BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN

10 Pada sistem emulsi daging ikan, protein yang paling berperan sebagai emulsifier adalah protein larut garam dan protein larut air. Protein yang larut garam pada daging ikan adalah protein miofibril yang terdiri atas protein struktural aktin, miosin, dan aktomiosin dan protein regulasi troponin, tropomiosin, dan aktinin. Protein miofibril merupakan bagian terbesar protein ikan yaitu sekitar 66-77 dari total protein ikan dan bila dibandingkan daging mamalia dan unggas, daging ikan mengandung protein miofibril yang terbanyak. Miofibril ini sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan Suzuki, 1981. Sedangkan menurut Suzuki 1981, protein yang larut air adalah sarkoplasma yang mengandung miogen. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan tergantung pada jenis ikan dan biasanya terdapat dalam jumlah sekitar 10 dari total protein ikan. Protein ini harus dihilangkan karena dapat menghambat pembentukan gel. Setiap globula lemak dalam emulsi daging diselimuti protein daging yang terlarut. Protein akan membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem Wilson et al., 1981.

C. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging ikan patin, es batu, garam, lemak nabati, bahan pengikat isolat protein kedelai, susu skim, bahan pengisi tepung tapioka, tepung kappa- dan iota- karagenan, fosfat STPP, bumbu-bumbu bawang putih, bawang merah, jahe, pala, merica, dan MSG dan casing. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging ikan. Berbagai ikan tuna banyak digunakan karena warna dagingnya yang tetap bertahan pada produk akhir Suzuki, 1981. Tapi sayangnya ikan tuna relatif mahal sehingga pembuatannya dapat menghabiskan banyak cost. Sebagai pengganti tuna, dapat digunakan ikan patin yang tersedia cukup melimpah dengan harga terjangkau dan memiliki rasa daging yang enak, gurih, dan lezat. Bagian ikan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah 11 daging ikan putih yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari kepala, kotoran, sirip, dan tulang Erdiansyah, 2006. Daging ikan merupakan bahan utama dalam pembuatan sosis sehingga peranannya sangat menentukan produk sosis yang dihasilkan. Protein daging ikan yang larut dalam larutan garam protein miofibril lebih berperan dalam pembentukan emulsi dibandingkan protein yang larut dalam air murni. Pembuatan sosis ikan didahului pembuatan surimi yang merupakan produk antara yang kemudian akan diolah lebih lanjut menjadi sosis ikan. Menurut BSN 1992, surimi adalah produk olahan perikanan berupa sayatan daging ikan yang telah mengalami proses pencucian leaching, pengurangan kandungan air, penambanahan bahan tambahan, dan umumnya mengalami proses pengepakan, pembekuan, dan penyimpanan beku. Menurut Suzuki 1981 , surimi merupakan produk olahan yang terbuat dari daging ikan lumat yang telah diekstrak dengan air dan diberi bahan anti denaturasi, lalu dibekukan. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan bahan mentah hampir dari semua jenis ikan, sehingga sangat bermanfaat dalam pengolahan ikan- ikan bernilai ekonomi rendah Koswara, 2006. Surimi merupakan produk antara atau bahan baku untuk pembuatan produk selanjutnya, antara lain bakso, sosis, kamaboko, ham ikan, “chikuwa”, “fish stick”, “agemono”, “detemaki”, dan beberapa produk imitasi seperti telur, kaki atau daging kepiting, udang, daging kerang, daging sapi dan lain- lain Koswara, 2006. Sebagai bahan penyusun produk olahan, surimi merupakan sumber protein bernutrisi yang berkualitas dan sangat fungsional Lee et al., 1988. Surimi juga merupakan sumber protein yang murah Anonim, 2006 a. Menurut Suzuki 1981, ada dua tipe surimi yang biasa dibuat, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam mu-en surimi dan surimi yang dibuat dengan penambahan garam ka-en surimi. Pembuatan surimi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi sosis ikan sangat penting karena mampu menekan cooking loss hingga 0.21-0.27, meningkatkan nilai kekerasan hingga 17.89-16.53, dan meningkatkan nilai kekenyalan hingga 15.27-15.42. Bahkan setelah surimi mengalami penyimpanan beku sampai 60 hari, masih mampu mempertahankan nilai cooking loss, kekerasan, dan 12 kekenyalan, yang tidak dapat dipertahankan oleh fillet dan daging giling Erdiansyah, 2006. Surimi yang dikehendaki adalah yang berwarna putih, mempunyai flavor cita rasa yang baik dan berelastisitas tinggi Koswara, 2006. Kemampuan pembentukan gel dari ikan merupakan sifat yang paling penting dalam pemilihan bahan baku surimi Claus et al., 1994. Meskipun semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi, tetapi ada beberapa syarat bahan baku ikan yang disarankan, yaitu hidup diperairan dingin, ikan demersal lebih baik digunakan, dan ikan air tawar pada umumnya tidak sesuai untuk dibuat surimi, dan lebih baik jika digunakan daging putih ikan Koswara, 2006. Selain itu