Penetapan Kebutuhan Obat Karakteristik Informan

kesehatan Puskesmas, b Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh Unit Pelayanan Kesehatan Puskesmas, c pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat pada tingkat kabupaten kota. Pengetahuan informan tentang 144 diagnosa penyakit merupakan layanan Puskesmas dalam era JKN ternyata kedua informan tidak mengetahui secara mendalam, sehingga mereka tidak mengetahui jika hal ini terkait dalam perencanaan obat. Sedangkan informan triangulasi sudah mengetahui tetapi belum sepenuhnya mengetahui tentang jenis penyakit apa saja yang ditangani Puskesmas. Menurut informan triangulasi karena peraturan ini keluar tahun 2014 maka untuk kebutuhan obat tahun 2014 belum terkait sama sekali dengan peraturan tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa adanya kesenjangan dalam penyampaian informasi secara internal. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dalam era BPJS diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis penyakit, hal ini semestinya harus sudah diketahui oleh bagian farmasi DKK, karena terkait dalam proses perencanaan kebutuhan obat kedepannya.

5.1.4. Penetapan Kebutuhan Obat

Penetapan kebutuhan obat dalam penelitian ini ditanyakan kepada 2 orang informan dari unsur Dinas Kesehatan Kota Medan Kepala Sub Bagian Penyusunan Program dan Kepala Seksi Kefarmasian. Hasil penelitian berdasarkan penuturan informan utama relatif sama dengan jawaban informan triangulasi, yaitu pertama sekali dilakukan seleksi kemudian tim perencana obat akan mengusulkan kebutuhan Universitas Sumatera Utara obat untuk ditetapkan. Sedangkan langkah-langkah untuk menetapkan obat kebutuhan Puskesmas, yaitu usulan obat yang diajukan disesuaikan dengan E-catalog. Jenis obat yang tidak ada didalam E-catalog akan diberi tanda. Kendala yang ditemui adalah tidak semua jenis obat yang ditetapkan tercantum dalam E-catalog. Artinya ada beberapa jenis obat yang tidak ada dalam E-catalog untuk dipesan, sehingga tidak relevan dengan kebutuhan obat yang sudah ditetapkan. Berdasarkan penuturan informan utama dan triangulasi dapat disimpulkan bahwa dalam menetapkan kebutuhan obat Dinas Kesehatan Kota Medan dalam era JKN sudah mengikuti aturan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2013 tentang sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga obat dari berbagai penyedia barangjasa tertentu yang ditayangkan di Portal Pengadaan Nasional. Daftar dan harga obat serta bahan medis habis pakai BMHP mengacu pada ketentuan yang ditetapkan Kemenkes, yaitu formularium nasional Fornas dan harganya merujuk kepada E-catalog Infarkes, 2014. Menurut Santoso 2012, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling aktif dalam pengembangan obat esensial. Obat esensial yaitu obat yang harus selalu tersedia setiap saat dengan jarak maksimum 2 dua Km, agar memudahkan masyarakat menjangkau fasilitas kesehatan. Obat-obatan yang digolongkan esensial, seharusnya tidak dibebani dengan tatanan birokrasi yang berbelit-belit, terutama obat- obatan yang sangat dibutuhkan. Safety, efficacy dan quality merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Namun tidak hanya itu, perlu dilakukan kajian lain, yaitu dari sisi cost effectiveness. Universitas Sumatera Utara Salah satu upaya dalam hal mengatasi ketidaksesuaian kebutuhan obat dengan fornas dan E-catalog, yaitu pemerintah dan BPJS mengevaluasi sistem JKN termasuk INA-CBGs. Pemerintah dan BPJS juga diharapkan mereview daftar obat untuk JKN serta melakukan sosialisasi JKN pada para penyedia layanan kesehatan, sehingga, pemahaman penyedia layanan kesehatan bisa sama, dan tak perlu khawatir tentang untung rugi.

5.1.5. Pengadaan Obat