tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan. Yang perlu ditekankan
disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh
keputusan-keputusan kebijakan.
18
Dengan demikian tahapan implementasi ini merupakan bentuk mewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan
dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.
I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III
Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap antara
pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan
dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan
dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
18
Budi Winarno, op.cit., hal 101
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan- hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards
berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel
tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber kebijakan, kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain
untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas
semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasan-
penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu
proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu
dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III
1. Komunikasi
Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards,
prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti.
Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari
komunikasi, yaitu: Komunikasi
Struktur Organisasi
Sumberdaya
Disposisi Implementasi
Universitas Sumatera Utara
a. Transmisi.
Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan,
ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan
proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian,
seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.
Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1 Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika
terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam
melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi
yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.
b. Kejelasan.
Jika kebijakan-kebijakan diimpelentasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para
pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya
ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok
masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan. c.
Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-
perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat
pada ketidakefektivan implementasi kebijakan. Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan
implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan
diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
pelaksanaan tersebut dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber-sumber.
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi
faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik
untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna
pelaksakan pelayanan publik. a.
Staf. Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan
adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya
pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia
sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien. Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut,
tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukap hanya dengan jumlah
pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilan- keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu
masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang
Universitas Sumatera Utara
mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya
sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka
yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami
kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang
relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah
besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor
lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator- administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan
kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi
pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja
yang baik. b.
Informasi. Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi
kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu
Universitas Sumatera Utara
mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang
ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini mentaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan
beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1 Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat
dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2 Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit
pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang
tidak diperlukan. c.
Wewenang. Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya
serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau
kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di
atas kertas, seringkali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang
substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah
Universitas Sumatera Utara
hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan
wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling
potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom
mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan
konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom,
sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang
yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.
d. Fasilitas-fasilitas
Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai
kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan
berhasil.
Universitas Sumatera Utara
3. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan
yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku
atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.
Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain.
Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada
semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif
dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi
implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.
a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan
Menurut Edwards banyak kebijakan masuk dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain
Universitas Sumatera Utara
mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi
dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah- perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak
dapat dielakkan terjadi, yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana
kebijakan akan menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi. Para pejabat dalam
birokrasi pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh tertentu pada
kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan
swastanonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan
lainnya, yaitu: 1
Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model rekruitmen
staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin mendukung
kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu. Badan-badan ini lebih suka mempekerrjakan orang-orang yang mempunyai pikiran yang
sama sehingga mendorong timbulnya lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan kebijakan dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
2 Berkembangnya pandangan-pandangan parokial. Sifat parokial ini
didukung oleh beberapa faktor, yakni: a terlalu sedikitnya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya
dalan suatu badan atau departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama
akan sangat mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari pengelompokan ini adalah bahwa komunikasi-komunikasi
antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme
birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b pengaruh- pengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan Edwards, kita
sering menemukan fakta bahwa apabila kelompok-kelompok kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif mendukung satu
badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini akan menciptakan suatu
lingkungan yang baik bagi perkembangan parokialisme. Pandangan parokialisne ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi
implementasi kebijakan yang efektif. Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-asalan politik dan dalam waktu yang singkat.
Akibatnya, mereka cenderung menggunakan pandangan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan pejabat-pejabat tersebut
pada pejabat-pejabat bawahan karena ingin mendapatkan informasi dan nasehat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi
Universitas Sumatera Utara
dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada, serta tekanan- tekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya
mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.
a. Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat
mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung
melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat
keputusan puncak dan mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.
b. Pengangkatan birokrat.
Kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan- hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang
menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa mereka
tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali
kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat eksekutif oleh presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden sering menemui
hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan perimbangan geografis,
ideologi, kesukuan, seks dan karakteristik-karakteristik kependudukan lain
Universitas Sumatera Utara
yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat- pejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah orang yang benar-benar
memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat.
Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada
pertimbangan –pertimbangan politik, seperti misalnya untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukung-
pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif.
c. Beberapa insentif.
Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar.
Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif-insentif oleh para
pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi
Universitas Sumatera Utara
faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-
kepentingan pribadi, organisasi atau kebijakan substanstif. 4.
Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif,
dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam
organisasi-organsiasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala satu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan
suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik
birokrasi, yakni: 1 Birokrasi dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didefinisikan sebagai
urusan publik 2 Birokrasi merupakan institusi yang didominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda
untuk masing-masing tahap. 3 Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4 Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks.
5Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. 6 Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan
mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka ambil. Dengan merujuk pada peran yang
dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk
mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan
serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka
menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:
a.
Prosedur kerja Standart Operating Procedures = SOP
SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman
dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar orang
dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Kurangnya
sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan semestinya membantu dalam menjelaskan penggunaan SOP yang
berulang-ulang. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan seksama dan secara individual setiap keadaan yang
mereka hadapi. Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali prosedur- prosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku.
Hal ini menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya konflik
dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah mendorong pelestarian status quo. Namun demikian, prosedur- prosedur biasa yang
dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk meyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang justru
akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur- prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru. Cara-cara yang lazim seringkali
ditetapkan terhadap tanggung jawab-tanggung jawab baru, tetapi cara ini mungkin menghalangi implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang
diperlukan untuk menanggapi keadaan-keadaan baru, menghambat pengangkatan personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak
mendorong teknik-teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang organisasi bahkan menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpin-
pemimpin mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran
dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan program-program
atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada program-program tertentu. Sementara pada sisi yang lain, prioritas-prioritas
untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk
Universitas Sumatera Utara
program-program baru. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan
diterapkan dalam keadaan yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang
membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan
membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun
demikian, disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes
dan kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa
mempunyai ciri-ciri seperti ini. b.
Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu
bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, sering pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna
mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Sifat multidimensi dari banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi. Konsekuensi yang paling
buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat dengan alasan-alasan prioritas dari badan-badan
yang berbeda, didorong untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan
Universitas Sumatera Utara
lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan
koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya semakin besar koordinasi yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit
dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. 1 Tidak ada
orang yang akan mengahiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab suatu bidang kebijakan
terpecah-pecah. Di samping itu karena badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan
terdampar antara retak-retak organisasi. 2 Pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika
suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar
kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.
19
I.6.3 Akuntabilitas