makin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin tinggi. Nilai pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 – 7.0 dan sebaiknya ikan tersebut berlemak rendah. Untuk ikan yang berlemak tinggi, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik Koswara, 2006 . Hasil-hasil perikanan mudah mengalami kerusakan disebabkan terjadinya autolisis dan akibat adanya pertumbuhan mikroba. Aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya menurun. Penggunaan suhu rendah dapat digunakan untuk mempertahankan kesegaran serta mempertahankan sifat-sifat asli dari ikan Hadiwiyoto, 1993. Oleh karena itu, surimi yang juga merupakan hasil olahan produk perikanan perlu dilakukan penyimpanan suhu rendah untuk menjaga kesegaran, terutama untuk surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk akhir. Surimi yang tidak langsung diolah dan mengalami penyimpanan beku yang lama, protein miofibrilarnya mudah terdenaturasi yang menyebabkan kerusakan kemampuan gel. Maka dari itu perlu ditambahkan bahan antidenaturasi kryoprotektan. Umumnya bahan antidenaturasi yang digunakan pada pembuatan surimi yang cukup lama disimpan untuk diolah menjadi sosis berupa sukrosa, sorbitol, dan polifosfat. Penambahan sukrosa dan sorbitol dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Pemberian 13 polifosfat berfungsi mengurangi drip, mengurangi penyusutan pemasakan dan menstabilkan emulsi. Jumlah bahan antidenaturasi yang biasa ditambahkan adalah 4-5 sorbitol, 4-5 sukrosa, dan 0.2-0.3 Na-Polifosfat Suzuki, 1981. Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan adalah garam. Garam merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan sosis untuk menghasilkan emulsi, di mana protein daging berupa miosin dilarutkan dan dikeluarkan dari serat-serat daging sehingga dapat mempertinggi daya ikat pertikel daging. Menurut Wilson et al. 1981, larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Tanpa penambahan garam, tidak akan terbentuk emulsi sosis dan biasanya sosis mengandung garam 1-5 atau 3 Kramlich, 1971. Garam pada konsentrasi yang cukup juga bersifat sebagai pengawet, membentuk tekstur produk, menambah cita rasa dan flavour yang diinginkan Soeparno, 1994. Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis dengan kandungan sekitar 45-55 dari berat total sosis, tergantung jumlah cairan yang ditambahkan dan macam daging Soeparno, 1994. Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil Lawrie, 1961. Protein miosin ini hanya dapat larut pada suhu 4-5 o C sehingga sangat penting menggunakan air dingin atau air es Kramlich et al., 1973 . Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan Winarno, 1979. Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan membentuk sosis yang kompak, meningkatkan keempukan sosis, melembutkan tekstur sosis dan meningkatkan flavor. Menurut Swift et al. 1968 yang dikutip Hapsari 2002 penambahan lemak secara perlahan-lahan dapat memperbaiki stabilitas emulsi yang dihasilkan. Minyak nabati maupun minyak hewani dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis. Lemak nabati lebih mudah membentuk 14 emulsi daripada lemak hewani karena lemak nabati lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh oleat, linoleat daripada lemak hewani. Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang. Lemak yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dengan permukaan sosis menjadi keriput setelah dimasak karena sebagian lemak terpisah dari emulsi sedangkan penggunaan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering. Menurut Romans et al. 1994, jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30 bobot daging. Penambahan lemak untuk pembuatan sosis ikan rata- rata 5 Amano, 1965 sedangkan menurut Tanikawa 1971 lemak yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan antara 7-10 . Menurut penelitian Hapsari 2002, penggunaan kadar minyak nabati 10, 15, 20 pada sosis ikan patin berpengaruh nyata terhadap warna dan rasa sosis tapi tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur dan aroma. Sosis patin terbaik menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15. Karena biasanya daging ikan yang digunakan untuk membuat sosis ikan pada umumnya daging kurus yang mempunyai kandungan lemak rendah maka lemak biasa ditambahkan ke dalam emulsi daging Amano, 1965. Penahanan lemak selama sosis dimasak tergantung dari komposisi sosis dan cara pembuatannya dan bukan akibat dari fosfat yang ditambahkan Sherman, 1961 yang dikutip Effie, 1980. Penambahan minyak ke dalam pasta ikan akan menurunkan elastisitas pasta ikan Tanikawa, 1971 dan juga dapat menurunkan elastisitas sosis ikan yang dihasilkan. Maksud penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dalam pembuatan sosis adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk, dan mengurangi biaya produksi Kramlich et al., 1973. Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu, dan tepung beras sedangkan bahan pengikat yang biasa digunakan adalah kasein, albumin, susu skim, dan tepung kedelai Wilson, 1960. Menurut Kramlich 1971, perbedaan antara 15 bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada kemampuannya mengemulsi lemak. Bahan pengikat mengandung protein lebih besar dibandingkan dengan bahan pengisi yang mengandung lebih banyak kerbohidrat. Bahan pengisi berfungsi sebagai pengisi ruang antar globula lemak sehingga sistem emulsi akan menjadi lebih stabil. Bahan pengisi ini dalam proses gelatinisasi dapat mengikat lebih banyak air, sedangkan air dapat membantu melarutkan garam dan meningkatkan jumlah protein yang terekstrak. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan menjadi tampak lebih berisi, bertekstur baik, dan menarik perhatian konsumen Soeparno, 1994. Menurut Kramlich 1971 bahan pengikat dapat diklasifikasikan menurut asalnya, yaitu dari hewan serta dan tumbuhan. Bahan pengikat dari hewan antara lain susu bubuk tanpa lemak skim, susu bubuk tanpa lemak tapi kalsiumnya dikurangi, sodium caseinat, tepung darah sedangkan bahan pengikat yang berasal dari tumbuhan biasanya adalah produk olahan kedelai. Menurut Soeparno 1994, produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk. Pemilihan bahan pengikat dan pengisi yang digunakan dilakukan berdasarkan daya serap yang baik terhadap air, rasanya yang enak, pembentukan warna yang baik, dan harga yang relatif murah Wilson, 1960. Penambahan bahan pengisi dalam pembuatan sosis ikan sebanyak 10 Tanikawa, 1971 dan menurut Amano 1965 sebanyak 5-10 . Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena di samping harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis Radley, 1976. Menurut Hermawan 2002, berdasarkan uji oeganoleptik, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10 tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa dari produk kamaboko ikan lele dumbo. Menurut Khafidhin 2003, perlakuan penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 16 0, 2.5, 5, 7.5, dan 10 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kekenyalan gel kamaboko ikan tambakan. Menurut Anggraini 2002, semakin tinggi konsentrasi tapioka yang ditambahkan belum tentu meningkatkan kekenyalan gel kamaboko. Baik perlakuan setting, konsentrasi tepung tapioka 0, 5, 15 dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekenyalan produk kamaboko ikan bawal air tawar. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisistas gel Niwa, 1992. Polifosfat STPP berfungsi memperbaiki stabilitas warna, mengurangi kehilangan cairan selama pemasakan, mengurangi waktu pemasakan, melarutkan protein larut garam sehingga memperbaiki sifat emulsifikasi, meningkatkan water holding capacity WHC, dan memperbaiki pengikatan protein ketika pemanasan. Penambahan polifosfat pada gel ikan mentah bertujuan memperbaiki kekenyalan pada produk akhir. Konsentrasi polifosfat sebesar 0.2-0.5 dari berat daging ikan cukup efektif dalam memberikan efek terhadap tekstur sosis ikan Amano, 1965. Polifosfat jika ditambahkan pada produk sosis akan meningkatkan daya ikat air dan daya ikat lemak dari gel yang terbentuk Schmidt, 1988 yang dikutip Nussinovitch, 1997. Pengaruh penambahan polifosfat ini bervariasi tergantung pada suhu pemasakan. Kekenyalan meningkat bila suhu pemasakan di bawah 80 o C dan menurun tajam pada suhu pemasakan 90 o C akibat denaturasi protein daging pada suhu yang lebih tinggi Amano, 1965. Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan untuk menambah cita rasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih, bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno 1994, penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan. 17 Casing berfungsi sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk dan ukuran sosis. Karakteristik casing akan berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Casing yang umum digunakan dalam industri adalah casing sintesis dan casing collagen. Penggunaan casing ini menggantikan casing alami dari usus hewan yang bersifat kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Casing collagen terbuat dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan sedangkan casing sintesis umumnya terbuat dari plastik polyamid sehingga tidak dapat dimakan. Ada juga casing sintesis yang terbuat dari film vinylidene kloroda dan rubber hidroklorida yang bisa tahan pada suhu pemasakan 100 o C selama 1-2 jam. Film vinylidene kloroda bersifat kurang permeable, transparan, dan tidak bereaksi secara kimia tetapi kurang tahan terhadap kerusakan mekanik. Film rubber hidroklorida lebih elastis dan kuat tetapi tidak transparan dan kurang permeable terhadap gas Suzuki, 1981. Penggunaaan casing-casing sintesis ini lebih menguntungkan karena karakteristiknya pori, ketahanan panas dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dapat diprinting atau diwarnai, dan keseragaman ukurannya tinggi.

D. KARAGENAN 1. Karakteristik Karagenan