecenderungannya, tampak bahwa nilai circularity mendekati nol maka dapat dikatakan lifeform adalah cenderung bundar sedangkan indeks Red, Blue dan Yelow menyebar sangat berfariasi sementara Green kurang bervariasi. ini mempengaruhi rendahnya nilai Hue, tetapi saturation dan intensity di atas setengah sehingga mengambarkan bahwa lifeform ini berwarna merah, sebagai efek percampuran semua unsur penyusun warna obyek

JST dengan pola umpan maju (feed forward) dan kemudian perambatan mundur (back-propagation) yang dibentuk arsitekturnya untuk penelitian ini terdiri dari 14 lapisan masukan (input) yakni nilai sidik deskriptor X1 sampai X14, yang dilatih melalui 3 lapisan tersembunyi (hyden layer) yang masing-masing lapisan terdiri dari 28 neuron menggunakan bobot jaringan 0.75, konstanta belajar adalah 0.1, momentum 0.01, serta rasio kesalahan 0.9 serta 1 lapisan keluaran pendugaan (output) dengan dua pola target yakni (1 0), dalam 75/15000 epoch, sedangkan fungsi aktivasi logsig adalah fungsi yang dipakai dalam JST ini, digunakan untuk melakukan iterasi terhadap data dalam bentuk matriks 14 x 2100 (70% dari 3000) untuk pelatihan, kemudian 14 x 900 (30% dari 3000) untuk pengujian. Selain itu, untuk pendugaan akurasi pengenalan life form maka dilakukan pelatihan data matrix sebanyak 14 x 3000, terbagi dalam 30 kelompok, masing-masing sebanyak 14 x 100 data matrix. Dari hasil pelatihan data yang dikelompokan dalam 30 set data, yakni; 25 set data mengalami konvergensi sejak epoch ke satu dan mengenali data dengan baik, 3 set data mengalami konvergensi pada epoch kedua dan mengenali data dengan baik sedangkan hanya 2 set data yang tidak mengalami konvergensi atau tidak mengenali data yang dilatihkan.


(6)

Hasil pengujian menunjukan pengenalan yang benar, sehingga dari hasil uji trial dan error maka JST ini mampu mengenali life form sebanyak 28 set data memiliki dugaan mendekati target nilai (1) tetapi 2 data memiliki nilai dibawah (0) maka akurasinya adalah 92.86%.

Kata Kunci: Wahana Bawah Air, Citra, Sidik jari, Terumbu Karang, Jaringan Syaraf Tiruan.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

PENGEMBANGAN WAHANA PENCITRAAN BAWAH AIR

GUNA IDENTIFIKASI DAN KUANTIFIKASI TERUMBU

KARANG DENGAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN

JUSRON ALI RAHAJAAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Judul Tesis : Pengembangan Wahana Pencitraan Bawah Air Guna Identifikasi Dan Kuantifikasi Terumbu Karang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan

Nama : Jusron Ali Rahajaan NRP : C552080061

Disetujui Komisi Pembimbing

UProf. Dr.Ir. Indra Jaya, M.ScU UDr. rer nat. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

UDr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc.U UDr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Apa yang kita gali adalah sedikit dibanding ilmu Allah yang menjadi rahmat bagi alam, ibarat mengambil setitik air di samudra tanpa berbekas

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. 94:6)

Tulisan ini Aku persembahkan kepada Ayahanda (Alm) dan Ibunda (Alm), Istriku serta Putra-Putriku Tercinta


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Azza wajalla atas segala karunia-Nya sehingga penulisan thesis dengan judul “Pengembangan Wahana Pencitraan Bawah Air Guna Identifikasi Dan Kuantifikasi Terumbu Karang Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruansebagai syarat kelulusan studi master sains teknologi kelautan yang penulis tempuh, berhasil diselesaikan.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Kepala Bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Bapak Dr. rer nat. Ir Totok Hestirianoto, M.Sc, (anggota komisi pembimbing), Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku penguji luar komisi, Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. (Ketua Prodi Teknologi Kelautan, Bapak dan Ibu Staf Dosen Prodi TEK. Terimakasih pula kepada Bapak Dr. rer nat Ir. E. A. Renjaan, M.Sc (Direktur Polikant), Ir. P. Beruatwarin, M.Si, Ir B. Tumiwa, M.Si dan Dr. Ir A. Nanlohy, M.Si, Bapak Dr. Ir. O.T.S Ongkers, M.Sc, Bapak Ir. O. Noija, M.Sc, atas dukungan yang diberikan. Terimakasih kepada teman seangkatan; Anin, Hengky, Dody, Yuli, Vito, Zulham, Juni dan Akbar juga Bang Ikbal, Akta, juga teman-teman dosen dan teknisi Polikant. Kepada Bang Hary, Usman, Haris, Dulah, Bang Sofyan dan keluarga Namsa, Om Beny dan Keluarga Foudubun, Ismail, Ibu Ivone, Ibu Corry Resubun, atas dukungannya. Kepada Yayasan Toyota dan Astra, Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Bantuan Maluku dan Yayasan Tahija atas bantuan yang dikucurkan. Ungkapan terimakasih dihaturkan kepada Ayah dan Ibunda, Mama Butri, Bapak Djafar, Bapak Abbas dan keluarga besar Rahanyaan, Aba YeHud, Mama Syarifah Aminah, Mama Saliba, adiku Achmad, istriku Halima serta putra-putriku Vadir dan Fairus atas pengertian, doa dan kasih sayangnya.

Sesungguhnya penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga diperlukan saran dan kritik untuk perbaikan serta pengembanganya. Semoga thesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang berkepentingan.

Bogor, Maret 2011


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Tual, Kepulauan Kei, pada tanggal 12 Agustus 1972 dari ayah Achmad Husein Rahajaan dan ibu Maryam Rahajaan, sebagai anak ke dua dari empat bersaudara.

Pada tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Tual dan pada tahun yang sama masuk Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Patimura Ambon, melalui jalur Sipenmaru.

Sejak tahun 2000, penulis bekerja pada Lembaga Swadaya Masyarakat (Bumi Lestari) dengan perhatian pada pemulihan Maluku dan lingkungan hidup, serta Lembaga Survei dan Pemetaan Kelautan (MERDI). Mulai tahun 2005 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Politeknik Perikanan Negeri Tual, kemudian pada tahun 2008 melanjutkan tugas belajar untuk memperoleh gelar Magister Sains pada mayor Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xii

DAFTAR GAMBAR ...………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ….……….. xiv

I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar belakang ………....……… 1

1.2 Permasalahan ……… 3

1.3 Ruang lingkup ………. 4

1.4 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.5 Manfaat Penelitian ……….. 4

1.6 Hipotesis ………. 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ………. 5

2.1 Jaringan Syaraf Tiruan ………. 5

2.1.1 Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan ……… 5

2.1.2 Defenisi Jaringan Syaraf Tiruan ………... 6

2.1.3 Arsitektur Jaringan ……….. 8

2.1.4 Algoritma Belajar atau Pelatihan ……… 9

2.1.5 Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation ……… 10

2.1.6 Backpropagation Momentum ………. 14

2.2 Metode Sidik Jari ……… 16

2.3 Optik Bawah Air ………. 19

2.4 Citra dan Warna ………. 20

2.5 Peramalan (Interpolasi dan Exkstrapolasi) ………. 21

2.5.1 Pengertian Peramalan ……….. 21

2.5.2 Metode-metode Peramalan ………. 22

2.6 Wahana Bawah Air ……… 23

2.7 Terumbu Karang ……… 24

3 BAHAN DAN METODE ……….... 26

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 26

3.1.1 Lokasi Penelitian ………. 26

3.1.2 Waktu Penelitian ………. 27

3.2 Bahan dan Alat ………... 27

3.3 Metode ………... 28

3.3.1 Rancang Bangun Wahana Penggambaran Bawah Air …..……. 29

3.3.2 Metode Pengambilan Data ………. 30

3.3.2.1 Pengambilan Data Pendukung ………. 30

3.3.2.2 Teknik Pengambilan Data Citra ……….. 33

3.3.4 Metode Analisis ………. 35

3.3.4.1 Interpolasi dan Ekstraprolasi Kalibrasi Kamera ………. 36

3.3.4.2 Analisis Kecenderungan Fisheye Effect Kamera ……….. 39

3.3.4.3 Ekstraksi Deskriptor Citra Jenis Karang ……….. 40

3.3.4.4 Jaringan Syaraf Tiruan Yang Digunakan ……….. 42

3.3.4.5 Flow Chart Penelitian ………... 47


(15)

4.1 Wahana Pencitraan Bawah Air ……… 48

4.1.1 Rangka Utama ………. 48

4.1.2 Pelampung Wahana ……….. 49

4.1.3 Perangkat Peralatan dan Sensor ………. 50

4.1.4 Hasil Uji Stabilitas ………... 54

4.1.5 Interpolasi Kalibrasi Camera View Angle dan Field Of View ………. 56

4.1.6 Extrapolasi Kalibrasi Untuk Peramalan Jarak Pandang Kamera ………. 58

4.1.7 Kecenderungan Fisheye Effect Akibat Kecembungan Lensa Kamera ……….. 60

4.1.7.1 Efek Kecembungan Lensa Untuk Obyek di Posisi Horizontal ……… 62

4.1.7.2 Efek Kecembungan Lensa Untuk Obyek di Posisi Vertikal ……… 64

4.1.7.3 Efek Kecembungan Lensa Untuk Obyek di Posisi Diagonal ……… 65

4.2 Sidik Jari Karang Dan Artificial Neural Network ……….. 67

4.2.1 Data Deskriptor Sebagai Sidik Jari Life Form Karang ………… 67

4.2.1.1 Deskriptor Geometrik sebagai Sidik Jari Karang ………... 69

4.2.1.2 Deskriptor Energetik sebagai Sidik Jari Karang ………… 75

4.2.2 Pola Sidik Deskriptor Life Form Coral Sub-masive(CS). ……… 80

4.2.3 Hasil Analisis Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Life Form Karang ……… 84

4.3. Profil Unjuk Kerja Wahana Pencitraan Bawah Air Untuk Survei…… 90

5 SIMPULAN DAN SARAN ………. 91

5.1 Kesimpulan ………. 91

5.2 Saran ………... 91

DAFTAR PUSTAKA ……….... 92


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Alokasi penggunaan waktu selama masa penelitian berlangsung ………... 27

