18
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Kata perjanjian berasal dari terjemahan “overeenkomst” dan
“verbintenis”, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah “perjanjian” maupun “persetujuan”. Wiryono Projodikoro mengartikan perjanjian dari kata
verbintenis, sedangkan kata overeenkomst diartikan dengan kata persetujuan.
14
Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas memiliki banyak kelemahan. Menurut Abdul Kadir Muhammad kelemahan –
kelemahan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut : Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
15
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Kata “mengikat” sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak – pihak.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa Konsensus
Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus.
Seharusnya dipakai juga persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena menyangkut juga pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum
keluarga.
14
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal.11.
15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya, Bandung, 1992, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
4. Tanpa menyebutkan tujuan
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak – pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
R. Setiawan berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya
defenisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata “perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela
dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :
16
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b.
Menambah perkatakan “atau saling mengikatkan diri” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Menurut R. Setiwan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.
17
R. Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
18
Menurut M. Yahya Harahap yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
19
16
R. Setiawan, Op.Cit., hal. 49.
17
Ibid.
18
R. Subekti II, Op.Cit., hal. 1.
19
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hal. 78.
Sedangkan menurut
Universitas Sumatera Utara
R. M. Sudikno Mertokusumo pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.
20
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian perjanjian yang disebutkan di atas, jika disimpulkan maka perjanjian megandung unsur – unsur :
Pengertian tersebut di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian.
Masing – masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian.
Hubungan hukum antara para pihak ini tercipta karena adanya perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian. Perlu diingat bahwa perjanjian merupakan
salah satu sumber lahirnya perikatan, sedangkan sumber lainnya adalah Undang – Undang.
21
1. Ada pihak – pihak
Dalam suatu perjanjian paling sedikit ada dua pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian. Para pihak yang disebut sebagai subjek perjanjian ini dapat
terdiri dari orang pribadi maupun badan hukum dan mempunyai wewenang melakukan perbutan hukum seperti yang ditetapkan oleh undang – undang.
2. Ada persetujuan antara para pihak
Sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat perjanjian para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar menawar di antara mereka.
Yang ditawarkan itu pada umumnya mengenai syarat – syarat dan objek perjanjian. Dengan disetujuinya syarat – syarat dan objek perjanjian tersebut
maka timbulah persetujuan. Persetujuan inilah yang menjadi salah satu syarat timbulnya perjanjian.
3. Ada tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dalam hal ini kebutuhan tersebut dapat dilakukan
dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan yang akan dicapai
20
R.M. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, ha. 97.
21
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
oleh para pihak ini hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang – undang.
4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Dengan adanya persetujuan maka para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya secara
timbal balik. Pemenuhan kewajiban oleh para pihak sesuai dengan syarat – syarat dalam perjanjian tersebut dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234
KUHPerdata prestasi tersebut dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
5. Ada bentuk tertentu
Perjanjian dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis dapat berupa akta otentik maupun akta dibawah
tangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Perjanjian dalam bentuk lisan, artinya perjanjian dibuat dengan kata – kata yang jelas maksud dan tujuannya
sehingga dapat dipahami para pihak. Bentuk perjanjian perlu ditentukan mengingat kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh
bentuk – bentuk perjanjian tersebut.
6. Adanya syarat – syarat tertentu
Dalam isi suatu perjanjian terdapat syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak. Dari syarat – syarat para pihak dapat mengetahui hal
– hal yang menjadi hak maupun kewajibannya.
Jika unsur – unsur suatu perjanjian yang telah dijelaskan sebelumnya diamati dan diuraikan, maka unsur – unsur tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
22
1. Unsur Esensialia
Unsur esensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut,
perjanjian tak mungkin ada.
2. Unsur Naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketehui secara pasti. Unsur naturalia
ini merupakan unsur yang telah diatur dalam undang – undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, undang – undang
yang mengaturnya.
3. Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambah oleh para pihak, atau dengan kata lain merupakan ketentuan – ketentuan yang dibuat para
pihak untuk mempermudah pelaksanaan kontrak walaupun bukan merupakan syarat utama.
22
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
B. Syarat – Syarat Sahnya Perjanjian