BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe
Kinerja perawat pelaksana dalam asuhan keperawatan adalah hasil kerja yang
dicapai oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Lhokseumawe dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, meliputi pengkajian, diagnosis, rencana tindakan, pelaksanaan tindakan dan evaluasi tindakan.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan tentang asuhan keperawatan menunjukkan skor rata-rata tentang kinerja pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi,
evaluasi paling tinggi adalah 69,5 implementasi dan skor terendah 1,2 perencanaan tindakan keperawatan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perawat
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan belum optimal, karena dalam hasil penelitian dijumpai pelaksanaan asuhan keperawatan yang paling sering dikerjakan hanya
sebatas pengkajian dan jarang melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan. Manajemen rumah sakit perlu mengupayakan pembenahan tentang kinerja perawat
pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan dan hal ini sesuai dengan latar belakang penelitian yang diutarakan sebelumnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pandawa 2007, tentang determinan kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan
di ruang rawat Inap RSUD dr.H.Chasan Boesoirie Ternate yang mengungkapkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa mayoritas perawat pelaksana mempunyai kinerja kurang baik dalam pendokumentasian asuhan keperawatan.
Berdasarkan wawancara dengan responden yang berpendidikan D-III, ternyata mereka kurang mendapatkan pelajaran asuhan keperawatan di sekolah, dan selama
bekerja mereka kurang mendapatkan bimbingan dan arahan dari senior atau kepala ruangan. Ketika dikonfirmasi dengan kepala ruangan, ternyata mereka tidak
mempunyai kesempatan untuk membimbing bawahannya dikarenakan beban kerja yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini sebagai masukan dalam pengambilan
kebijakan di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe untuk mengoptimalisasi sumber daya manusia misalnya melalui pelatihan, mengikuti
seminar dan memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sehingga keterampilan perawat diharapkan dapat meningkat dalam rangka meningkatkan
kinerja. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fungsi
Manajemen Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe belum berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan Arep dan Tanjung
2003, yang menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia akan berjalan dengan baik apabila fungsi manajerial yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek
manajerial dan fungsi operasional yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek operasional sumber daya manusia pada organisasi dilaksanakan dengan baik.
Menurut Gibson et.al.1996, dan Ilyas 2002, kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan memengaruhi
seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja
Universitas Sumatera Utara
baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi baik secara kuantitas maupun kualitas dan kinerja
dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Amelia 2008, mengungkapkan
bahwa sebanyak 58,2 kinerja perawat pelaksana asuhan keperawatan jiwa rendah, salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah rendahnya kerja tim perawat pelaksana
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Menurut Davis 1996, faktor yang memengaruhi pencapaian kinerja adalah
faktor pengetahuan dan kemampuan. Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality knowledge+skill. Demikian
pula menurut Siagian 2003 bahwa kompetensi merupakan faktor penting dalam mendorong setiap karyawan untuk bekerja secara produktif, sehingga berdampak
pada kinerja karyawan.
5.2. Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe
Pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada pengaruh variabel kompetensi dengan indikator pengetahuan dan ketrampilan pembahasan diuraikan
sebagai berikut : a. Kompetensi
Berdasarkan hasil penelitian tentang kompetensi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan diketahui bahwa, sebanyak 61 orang 74,4 menyatakan sangat
setuju mampu melakukan tugas secara konsisten, sebanyak 62 orang 75,6 responden menyatakan setuju dalam melaksanakan asuhan keperawatan, dan
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 10 orang 12,2 responden menyatakan tidak setuju melakukan tugas yang dibutuhkan pasien secara maksimal, serta sebanyak 62 orang 75,6 responden
menyatakan sangat tidak setuju dalam melakukan tugas sesuai dengan wewenang yang ditugaskan dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Hasil analisis penelitian
di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja perawat pelaksana dalam asuhan keperawatan kurang diakui oleh manajemen rumah sakit.
Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar kurang diakui hasil pekerjaannya dalam melaksanakan asuhan keperawatan, sehingga kurang
kompetensi dengan baik dalam menyelesaikan pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat diperoleh jawaban bahwa perawat pelaksana tidak ada
diberikan bimbingan tentang bagaimana seharusnya pemberian asuhan keperawatan dan apa manfaat dari pemberian asuhan keperawatan sampai dengan
pendokumentasian asuhan keperawatan dan kurangnya penghargaan terhadap kinerja perawat.
Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan 2005, yang menyatakan bahwa petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi
pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Pengakuan
terhadap prestasi merupakan kompetensi alat memotivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompetensi. Sejalan dengan pendapat
Handoko 2001, yang mengungkapkan bahwa kompetensi merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu
dorongan untuk melakukan tindakan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Soestisno 2008, di Rumah Sakit Imanuel Bogor menunjukan bahwa kompetensi merupakan faktor determinan
terhadap kinerja perawat pelaksana. b. Kompetensi indikator pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian tentang kompetensi indikator pengetahuan diketahui bahwa sebanyak 49 orang 59,8 menyatakan sangat setuju dalam
melakukan segala tindakan yang di butuhkan pasien, sebanyak 57 orang 69,5 responden menyatakan setuju pemecahan masalah pasien menggunakan pendekatan
proses keperawatan, dan sebanyak 13 orang 15,9 responden menyatakan tidak setuju dalam melakukan perencanaan keperawatan bermanfaat untuk menyelesaikan
masalah pasien, serta sebanyak 60 orang 73,2 responden menyatakan sangat tidak setuju dalam meimplementasikan keperawatan yang dibutuhkan pasien dengan baik
dan benar. Hasil analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana menyadari bahwa tanggung jawab pelaksanaan asuhan keperawatan
merupakan tanggung jawab perawat, namun pelaksanaannya belum optimal. Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana termotivasi melaksanakan
asuhan keperawatan hanya sebatas pengetahuan dan kurang mempertimbangkan hasil pekerjaan. Hasil wawancara kepada perawat pelaksana maupun kordinator perawat
bahwa mereka mengetahui pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan tanggung jawab mereka, namun pengimplementasiannya belum sepenuhnya diberikan kepada
pasien. Hal lain yang turut menyebabkan perawat pelaksana kurang pengetahuan dalam bekerja adalah terkait dengan masa kerja perawat sebesar 75,6, yaitu masa
kerja 1-5 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Maslow dalam Gibson 1996, hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif
tidak terpenuhi yang disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manusia bekerja sama dengan orang lain
dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar sebagai salah satu sebab timbulnya pengetahuan perawat untuk bekerja dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar. Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan 2005, menyatakan
bahwa secara intrinsik atau internal setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya
diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar yang berasal dari dalam diri sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan 2006, menyatakan bahwa perawat adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat untuk melaksanakan pelayanan keperawatan kepada masyarakat. Pelayanan keperawatan adalah pelayanan kesehatan
yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, pada ilmu dan kiat keperawatan, yang menyangkut biopsikososiokultural dan spiritual yang komprehensif ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Pendekatan proses keperawatan mencakup
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
Nursalam 2004, mengungkapkan bahwa praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan
klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya. Praktik keperawatan
profesional mempunyai ciri-ciri otonomi dalam pekerjaan, bertanggung jawab dan bertanggunggugat, pengambilan keputusan yang mandiri, kolaborasi dengan disiplin
ilmu lain, pemberian pembelaan advocacy dan memfasilitasi kepentingan pasien. Hail penelitian ini sejalan dengan penelitian Juliani 2008, yang
mengungkapkan bahwa variabel pengetahuan yang dimiliki perawat pelaksana pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perawat pelaksana di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Siregar 2008, yang menyimpulkan secara parsial variabel
pengetahuan berpengaruh secara signifikan p0,05 terhadap kinerja perawat. c. Kompetensi indikator ketrampilan
Berdasarkan hasil penelitian tentang kompetensi indikator ketrampilan diketahui bahwa sebanyak
45 orang 54,9 menyatakan sangat setuju dalam mengambil keputusan kelompok lebih akurat dalam penanganan pasien, sebanyak 59
orang 72,0 responden menyatakan setuju menggunakan proses keperawatan yang menjadi pedoman dalam melayani pasien, dan sebanyak 16 orang 19.5 responden
menyatakan tidak setuju dalam mencari alternatif pemecahan masalah pasien, serta sebanyak 55 orang 67,1 responden menyatakan sangat tidak setuju meminta
persetujuan bila melakukan tindakan kepada pasien.