2 Tabulasi bahan dan peralatan serta fungsinya dalam penelitian ini ………. 28

3 Parameter statistik deskriptor geometrik ………. 74

4 Parameter statistik deskriptor energetik ………. 80

5 Tingkat akurasi JST untuk deteksi Lifeform karang ……….…….. 89


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Jaringan Syaraf Tiruan ……… 7 2 Jaringan Layar Tunggal ………... 8 3 Jaringan Layar Jamak ……….. 9 4 Arsitektur-JST Backpropagation menurut Kusumadewi, 2003. ………. 16 5 Lokasi Penelitian Tanjung Kolser, Kepulauan Kei ……… 26 6 Ilustrasi Piramida dengan irisan-irisan(S) yang menjelaskan

luas area, Berdasarkan perubahan jarak (A, C, B) ……….. 30 7 Ilustrasi metode kalibrasi kedalaman terhadap area sapuan

dengan memperhitungkan beam kamera. ………... 31 8 Skenario pengambilan data citra pada ketiga lifeform ……….. 34 9 Skema towing Cruise track dilokasi penelitian ……… 34 10 Skema towing Cruise track model Systematic Parallel (Simmond

and MacLennan, 2005,H 313) dilokasi penelitian ………. 35 11 Alur Analisis pada Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan Multi Layer

Perceptron Backpropagatin yang akan digunakan dalam penelitian ini .… 36 12 Grafik Pola Garis Linier (Abdul Rozak, 2010) ……… 37 13 Skema kerja dan analisis Fish Eye Effect pada kamera yang digunakan

pada penelitian sebagaimana prosedur 1 sampai 7. ………. 40 14 Metode Deteksi Tepi dan Ujung Obyek (Wayan Sriyasa) ………. 41 15 Jaringan Syaraf Tiruan menurut Kusumadewi, 2003. ……… 43 16 Model Jaringan Syaraf Tiruan yang Dikembangkan berdasarkan

data deskriptor yang digunakan. ………. 44 17 Bagan Alir (flow chart) Metode Penelitian ………... 47 18 Pelat baja stailess steel yang digunakan sebagai rangka utama wahana … 49 19 Pelampung yang digunakan pada rangka utama wahana ………... 50 20 Skema seting group peralatan yang dioperasikan pada wahana

sesuai sumber energi yang digunakan(Group (a) energy AC/UPS

dan Group (b) energy DC/Accu) ………... 51 21 (a) wahana tampak belakang tanpa instalasi peralatan,

(b) wahana tampak belakang setelah terinstalasi alat. ………. 52 22 (a) wahana tampak depan tanpa instalasi peralatan,

(b) wahana tampak depan setelah terinstalasi alat. ……… 52 23 Wahana tampak samping (kiri) setelah ter-instalasi peralatan. ………. 53


(18)

24 Wahana tampak atas setelah ter-instalasi peralatan ……… 53 25 Wahana tampak bawah setelah ter-instalasi peralatan ……….. 53 26 Uji Stabilitas daya apung wahana; (a) 50% buritan mengapung,

(b) 50% buritan tenggelam, (c) 50% haluan terapung ………. 55 27 Uji Kualitatif Stabilitas wahana saat (a) air tenang dan

(b) air berombak dengan obyek target berwarna kuning ……….. 55 28 Grafik Interpolasi Luas Area Sapuan Beam Kamera (FOV)

terhadap perubahan jarak; bulatan hitam menunjukan nilai-nilai

luas area sedang garis lurus menunjukan linear to infinity …... 57 29 Grafik Interpolasi jumlah Pixel Area Sapuan Beam Kamera

(FOV) terhadap perubahan jarak ………...…… 57 30 Grafik Ploting ganda Interpolasi jumlah Pixel dan Luas Area

Sapuan Beam Kamera (FOV) terhadap perubahan jarak; ……….. 58 31 Grafik Ektrapolasi peramalan jarak pandang maksimum/efektif

kamera wahana di darat, pada titik jarak ke 35 ………. 59 32 Grafik Ektrapolasi peramalan jarak pandang maksimum/efektif

kamera wahana di laut, pada titik jarak ke 35 ……….. 59 33 Grafik Overlay Ektrapolasi peramalan jarak pandang maksimum/

efektif kamera wahana di laut dan darat, pada titik jarak ke 35 ………… 60 34 Grafik Efek Mata Ikan (FEE) oleh Kecembungan lensa kamera

terhadap ukuran lebar, panjang, perimeter dan area obyek pada

posisi Horizontal lensa. ………. 62 35 Grafik Efek Mata Ikan (FEE) oleh Kecembungan lensa kamera

terhadap ukuran lebar, panjang, perimeter dan area obyek pada posisi

Vertikal lensa. ……….. 64 36 Grafik Efek Mata Ikan (FEE) oleh Kecembungan lensa kamera

terhadap ukuran lebar, panjang, perimeter dan area obyek pada

posisi Diagonal lensa. ……….. 66 37 Grafik Pola sebaran nilai jumlah pixel area dari 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X1) ……… 69 38 Grafik Pola sebaran nilai jumlah pixel perimeter dari 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X2) ……… 70 39 Grafik Pola sebaran nilai jumlah pixel width/lebar dari 3000

data citra yang diambil sebagai input (X3) ………. 71 40 Grafik Pola sebaran nilai jumlah pixel length/panjang dari 3000

data citra yang diambil sebagai input (X4) ………. 71 41 Grafik Pola sebaran nilai kecenderungan bentuk elongation dari

3000 data citra yang diambil sebagai input (X5) ………. 72 42 Grafik Pola sebaran nilai kecenderungan bentuk circularity dari


(19)

3000 data citra yang diambil sebagai input (X6) ………. 72 43 Grafik Pola sebaran nilai kecenderungan bentuk rectangularity

dari 3000 data citra yang diambil sebagai input (X7) ……….. 73 44 Grafik Trend pola sebaran hasil sidik deskriptor geometrik

serta nilai-nilai kecenderungannya. ……… 74 45 Grafik Pola sebaran skala nilai indek merah dari jumlah 3000

data citra yang diambil sebagai input (X8) ……… 75 46 Grafik Pola sebaran skala nilai indek hijau dari jumlah 3000

data citra yang diambil sebagai input (X9) ………. 76 47 Grafik Pola sebaran skala nilai indek biru dari jumlah 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X10) ……… 76 48 Grafik Pola sebaran skala nilai indeks kuning dari 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X11) ……… 77 49 Grafik Pola sebaran nilai intensitas dari jumlah 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X12) ……….. 77 50 Grafik Pola sebaran nilai Hue dari jumlah 3000 data citra

yang diambil sebagai deskriptor input (X13) ……….. 78 51 Grafik Pola sebaran nilai Saturation dari jumlah 3000 data

citra yang diambil sebagai input (X14) ………. 78 52 Grafik Trend pola sebaran hasil sidik descriptor energetik ………….. 79 53 Grafik Pola Sidik Deskriptor Geometrik X1, X2, X3, X4,

Coral Sub Masive ………. 80 54 Grafik Pola Sidik Deskriptor Geometris X5, X6, X7 Coral

Sub Masive ………. 81 55 Grafik Pola Sidik Skala Red Green Blue Yelow (RGBY),

Coral Sub Masive ……… 83 56 Grafik Pola Sidik Deskriptor Energetik X8, X9, X10, X11,

Coral Sub Masive ……….. 83 57 Grafik Pola Sidik Deskriptor Energetik (indikator independen)

X12, X13, X14, Coral Sub Masive ……….. 84 58 Grafik Sum Square Error (SSE) JST pada pelatihan 70%

data sidik deskriptor. ……….. 85 59 Grafik Sum Square Error (SSE) JST pada pelatihan 100% data

sidik deskriptor iterasi 1. Mewakili sebanyak 25 iterasi set data ………. 86 60 Grafik Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok 100%

data sidik deskriptor iterasi 10 mewakili sebanyak 3 iterasi set data. ...… 87 61 Grafik Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok 100%


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Metode Sidik Jari awalnya dibangun dan digunakan polisi di penyelidikan bekas perkara pidana, tetapi pada saat ini dengan cepat berkembang dan digunakan dalam pekerjaan praktis lain, seperti medis, mikro-biologi, genetika dan industri. Klasifikasi kategori sidik jari merupakan bagian penting dalam system pengidentifikasian individu di bagian kriminologi atau forensik. Pemanfaatan identifikasi sidik jari sudah semakin meluas sebagai bagian dari biometri. Biometri adalah cabang ilmu untuk mengidentifikasi individu berdasarkan sifat-sifat fisiknya. (Ardisasmita M.S, 2005)

Berbagai teknik klasifikasi sidik jari telah dikembangkan. Pengenalan dan klasifikasi sidik jari dengan cara mendeteksi jumlah titik fokal, lingkaran alur (whorl), pusat (core), dan parameter gradien antara dua titik fokal tersebut. Dewasa ini telah berkembang penelitian pengenalan pola sidik jari berbasis Metode JST. Setelah mulai dikenal pada tahun 1940-an, dimulai ditemukanya jaringan syaraf tiruan yang didasari kemampuan otak manusia dalam memroses informasi, mengenali wajah, bentuk, tulisan, bunyi dan sebagainya dengan pola dan sudut pandang yang belum pernah dialami sebelumnya sebagaimana yang dialami bayi dan anak-anak, dimana kemampuan komputasi otak yang bergantung pada hubungan antar sel syaraf, struktur jaringan otak yang terorganisasi, karakteristik target yang diprediksi serta banyaknya jumlah hubungan antara sel otak. (Ardisasmita M.S, 2005)

Daya analisis manusia secara aplikatif mudah dilakukan, tetapi sulit ditransformasikan ke dalam bentuk matematis dan algoritmik, yang disebabkan oleh proses pembelajaran manusia yang terjadi dalam waktu tertentu serta bersifat terus-menerus (continue), hal ini semakin berkembang hingga sekarang. Perkembangan penelitian berkembang kearah pengenalan pola sidikjari berbasis JST yang menggabungkan dua arsitektur JST yaitu arsitektur Jaringan Widrow-Hoff (JWH) dan Jaringan Perambatan-Balik (JPB). Keduanya mengekstraksi ciri dengan menguraikan ciri minusi cabang (bifurcation). Adapula penelitian sistem verifikasi sidikjari dengan ekstraksi ciri berbasis filter bank Gabor.


(21)

Aplikasi jaringan syaraf tiruan telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti; otomotif, sistim penerbangan udara, perbankan, sistim pertahanan dan keamanan, elektronik, dunia hiburan, financial, suara, asuransi, pabrik, pertambangan dan eksplorasi, kesehatan, robotika, telekomunikasi serta transportasi. Hingga saat ini salah satuaplikasi dari hasil pengembangan JST adalah pengenalan pola sidikjari.

Penggunaan Transformasi wavelet sebagai ekstraksi ciri yang merupakan input bagi system klasifikasi. Hal ini disebabkan wavelet mempunyai kemampuan membawa keluar ciri-ciri (feature) khusus pada suatu citra yang diteliti. Dalam penelitian ini dilakukan pengembangan Jaringan LVQ dalam mengklasifikasi sidikjari dengan pemrosesan awal transformasi wavelet. Learning Vector Quantizations (LVQ) merupakan suatu metode klasifikasi pola yang masing-masing unit mewakili kategori atau kelas tertentu. Selain transformasi tersebut, pengenalan juga dilakukan dengan pendekatan nyata berdasarkan geometris dan biometrik yang diekstrasi menyadi deskriptor dalam mengidentifikasi suatu obyek target.

Identifikasi merupakan suatu proses penting untuk bagaimana mengenali dan membedakan obyek tertentu dari yang lainnya. Obyek dapat berupa benda hidup ataupun benda mati dimana benda hidup seperti hewan, tumbuhan maupun manusia bahkan benda mati dengan karakter tertentu yang permanen. Identifikasi dapat dilakukan dengan melakukan pengenalan terhadap ciri spesifik yang dimiliki obyek tersebut. (Achmad Hidayatno et al, 2008)

Timotius (2003), mengemukakan bahwa Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria. Karang (coral) mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Lebih lanjut dalam tesis ini pembahasan lebih menekankan pada karang sejati (Scleractinia). Satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Namun umumnya polip karang berukuran kecil, polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang yang soliter.


(22)

Karakteristik fisiologis pada terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang men-sekresi kalsium karbonat.

Karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut gastrodermis. Dalam gastrodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal dinamakan zooxantellae, hidup bersimbiosis dengan polip. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam usus polip sebagai pangan.

Perbedaan spesies binatang karang memungkinkan pembentukan terumbu berbeda secara spesifik untuk tiap jenisnya, sehingga dapat dilakukan identifikasi berdasarkan perbedaan tersebut. Pengembangan metode dasar identifikasi dengan menggunakan karakteristik alami terumbu karang yang kemudian bisa dikenali sebagai biometrik, yang mencakup karakteristik fisiologis dan behaviour. Ini memberikan kemudahan memahami dan mengenali bentuk berbeda-beda dari jenis-jenis lifeform karang yang dalam penelitian ini menggunakan pengkategorian dan pengkodean lifeform menurut English et al. (1994).

1.2. Permasalahan

Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi jenis terumbu karang seperti Manta Tow, Line Intercept Transect dan Quadrate Transect yang memiliki keunggulan, juga kekurangan dan kesalahan pengamatan, serta menyebabkan interpretasi yang keliru sehingga mempengaruhi kesimpulan tentang obyek tersebut, termasuk keterbatasan manusia dalam pekerjaan ini.

Keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan eksplorasi tersebut terjawab dengan kehadiran robot-robot pengamatan bawah air seperti Remotely


(23)

Underwater Vehicle (ROV) dan Autonomous Underwater Vehicle (AUV), bersamaan tantangan yang muncul adalah bagaimana mengenali pola bentuk dalam menyimpulkan definisi sebuah obyek melalui analisis hasil gambar dan video bawah air yang dihasilkan dengan akurasi yang tinggi.

1.3. Ruang lingkup

Penelitian ini merupakan integrasi dari ilmu instrumentasi optik bawah air dan akustik kelautan dalam aplikasinya untuk eksplorasi bawah air, yakni Analisis terhadap obyek dasar perairan khususnya terumbu karang .

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji perangkat analisis JST sebagai bagian metode sidik jari bagi pengenalan pola karang berdasarkan deskriptor dari data yang didapat dari unjuk kerja WPBA yang dibangun dan diuji lapang untuk mendapatkan informasi jenis dan kuantifikasi obyek target secara akurat dengan meminimalisir faktor galat.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan mengatasi kekurangan-kekurangan metode terdahulu, dalam analisis dan identifikasi serta kuatifikasi obyek bawah air dari data gambar dan video dengan koreksi geografis serta bathymetry, yang dihasilkan WPBA dengan akurasi yang tinggi. Sehingga kelak akan mempermudah penyediaan data dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengambilan kebijakan-kebijakan eksploratif juga keruangan area laut.

1.6. Hipotesis

Setiap jenis karang memiliki kekhususan yang dapat ditentukan dari nilai karakter jenisnya. Karakter ini dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi melalui metode JST


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jaringan Syaraf Tiruan

2.1.1. Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Pada tahun 1943 McCulloch dan W.H.Pitts memperkenalkan pemodelan matematis neuron. Tahun 1949, Hebb mencoba mengkaji proses belajar yang dilakukan oleh neuron. Teori ini dikenal sebagai Hebbian Law. Tahun 1958, Rosenblatt memperkenalkan konsep perseptron suatu jaringan yang terdiri dari beberapa lapisan yang saling berhubungan melalui umpan maju (feed foward). Konsep ini dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang dasar-dasar intelejensia secara umum. Hasil kerja Rosenblatt yang sangat penting adalah perceptron convergence theorem (tahun 1962) yang membuktikan bahwa bila setiap perseptron dapat memilah-milah dua buah pola yang berbeda maka siklus pelatihannya dapat dilakukan dalam jumlah yang terbatas. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).

Pada tahun 1960 Widrow dan Hoff menemukan ADALINE (Adaptive Linear Neuruon). Teknik ini dapat beradaptasi dan beroperasi secara linier. Penemuan ini telah memperlebar aplikasi jaringan syaraf tiruan tidak hanya untuk pemilihan pola, tetapi juga untuk pengiriman sinyal khususnya dalam bidang

adaptive filtering. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).

Namun, Tahun 1969, Minsky dan Papert melontarkan suatu kritikan tentang kelemahan perseptronnya Rosenblatt di dalam memilah-milah pola yang tidak linier. Sejak saat itu penelitian di bidang jaringan syaraf tiruan telah mengalami masa vakum untuk kurang lebih satu dasawarsa. Tahun 1982, Hopfield telah memperluas aplikasi JST untuk memecahkan masalah-masalah optimasi. Hopfield telah berhasil memperhitungkan fungsi energi ke dalam jaringan syaraf yaitu agar jaringan memiliki kemampuan untuk mengingat atau memperhitungkan suatu obyek dengan obyek yang pernah dikenal atau diingat sebelumnya (associative memory). Konfigurasi jaringan yang demikian dikenal sebagai recurrent network. Salah satu aplikasinya adalah TravellingSalesman Problem (TSP). (Artificial Neural Networks -A neural network tutorial, 2010)


(25)

Pada tahun 1986 Rumelhart, Hinton dan William menciptakan suatu algoritma belajar yang dikenal sebagai propagasi balik (backpropagation). Bila algoritma ini diterapkan pada perseptron yang memiliki lapisan banyak (multi layer perceptron), maka dapat dibuktikan bahwa pemilahan pola-pola yang tidak linier dapat diselesaikan sehingga dapat mengatasi kritikan yang dilontarkan oleh Minsky dan Papert. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).

2.1.2. Defenisi Jaringan Syaraf Tiruan

JST merupakan sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi (Siang, 2005). Menurut Sekarwati (2005), JST merupakan sistem komputasi yang didasarkan atas pemodelan sistem syaraf biologis (neurons) melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis (biological computation).

Menurut Subiyanto (2002), JST adalah membuat model sistem komputasi yang dapat menirukan cara kerja jaringan syaraf biologi, sedangkan menurut Siang (2005), JST dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan syaraf biologi dengan asumsi sebagai berikut.

a. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neurons). b. Sinyal dikirimkan diantara neuron-neuron melalui penghubung

penghubung.

c. Penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau memperlemah sinyal.

d. Untuk menentukan keluaran (output), setiap neuron menggunakan fungsi aktivasi yang dikenakan pada penjumlahan masukan (input) yang diterima. Besarnya keluaran (output) ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu batas ambang, dimana Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar dalam pengoperasian jaringan syaraf tiruan (Siang 2005). Neuron terdiri dari 3 elemen pembentuk sebagai berikut.

a. Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi.

b. Suatu unit penjumlah yang akan menjumlahkan masukan-masukan sinyal yang sudah dikalikan dengan bobotnya.


(26)

c. Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron

akan diteruskan ke neuron lain ataukah tidak. JST ditentukan oleh 3 hal sebagai berikut.

a. Pola hubungan antar neuron (disebut arsitektur jaringan ).

b. Metode untuk menentukan bobot penghubung (disebut algoritma

training/learning /pelatihan/belajar) c. Fungsi aktivasi.

Di dalam JST, istilah simpul (node) sering digunakan untuk menggantikan

neuron, dimana setiap simpul pada jaringan menerima atau mengirim sinyal dari atau ke simpul-simpul lainnya. Pengiriman sinyal disampaikan melalui penghubung. Kekuatan hubungan yang terjadi antara setiap simpul yang saling terhubung dikenal dengan nama bobot.

Model-model JST ditentukan oleh arsitektur jaringan serta algoritma pelatihan. Arsitektur biasanya menjelaskan arah perjalanan sinyal atau data di dalam jaringan, sedangkan algoritma belajar menjelaskan bagaimana bobot koneksi harus diubah agar pasangan masukan-keluaran yang diinginkan dapat tercapai. Perubahan harga bobot koneksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis algoritma pelatihan yang digunakan. Dengan mengatur besarnya nilai bobot ini diharapkan bahwa kinerja jaringan dalam mempelajari berbagai macam pola yang dinyatakan oleh setiap pasangan masukan-keluaran akan meningkat.

WR1R

WR2R

WR3R

Gambar 1, Sel Jaringan Syaraf Tiruan

Pada Gambar 1 diperlihatkan sebuah sel syaraf tiruan sebagai elemen penghitung. Simpul Y menerima masukan dari neuron x1, x2 dan x3 dengan

X1

X2

X3


(27)

bobot hubungan masing-masing adalah w1, w2 dan w3. Argumen fungsi aktivasi adalah net (jejaring) masukan (kombinasi linear masukan dan bobotnya). Ketiga sinyal simpul yang ada dijumlahkan net = x1w1 + x2w2 + x3w3 .

Besarnya sinyal yang diterima oleh Y mengikuti fungsi aktivasi y = f(net). Apabila nilai fungsi aktivasi cukup kuat, maka sinyal akan diteruskan. Nilai fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) juga dapat dipakai sebagai dasar untuk merubah bobot.

2.1.3. Arsitektur Jaringan

Berdasarkan arsitekturnya, model JST tergolong menjadi: a. Jaringan Layar Tunggal (Single Layer Network)

Pada jaringan ini, sekumpulan masukan neuron dihubungkan langsung dengan sekumpulan keluarannya. Sinyal mengalir searah dari layar (lapisan) masukan sampai layar (lapisan) keluaran. Setiap simpul dihubungkan dengan simpul lainnya yang berada diatasnya dan dibawahnya, tetapi tidak dengan simpul yang berada pada lapisan yang sama. Model yang masuk kategori ini antara lain : ADALINE, Hopfield,

Perceptron, LVQ, dan lain-lain. Pada Gambar 2 diperlihatkan arsitektur jaringan layar tunggal dengan n buah masukan (x1, x2,..., xn) dan m buah keluaran (y1, y2,..., ym)

WR11

WR12R

WR13R WR21 WR22 WR23 WR3n

WR3n

WR3n

Gambar 2, Jaringan Layar Tunggal

X1

X2

Xn Ym

Y2


(28)

b. Jaringan Layar Jamak (Multiple Layer Network)

Jaringan ini merupakan perluasan dari jaringan layar tunggal. Dalam jaringan ini, selain unit masukan dan keluaran, ada unit-unit lain (sering disebut layar tersembunyi). Dimungkinkan pula ada beberapa layar tersembunyi. Model yang termasuk kategori ini antara lain : MADALINE,

backpropagation.

Pada Gambar 3 diperlihatkan jaringan dengan n buah unit masukan (x1, x2,..., xn), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari m buah unit (z1,z2,..., zm) dan 1 buah unit keluaran.

WR11R

WR21

WRn1R WR11

WR12

WR22R WR12 WRn2

WR1nR WR1m WR2n

WRnn

Gambar 3, Jaringan Layar Jamak

c. Jaringan Recurrent

Model jaringan recurrent (recurrent network) mirip dengan jaringan layar tunggal ataupun jamak. Hanya saja, ada simpul keluaran yanng memberikan sinyal pada unit masukan (sering disebut feedback loop). Dengan kata lain sinyal mengalir dua arah, yaitu maju dan mundur. Contoh : Hopfield network, Jordan network, Elmal network.

2.1.4. Algoritma Belajar atau Pelatihan

Ide dasar JST adalah konsep belajar atau pelatihan. Jaringan-jaringan belajar melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku objek. Algoritma pelatihan artinya membentuk pemetaan (fungsi) yang menggambarkan hubungan antara

X1

Y

Z1

Z2

Zm

Xn


(29)

vektor masukan dan vektor keluaran (Sekarwati 2005:4). Biasanya diberikan contoh yang cukup penting dalam membangun pemetaan tersebut. Walaupun untuk pasangan masukan dan keluaran yang belum pernah digambarkan sebelumnya.

Untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, jaringan syaraf tiruan memerlukan algoritma belajar atau pelatihan yaitu bagaimana sebuah konfigurasi jaringan dapat dilatih untuk mempelajari data historis yang ada. Dengan pelatihan ini, pengetahuan yang terdapat pada data dapat diserap dan direpresentasikan oleh harga-harga bobot koneksinya.

Menurut Siang (2005:30) algoritma belajar atau pelatihan digolongkan menjadi sebagai berikut.

a. Dengan Supervisi (Supervised Training)

Dalam pelatihan dengan supervisi, terdapat sejumlah pasangan data (masukan-target keluaran) yang dipakai untuk melatih jaringan. Pada setiap pelatihan, suatu masukan diberikan ke jaringan. Jaringan akan memproses dan mengeluarkan keluaran. Selisih antara keluaran jaringan dengan target (keluaran yang diinginkan) merupakan kesalahan yang terjadi. Jaringan akan memodifikasi bobot sesuai dengan kesalahan tersebut. Model yang menggunakan pelatihan dengan supervisi antara lain : Perceptron, ADALINE, MADALINE, Backpropagation, LVQ.

b. Tanpa Supervisi (Unsupervised Training)

Dalam pelatihannya, perubahan bobot jaringan dilakukan berdasarkan parameter tertentu dan jaringan dimodifikasi menurut ukuran parameter tersebut. Model yang menggunakan pelatihan ini adalah model jaringan kompetitif.

2.1.5. Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

Backpropagation merupakan model JST dengan layar jamak. Seperti halnya model JST lainnya, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa (tapi tidak sama) dengan pola yang dipakai selama pelatihan.


(30)

a. Fungsi Aktivasi pada Backpropagation

Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.

1. Kontinyu.

2. Terdiferensial dengan mudah. 3. Merupakan fungsi yang tidak turun.

Salah satu fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range (0,1). Fungsi sigmoid biner didefinisikan sebagai berikut.

………...(1) ……….(2) Fungsi lain yang sering dipakai adalah fungsi sigmoid bipolar dengan

range (-1,1) yang didefenisikan sebagai berikut.

……….(3) ……….(4) Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum 1. Untuk pola yang targetnya lebih dari 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu ditransformasi sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti fungsi sigmoid yang dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi aktivasi sigmoid hanya pada layar yang bukan layar keluaran. Pada layar keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi identitas f (x) = x . b. Pelatihan Backpropagation (JST Propagasi Balik)

Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedfoward (umpan maju) pelatihan dilakukan dalam rangka perhitungan bobot sehingga pada akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan galat (error) yang terjadi. Galat dihitung berdasarkan rata-rata kuadrat kesalahan (MSE). Rata-rata kuadrat galat juga dijadikan dasar perhitungan unjuk kerja fungsi aktivasi. Sebagian besar pelatihan untuk jaringan

feedfoward (umpan maju) menggunakan gradien dari fungsi aktivasi untuk menentukan bagaimana mengatur bobot-bobot dalam rangka


(31)

meminimumkan kinerja. Gradien ini ditentukan dengan menggunakan suatu teknik yang disebut backpropagation.

Pada dasarnya, algoritma pelatihan standar backpropagation akan menggerakkan bobot dengan arah gradien negatif. Prinsip dasar dari algoritma backpropagation adalah memperbaiki bobot-bobot jaringan dengan arah yang membuat fungsi aktivasi menjadi turun dengan cepat. Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase sebagai berikut;

1).Fase 1, yaitu propagasi maju.

Pola masukan dihitung maju mulai dari layar masukan hingga layar keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan.

2).Fase 2, yaitu propagasi mundur.

Selisih antara keluaran jaringan dengan target yang diinginkan merupakan galat yang terjadi. Galat yang terjadi itu dipropagasi mundur. Dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan unit-unit di layar keluaran.

3).Fase 3, yaitu perubahan bobot.

Modifikasi bobot untuk menurunkan galat yang terjadi.

Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian dipenuhi.

Algoritma pelatihan untuk jaringan backpropagation dengan satu layar tersembunyi (dengan fungsi aktivasi sigmoid biner) adalah sebagai berikut. a) Langkah 0

Inisialisasi semua bobot dengan bilangan acak kecil. b) Langkah 1

Jika kondisi penghentian belum dipenuhi, lakukan langkah 2-8. c) Langkah 2

Untuk setiap pasang data pelatihan, lakukan langkah 3-8. d) Langkah 3 (langkah 3-5 merupakan fase 1)

Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskannya ke unit tersembunyi diatasnya.


(32)

Hitung semua keluaran di unit tersembunyi zRjR (j = 1, 2,..., p).

……….(6) f) Langkah 5

Hitung semua keluaran jaringan di unit keluaran yRkR (k = 1, 2,...,m). ………(7) ………(8) g) Langkah 6 (langkah 6-7 merupakan fase 2)

Hitung faktor δ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit keluaran yRkR (k = 1, 2,..., m).

………(9)

tRkR = target keluaran

δRkR = merupakan unit kesalahan yang akan dipakai dalam perubahan bobot layar dibawahnya.

Hitung perubahan bobot wRkjR dengan laju pemahaman α

K = 1, 2, …, m ; j = 0, 1, …p h) Langkah 7

Hitung faktor δ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit tersembunyi zRjR (j = 1, 2, ..., p).

………(11) Factor δ unit tersembunyi.

…………(12) Hitung suku perubahan bobot VRji

……….(13)

J = 1, 2, …, p; i = 1, 2, …,n i) Langkah 8 (fase 3)

Hitung semua perubahan bobot. Perubahan bobot garis yang menuju ke unit keluaran, yaitu:


(33)

(k = 1, 2,…,m; j = 0, 1,…,p)…(14) Perubahan bobot garis yang menuju ke uit tersembunyi, yaitu:

(j = 1, 2,…,p ; i = 0, 1,…,n) ….(15) Parameter α merupakan laju pemahaman yang menentukan kecepatan iterasi. Nilai α terletak antara 0 dan 1 (0 ≤ α ≤ 1). Semakin besar harga α , semakin sedikit iterasi yang dipakai. Akan tetapi jika harga α terlalu besar, maka akan merusak pola yang sudah benar sehingga pemahaman menjadi lambat. Satu siklus pelatihan yang melibatkan semua pola disebut epoch.

Pemilihan bobot awal sangat mempengaruhi jaringan syaraf tiruan dalam mencapai minimum global (atau mungkin lokal saja) terhadap nilai galat dan cepat tidaknya proses pelatihan menuju kekonvergenan.

Apabila bobot awal terlalu besar maka masukan (input) ke setiap lapisan tersembunyi atau lapisan keluaran (output) akan jatuh pada daerah dimana turunan fungsi sigmoidnya akan sangat kecil. Apabila bobot awal terlalu kecil, maka masukan ke setiap lapisan tersembunyi atau lapisan keluaran akan sangat kecil. Hal ini akan menyebabkan proses pelatihan berjalan sangat lambat. Biasanya bobot awal diinisialisasi secara random dengan nilai antara -0.5 sampai 0.5 (atau -1 sampai 1 atau interval yang lainnya). Setelah pelatihan selesai dilakukan, jaringan dapat dipakai untuk pengenalan pola. Dalam hal ini, hanya propagasi maju (langkah 4 dan 5) saja yang dipakai untuk menentukan keluaran jaringan.

2.1.6. Backpropagation Momentum

Pada standar backpropagation, perubahan bobot didasarkan atas gradien yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Modifikasi yang dapat dilakukan adalah melakukan perubahan bobot yang didasarkan atas arah gradien pola terakhir dan pola sebelumnya (disebut momentum) yang dimasukkan. Jadi tidak hanya pola masukan terakhir saja yang diperhitungkan.

Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot yang mencolok akibat adanya data yang sangat berbeda dengan yang lain (outlier). Apabila beberapa data terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola serupa (berarti arah gradien sudah benar), maka perubahan bobot dilakukan secara


(34)

cepat. Namun apabila data terakhir yang dimasukkan memiliki pola yang berbeda dengan pola sebelumnya, maka perubahan bobot dilakukan secara lambat.

Dengan penambahan momentum, bobot baru pada waktu ke (t+1) didasarkan atas bobot pada waktu t dan (t-1). Disini harus ditambahkan dua variabel yang mencatat besarnya momentum untuk dua iterasi terakhir. Jika μ adalah konstanta (0 ≤ μ ≤ 1) yang menyatakan parameter momentum maka bobot baru dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut.

………..(16) dengan,

WRkjR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)

WRkjR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama dan

………..(17) dengan

VRjiR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)

VRjiR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama (Siang, 2005:113)

Menurut Rich dan Knight, (2001), Perambatan Balik merupakan salah satu model JST yang popular dan ampuh. JST ini menggunakan arsitektur yang mirip dengan arsitektur JST Multi Layer Perceptron (yang memiliki satu atau lebih lapisan tersembunyi diantara lapisan masukan dan lapisan keluaran). JST perambatan balik menggunakan metode pembelajaran terawasi (supervised training) sedangkan Kusumadewi, (2003), mengutarakan bahwa; JST perambatan balik tidak memiliki hubungan umpan balik (feedback), artinya suatu lapisan (layer) tidak memiliki hubungan dengan lapisan sebelumnya sehingga bersifat umpan maju (feedforward), namun galat yang diperoleh diumpankan kembali ke lapisan sebelumnya selama proses pelatihan, kemudian dilakukan penyesuaian bobot. (Gambar 4)


(35)

Gambar 4, Arsitektur-JST Backpropagation menurut Kusumadewi, 2003.

2.2. Metode Sidik Jari

Pengenalan sidikjari (fingerprint recognition) merupakan teknologi yang amat sering dan umum digunakan oleh khalayak ramai dalam identifikasi identitas seseorang, bahkan telah menjadi teknologi yang cukup diandalkan karena efektifitas dan penggunaannya yang mudah. Sidik jari (fingerprint) merupakan identitas seseorang yang sangat terjamin keunikannya. Karena keunikannya itulah sidik jari (fingerprint) dapat digunakan untuk menjadi identitas utama yang digunakan dalam mengenali seseorang. Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya suatu metode pengenal terhadap sidik jari (fingerprint) tersebut. Algoritma pencocokan string (string matching) merupakan algoritma yang banyak digunakan dalam pengenalan pengenalan suatu permasalahan. Algoritma ini merupakan algoritma yang sangat mangkus dan sangkil dalam proses pengenalan. Dalam hal ini, contoh yang kita ambil adalah pengenalan sidik jari (fingerprint recognition) sebagai aplikasi algoritma pencocokan string (string matching). (Winanti, 2007)

Sistim pengenalan pola sidik jari merupakan salah satu sistim biometrik yang paling popular disamping tingkat akurasi yang baik juga lebih mudah daripada sistim biometrik lainya. Meskipun demikian, pada sistim pengenalan pola , sidikjari, Proses awal untuk mendapatkan cirri-ciri khusus tidak mudah dan memerlukan waktu. Pada sistim tertanam (embedded system) dengan keterbatasan

X0

X2

X1

H0

H1

O1

O2

O3

I n p u t -i n p u t

Input Layer Hidden Layer Ouput Layer Bobot Matrik 1 Bobot Matrik 2


(36)

kapasitas dari elemen-elemen didalamnya, kecepatan dan kepadatan /keringkasan algoritma ekstraksi pola sidik jari merupakan syarat utama. Deteksi titik-titik singular (singular points), merupakan salah satu pilihan mengingat jumlah titik-titik ini antara 2 sampai 4 untuk setiap sidik jari sehingga data tempelate yang disimpan sangat sedikit dibandingkan jika menggunakan deteksi minutiae yang jumlahnya antara 60 sampai 100. (Sudiro, 2004).

Dikatakan pula bahwa; salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan membangun matrix berarah (direction matrix) atau penghitungan arah citra (directional image calculation) yang dapat mendiskripsikan tekstur pola sidik jari. Kemudian menggunakan pendekatan sederhana untuk mendeteksi keberadaan titik-titik singular (core dan delta) yakni menggunakan bilangan bertanda pada perubahan kurva didalam citra berarah tersebut. Metode ini mampu mengenali keberadaan seluruh titik-titik singular pada posisi yang akurat dan cepat (0.9) detik meski bermasalah pada area batas citra (border area).

Biometrik mencakup karakteristik fisiologis dan karakteristik perilaku. Karakteristik fisiologis adalah cirri fisik yang relative stabil seperti sidik jari, siluent tangan, cirri khas wajah, pola iris, atau retina mata. Karakteristik perilaku seperti tanda tangan, pola ucapan, atau ritme mengetik, selain memiliki basis fisiologis yang relative stabil, juga dipengaruhi kondisi psikologis yang mudah berubah. (Hidayanto et al., 2008).

Menurut Ardisasmita, bahwa; Sidik jari memiliki suatu orientasi dan struktur periodik berupa komposisi dari garis-garis gelap dari kulit yang naik (ridges) dan garis-garis terang dari kulit yang turun (furrows) yang berliku-liku membentuk suatu pola yang berbeda-beda. Walaupun garis-garis alur tangan terbentuk berbeda-beda, tetapi sifat-sifat khusus dari sidik jari yang disebut dengan minutiae adalah unik untuk setiap individu. Ciri-ciri ini membentuk pola khusus yang terdiri dari terminasi atau percabangan dari alur. Untuk memeriksa apakah dua sidik jari berasal dari jari yang sama atau bukan, para ahli mendeteksi minutiae tersebut. Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis (AFIS) akan mengambil dan membandingkan ciri-ciri tersebut untuk menentukan suatu kecocokan.

Verifikasi sidik jari adalah proses pencocokan sidik jari. Peranan verifikasi sidik jari ini dalam model medis adalah salah satunya mendukung proses Visum Et


(37)

Repertum (VER) di bidang kedokteran forensik. Verifikasi yang sudah ada Berbasis algoritma minutiae, tetapi ditemukan permasalahan terutama pada poin

minutiae (ridge) yang belum bisa diproses secara lengkap. Kelemahan ini akan tampak pada proses pencocokan sidik jari yang mengandung perbedaan jumlah poin minutiae dua sidik jari yang berkorespondensi yang banyak ditemui pada sidik jari korban dalam proses visum et repertum (VER). Pada penelitian ini akan dihasilkan model perangkat lunak verifikasi citra sidik jari poin minutiae yang dapat mengatasi kelemahan tersebut.( Pratama, 2008)

Aplikasi bitoteknologi dan pemuliaan tanaman telah dilakukan oleh Bustaman et all. (2004), menginformasikan bahwa; keragaman genetik tanaman sangat diperlukan dalam program pemuliaan. Karakterisasi plasma nutfah untuk menyediakan data genotype atau molekuler. Sehingga informasi keragaman genetik untuk varietas padi berdasarkan sidik jari DNA menggunakan bagian motif urutan DNA terkonservasi dari gen resisten, dimana contoh DNA dari 28 varietas padi diamplifikasi menggunakan lima resistance gene analogue, kemudian diseparasi dalam gel poliakrilamid 5% dengan teknik elektroforesis dan dideteksi lewat pewarna nitrat perak. Pita DNA diskor berdasarkan ada (1) dan tidak ada (0) pita.

Citra sidikjari diproses awal dengan transformasi wavelet sehingga menghasilkan multiresolusi dari citra aslinya. Penggunaan transformasi wavelet ini dimotivasi oleh adanya hasil penelitian tentang transformasi wavelet yang mempunyai kemampuan memunculkan (feature) khusus pada citra yang diteliti. Transformasi wavelet di sini digunakan selain sebagai metode ekstraksi ciri juga sekaligus mereduksi dimensi citra masukan. Citra tereduksi selanjutnya diproses untuk klasifikasinya. Pengenalan dan klasifikasi dengan menerapkan JST mengelompokkan sidikjari ke salah satu pola utama sidikjari (whorl, left loop, right loop, arch, dan tented arch). Sebagai basis masukan jaringan syaraf, digunakan citra ukuran 16x16, yang kemudian dianalisis juga pengaruh besarnya dimensi vektor masukan terhadap unjuk kerja pengenalan. (Minarni, 2004).

Menurut Kanata (2008); Alihragam gelombang-singkat yang digunakan Wavelet Daubechies yang merupakan wavelet terbaik untuk pencarian citra. Alihragam wavelet berfungsi untuk mengekstrak citra sidikjari menjadi ciri-ciri


(38)

citra dengan cara memilih sejumlah kecil koefisien hasil alihragam yang memiliki magnitude terbesar (Koefisien Aproksimasi). Ruang warna yang digunakan YIQ yang merupakan ruang warna yang baik untuk pencarian citra dan hanya diambil luminansnya (Y) yang merupakan skala keabuan. Hasil eksraksi citra sidik jari asli digunakan untuk dilatihkan pada jaringan syaraf tiruan backpropagation, sedangkan pengujian berupa citra sidik jari asli dan sidikjari terdistorsi.

2.3. Optik Bawah Air

Penggambaran yang berhubungan dengan kemampuan melihat di bawah air dibatasi oleh volume cahaya yang menyebar secara umum di kolom air yang dilintasi sebagai area sapuan oleh kamera dan sumber cahaya. Dalam masalah ini, sistim penggambaran adalah berlawanan-terbatas. Pada situasi yang lain, perbedaan gambar mungkin akan sangat besar berbeda, bagaimanapun banyaknya daya yang turun dan diterima sensor mungkin terlalu kecil untuk dideteksi; kasus ini terjadi untuk penggambaran dengan daya terbatas.(Jaffe, 1998).

Kemungkinan melakukan pembuatan gambar bawah air untuk jarak yang jauh sungguh terbatas. Melalui perjalanan pergi pulang, intensitas beam cahaya mengalami atenuasi secara exponensial, eP

-2cr

P, dimana total koefisien atenuasi dan r adalah jarak dari sumber ke obyek. Dengan asumsi bahwa satu kilowatt dari satuan energy dalam cahaya dengan panjang gelombang 488 nanometer, nilai dari atenuasi (karena panjang jarak) dapat dihasilkan dalam penerimaan tunggal adalah diperkirakan sebesar 50. (Jaffe, 1998).

Dasar yang disepakati pada disain penggambaran (image) bawah air adalah pemisahan antara kamera dan cahaya. Kekontrasan dan daya/power secara keseluruhan bergantung pada situasi yang alamiah. Suatu pengukuran yang tepat yang dihasilkan dari suatu sistim penggambaran bawah air dalam jarak total panjang atenuasi sebagaimana sistim yang dibuat mampu menerima gambar. Sistem konvensional menggunakan penentuan posisi bersamaan dari kamera dan cahaya dapat menghasilkan gambar yang baik 1 atenuasi panjang. tapi akan sebaliknya akan sangat terbatas pada jarak lebih besar. System pemisahan antara kamera dan cahaya dapat menghasilkan gambar pada jarak hingga 2 – 3 panjang atenuasi. Tapi jarak yang sangat besar akan sangat berharap pada hamburan balik.


(39)

Pemisahan jarak pengoperasian adalah 3-5 meter. (Harris and Ballard, 1986 dalam Jaffe, 1998). Untuk jarak yang besar melebihi 3 atenuasi panjang dibutuhkan sistem yang lebih rumit; sebagai contoh; laser range-gatet system dan scanning light beam. (Jaffe, 1998).

Sudah pasti bahwa fisika dasar perambatan dari pada cahaya di dalam laut dipengaruhi oleh keseluruhan tampilan sistem penggambaran secara optikal di bawah air, seperti transparansi dari medium intergalaksi yang memberi peluang untuk para astronom melihat jarak obyek-obyek. Di lautan, sifat optis yang tidak dapat dipisahkan atau Inherent Optics Properties (IOPs) adalah parameter-parameter yang menyebabkan perambatan dari cahaya. Jadi, serapan dan hamburan haruslah diperhitungkan dalam memperkirakan bentuk tampilan dari sistim penggambaran bawah air dalam situasi yang bervariasi. Untuk penggunaan dari sistim simulasi dan permodelan, akurasi data diperlukan untuk atenuasi sebagai bagian dalam menduga jarak penggambaran, permukaan yang menghamburkan, yang mengakibatkan gambar menjadi kabur dan latarbelakang hamburan balik cahaya, yang mana batasan secara umum perbedaan dari gambar bawah air yang terbentuk oleh kilauan cahaya. Untung kemajuan saat ini instrumentasi optik untuk pengukuran parameter saat ini menjanjikan peningkatan pengetahuan kita tentang hal ini. (Jaffe, et al, 2001).

2.4. Citra dan Warna

Secara harafiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dwiwarna (dua dimensi). Jika ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi penerus (continu) dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Sumber cahaya menerangi obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik, misalnya mata pada manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan obyek yang disebut citra tersebut direkam (Munir, 2004)

Penangkapan (capture) warna pada suatu citra meliputi penangkapan tiga citra secara simultan. Dengan sistim RGB (Red Green Blue), sebagai suatu standarisasi industry, intensitas masing-masing warna baik red, green, ataupun blue harus diukur pada masing-masing spot. Dengan kamera yang beroperasi


(40)

secara linear yang menjelajahi keseluruhan visible spectrum, kumpulan-kumpulan warna yang sederhana dapat digunakan untuk mengambil tiga citra, yang masing-masing, satu untuk spektra red, green, dan blue. (Fadlisyah, 2007)

Beberapa perangkat keras standard, untuk menghasilkan warna, memiliki model-model tertentu yang berbeda satu sama lain dalam penyimpanan warna. Pada umumnya sebuah pixel warna ditampilkan sebagai suatu titik pada ruang tiga dimensi. Ruang tersebut memiliki suatu sumbu yang diberi label sebagai warna independen (red, green dan blue), atau juga memiliki suatu indicator independen seperti hue, luminosity (lightness), dan saturation. (Fadlisyah, 2007)

Commission International de l’Eclairage (CIE) atau International Lighting Committee adalah lembaga yang membakukan warna pada tahun 1931. CIE mula-mula menstandarkan panjang gelombang warna-warna pokok sebagai berikut; R : 700 nm, G : 546.1 nm, 435.8 nm, dimana warna-warna lain dapat dihasilkan dengan mengkombinasikan ketiga warna pokok tersebut. Namun RGB bukan satu-satunya warna pokok yang dapat digunakan untuk menghasilkan kombinasi warna. Warna lain dapat juga digunakan sebagai warna pokok misalnya C = Cyan, M = Magenta, dan Y = Yellow). Ketiga warna CMY ini merupakan warna komplementer dari RGB. Dua buah warna disebut komplementer jika dicampur dengan perbandingan yang tepat menghasilkan warna putih. Misalnya, magenta jika dicampur dengan perbandingan yang tepat dengan green menghasilkan putih, karena itu magenta adalah komplemen dari green. Model CMY dapat diperoleh dari model RGB dengan perhitungan bahwa; C = 1-R, M = 1-G, Y = 1-B. (Munir, 2004)

2.5. Peramalan (Interpolasi dan Exkstrapolasi)

2.5.1. Pengertian Peramalan

Peramalan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang mengenai obyek tertentu dengan menggunakan pertimbangan, pengalaman-pengalaman ataupun data historis. Dari definisi diatas terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan pengertiannya, antara lain:


(41)

1. Peristiwa; adalah suatu kejadian tentang suatu obyek yang merupakan hasil suatu proses atau kegiatan; misalnya baik/buruk, turun/naik, atau mendatar dan lain sebagainya.

2. Waktu yang akan datang; Maksudnya peristiwa yang ingin diramal itu adalah kejadian masa datang.

3. Pertimbangan, intuisi, pengalaman, ataupun data historis. Adalah merupakan variable-variabel yang digunakan untuk melakukan peramalan.

Dengan memperhatikan uraian diatas, maka peramalan merupakan proses atau metode dalam meramal suatu peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dengan berdasarkan pada variable-variabel tertentu.

2.5.2. Metode-metode Peramalan

Peramalan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Melakukan peramalan secara kuantitatif, artinya menggunakan data angka, sebab variabel yang diramal itu hanya terbatas pada variabelvariabel yang dapat di ukur secara kuantitatif. Jelas bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk melakukan peramalan itu adalah benar-benar secara teoritis. Pada umumnya, peramalan kuantitatif dapat dikelompokkan dalam 2 model, yaitu:

i. Model deret berkala (time-series) ii. Model regresi (kausal)

Kedua model tersebut hanya dapat diterapkan apabila terpenuhi beberapa kondisi, antara lain:

a. Tersedianya informasi tentang masa lalu.

b. Informasi tersebut bersifat kuantitatif atau dikuantitatifkan menjadi data angka.

c. Diasumsikan bahwa pola masa lalu akan berkelanjutan pada pola masa datang.

Dengan model deret berkala kita berusaha menduga nilai suatu variabel untuk masa datang dengan menggunakan nilai-nilai variabel tersebut pada masa lalu. Artinya dengan menganalisis pola data masa lalu secara deret berkala untuk melakukan ekstrapolasi bagi nilai masa datang. Ini tentu saja kita berasumsi


(42)

bahwa adanya kesinambungan kondisi antar masa lalu dan masa datang.(Satyawan, 2008)

2.6. Wahana Bawah Air

Wahana bawah air dalam bidang observasi bawah air kini telah berkembang pesat untuk kepentingan eksplorasi sumberdaya laut. Wahana-wahana ini dapat berupa robot-robot ataupun mini kapal selam yang dilengkapi peralatan akustik, navigasi dan kamera serta tangan-tangan untuk pengambilan sampel. Wahana-wahana ini kita kenal dengan Remotely Operated Vehicles (ROV) dan Autonomous Underwater Vehicles (AUV), yang dapat dioperasikan tanpa kabel, ada juga dengan sistem kabel, serta yang menggunakan awak ataupun tanpa awak. Sebagian observasi laut dalam menggunakan jaringan kabel. Jaringan ini memungkinkan sampling data dari Samudra dengan temporal tinggi dan resolusi vertikal. Melalui kabel ke darat. Jaringan ini memonitor dan menunjukkan secara real time. Satu komponen dari observasi ini adalah penggunaan bentuk plat form ROVs. ROVs dapat digunakan untuk pemantauan bawah air dan melakukan sedikit pemeliharaan pada bagian struktur navigasi. ROVs adalah satu klas dari Maneuverable Underwater Robotic Vehicles dengan ditambatkan melalui sebuah kawat ke stasiun operator dipermukaan. Kekuatan membawa pusat dan signal operasi ke ROV dan pengembalian gambar, still images, status pembawa dan data sensor ke stasiun operator (Kidby 2006). Teknologi ROV dibutuhkan pada perminyakan lepas pantai, hidroelektronik dan kekuatan industri nuklir, dan berbagai kepentingan militer (angkatan laut).

ROV Ventana adalah sebuah wahana bawah air yang mampu melayang – layang dapat menyelam sampai kedalaman 1500 m dan membawa seperangkat instrument, camera, sebuah defenisi kamera yang tinggi ,manipulator untuk pekerjaaan dan signal kembali dari instrumen dan alat untuk sampling dasar lautan dan hewan – hewan di tengah kolom air. Pada ROV Model Pegasus, Insite Pasifik. Inc, diguanakan camera warna dengan auto focus. Model ini mempunyai bagian horizontal dengan sudut pandang 48 P

0

P

dan vertikal dengan sudut pandang 37P

0


(43)

Heading Reference System (AHRS). Komponen perangkat lunak memiliki kemampuan visual traking yang tingggi.

2.7. Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22P

o

PC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).

Beberapa genera hermatypic corals penting yang ada di Indo-Pacific tidak ditemukan didaerah Atlantik (Vaughan, 1919). Genera terebut meliputi

Pocillopora, Hydnophora, Leptoria, Pavona dan Goniopora. Demikian pula beberapa jenis karang yang ada di Atlantik tidak dijumpai di Indo-Pacifik. Mengenai jumlah jenis, tidak hanya jumlah genera yang lebih sedikit di daerah Atlantik, akan tetapi jumlah spesies per genus, dibandingkan dengan ada di daerah Indo-Pacifik. Sebagai contoh, Genus Acropora, didaerah Indo-Pacific tercatat sekitar 150 species, akan tetapi hanya ada tiga di Atlantik. Demikian juga genus

Porites, masing-masing tercatat ada 30 species di Indo-Pacific dan 3 species di daerah Atlantik. Menurut Wells (1964) keanekaragaman yang terbesar berada di wilayah Indo-Pacific, tercatat di daerah Melanesia, Asia Tenggara, dan yang paling tinggi tercatat di Indonesia (Rosen, 1971), yaitu dengan lebih dari 50 genera dan 700 species, sedangkan diperairan terumbu karang di kawasan Indo-Pacific lainya hanya mempunyai keanekaragaman sekitar 20-40 genera (Stoddart, 1969). Menurut perkiraan, terumbu karang yang ada di Indonesia menempati area seluas 7.500 kmP

2

P dari luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1992). Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis karang yang mendominasi di perairan tersebut adalah dari genera Acropora, Montipora dan

Porites, dan mempunyai jumlah species yang cukup banyak. Sebagai contoh genus Acropora, di Sumatera Barat tercatat ada 49 species, Laut Jawa ada 63 species, Sulawesi Selatan ada 75 species, Flores dan Sumbawa ada 65 species


(44)

(Moosa et al, 1996). Jumlah total scleractinian corals yang ditemukan di perairan Indonesia pada mulanya dilaporkan ada sekitar 362 species, yang berasal dari 76 genera. Namun hasil Expedisi Snellius II tahun 1984, jumlah genera scleractinian corals ditemukan hanya 75 genera, yang terdiri dari 350 species (Borel-Best et al,1989).

Dalam pengukuran kelimpahan dan keanekaragaman karang, peneliti mengalami keraguan tentang jenis karang yang diamati atau diteliti. Berkaitan dengan ini perlu dilakukan pengambilan sampel karang tersebut. Sampel karang yang diambil dianjurkan tidak terlampau besar, karena bisa merusak ekosistim terumbu karang, namun juga tidak terlampau kecil, karena sulit diidentifikasi. (Supriharyono, 2007). Dikatakan pula bahwa untuk identifikasi karang digunakan kunci identifikasi karang, yang sesuai dengan daerah atau lokasi pengambilannya. Indo-Pacific atau Caribbean karang.


(45)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian pada tahap perancangan dan pembuatan wahana dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi, Institut Pertanian Bogor kemudian pengambilan data lapang di Perairan Pantai Tanjung Kolser, Pulau Nuhuroa di Kepulauan Kei, Maluku. Lokasi ini memiliki perairan yang tenang karena merupakan perairan semi tertutup sehingga tenang dan aman dari terjangan ombak, sehingga memperkecil sudut tilt, yaw dan roll atau pitching dari wahana Penggambaran Bawah Air yang digunakan.

Gambar 5, Lokasi Penelitian Tanjung Kolser, Kepulauan Kei, Maluku.(lampiran 1. peta 3Dimensi bathymetri; titik-titik lifeform)


(46)

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan fase merancang dan membangun Wahana Pencitraan Bawah Air (WPBA), kemudian pengambilan data lapang di perairan berkarang, serta pengolahan data dan analisis, yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1, Alokasi penggunaan waktu selama masa penelitian berlangsung

N

o Uraian

Maret April Mei Juni Juli-dst

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 Rancang Bangun

Wahana

a Uji perangkat

elektronik

b Uji Stabilitas

Kolam

c Uji Pemotretan

Lab.

2 Kalibrasi Kamera

a Kalibrasi Darat

b Kalibrasi Laut

3 Data Penunjang

c Kecerahan

d Bathymetri

4 Data Citra

E Life Form 1

F Life Form 2

g Life Form 3

5 Pengolahan Data

6 Analisis Data

7 Seminar

8 Thesis

3.2. Bahan dan Alat

Dalam penelitian ini digunakan beberapa bahan, peralatan termasuk juga perangkat keras dan perangkat lunak secara skematis untuk pengambilan data, proses pengolahan data serta analisis (Tabel 2)


(47)

Tabel 2, Tabulasi bahan dan peralatan serta fungsinya dalam penelitian ini

No Alat/Bahan Fungsi

1 WPBA Alat utama pengambilan data

a) Kamera Sony CCTV Photo Resolution

VGA 640x480 dan Video Performance QVGA 320x240 5 fps + Cashing Kedap Air

pembuatan citra dan video

b) Garmin GPSmap Sounder C170

portable Bathymetry dan Geo-positioning

c) 2 bh Lampu 50 Wat, kedap air Untuk pencahayaan

d) Vitek Color LCD Car Television

10" Untuk tampilan FOV+Target Life Form

e) DVR 60800, Stik Kontrol +

Memori SD External 2 GB

Kontrol sistim dan penyimpanan data citra dan video

f) Unit Power System 3000 Wat Sumber energy perangkat di wahana

yang beraliran AC.

g) Accu 24 VA Sumber energy perangkat di wahana

yang beraliran DC.

2 Obyek Hexagon putih Obyek target untuk kalibrasi

3 Sechi Disk Pengukuran kecerahan

4 Alat selam Pemantauan dan verifikasi

5 Sony Underwater camera 10.1 Mega

pixel Dokumentasi

6 Computer Unit Pengolahan data dan Untuk analisis

7 Perangkat lunak Photoshop versi 7.0 Pre-procesing dan ekstraksi

8 Perangkat lunak Imagej Pre-procesing dan ekstraksi

9 Perangkat lunak Arc View GIS 3.3 Layout Peta

10 Perangkat lunak Surfer 08 Layout Bathymetri

11 Perangkat lunak Matlab 7.0 Alat analisis Neural Network

12 Perangkat lunak Minitab 14 Alat analisis Statistik

13 Corel Draw 14 Disain gambar teknik wahana

14 Tangki percobaan

laboratorium+Kolam Uji Wahana dan Sistem

15 Motor Tempel Untuk pembuatan data

lapangan+transportasi

3.3. Metode

Penelitian ini dikerjakan dalam dua tahap utama yaitu: rancang bangun WPBA yang di uji dilaboratorium dan penelitian lapang untuk pengambilan citra dari target berupa lifeform karang, secara rinci akan dijelaskan secara poin sebagaimana berikut.


(48)

3.3.1. Rancang Bangun Wahana Pencitraan Bawah Air

Efisiensi sebuah pekerjaan survey maupun riset di lapang sangat dipengaruhi oleh metode dan peralatan yang dipergunakan. Hal ini merupakan alasan rasional bagi sebuah pemikiran untuk perancangan wahana ini. Disisi lain secara ilmiah, dengan mengacu pada prinsip dasar dari metode manta tow dan prinsip kerja dari wahana bawah laut yang modern seperti Remotely Operated Vehicle (ROV), Autonomous Underwater Vehicle (AUV), dan versi lainya, maka dilakukan pembuatan WPBA yang merupakan sebuah penyederhanaan wahana bawah air yang modern agar lebih efisien dari segi pembiayaan maupun lebih sederhana pengoperasiannya.

WPBA terdiri dari rangka utama besi stainless steel 316, yang di pasang dua pelampung disisi kiri dan kanan dari bahan PVC, sedangkan untuk perangkat elektreonik dilengkapi dengan Sony CCTV, GPSmap Sounder serta Lampu sebagai sumber cahaya yang kesemuanya terinstalasi dan bekerja secara bersamaan untuk menghasilkan data citra yang terkoreksi koodinat dan kedalaman keberadaanya. Sehingga dengan data tersebut dapat dilakukan identifikasi dan kuantifikasi obyek maupun area sapuannya.

Kamera bawah air berfungsi melakukan pemotretan ataupun merekan data berupa video, dimana prose pencuplikan dan perekaman diatur menggunakan sebuah Stick DVR 60800 dengan mengatur model video dan jeda waktu setiap pencuplikan citra. Untuk pengawasan dan pemantauan langsung digunakan Vitek Color LCD Car, dan untuk penyimpanan data mentah menggunakan Eksternal Memori SD yang terpasang pada Stick DVR.

Geo-positioning (penentuan data koordinat lintang dan bujur) digunakan receiver dari GPSmap Sounder 170 C portable yang sekaligus memiliki transducer single beam untuk pengukuran kedalaman. Kebutuhan cahaya yang stabil diperlukan untuk mengatasi kondisi cuaca yang mempengaruhi iluminasi sinar matahari kedalam perairan, untuk maksud tersebut digunakan dua unit lampu kedap air dengan daya masing masing 50 Watt. (total 100 Watt). Semua data kemudian dimasukan ke dalam komputer.(Bab IV, Gambar 18 - 25)


(49)

3.3.2. Metode Pengambilan Data 3.3.2.1. Pengambilan Data Pendukung

a) Kalibrasi Field Of View dan Camera View Angle

Kalibrasi beam kamera dilakukan agar mendapatkan ketetapan rasio hubungan antara kedalaman terhadap ukuran Field Of View (FOV). FOV merupakan kuantifikasi terhadap perubahan kedalaman yang menentukan luasan FOV yang dihasilkan, hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh besar sudut beam atau Camera View Angle (CVA) yang sudah menjadi standar keluaran pabrik, yang harus di uji pengoperasiannya di darat dan di dalam air laut.

Kalibrasi dilakukan dengan mengukur setiap perubahan kedalaman terhadap ukuran area sapuan yang diakibatkan oleh perubahan kedalaman tersebut dengan memperhatikan besar sudut beam kamera. Persegi panjang dari sebuah bentuk menyerupai irisan piramida dengan sisi berupa segi tiga sama kaki merupakan bentuk terusan mengikuti pola FOV A ke B juga C (Gambar 6), sehingga jika B dan C merupakan Paralel dari A maka, dari rumusan Clemens. S.R, et al, 1984(hal 415) dinyatakan bahwa;

Jika ………... (18)

Gambar 6, Ilustrasi Piramida dengan irisan-irisan(S) yang menjelaskan luas area. Berdasarkan perubahan jarak (A, C, B)

Sehingga untuk penelitian ini perumusan metodenya menjadi berikut ini;

Jika ………(19)

Dapat dilihat ilustrasinya pada Gambar 7.

S’ S A

C


(50)

Gambar 7, Ilustrasi metode kalibrasi kedalaman terhadap area sapuan dengan memperhitungkan beam kamera.

Sehingga teknik kerja yang dilakukan di darat dapat berlaku sama dengan di laut, adalah sebagaimana berikut (untuk kalibrasi darat);

• Obyek hexagon putih di tempatkan pada papan hitam dengan diberi marka area 1 x 1 m

• Pada lantai diberikan skala jarak setiap 30 cm sebagai acuan perlakuan jarak.

• Wahana yang sudah terinstalasi di tempatkan sejajar horizontal agar axis obyek dan axis kamera berhimpit.

• Pemotretan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap jarak 30 cm termasuk jarak referensi 1 meter, dilakukan 31 kali perubahan jarak

Kemudian untuk kalibrasi dilaut, dilakukan sebagaimana prosedur berikut;

• Sebelum kalibrasi, terlebih dahulu dilakukan pengukuran kecerahan dengan secchi disk, dimana hingga kedalaman dasar laut (11m) kecerahan tampak masih 100%, dan obyek mulai tidak jelas saat Z ≤ 11m (10.5m)

• Tali yang telah diberi penanda di setiap 30 cm, ditambatkan pada obyek hexagon berwarna putih tepat di tengah.

• Kemudian obyek ditempatkan tepat di bawah kamera, sejajar axis keduanya

• Obyek diturunkan bertahap sesuai jarak tiap 30 cm hingga 30 kali (9m).

• Tiap jarak dilakukan pemotretan 3 kali, juga jarak referensi 1 meter.


(51)

a) Pengukuran Kecerahan

Prosedur pengukuran tingkat kecerahan perairan dilakukan dengan ;

• menggunakan Secchi Disk berwarna putih, berdiameter 30 cm yang diikatkan dengan tali yang diberi penanda setiap jeda jarak 30 cm.

• secchi disk kemudian dimasukan ke dalam laut secara perlahan hingga bentuk dan warna tidak lagi tampak pada kedalaman tertentu sebagaimana kondisi perairan saat itu dan jarak dicatat.

• Setelah itu secchi disk kemudian ditarik kembali perlahan hingga bentuk dan warna terlihat jelas dan pada jarak tersebut penarikan dihentikan, kemudian dilakukan pencatatan jarak kedalaman sebagai persentase kecerahan dengan melakukan perbandingan terhadap persentase sebagaimana butir dua.

b) Bathymetri

Hubungannya dengan penggunaan data kedalaman untuk kuantifikasi luasan area sapuan (FOV), ukuran lifeform target juga visualisasi pola tiga dimensi lokasi penelitian sebagai data penunjang, maka digunakan GPSmap Sounder C170 Portable, dengan tranducer single beam yang telah terinstalasi pada WPBA, untuk mendeteksi kedalaman perairan secara stasioner untuk titik sampling citra lifeform dan pemantauan, pengukuran bathymetri lokasi dengan melakukan towing WPBA secara Cruise Track Transek Paralel.

c) Geo-positioning

Akurasi data yang berhubungan dengan kebenaran tentang keberadaan lifeform, titik kedalamannya serta penentuan posisi koordinat lokasi sebagai data yang saling terkait dengan data kedalaman dalam format XYZ adalah sangat penting untuk dilakukan, dimana pengambilan data ini dilakukan secara bersamaan data bathymetry, dengan menggunakan GPSmap Sounder C170 Portable yang telah terinstalasi termasuk receiver pada WPBA


(52)

3.3.2.2. Teknik Pengambilan Data Citra

Pekerjaan pengambilan data lapangan mulai dilakukan, setelah terlebih dahulu dilakukan towing zig-zag wahana (cruise track) di area penelitian untuk mendapatkan posisi yang ideal, dengan memperhitungkan situasi dan kondisi nyata habitat karang, faktor oseanografis, cuaca, serta kemungkinan lain yang berpeluang mengganggu tingkat akurasi, efisiensi juga efektifitas pekerjaan yang mau dilakukan. Kemudian citra karang diperoleh dengan melakukan pemotretan terhadap beberapa jenis life form karang dari arah vertical (atas) dengan titik dan jarak yang ditentukan dimana pengambilan data dilakukan berulang-ulang, dengan asumsi bahwa setiap perubahan situasi akan mempengaruhi citra, sehingga akan didapatkan data citra dalam jumlah banyak namun berbeda-beda terhadap setiap lifeform karang. Jumlah lifeform yang menjadi target pengambilan data adalah tiga lifeform yang masing masing berjumlah 3000 data citra, sehingga total citra yang dihasilkan berjumlah 9000 data citra.

Pelaksanaan aktifitas pemotretan dilangsungkan dengan memperhitungkan waktu efektif dari penyinaran matahari dengan sudut terhadap permukaan laut yang efektif menghasilkan iluminasi maksimum kedalam perairan yakni saat sudut datang cahaya adalah 45° timur dari sumbu vertical tertinggi kuliminasi matahari hingga sudut 45° barat setelah titik tertinggi kulminasi matahari.

Menurut Antony J.F (2005;

pada sudut penetrasi 45° terjadi reflektansi hanya sebesar 3.5% saja dan makin kecil hingga menjadi 0% saat matahari tegak lurus (90°). Hal ini menjadikan asumsi bahwa perbedaan besar-kecilnya sudut penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan akan memberikan dampak terhadap kecerahan laut yang mempengaruhi resolusi serta gangguan fisis air pada citra yang diproleh akan berbeda dari target atau jenis yang sama. (lihat skenario Gambar 8 - 10)


(1)

Grafik 49, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 18 (iterasi 18) Lanjutan lampiran 12; Grafik SSE untuk 30 kelompok data iterasi 1 sampai 30.

Grafik 50, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 19 (iterasi 19)


(2)

Grafik 52, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 21 (iterasi 21)

Lanjutan lampiran 12; Grafik SSE untuk 30 kelompok data iterasi 1 sampai 30.

Grafik 53, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 22 (iterasi 22)


(3)

Grafik 55, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 24 (iterasi 24) Lanjutan lampiran 12; Grafik SSE untuk 30 kelompok data iterasi 1 sampai 30.


(4)

Grafik 58, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 27 (iterasi 27) Lanjutan lampiran 12; Grafik SSE untuk 30 kelompok data iterasi 1 sampai 30.

Grafik 59, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 28 (iterasi 28)


(5)

Grafik 61, Sum Square Error (SSE) JST di pelatihan kelompok data 30 (iterasi 30) Lampiran 13, Metode Survei menurut Setyobudiandi, dkk. (2009).

METODE MANTA TOW

KELEBIHAN KELEMAHAN

• Mudah dan praktis dilakukan

• Dapat dioperasikan oleh tenaga yang tidak berpengalaman

• Cakupan lokasi pengambilan contoh luas dalam waktu yang singkat

• Tidak memerlukan peralatan yang berat

• Mudah dilakukan pada daerah yang terpencil(remote area)

• Tidak memerlukan tenaga yang banyak, karena pengamat ditarik oleh perahu (passive moving)

• Tidak merusak karang karena pengamat tidak bersentuhan dengan biota karang

• Kuantitas data besar, dan cukup memadai untuk tujuan monitoring kelimpahan biota berdasarkan nilai tutupan biota karang

• Sering terjadi kekosongan data, misalnya hamparan pasir atau hanya kolom air, karena pengamatan hanya dari permukaan perairan.

• Biota yang berukuran kecil < 5cm tidak terdata

• Adanya bias dalam hal perhitungan kelimpahan biota, misalnya jumlah Acanchaster, Diadema atau Teripang.

• Adanya bias dalam me-record data kedalam data sheet, karena kelupaan pengamat (banyak yang harus diingat)

• Tidak dapat dilakukan pada perairan yang keruh, karena jarak pandang yang terbatas

• Hanya untuk pengamatan global

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)


(6)

• Tidak merusak biota karang • Dapat digunakan peneliti tanpa

harus menguasai jenis spesies biota karang

• Peralatan yang diperlukan cukup sederhana dan praktis dalam pengoperasiannya

• Cukup memadai untuk mengetahui kondisi terumbu karang

berdasarkan lifeform-nya • Cakupan area cukup luas dan

memadai untuk kajian kuantitatif kelimpahan dan distribusi biota berdasarkan lifeform-nya

• Ada bias dalam penentuan kategori lifeform antara satu pengamat dengan yang lainnya

• Kajian studi terbatas hanya kategori life form

• Tidak cukup akurat untuk mengkaji perubahan kondisi terumbu karang secara temporal, pertumbuhan dan mortalitas, kecuali ditambah dengan data photografi

Lanjutan Lampiran 13, Metode Survei menurut Setyobudiandi, dkk. (2009). TRANSEK KUADRAT

KELEBIHAN KELEMAHAN

• Tidak merusak biota karang

• Dapat digunakan untuk mengamati biota pada ukuran yang kecil • Menghasilkan informasi yang

bervariasi dan lengkap tentang perubahan suatu komunitas secara temporal di lokasi pengamatan • Sangat memadai untuk mengkaji

tingkat pertumbuhan, kematian dan rekruitmen biota karang secara temporal.

• Cukup memadai untuk

memetakan profil terumbu karang

• Waktu dan tenaga dalam pengoperasiannya banyak • Cakupan area terbatas

• Pengoperasiannya sulit pada perairan yang berarus kuat • Pengoperasian alat photografi

memerlukan banyak peralatan tambahan, karena umumnya profil tumbuh terumbu karang secara vertikal tidak beraturan

• Ada kesulitan dalam mengekstrak photo komposit biota karang dalam satu transek

• Tidak dapat dilakukan pada perairan yang keruh, karena jarak pandang yang terbatas

• Hanya untuk pengamatan yang global