2.2 Pembelajaran Konvensional
Ada beberapa pengertian menurut para ahli mengenai pembelajaran konvensional. Menurut Sanjaya 2011, pembelajaran konvensional merupakan
pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Burrowes dalam Juliantara, 2009 menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional
menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan
pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Metode- metode yang digunakan dalam pembelajaran konvensional antara lain adalah
diskusi, ceramah dan tanya jawab Sumarno, 2011. Metode diskusi merupakan interaksi antara siswa dan siswa atau guru dan
siswa untuk menganalisis masalah atau topik tertentu. Muji 1998:11 dalam Yulianda, 2012:10, menyatakan bahwa metode diskusi adalah cara mengajar dengan jalan
memusyawarahkan suatu topik mata pelajaran tertentu sehingga menimbulkan pengertian serta perubahan tingkah laku siswa.
Langkah pembelajaran konvensional yang digunakan guru dalam kelas berdasarkan hasil observasi adalah sebagai berikut.
a. Guru mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan sebelum pembelajaran dimulai.
b. Guru mengajukan pertanyaan sebagai apersepsi. c. Guru membentuk kelompok dan memberikan soal atau materi untuk
didiskusikan. d. Siswa melakukan presentasi hasil diskusi.
Kelemahan dari pembelajaran konvensional antara lain: a guru sukar mengetahui sampai dimana siswa mengerti dalam pembelajaran; b bila selalu
digunakan siswa akan merasa bosan; c siswa kurang termotivasi karena tidak adanya penghargaan dalam belajar Djamarah dan Zain, 2002:10.
Menurut Sumarno 2011, metode diskusi memilki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode diskusi antara lain: a merangsang siswa untuk
mengeluarkan ide-ide yang dimiliki; b membiasakan diri untuk bertukar pikiran dalam menghadapi masalah; c melatih siswa untuk dapat menerima gagasan atau
pendapat secara verbal. Adapun kelemahan dari metode diskusi adalah: a sering terjadi pembicaraan yang didominasi oleh 2-3 siswa yang memiliki kemampuan
berbicara; b terkadang pembicaraan dalam diskusi bisa meluas; c memerlukan waktu yang cukup panjang, tidak sesuai dengan yang direncanakan.
2.3 Learning Scaffolding
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Learning Scaffolding pertama kali diperkenalkan oleh
Bruner 1985, leraning scaffolding sebagai suatu proses dimana seorang siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya
melalui bantuan dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan yang lebih Maybin, 1992. Slavin 1997, dalam Wilhelm, 2001 menambahkan, learning
scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan
untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Kapasitas baru seorang anak dapat dikembangkan melalui kolaborasi,
pembelajaran aktual, konkret, dengan bimbingan orang dewasa guru atau teman sebaya yang lebih mampu. Dengan latihan dan bantuan yang cukup, siswa mengalami
pemahaman tentang strategi pemecahan masalah. Strategi kemudian memasuki zona siswa perkembangan aktual sehingga siswa menjdi berhasil menyelesaikan tugas
tanpa bantuan dan menerapkan pengetahuan ini untuk situasi baru yang mungkin ditemui.
Menurut Wilhelm 2001, Vygotskian mengaplikasikan teori pada pembelajaran dengan berpusat pada model yang sangat berbeda dari dua model yang
paling dominan berpusat pada guru dan berpusat pada siswa. Rogoff, Matusov, dan White 1996, dalam Wilhelm, 2001 menyatakan sebuah pembelajaran melibatkan
siswa yang aktif dan pihak yang lebih ahli orang dewasa atau guru yang akan