Universitas Sumatera Utara
Hasil analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat pelaksana menginginkan kenaikan jabatan namun kenaikan jabatan perawat mempunyai
tahapan-tahapan prosedur yang sudah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar kurang mementingkan prestasi dalam
melaksanakan asuhan keperawatan, mereka berketrampilan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar semata.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat pelaksana menjelaskan bahwa pelaksanaan asuhan keperawatan sampai kepada pendokumentasian asuhan
keperawatan merupakan tupoksi dan tanggung jawab mereka yang harus dilakukan, namun perawat belum melaksanakan asuhan keperawatan secara maksimal dengan
alasan bahwa walaupun asuhan keperawatan tidak dilaksanakan oleh perawat, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap prestasi, seperti kenaikan pangkat dan mutasi
untuk perawat, sehingga perawat merasa tidak termotivasi dan tidak ada dorongan untuk melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik dan kepala rumah sakit kurang
mendukung dalam pelaksanaan asuhan keperawatan seperti bersikap acuh tak acuh terhadap hasil pelaksanaan asuhan keperawatan.
Hal ini sejalan dengan teori Herzberg dalam Hasibuan 2005, menyatakan bahwa setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian
prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya. Demikian juga dengan teori David C
McClelland dalam Handoko 2001, tentang motivasi berprestasi, adanya motivasi berprestasi yang tinggi akan berhubungan dengan peningkatan kinerja.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Silva 2006, yang meneliti hubungan ketrampilan kerja terhadap kinerja perawat dalam memberikan pelayanan
untuk pasien di Rumah Sakit Umum Meraxa Banda Aceh, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketrampilan dan kinerja perawat, namun
berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Juliani 2007, di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan menemukan bahwa ketrampilan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja perawat.
5.3. Pengaruh Kerja Tim terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe
Pembahasan dalam penelitian ini difokuskan pada pengaruh variabel kerja tim dengan indikator kerjasama, kepercayaan dan kekompakan pembahasan diuraikan
sebagai berikut : a. Kerja tim
Berdasarkan hasil penelitian tentang kerja tim diketahui bahwa sebanyak 60 orang 73,2 menyatakan sangat setuju mengevaluasi kerja tim yang sudah berjalan,
sebanyak 52 orang 63,4 responden menyatakan setuju berkoordinasi antara perawat dalam melakukan tindakan keperawatan kepada pasien, dan sebanyak 15
orang 18,3 responden menyatakan tidak setuju kerja tim yang tersusun atas 5 sampai 12 orang untuk memecahkan masalah pasien, serta sebanyak 52 orang
63,4 responden menyatakan sangat tidak setuju sumber daya manusia perawat sudah memadai untuk kerja tim diruangan.
Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar belum pegawai dan menerima gaji dibawah UMK sehingga dalam melaksanakan asuhan keperawatan
Universitas Sumatera Utara
kurang, sehingga faktor gaji tidak mendorong minat perawat untuk berforma baik dan menjadi sumber ketidakpuasan potensial
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat pelaksana mereka menyadari bahwa sebagai pegawai sistem penggajiannya belum ditetapkan oleh pemerintah
namun belum mencukupi kebutuhan sehingga melaksanakan pekerjaan apa adanya dan menyatakan tidak ada insentif yang diterima, karena pemberian asuhan
keperawatan kepada pasien dianggap sebagai tugas pokok perawat sehingga tidak ada kebijakan atau peraturan yang mengatur tentang pemberian insentif kepada perawat
yang melaksanakan asuhan keperawatan. Perawat menginginkan adanya insentif yang jelas atas pekerjaan ekstra dan dibagi secara merata.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Davis 2004, kerja tim adalah keefektipan di dalam realitas kesaling tergantungan atau sinergi. Sebab semakin
murni keterlibatan tersebut, semakin tulus dan terus menerus partisipasinya dalam menganalisis dan memecahkan masalah, semakin besar pelepasan kreatifitas setiap
orang dan komitmen mereka pada apa yang mereka ciptakan. Demikian juga dengan pendapat Gibson et.al. 1996, bahwa kerja tim dapat menjadi motivator setiap
karyawan untuk mencapai kerjanya yang lebih baik, dengan memberi imbalan, perusahaan akan dapat meningkatkan kinerja dan produktifitas karyawan.
Menurut Simamora 2004, pemberian insentif berdasarkan prestasi dapat meningkatkan kinerja seseorang yaitu dengan sistem pembayaran karyawan
berdasarkan berdasarkan kerja. Hal demikian juga diungkapkan oleh Kopelman, bahwa komptensi akan berpengaruh untuk meningkatkan kerja yang pada akhirnya
secara langsung akan meningkatkan kinerja individu.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Nurjahjani 2007, tentang pengaruh kerja tim karyawan yang menunjukkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara variabel kerja tim dengan kinerja perawa, yang artinya apabila karyawan diberikan kesempatan untuk memacu kerja tim maka akan meningkat
kinerjanya. b. Kerja tim indikator kerjasama
Berdasarkan hasil penelitian tentang kerja tim indikator kejasama diketahui bahwa sebanyak 59 orang 72,0 menyatakan sangat setuju lebih mengutamakan
kebersamaan dalam menyelesaikan permasalahan lebih cepat, sebanyak 59 orang 72,0 responden menyatakan setuju bekerjasama antar perawat dalam melakukan
kerja terhadap pasien, dan sebanyak 13 orang 15,9 responden menyatakan tidak setuju dalam kepercayaan antara perawat dalam melaksanakan kerja tim di unit
kerjanya, serta sebanyak 59 orang 72,0 responden menyatakan sangat tidak setuju dalam kerja tim mengutamakan dorongan kesepakatan untuk mencapai tujuan
bersama kelompok tim. Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar masih
mengeluhkan tentang kerjasama yang diperoleh melalui kelangsungan kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dalam melaksanakan asuhan
keperawatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat pelaksana bahwa kerjasama di
rumah sakit berjalan apa adanya, ketersedian sarana dan prasarana yang terbatas untuk melakukan pemberian asuhan keperawatan kepada pasien disamping itu
Universitas Sumatera Utara
kurangnya dukungan dari kepala rumah sakit untuk menyediakan fasilitas kepada perawat pelaksana untuk menjalankan tugas.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori William 2000, kerja tim suatu kemampuan untuk bekerja sama menuju suatu visi yang sama, kemampuan
mengarahkan pencapaian individu kearah sasaran organisasi. Itulah rangsangan yang memungkinkan orang bisa mencapai hasil yang luar biasa.
Menurut Wiyono 2000, betapapun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam kesetiaan yang besar, kebersamaan yang tinggi dan dedikasi yang
tidak diragukan serta tingkat ketrampilan yang tinggi tanpa sarana dan prasarana kerja ia tidak akan dapat berbuat banyak apalagi meningkatkan efisiensi, efektivitas dan
produktivitas kerjanya. c. Kerja tim indikator kepercayaan
Berdasarkan hasil penelitian tentang kerja tim indikator kepercayaan diketahui bahwa sebanyak 55 orang 67,1 menyatakan sangat setuju dalam menanyakan
kepada pasien, tentang perkembangan dan keadaan pasien menyangkut dengan tindakan keperawatan selanjutnya, sebanyak 63 orang 76,8 responden
menyatakan setuju memberikan informasi langsung terhadap pasien maupun keluarga pasien, dan sebanyak 16 orang 19,5 responden menyatakan tidak setuju tentang
tindakan keperawatan yang di lakukan sudah mencakup semua tindakan dari disiplin tenaga keperawatan, serta sebanyak 59 orang 72,0 responden menyatakan sangat
tidak setuju tentang tindakan yang dilakukan kepada pasien, saya catat dalam dokumentasi asuhan keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar masih meragukan tentang kondisi kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Lhokseumawe dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe, bahwa kondisi kerja merupakan faktor yang penting bagi perawat dalam melaksanakan tindakan
perawatan, karena dengan kondisi kerja yang baik maka dalam melaksanakan asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Menurut mereka perawat sebagai
sumber daya manusia dalam pemberian asuhan keperawatan merupakan unsur yang terpenting sehingga pemeliharaan hubungan kepercayaan yang kontinu dan serasi
menjadi sangat penting namun pihak manajemen rumah sakit sangat minim perhatiannya. Seharusnya pihak manajemen rumah sakit meningkatkan perhatian
kepada perawat pelaksana, memelihara kondisi kerja yang baik dan komunikasi yang efektif, karena melalui komunikasi berbagai hal yang menyangkut pekerjaan dapat
diselesaikan dengan baik dan kondisi kerja akan menjadi lebih baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Kreitner dan Kinicki 2005,
kerjasama memiliki 3 tiga keunggulan yaitu: 1. Kerjasama lebih unggul dibandingkan dengan kompetisi dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 2.
Kerjasama lebih unggul dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 3. Kerjasama tanpa kompetisi antar
kelompok dapat meningkatkan prestasi dan produktivitas lebih tinggi dari pada kerja sama dengan kompetisi antar kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sejalan didukung hasil penelitian Juliana 2007, yang mengungkapkan bahwa kerjsama dapat pula diciptakan dengan mengadakan
pengaturan kondisi kerja yang sehat. Hal ini menimbulkan kerjasama sehingga keinginan seseorang untuk melakukan pekerjaan dalam bentuk keahlian,
keterampilan, tenaga dan waktunya untuk melaksanakan pekerjaan namun berbeda dengan hasil penelitian Fakhruddin 2001, yang meneliti kerjasama dan kemampuan
perawat terhadap kinerja perekam medis di Rumah Sakit Haji Medan menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kondisi kerja terhadap kinerja
perekam medis. d. Kerja tim indikator kekompakan
Berdasarkan hasil penelitian tentang kerja tim indikator kekompakan diketahui bahwa sebanyak 54 orang 65,9 menyatakan sangat setuju bekerja sama
dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien disaat yang sama, sebanyak 56 orang 68,3 responden menyatakan setuju dalam melakukan tindakan
keperawatan dan berkoordinasi kepada teman yang lain, dan sebanyak 15 orang 18,3 responden menyatakan tidak setuju pada setiap awal tugas dan akhir tugas,
mengontrol pasien secara bersama sama dengan teman, serta sebanyak 53 orang 64,6 responden menyatakan sangat tidak setuju operan shift dinas sangat penting
dilakukan dengan temannya. Hal ini menunjukkan bahwa perawat pelaksana sebagian besar dengan
hubungan kerja yang kurang harmonis di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Universitas Sumatera Utara
Lhokseumawe, bahwa kekompakan merupakan faktor yang penting bagi perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan, mereka menyadari bahwa adanya
kekompakan yang kurang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan pihak manajemen rumah sakit merupakan salah satu penyebab rendahnya kinerja perawat
pelaksana. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Williams 2000, alasan kedua
kekompakan kelompok di identifikasikan para psikologi menjadi dua, yaitu 1. Kekompakan sosio emosional Socio Emotional Cohesiveness adalah sebuah rasa
kebersamaan yang berkembang ketika individu-individu mendapatkan kepuasan emosional dari partisipasi kelompok. 2. Kekompakan Instrumental Instrumental
Cohesiveness adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika para anggota kelompok sama-sama bergantung satu dengan yang lain karena mereka percaya
bahwa mereka tak dapat mencapai sasaran kelompok dengan bertindak secara terpisah.
Robbins 2002, menyatakan kekompakan pegawai merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam organisasi. Hubungan menyangkut jalinan
komunikasi baik vertikal, horizontal dan diagonal. Pemahaman mengenai kekompakan ini tergantung beberapa aspek diantaranya aspek individual yang
mampu bekerjasama dan mempengaruhi kinerja dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien bagi organisasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan