Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia ingin menciptakan sebuah kedamaian satu sama lain di kehidupannya. Dengan berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan melalui kedamaian tersebut, tentulah dengan membangun rasa hormat dan kasih sayang terhadap sesama mahluk ciptaan Allah SWT. Misalnya dengan membentuk masyarakat kecil melalui sebuah perkawinan yang ujungnya akan terlahir kedamaian dan kebahagiaan bila saling menaruh nilai-nilai rasa kasih dan sayang dalam mengarungi kehidupan bahtera rumah tangga, baik suka dan dukanya diterima dengan lapang dada yang mungkin ujian dan cobaan merupakan sebuah kodrat bagi makhluk-Nya, demi untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Maka masalah-masalah apapun dapat terselesaikan dengan baik. Namun tidaklah mudah mewujudkan kedamaiaan dan keharmonisan melalui perkawinan bila terus di dasari dengan nafsu amarah dan emosi yang berlebihan yang dapat menggoyahkan mahligai perkawinan dalam rumah tangga. Itu sebabnya tidak menutup kemungkinan perselisihan dan persengketaan yang terlalu lama tanpa adanya upaya kedamaian dan solusi untuk menyatukan maka perceraianlah yang menjadi ujung solusi baginya. Meski perceraian merupakan satu-satunya jalan sebagai pemisah antara mereka. Setiap usaha untuk merusak hubungan perkawinan dan melemahkan adalah yang dibenci Islam, karena merupakan merusak sendi-sendi kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri. 1 + , - . . 0 1 2 Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang sangat di benci Allah Azza Wajalla ialah talak .HR. Abu Dawud dan Hakim dan yang mengesyahkannya Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus dalam suatu rumah tangga tidaklah selalu digambarkan adanya pertengkaran secara fisik maupun melalui kata-kata yang tidak senonoh ataupun mengucapkan kata talak, baik secara sharih jelas maupun khinayah sindiran bermaksud mentalaq tetapi juga dapat suatu pertengkaran itu berupa adanya acuh tidak ada komunikasi dan mendiamkan satu sama lain yang menunjukkan tidak ada harapan lagi keduanya akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. 3 Apabila perceraian memang sebagai jalan yang ditempuh, maka kedua pasangan diantara salah satunya untuk menunjuk Pengadilan sebagai jalan tengah dalam menemukan keadilan untuk masalah sengketa perkawinan dan akibat- akibatnya. Dalam hal ini, Pengadilan sangat berperan penting untuk memecahkan masalah tersebut. Tanpa adanya pengajuan kepada Pengadilan oleh para pihak yang berperkara, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu perkara di 1 Al-Sayyid Sabiq. Fiqih SunnahTerjemah, Bandung:PT Almaarif,1996,Cet,ke-2,jilid 9,h 9. 2 Al-Hafidz Abu Dawud. Sunan Abu Dawud, Beirut:Daar al-Fiqri, 1994, jilid 2, h.500 3 Arsip Putusan No.78Pdt.G2007PA.JP Pengadilan baru dapat diperiksa setelah adanya suatu permohonan dan atau gugatan. Seperti yang termuat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang- Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Cara mengajukan gugatan dan atau permohonan, keduanya memiliki kesamaan, baik gugatan atau permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak dan di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam suatu gugatan harus ada suatu sengketa antara pihak yang berperkara, demikian pula dalam suatu permohonan juga harus ada sengketa antara dua pihak yang berperkara. Pihak yang berperkara menghadap hakim untuk mendapat suatu putusan. Dalam hal gugatan dan permohonan ada berbagai macam formulasi gugatan yang biasa digunakan di Pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Mengajukan suatu gugatan atau permohonan tidak sembarangan, karena setiap gugatan atau permohonan itu harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku dimasing-masing lingkungan Peradilan. Suatu gugatan dapat digabungkan atau dikumulasi menjadi satu surat gugat, misalnya cerai gugat disertai gugatan penguasaan dan nafkah anak. Kemudian dalam gugatan atau permohonan tidak dikumulasikan dengan hal-hal tersebut, maka pihak lawan dalam hal ini tergugat atau termohon dapat mengajukan gugatan balik atau rekonpensi dalam hal-hal tersebut pada waktu menjawab gugatan pokok. Hal ini sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yaitu: Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap Sekilas tentang pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tidak menyebutkan adanya gugat rekonpensi. Berarti menandakan bahwa gugat rekonpensi tidak diatur secara tegas dan jelas di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai hukum formil bagi Peradilan Agama. Walaupun demikian tidak berarti tidak ada aturan lain yang mengatur akan hal gugat rekonpensi di Pengadilan Agama. Seperti pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama berbunyi: Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Jadi mengenai gugat rekonpensi walaupun tidak diatur secara tegas dalam undang-undang tersebut, akan tetapi dapat di dasarkan dalam 132 a dan 132 b ps. 157,158 Rbg yang dialihkan dari Rv dan disisipkan pada tahun 1927 yang menjadikan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Umum. Walaupun demikian, Menurut pemahaman Penulis, apabila pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bila dipahami mendalam maka dalam gugatan atas perceraian, pihak lawan dapat mengajukan gugat rekonpensi tentang akibat perceraian, seperti gugatan penguasaan anak dan nafkah anak. Oleh karena itu, maka kumulasi tuntutan hak dalam gugatan rekonpensi itu akan mencapai tujuannya apabila gugatan-gugatan itu saling berhubungan. Dalam perkara perceraian di lingkungan Pengadilan Agama, terdapat permasalahan ketika seorang suami dengan isterinya bercerai, yakni muncul persoalan tentang penguasaan anak dan nafkah anak. Masalah ini bila hendak diselesaikan dengan tidak menghabiskan waktu yang lama, dapat diajukan dengan menggabungkan bersama permohonan cerai gugat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bila tidak digabungkan permohonan cerai gugat sekaligus dengan masalah penguasaan dan nafkah anak. Maka pihak suami dapat memungkinkan mengajukan gugat rekonpensi tentang penguasaan dan nafkah anak. Sesuai dengan pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang membolehkan menggabungkan permohonan cerai gugat dengan penguasaan dan nafkah anak. Maka hal tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugat rekonpensi yang bersamaan dengan gugat perceraian, karena antara gugat perceraian sebagai pokok perkara sangat erat kaitannya dengan gugatan penguasaan dan nafkah anak. Dengan demikian suami isteri dalam perkara perceraian dikaitkan dengan akibat perceraian sudah sama-sama diberi cara oleh hukum yang seadil-adilnya dan juga berimbang dengan adanya rekonpensi. 4 Tuntutan rekonpensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermuda prosedur, dan menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain, jadi mempunyai alasan praktis untuk menetralisir tuntutan konpensi. Terutama bagi tergugat gugat rekonpensi ini menghemat biaya, karena tidak diwajibkan untuk 4 Raihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001, h.89 membayar biaya perkara 5 . Hal ini sesuai dengan azas Peradilan, bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 5 ayat 1 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sehingga permeriksaan perkara menjadi efisien. Seperti yang dikemukakan para pakar hukum oleh R. Supomo, dalam gugat rekonpensi memiliki beberapa manfaat, yakni; 1. Menghemat ongkos perkara; 2. Mempermuda prosedur; dan 3. Menghindarkan putusan-putusan yang bertentangan. 6 Begitu juga yang dipaparkan oleh pakar hukum seperti Raihan A.Rasyid tentang pentingnya gugatan rekonpensi. Bahwa gugatan rekonpensi ini menghemat biaya, sebab penggugat rekonpensi tidak perlu membayar Vorschot ongkos perkara. Bahkan ongkos perkara cukup hanya untuk satu proses sekaligus serta menghemat waktu, tenaga, sebab pemeriksaan, mengadili, dan penyelesaian perkara tidak perlu dua kali, selain itu, akan dapat terhindar kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan. 7 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta;Liberty, 1998 Edisi ke-7 Cet,1 h.124 6 R.Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta:Pradnya Paramitha, 1972, Cet.ke-5, h.40 7 Raihan.A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Gragfindo Persada, 2001, Cet ke-8, h.71 Dalam hal rekonpensi ini, tergugat kembali penggugat dan posisinya pun menjadi terbalik, tergugat dalam konpensi menjadi penggugat dalam rekonpensi dan penggugat dalam konpensi menjadi tergugat dalam rekonpensi. 8 Dapat dilihat, pada satu sisi berdiri gugatan konpensi yang diajukan penggugat kepada tergugat. Pada sisi lain, muncul gugatan rekonpensi yang diajukan tergugat kepada penggugat. Secara teknis, pada saat bersamaan saling berhadapan gugatan konpensi dan rekonpensi dalam suatu proses pemeriksaan yang sedang berjalan. Permasalahan yang sering timbul dalam perkara perceraian, khususnya yang disertai dengan gugatan rekonpensi yaitu terdapat perbedaan keputusan antara gugatan konpensi gugatan asal dengan gugatan rekonpensi gugatan balik dalam perceraian, yang mana kalau gugat konpensi dikabulkan maka gugat rekonpensi pun baru bisa dikabulkan dan sebaliknya bila gugat konpensi ditolak maka gugat rekonpensi pun harus ditolak atau tidak dapat diterima karena gugat cerai konpensi merupakan gugatan pokok sedangkan gugatan tentang akibat cerai rekonpensi merupakan Assesor tambahan. Dalam masalah perceraian juga timbul persoalan dalam acara, jika gugat diajukan oleh isteri selaku penggugat, kemudian suami selaku tergugat selain menjawab dan membantah alasan dan dalil gugatan, tergugat juga mengajukan gugat rekonpensi untuk menjatuhkan talak terhadap isteri, dengan dalih bahwa 8 Sudikno mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,1998Edisi ke-5 Cet,1. h.99 bukan suami yang bersalah akan tetapi isterilah yang bersalah. Serta dalam konpensi isteri ingin menggabungkan gugatan bersama hak hadhanahnya akan tetapi suami menggugat kembali dengan gugat rekonpensi padahal dalam pokok perkara atau petitum tidak boleh ada gugatan rekonpensi dalam satu kwalitas yang sama. Apakah hal ini dibenarkan adanya dalam beracara? Padahal dalam perkara perceraian dan hal yang sudah jadi konpensi dari pihak isteri yakni hak hadhanah tidak dapat dilakukan gugatan balik rekonpensi dalam hal yang sama, Serta dalam permasalahan diatas seharusnya dalam rekonpensi mengenai pokok perkara yang sama tidak bisa diterima dan dalam hal rekonpensi seharusnya menyangkut kebendaan bukan kepemilikan status orang. Karena gugat rekonpensi dalam cerai gugat dengan hak hadhanah akibat perceraian masih memerlukan penjelasan dan analisa. Apakah perlu adanya eksekusi anak? terhadap putusan hakim mengenai hak hadhanah yang jatuh kepada penggugat isteri. Namun pada kenyataannya pihak tergugat suami yang mengambil alih atas hak hadhanahnya tanpa persetujuan dan izin pihak penggugat isteri di bawah keluar negeri dengan alasan tidak puas atas putusan mengenai perkara tersebut. Apakah hasil dalam penyelesaian perkara ini sebuah keputusan atau penetapan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Maka atas dasar itulah Penulis menganalisa dari masalah tersebut dalam skripsi yang berjudul GUGAT REKONPENSI DALAM SENGKETA CERAI GUGAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HAK HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA Studi Analisis Perkara No 78Pdt. G2007PA.Jakarta Pusat

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah