EFEKTIFITAS GLISEROL MONOSTEARAT TERHADAP MUTU DONAT LABU KUNING.
SKRIPSI
Oleh :
Roseria Anggiarini Lestari
NPM . 0333010021PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR SURABAYA
(2)
DAFTAR ISI ………. DAFTAR TABEL ………. DAFTAR GAMBAR ……...………. DAFTAR LAMPIRAN ....…...………. INTISARI ………..……….... BAB I. PENDAHULUAN ………
A. Latar Belakang ………...
B. Tujuan ……….
C. Manfaat ………...
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……….
A. Roti ……...………...………... B. Bahan Utama pembuat donat .………...
1. Tepung Terigu ………..
2. Labu kuning………. ………
3. Gliserol Monostearat (GMS) ... 4. Air ... 5. Yeast (Ragi Roti) ………..
C. Bahan tambahan pembuatan donat………...………..
1. Gula ………... 2. Susu Skim ………. 3. Margarin……… D Proses Pembuatan Donat ………...
1. Pengadonan ………..
2. Fermentasi ………
3. Penggorengan ……….
iii vi vii viii ix 1 1 4 4 5 5 8 8 10 11 13 14 15 15 16 17 18 18 19 19
(3)
Finansial..………..
1. Break Even Point (BEP) (Pujawan,
2003)…………..……..
2. Net Present Value (NPV) (Pujawan,
2003)………
3. Internal Rate Of Return (IRR) (Pujawan,
2003)…………....
4. Payback Periode (PP) (Pujawan,
2003)………
5. Gross Benefit Cost Ratio(GrossB/C Ratio)
(Pujawan,2003)……….……… ….
G Landasan Teori ………...………....
H. Hipotesa..………..
BAB III. BAHAN DAN METODE..
……..………...
A. Waktu dan Tempat Penelitian
………..………...
B. Bahan yang
Digunakan………..………..…………..
C. Peralatan yang
Digunakan...……….……….
D. Metode Penelitian ………....
1. Rancangan percobaan...………...
2. Peubah penelitian…..………
E. Parameter yang Diamati….………...…………
24 25 24 25 26 29 30 30 30 30 31 31 32 33 34 37 37 38 38 40 42 46 49 49 50 52 53
(4)
B. Hasil Analisa Produk Donat Labu kuning ...……….….…….
1. Kadar Air...……….………...
2. Kadar Protein...………..………....
3. Volume Pengembangan ...
4. Tekstur (Pnetrometer) ………..
C. Uji Organoleptik ..…………...………...
1. Uji Kesukaan Rasa.………..……….….………
2. Uji Kesukaan Warna ………..………
3. Uji Kesukaan Tekstur...…………...……….………..
D. Analisis Keputusan ………..……….……….….
E. Analisis Finansial ………...………
1. Kapasitas Produksi ……….……..
2. Biaya Produksi ……….
3. Harga Pokok Produksi ……….…….
4. Harga Jual Produksi ………..
5. Break Even Point (BEP) ………..
6. Net Present Value (NPV) ……….
7. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) ………
8. Internal Rate Of Return (IRR)………
9. Payback Periode (PP) ……….…..
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………..
A. Kesimpulan …………...……….……….
B. Saran ………...………
DAFTAR PUSTAKA
56 56 57 57 57 58 59 59 60
(5)
Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.
Komposisi kimia labu kuning per 100 gram bahan... Daftar komposisi ragi roti per 100 gram bahan ….……….. Daftar komposisi gula per 100 gram bahan ... Daftar komposisi susu skim per 100 gram bahan ………… Hasil analisa bahan baku ... Rerata kadar air donat dari perlakuan substitusi labu
kuning dan penambahan gliserol monostearat... Rerata kadar protein donat dari perlakuan substitusi labu kuning……… Nilai rata-rata kadar protein donat dari perlakuan
penambahan gliseol monostearat………... Rerata volume pengembangan donat dari perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol
monostearat……….. Rerata kekerasan donat dari perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat... Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan rasa dari perlakuan substitusi tepung terigu : labu kuning dan penambahan gliserol monostearat ... Nilai rata-rata uji organoleptik warna donat dari perlakuan substitusi tepung terigu : labu kuning dan penambahan gliserol monostearat ... Nilai rata-rata uji organoleptik tekstur donat dari perlakuan subsitusi tepung terigu : labu kuning dan penambahan gliserol monostearat ...
Data Hasil Analisis Donat labu kuning ………….………..
11 15 16 17 37 38 41 41 42 46 49 50 51 53
(6)
Gambar 1. Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7. Gambar 8.
Struktur kimia gliserol monostearat (GMS) ...… Pembuatan donat Metode Adonan Langsung Cepat (Straight dought) ………..……… Diagram Alir Proses Pembuatan Donat
(Tepung Terigu : Labu Kuning) dengan metode sponge
and dough ……….
Hubungan antara substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar air donat...…………. Hubungan antara substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap volume pengembangan donat………. Hubungan antara substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap tekstur donat………... Diagram alir penelitian... Grafik Break Event Point (BEP)...
12
21
36
39
43
47 36
(7)
Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18.
Lembar Kuisioner Organoleptik ……...……….. Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Air Donat Labu Kuning ...……….………... Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Protein Donat Labu Kuning...………..………... Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Volume Pengembangan Roti Tawar Bekatul ...…….. Data Hasil Pengamatan dan Analisis Ragam Kadar Tekstur (Pnetrometer) Donat Labu Kuning ...…..…... Data hasil uji organoleptik Rasa Dengan Uji scoring donat labu kuning ... Data hasil uji organoleptik warna dengan uji scoring donat labu kuning ... Data hasil uji organoleptik Tekstur dengan uji scoring donat labu kuning... Analisis finansial produk donat dari labu kuning ……. Penghitungan Modal Produksi Perusahaan
Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun Perhitungan Keuntungan Produksi Donat Labu Kuning Perhitungan Payback Period dan Break Event Point Produksi Donat Labu kuning... Grafik Break Event Point (BEP)
Laju Pengembalian Modal... Laporan Rugi Laba Selama Umur Ekonomis Proyek (5 tahun)………. Net Present Value (NPV) dan Gross Benefit………….
(8)
EFEKTIFITAS GLISEROL MONOSTEARAT TERHADAP MUTU DONAT LABU KUNING
Roseria Anggiarini Lestari NPM. 0333010021
INTISARI
Donat didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari adonan tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan digoreng. Tepung terigu merupakan bahan dasar dari pembuatan donat. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu dan menambah kandungan serat serta penganekaragaman pangan perlu penggantian sebagian tepung terigu dengan bahan lainnya, misalnya labu kuning. Permasalahan yang timbul dalam pembuatan donat dari bahan baku tepung campuran (tepung terigu dan labu kuning kukus) adalah tekstur roti yang keras dan kurang mengembang sehingga perlu penambahan Gliserol Monostearat yang berfungsi untuk menguatkan kerja gluten dan pati dalam menangkap karbondioksida (CO2)..
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sustitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik donat. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 kali ulangan, faktor I adalah sustitusi labu kuning kuning (10%; 20%; 30%) dan faktor II adalah penambahan gliserol monostearat (1; 2; 3 % bb).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada sustitusi labu kuning kukus 20% dan penambahan gliserol monostearat 2%, yang menghasilkan donat labu kuning dengan kadar air 24,446%, kadar protein 7,460%, volume pengembangan 100%, tekstur (kekerasan) 0,303 mm/gr dt dan total rangking warna 132 , rasa 117, tekstur 104. Hasil analisis finansial pada perlakuan terbaik menunjukkan titik BEP 28.09 % dari total produksi, NPV sebesar Rp. 17.066.964,- dan Payback Period 3,3 tahun dengan Benefit Cost Ratio sebesar 1,0298 dan IRR 22,466% (dengan tingkat suku bunga 10%).
(9)
A. Latar Belakang
Roti sudah dikenal sebagai makanan sehari-hari terutama golongan masyarakat umum. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya berdiri industri roti baik dalam skala rumah tangga maupun industri menengah (Marleen, 2002).
Bahan utama dalam pembuatan roti adalah tepung terigu. Tepung ini mempunyai sifat yang unik apabila dibasahi dengan air dan diperlakukan secara mekanis, yaitu membentuk adonan yang mudah direntangkan dan bersifat elastis. Hal ini terjadi karena adanya gluten yang merupakan penyusun terbesar tepung terigu. Gluten tersusun atas gliadin dan glutenin yang mempunyai fungsi menahan gas pada proses pembuatan roti yang berpengaruh terhadap kualitas roti yang dihasilkan (volume pengembangan dan tekstur). Tepung terigu saat ini masih diimport dari luar negeri. Salah satu cara untuk mengurangi kebutuhan tepung terigu pada pembuatan donat yaitu dengan mengganti sebagian dari tepung terigu dengan bahan local misalkan dengan labu kuning.
Labu kuning merupakan sumber pro vitamin A yang potensial, termasuk dalam jenis tanaman sayuran yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis makanan seperti donat, dodol, kolak, manisan dan sebagainya.
Labu kuning (waluh) mempunyai kandungan gizi yang lengkap seperti karbohidrat, protein, vitamin-vitamin. Selain itu kandungan karoten pada buah
(10)
labu kuning sangat tinggi yaitu sebesar 180,00 SI, karena kandungan karotennya tinggi dengan kandungan gizi yang lengkap, labu kuning dapat menjadi olahan pangan yang kaya gizi dan harganya pun terjangkau oleh masyarakat. (Sudarto,1996).
Selama ini produk olahan labu kuning masih terbatas. Salah satu produk olahan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan adalah donat labu kuning. Pengolahan labu kuning menjadi donat merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai ekonomis dari labu kuning tersebut, selain itu juga untuk penganekaragaman produk olahan labu kuning.
Pada pembuatan donat yang perlu mendapatkan perhatian adalah keseimbangan antara kemampuan menghasilkan gas dan kemampuan untuk menahan gas selama fermentasi. Parameter yang digunakan untuk penentu kualitas donat adalah volume pengembangan, warna kulit dan flavor yang dihasilkan. Penurunan kualitas donat dapat mengakibatkan perubahan respon sensoris, sehingga tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut menurun.
Dari beberapa hasil penelitian, pada pembuatan roti dengan substitusi tepung selain tepung terigu perlu penambahan surfactant seperti gliserol monostearat (GMS) sehingga dapat meningkatkan kualitas roti tersebut (Hasenhueld, 1999).
Hasil penelitian Suparti (1992), menunjukkan bahwa penggunaan GMS 1% pada pembuatan roti dari campuran tepung jagung dan tepung sorghum, dapat meningkatkan volume pengembangan roti. Gliserol monostearat dapat digunakan
(11)
sebagai bahan pengembang dengan konsentrasi 1-3%. Hal tersebut juga ditunjang oleh hasil penelitian Mudjisihono (1993), GMS dengan konsentrasi 1% ternyata dapat meningkatkan volume pengembangan roti per satuan massa lebih dari 100%.
Hasil penelitian Hidayat (2006), menunjukkan bahwa penggunaan GMS 4% pada pembuatan roti dengan substitusi tepung tapioka 10% dapat meningkatkan volume pengembangan roti yang sempurna.
(12)
B. Tujuan
1. Mengkaji pengaruh substitusi labu kuning dan penambahan GMS
(Gliserol monostearat) terhadap kualitas donat.
2. Menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara substitusi labu kuning dan GMS (Gliserol monostearat) sehingga dihasilkan donat dengan kualitas yang baik dan disukai oleh konsumen.
C. Manfaat
1. Dapat meningkatkan nilai ekonomis labu kuning.
2. Penganekaragaman produk donat yaitu dengan substitusi labu kuning.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang metode pembuatan
(13)
A. Roti
Roti merupakan salah satu produk yang mampu membentuk adonan, yang sebagian besar volume rotinya tersusun dari gelembung-gelembung gas. Roti dibuat dari bahan tepung terigu, air, shortening, gula, dan yeast melalui tahap pembentukan adonan, fermentasi dan pemanggangan. Adonan roti dapat mengembang karena timbulnya gas karbondioksida sebagai hasil fermentasi gula oleh yeast (Marleen, 2002)
Produk roti terdiri atas gas sebagai fase diskontinyu dan zat padat sebagai fase kontinyu. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan dalam pembuatan roti adalah keseimbangan antara pembentukan dan kemampuan menahan gas. (Matz, 1972). Menurut Sultan (1981), pembentukan gas terjadi pada saat fermentasi, sedangkan penahanan gas disebabkan oleh gluten yang merupakan substansi yang ulet, elastis dan mudah direnggangkan apabila tepung terigu dicampur dengan air.
Roti jenis ini mempunyai standart dan peraturan dengan formulasi tertentu. Beberapa Negara, roti hanya dibuat dari gandum. Selain gandum, jenis serealia seperti barley, beras, jagung, oats dan sorghum dapat ditambahkan dengan formula tertentu. (Bushuk and Rasper, 1996). Menurut Kent (1975), roti dengan kualitas baik mempunyai karakteristik volume yang besar, penampakan bentuk, warna yang menarik dan remah.
(14)
Donat merupakan roti bundar yang berlubang di tengahnya dan sebenarnya donat adalah adonan roti yang digoreng. Setelah bahan dicampur, difermentasi dan dicetak, kemudian digoreng. Bentuk donat juga tidak harus bundar dan berlubang di tengahnya. Adonannya bisa dimodifikasi dalam berbagai bentuk sebelum digoreng misalnya : bentuk kepang, pilin, bulat dan lain-lain (Anonymous, 2008).
Adonannya juga bisa diperkaya dengan berbagai bahan jadi tidak terigu saja tetapi bisa juga dari kentang, ubi, singkong, dan juga labu kuning.
Secara garis besar ada 3 jenis formula adonan roti yaitu:
1. Metode Adonan Langsung (Straight Dough).
Metode ini merupakan salah satu proses langkah tunggal yaitu semua bahan dicampur secara bersamaan dalam suatu campuran tunggal. Pencampuran dilakukan sampai masa adonan mencapai kehalusan dan kenampakan yang dikehendaki dan kalis. Suhu adonan pada saat pencampuran harus diantara 78oF - 82oF. Keuntungan metode ini adalah kebutuhan tenaga pada tingkat minimum, waktu fermentasi lebih pendek dari pada metode spon dan adonan dan adonan langsung cepat. Kerugian metode ini adalah tidak fleksibel, memerlukan fermentasi yang tepat, adonan masak harus segera dipanggang bila sudah siap dan hanya sedikit yang digunakan untuk memperbaikinya sebagai akibat dari fermentasi lanjut.
(15)
2. Metode Spon dan Adonan (Sponge and Dough).
Metode ini terdiri dari 2 tahap yang berbeda, pertama pembentukan spon dan kedua pengembangan adonan. Tahap pembentukan spon meliputi pencampuran bagian bahan adonan yang mengandung kurang lebih 50-75% dari jumlah tepung, ragi roti, malt dan air yang cukup untuk menghasilkan adonan yang agak keras diikuti dengan fermentasi awal. Dalam tahap adonan, spon yang difementasi diaduk kembali menjadi satu dengan bahan – bahan yang tersisa kemudian difermentasi kedua dengan waktu yang singkat. Suhu pencampuran yang digunakan lebih rendah dari metode adonan langsung yaitu 72oF – 78oF.
Keuntungan metode ini adalah penghematan kebutuhan ragi roti, roti dihasilkan cenderung memiliki volume yang lebih besar dan tekstur yang lebih baik sehingga memungkinkan mempunyai masa simpan lebih lama. Kerugian metode ini adalah tenaga dan biaya pengolahan yang dibutuhkan lebih banyak.
3. Metode Adonan Langsung Cepat (No time Dough).
Metode ini pada intinya sama dengan kedua metode di atas tetapi tanpa adanya fermentasi. Pembuatan adonan lebih ditekankan dengan bantuan bahan pengembangan (Bread Improver). Keuntungan metode ini adalah waktu yang di butuhkan sangat singkat dan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Kerugian metode ini adalah biaya yang di butuhkan lebih banyak.
(16)
B. Bahan Utama Pembuatan Donat 1. Tepung terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan dari penggilingan biji gandum. Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam pembuatan roti karena mengandung protein gluten. Protein dalam tepung terigu merupakan komponen yang penting dalam pembentukan adonan. Tepung terigu dapat membentuk adonan yang liat dan dapat menahan gas-gas selama fermentasi dan penggorengan sehingga dihasilkan donat yang mengembang dan ringan.
Gluten sebagian besar terdiri dari protein (75-80%), pati yang tidak tercuci (5-15%) dan lemak (5-10%). Gluten terbentuk dari gliadin dan glutenin yang mempunyai sifat lentur dan dapat direntangkan (Utami,1992).
Gluten terbentuk dari gliadin dari glutenin yang bereaksi dengan air, dipercepat dengan perlakuan mekanis membentuk jaringan tiga dimensi serta mampu memperangkap granula pati. Gluten mempunyai sifat elastis dan dapat direntangkan (ekstansibilitas). Gliadin berperan sebagai perekat elastis dan glutenin berperan dalam kestabilan dan keteguhan adonan (Matz,1972).
Menurut Anonym (1994) berdasarkan kandungan protein tepung terigu dibedakan menjadi 3 golongan yaitu :
a. Hard Wheat Flour (Protein Tinggi).
Merupakan tepung terigu hasil penggilingan 100% jenis gandum keras,
mempunyai sifat gluten yang ulet dan kuat. Kandungan protein berkisar antara 11-13% serta cocok untuk pembuatan berbagai roti beragi, hard rolls, dan
(17)
b. Medium Wheat Flour (Protein sedang).
Merupakan tepung hasil penggilingan dari campuran antara jenis gandum keras dan lunak. Kandungan protein berkisar antara 9-11% serta cocok untuk pembuatan pastry, cake dan mie. Di pasaran lebih dikenal dengan merk dagang cap Gunung Bromo.
c. Soft Wheat Flour (Protein rendah).
Merupakan tepung hasil penggilingan 100% jenis gandum lunak mempunyai sifat gluten yang kurang baik, kandungan protein berkisar antara 7-9%. Tepung ini baik untuk pembuatan cake, biskuit, dan kue kering.
Menurut Utami (1991), tepung terigu jadi mengandung unsure lain seperti karbohidrat, lemak, abu dan serat seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar komposisi kimiawi tepung terigu protein tinggi dalam 100 gram.
No. Komposisi Kadar
1. Air (%) 12,34
2. Abu (%) 1,54
3. Protein (%) 11,93
4. Lemak kasar (%) 1,60
5. Serat kasar (%) 2,28
6. Pati (%) 57,13
7. Energi (Kkal/kg) 3910,00
8. Thiamin (ppm) 3,85
9. Riboflavin (ppm) 1,57
10. Pyridoin (%) 2,39
Sumber : Samuel A. Matz (1992).
2. Labu Kuning
Menurut Kartesz (1951) dalam Astawan (2004) , labu kuning atau waluh merupakan bahan pangan yang kaya vit A dan C, mineral, serta karbohidrat. Daging buahnya pun mengandung antioksidan sebagai penangkal berbagai jenis
(18)
kanker. Labu kuning juga mengandung beberapa senyawa gula yang berupa sukrosa, fruktosa dan glukosa.
Labu kuning dapat digunakan untuk berbagai jenis makanan dan cita rasanya enak. Daunnya berfungsi sebagai sayur dan bijinya bermanfaat untuk dijadikan kuaci. Air buahnya berguna sebagai penawar racun binatang berbisa, sementara bijinya dapat mejadi obat cacing pita (Astawan ,2004).
Labu kuning mempunyai kulit yang sangat tebal dan keras, sehingga dapat bertindak sebagai penghalang laju respirasi, keluarnya air melalui proses penguapan, maupun masuknya udara penyebab proses oksidasi. Hal tersebut yang menyebabkan labu kuning relatif awet di banding buah lainnya. Daya awet dapat mencapai 6 bulan atau lebih, tergantung cara penyimpanannya, namun buah yang telah dibelah harus segera diolah karena akan sangat rusak. Hal tersebut menjadi kendala dalam pemanfaatan buah labu kuning pada skala rumah tangga sebab buah labu kuning yang besar tidak dapat diolah sekaligus (Astawan, 2004).
Menurut Astawan (2004), buah labu kuning dalam olahan segar dapat digunakan sebagai sayur, soup, atau desert. Masyarakat umumnya memanfaatkan labu kuning yang masih muda sebagai sayuran. Labu kuning setelah dikukus dapat dibuat aneka makanan tradisional, seperti dawet, lepet, jenang dodol dan lain lain. Sesuai namanya labu kuning mempunyai warna kuning atau jingga akibat kandungan karotenoidnya yang sangat tinggi. Oleh sebab itu air perasan labu kuning biasanya digunakan sebagai pewarna alami dalam pengolahan berbagai macam makanan tradisional. Karotenoid, dalam buah labu kuning sebagian besar berbentuk Beta-karoten. Beta-karoten befungsi untuk melindungi
(19)
mata dari serangan katarak. Beta-karoten dalam buah labu kuning juga berfungsi untu melindungi dari serangan jantung, kanker dan beberapa penyakit lainnya. Komposisi kimia labu kuning dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Komposisi Kimia Labu Kuning (tiap 100gr bahan segar)
No. Komponen Kadar
1 Kalori 29,00 kal
2 Protein 1,10 gr
3 Lemak 0,30 gr
4 Karbohidrat 6,6 gr
5 Kalsium 45,00 mg
6 Fosfor 64,00 mg
7 Besi 1,4 mg
8 Vitamin A 180,00 SI
9 Vitamin B1 0,08 mg
10 Vitamin C 52,00 mg
11 Air 91,20 gr
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Depkes RI (1992) Buah labu kuning yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan sayuran. Buah labu kuning yang sudah tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat jenang, jenang dodol, kolak, manisan, agar agar dan aneka jenis cake lainnya (Astawan, 2004).
3. Gliserol Monostearat (GMS)
Monogliserida termasuk juga gliserol monostearat adalah suatu emulsifier buatan yang merupakan bahan surfaktan (Surfare Active Agent). Fungsi utamanya adalah mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Ciri khas dari emulsifier adalah adanya gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dapat mengikat air dan lemak menjadi satu kesatuan yang lebih stabil (Fenema, 1985).
(20)
Gliserol monostearat merupakan emulsifier buatan yang digunakan dalam proses pengolahan dalam kategori Generally Recognized As Safe (GRAS).
Pada pembuatan roti, fungsi gliserol monostearat adalah membentuk reaksi kompleks dengan pati, menghambat laju retrogradasi, mencegah pemecahan dan peremahan roti (Furia, 1968).
Penambahan gliserol monostearat dapat meningkatkan volume roti goreng. Hal ini disebabkan gliserol monostearat yang berfungsi sebagai emulsifier dan sebagai bahan pengelat antar granula pati. Gliserol monostearat mampu berinteraksi dengan molekul-molekul amilosa sehingga dapat menahan gas CO2 hasil dari fermentasi yeast, akibatnya adonan menjadi lebih berkembang (Mudjisihono, 1993).
Struktur dari gliserol monostearat dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar. 1 . Struktur kimia Gliserol monostearat (Bailey’s, 1996). Menurut Kim dan Ruiter (1968), pengaruh gliserol monostearat dapat mencegah pengerasan dan peremahan (stalling) akibat interaksi dengan pati. Selain itu adanya ikatan antar granula pati ini memberikan kekuatan untuk menahan pengembangan adonan, sehingga roti dapat mengembang dengan baik.
O H ║ │ H3C(CH2)16C ─ O ─ C ─ H
│
H ─ C ─ OH │
H ─ C ─ OH │
(21)
Menurut Winarno (1986), gliserol monostearat merupakan emulsifier buatan yang tersusun dari radikal asam stearat sebagai gugus non polar dan mempunyai dua gugus hidroksil dari gliserol sebagai gugus polar. Adanya dua gugus hidroksil dari gliserol sebagai gugus polar maka satu gugus hidroksil (-OH) pada akhir rantai gliserol monostearat bereaksi dengan molekul-molekul amilosa secara heliks. Akibat reaksi tersebut membentuk ikatan kompleks antar molekul-molekul amilosa sehingga selama fermentasi gas CO2 dapat tertahan dan adonan menjadi berkembang (Barley’s, 1996).
Menurut Keetels (1995), gliserol monostearat pada roti dapat memperpanjang umur simpan (Shelf life) dan memperbaiki volume roti. Hal ini karena gliserol monostearat bertindak sebagai conditioner pada adonan dalam dua cara. Pertama, gliserol monstearat dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguat jaringan gluten. Kedua, gliserol monostearat dapat meningkatkan kestabilan sel gas dalam adonan sehingga volume roti dan tekstur dapat tercapai.
Bagian n-alkyl pada emulsifier seperti bentuk gliserol monostearat membentuk suatu kompleks bagian helical pati. Hal ini diduga menjadi tanggung jawab dari gliserol monostearat yang mampu menghambat kristalisasi pati dalam remah roti, memperlambat proses kerusakan tekstur (stalling) (Bailey’s , 1996).
4. Air
Fungsi air adalah untuk menghidrasi tepung sehingga dapat membentuk adonan yang baik. Air berperan dalam melarutkan bahan-bahan seperti garam, gula dan yeast. Air akan berikatan dengan protein membentuk gluten dan
(22)
mengikat pati membentuk gel dengan adanya panas. Banyak air yang ditambahkan dalam pembuatan adonan roti akan menentukan mutu roti yang dihasilkan menjadi baik (Marliyati, 1992).
Menurut Sultan (1981), air berperan dalam melarutkan bahan, membantu aktifitast, membantu pembentukan gluten, membentuk gelatinisasi pati serta menghasilkan uap air yang membantu pengembangan adonan selama pembakaran.
5. Yeast
Ragi yang digunakan dalam pembuatan roti dari sel Saccharomyces
cereviceae. Suhu optimum fermentasi sekitar 25oC – 30oC dan suhu maksimum
35oC – 47oC. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam pada pH 4 - 4,5. Ragi ini memfermentasikan gula dalam keadaan anaerob dengan menghasilkan gas CO2 dan alkohol (Fardiaz, 1992).
Yeast adalah penghasil gas CO2 yang berperan dalam mengembangkan adonan donat dan penghasil aroma pada saat proses fermentasi (Meyer, 1980). Menurut Sultan (1981), yeast mampu menghasilkan gas karbondioksida yang diperangkap oleh gluten dan mengakibatkan adonan roti mengembang pada saat fermentasi.
Yeast dapat langsung dicampur dengan tepung terigu dan bahan kering
lainnya ataupun dicairkan terlebih dahulu dengan air pada suhu 40oC – 45oC sebelum digunakan pada saat pengadonan. Yeast yang ditambahkan ke dalam adonan memerlukan waktu adaptasi selama ± 45menit sebelum memperbanyak diri serta memecah karbohidrat (Meyer, 1980).
(23)
Yeast mempunyai 3 fungsi dalam pembuatan roti yaitu memproduksi gas
yang mengembangkan adonan, memodifikasi reologi adonan dan memberikan kontribusi pada flavor produk akhir. Jumlah yeast yang digunakan dalam proses penggorengan tergantung pada komposisi adonan yang difermentasi (jumlah gula dan panjang proses yang digunakan) (Wood, 1998). Komposisi ragi roti dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3. Daftar komposisi ragi roti per 100gr
No. Komposisi Kadar
1. Kalori (kal) 136
2. Protein (gr) 43,0
3. Lemak (gr) 2,4
4. Karbohidrat (gr) 3,0
5. Kalsium (mg) 140
6. Fosfor (mg) 1900
7. Besi (mg) 20,0
8. Air (gr) 10
Sumber : Departement Kesehatan RI (1996)
C. Bahan Tambahan Pembuatan Donat 1. Gula
Gula merupakan salah satu bahan utama dalam pembuatan roti, karena dapat memenuhi beberapa fungsi antara lain substrat bagi yeast, memberikan rasa manis, mengatur fermentasi dan pembentukan warna pada kulit roti.
Menurut Marliyati (1992), gula merupakan substat bagi yeast pada proses fermentasi sehingga memproduksi gas CO2 pada donat atau roti. Gula yang tersisa setelah fermentasi disebut sisa gula yang akan memberikan warna pada kulit roti donat dan rasa pada roti donat. Warna ini merupakan hasil reaksi Browning non enzimatis antara gula dengan protein dari tepung. Gula sangat bersifat higroskopis dan hal ini dapat memperbaiki masa simpan dari roti donat. Gula yang
(24)
ditambahkan sebaiknya gula yang bermutu tinggi dan jumlah gula yang ditambahkan sebaiknya tidak melebihi 8% karena akan menghambat proses fermentasi.
Menurut Kotschevar (1995), penambahan gula dalam jumlah terlalu banyak dapat mengakibatkan sifat pengawet pada gula muncul sehingga menurunkan aktivitas yeast. Menurut Desrosier (1988), bila kadar gula meningkat, adonan menjadi lebih cair, maka dalam kondisi ini jumlah udara yang terperangkap akan menjadi berkurang.
Ketaren (1986), menyatakan bahwa penambahan gula dalam roti disamping memberikan rasa manis juga berfungsi sebagai pengempuk adonan. Penambahan gula terlalu banyak dapat mengakibatkan adonan meleleh dan hancur selama penggorengan, karena terbentuknya butiran keras (set form) akibat koagulasi pati dan gluten pada tepung. Komposisi gula pasir dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar Komposisi gula pasir per 100gr bahan No. Komponen Jumlah
1. Kalori (kal) 364
2. Protein (gr) 0
3. Lemak (gr) 0
4. Karbohidrat (gr) 94,0
5. Kalsium (mg) 5
6. Fosfor (mg) 1
7. Besi (mg) 0,1
8. Air (gr) 5,4
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1996).
2. Susu skim
(25)
kalsium. Selain itu susu dapat memberikan efek terhadap warna yaitu sebagai hasil reaksi browning non enzimatis antara gula dengan protein dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya. (Marliyak , 1992).
Menurut Natalia (1990), susu digunakan untuk memberikan flavor yang spesifik serta pembentukan kulit roti sebab susu mengandung laktosa yang tidak dapat difermentasi oleh yeast. Selain itu, susu dapat memperbaiki nilai nutrisi roti goreng sebab mengandung protein yang cukup tinggi (37,96%).
Komposisi kimiawi susu skim dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel. 5 . Daftar komposisi susu skim per 100gr bahan.
No. Komponen Jumlah
1. Kalori (kal) 36
2. Protein (gr) 3,5
3. Lemak (gr) 0,1
4. Karbohidrat (gr) 5,1
5. Kalsium (mg) 123
6. Fosfor (mg) 97
7. Besi (mg) 0,1
8. Air (gr) 90,5
3. Margarin
Margarin adalah produk yang hampir sama dengan mentega yang dibuat dari minyak nabati, jadi dapat berasal dari minyak kelapa, kelapa sawit, minyak kedelai, jagung dan sebagainya .Fungsi lemak menurut Sultan (1983) adalah memberikan rasa lemak pada produk akhir, memperbaiki kualitas bahan pada produk, meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur.
Margarin yang ditambahkan dalam pembuatan roti goreng donat ini bertujuan untuk membuat tekstur serat donat menjadi lembut dan lembab, hal ini
(26)
didukung Matz (1972), yang menyatakan lemak (margarin) digunakan untuk mempertahankan aroma dan memperbaiki tekstur (lembut).
Menurut Sandra (2002), standart penggunaan margarin yang ditambahkan pada pembuatan donat yaitu 5% dari berat bahan.
D. Proses Pembuatan Roti
Proses pembuatan roti secara garis besar meliputi proses pencampuran (mixing), pengadonan, fermentasi, pencetakan dan pemanggangan.
Donat merupakan produk makanan yang dihasilkan dari proses pengadonan, fermentasi dan pemanggangan dari tepung terigu yang ditambah air, gula, garam, shortening dan yeast. Pengembangan volume roti donat merupakan parameter yang penting dalam menentukan kualitas roti, sehingga proses pengadonan, fermentasi dan pemanggangan yang menentukan berkembang tidaknya roti tersebut. (Anonymous, 2008).
1. Pengadonan
Pengadonan merupakan pencampuran antara bahan-bahan pembuatan donut seperti air, susu skim, gula, margarine, telur dan tepung terigu dengan perbandingan yang tepat. Proses pengadonan, di dalamnya terkait suhu dan waktu pengadonan. Suhu yang tepat pada saat penngadonan adalah 28oC – 30oC. Pada suhu tersebut, yeast sebagai penghasil gas CO2 dalam keadaan optimal untuk mencegah glukosa dan fruktosa serta gula yang terdapat dalam tepung ataupun gula yang ditambahkan. (Pomeranz, 1971).
(27)
2. Fermentasi
Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik. Fermentasi merupakan perubahan konvensional substrat yang dilakukan oleh mikroorganisme sel vegetatif atau enzim dalam bahan. (Spreer,1998)
Selama fermentasi terjadi perubahan gula menjadi gas CO2 dan alkohol sebagai berikut :
Tahap fermentasi ada dua yaitu 1). Fermentasi gula dalam tepung oleh
yeast, 2). Berkembang biaknya yeast lebih lanjut dengan adanya gula dan
menghasilkan gas CO2 dan alkohol. Suhu optimal untuk fermentasi adonan adalah 33oC – 35oC atau 41oC – 43oC dengan kelembaban relatif 80-85% serta lama fermentasi 60 – 90 menit. Yeast membawa perubahan pada adonan selama fermentasi, seperti penipisan substrat yang dapat difermentasi, akumulasi produk akhir dalam bentuk alkohol, dan gas CO2.(Hui,1992)
Tepung dan yeast mengandung enzim protese dan peptidase. Enzim –
enzim tersebut aktif memecah protein dalam adonan selama fermentasi dan membebaskan asam-asam amino. (Subarna,1992).
3. Pemanggangan
Pemanggangan roti merupakan langkah terakhir dan sangat penting dalam memproduksi roti. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses penggorengan adalah mempersatukan uap air dengan gelembung udara semaksimal mungkin, yang dapat diawasi dengan cara : 1) mengusahakan agar lemak dapat menyerap
(28)
udara dalam jumlah yang cukup besar dan 2) distribusi mentega atau lemak dalam adonan sebaik mngkin, sehingga ruang udara dalam adonan terbentuk secara merata. Gelembung udara dalam adonan merupakan tempat akumulasi uap air dan gas CO2 yang dihasilkan oleh fermentasi yeast. Pada waktu adonan digoreng, gelembung udara yang berisi uap air dan gas CO2 akan memuai dan mendesak dinding sekitarnya. Akibatnya volume ruang udara terbentuk bertambah besar. Makin besar jumlah gelembung udara yang diserap oleh lemak dalam adonan maka semakin besar volume roti yang dihasilkan dan teksturnya semakin halus. (Ketarn, 1986)
Pomeranz (1971) melaporkan bahwa pada suhu 50oC – 60oC bakteri dan khamir mati. Pada saat suhu diatas 60oC terjadi gelatinisasi pati, koagulasi protein, dan inaktivasi enzim. Pada suhu 100oC mulai terbentuk uap dan volume roti mencapai maksimum.
Selama pemanggangan roti akan terjadi perubahan struktur dari adonan dan perubahan warna pada kulit roti. Perubahan warna coklat pada kulit roti merupakan hasil dari reaksi maillard akibat gugus asam amino primer protein dan gula pereduksi oleh adanya panas. Gugus amino membentuk warna coklat yang disebut melanoidin. (Winarno,1995)
(29)
Terigu (100%) Ragi roti (1% - 1,5%) Garam (1,75% - 2,5%) Gula (7,5%)
Susu
Margarin
Roti
Gambar 2. Pembuatan Roti Metode Spon dan Adonan (Sponge and Dough) (Anonymous, 2008).
Pencampuran
Fermentasi awal 30 menit (dalam wadah terutup)
Pencetakan
Fermentasi akhir 30 menit dalam (wadah terutup) Pembulatan adonan
Pengadukan adonan
Pengadukan adonan sampai halus
(30)
E. Analisis Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan yaitu usaha menyeleksi dari antara alternatif-alternatif suatu arah tindakan yang merupakan inti perencanaan.(Koontz, 1984)
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur yang logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenal pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan. (Mangkusubroto dan listiani, 1987)
F. Analisis Finansial
Analisis kelayakan adalah analisa yang ditujukan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus di kaji, diteliti dari beberapa aspek-aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak. (Susanto, 1994)
Analisis finansial dilakukan untuk menghitung :
1. Break Even Point (BEP) (Pujawan, 2003)
Break Even Point adalah nilai suatu parameter atau variabel yang
menyebabkan dua atau lebih alternatif sama baiknya disebut nilai titik impas. Apabila nantinya pengambilan keputusan bisa mengestimasi besarnya nilai aktual dari variabel nilai yang bersangkutan (lebih besar atau lebih kecil dari nilai BEP) maka akan bisa ditentukan alternatif mana yang lebih baik. Penentuan BEP dapat dihitung dengan rumus:
(31)
Po = ____FC___ VC Keterangan :
Po = Produk pokok FC = Biaya tetap
VC = Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut : a. Biaya Titik Impas
BEP = Biaya tetap
1 – (biaya tidak tetap / pendapatan) b. Persentase
Titik Impas :
BEP (Rp)
BEP (%) = x 100 % Pendapatan
c. Kapasitas Titik Impas
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas. Rumus kapasitas titik impas adalah sebagai berikut : Kapasitas Titik Impas = Persen Titik Impas x Pendapatan
2. Net Present Value (NPV) (Pujawan, 2003)
Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value dari
benefit dan present value dari pada biaya. Rumus perhitungan NPV adalah sebagi
(32)
n
NPV = ∑ Bt – Ct t – 1 (1 + i) t Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
t = 1, 2, 3,………n
n = Umur ekonomi daripada proyek i = Sosial discount rate
3. International Rate of Return (IRR) (Pujawan, 2003)
International Rate of Return adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan
persamaan antara lain penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari produk yang sedang dikerjakan. IRR merupakan nilai
discount rate I yang membuat nilai NPV di proyek =0. Bila nilai IRR ≥ dari suku bunga yang berlaku di bank maka proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan.
IRR = I’ + NPV’ x ( I” – I’ )
NPV” + NPVP’
Keterangan : I’ = Tingkat suku bunga sekarang
I” = Tingkat suku bunga tahun yang akan datang NPV’ = Net Present Value tahun yang akan datang NPV” = Net Present Value tahun sekarang
(33)
4. Payback Periode (PP) (Pujawan, 2003)
Payback Periode adalah jumlah periode (tahun) yang diperlukan untuk
mengembalikan (menutup) ongkos investasi awal dengan tingkat pengembalian tertentu. Kriteria ini memberikan nilai bahwa proyek akan dipilih jika waktu
payback periode yang paling cepat.
Nilai harapan ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut: I
PP = Ab
Keterangan : I = Total investasi
Ab = Keuntungan bersih pertahun
5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Pujawan, 2003)
Gross B/C Ratio merupakan perbandingan antara penerimaan kotor
dengan biaya kotor yang telah di present valuekan (dirupiahkan sekarang).
Σ Bt / (I + i)t Gross B/C =
Σ Ct / (I+i)t
Keterangan : Bt = Penerimaan pada tahun ke-t Ct = Biaya pada tahun ke-t
N = Umur ekonomis proyek
(34)
H. Landasan Teori
Donat merupakan suatu produk pangan dari tepung terigu yang dibuat melalui tahapan proses pengadonan, fermentasi, dan penggorengan. Bahan yang memegang peranan penting dalam pembuatan donat adalah jenis protein gluten yang terdapat dalam tepung terigu.
Proses pengulenan dan pengadonan akan terbentuk sifat elastis kohesif dari gluten yang mengikat molekul air. Terjadinya struktur elastis kohesif di awali dengan terjadinya ikatan hydrogen antar molekul protein tepung terigu sehingga membentuk struktur melingkar, selain itu juga terjadi ikatan disulfida. Pada pencampuran dengan air, protein, tepung terigu mengikat air hingga keseluruhan adonan menjadi kalis. (Wibowo, 1992). Menurut Fance (1975), jika pengadonan dilangsungkan terus maka akan terjadi pengenduran lebih lanjut kerena adonan menjadi lembek dan lengket disebabkan terjadi pemutusan ikatan disulfida (-S-S-) yang berlebihan.
Pada proses fermentasi terjadi penguraian baik pati dari tepung terigu dan sukrosa yang ditambahkan. Enzim α dan β amylase yang secara alamiah terdapat dalam tepung terigu akan memecah pati menjadi maltosa yang akan digunakan dalam fermentasi yeast.(Manley, 1983). Sel-sel yeast menghasilkan enzim maltase yang mengubah maltosa menjadi glukosa (Buckle et. Al., 1987). Sedangkan sukrosa yang ditambahkan akan dipecah oleh yeast menjadi glukosa dan fruktosa kemudian dipecah lagi menghasilkan gas CO2 dan etanol (Sadjoko, 1991).
Adonan donat dapat mengembang dengan baik karena adanya gas CO2 sebagai hasil fermentasi gula oleh yeast. Ketidak beradaan protein gluten dalam
(35)
labu kuning akan berpengaruh terhadap keseimbangan pembentukan dan penahanan gas CO2 selama fermentasi,serta mutu orgonoleptik donat yang dihasilkan. Substitusi tepung terigu dan labu kuning menyebabkan jumlah gluten pada adonan menjadi berkurang maka dari itu substitusi tepung terigu dan labu kuning kukus tanpa bahan surfactant seperti gliserol monostearat berakibat kurang mengembangnya volume roti tersebut. Hal ini disebabkan gliserol monostearat mempunyai dua gugus yaitu gugus polar dan gugus non polar, sedangkan gugus polar berinteraksi dengan fraksi amilosa membentuk ikatan kompleks dan matriks(film) sehingga dapat membantu kerja gluten dalam memperangkap gas CO2 hasil fermentasi, sedangkan gugus non polar juga berinteraksi dengan amilopektin yaitu pada pemanasan pati lebih lanjut mengakibatkan pelarutan. Molekul-molekul amilosa menjadi terlarut berbentuk puntiran-puntiran. Atom-atom hydrogen dan oksigen mengarah ke dalam, sehingga bagian dalam puntiran bersifat hidrofobik. Bagian tersebut dapat merangkap gugus hidrofobik senyawa lain seperti gliserol monostearat (Bailley’s,1996).
Akibat reaksi tersebut membentuk ikatan antar molekul-molekul amilosa sehingga selama fermentasi gas CO2 dapat tertahan dan adonan menjadi mengembang. (Mudjisihono,1993)
Penggorengan merupakan tahap akhir untuk menentukan kualitas roti yang
diinginkan. Pada proses penggorengan, terjadi pembebasan gas CO2 karena
kenaikan suhu sampai 48.9oC. Gas yang dibebaskan ini ditahan oleh gluten sehingga dapat menaikkan tekanan dan pengembangan adonan. Sejalan dengan
(36)
naiknya suhu adonan sampai 60oC terjadi kenaikan aktifitas metabolisme di dalam sel khamir,meningkat sampai titik kematian thermal khamir. Aktivitas amylase juga bertambah oleh kenaikan suhu, membantu reaksi produk dan akhirnya system enzim menjadi rusak. Mendekati suhu 73,3oC alcohol yang dihasilkan selama fermentasi juga dibebaskan dan membantu pengembangan tambahan dari sel gas. Pertama, granula pati bertambah ukurannya dan menjadi lebih terikat di dalam gluten. Kedua, air yang diperlukan oleh pati diambil dari struktur gluten selain terjadi gelatinisasi pati, jaringan gluten mulai mengalami denaturasi. Sedang penggorengan permukaan menyebabkan pencairan gluten selanjutnya penggorengan yang diteruskan menyebabkan pelepasan air dari gluten dan memindahkannya kedalam sistem pati. Karena penggorengan berlangsung terus, kenaikan tekanan hasil pengembangan gas dalam adonan yang digoreng berubah pelan-pelan dan dimantapkan perlahan kulit berkembang menjadi warna coklat keemasan akibat proses pencoklatan (reaksi maillard), disertai aroma dan tekstur yang bagus.(Desrosier,1988)
(37)
I. Hipotesis
Diduga terdapat interaksi yang nyata antara substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kualitas produk donat yang dihasilkan.
(38)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Analisa Pangan dan Uji Inderawi Progdi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur dan Universitas Muhammadiyah Malang. Mulai bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011.
B. Bahan
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan donat adalah labu kuning dan tepung terigu protein tinggi yang diperoleh dari Pasar tradisional, sedangkan bahan penunjang yang digunakan adalah gliserol monostearat (GMS), air, ragi roti, gula, susu skim, dan margarin yang diperoleh dari toko bahan kimia di Surabaya..
Bahan kimia untuk analisa meliputi: Aquades, NaOH 50%, K2 SO4 4%, HCl 0,1N, NaOH 1 N, Etanol 95%, indikator metal merah, petroleum eter (PE), potassium dikromat.
C. Alat
Alat yang digunakan untuk proses pengolahan adalah mixer roti (Bosh) timbangan, wadah plastik, kompor gas, penggorengan, loyang.
(39)
Alat yang digunakan untuk analisa meliputi : pengaduk, timbangan analitik, gelas ukur, buret, erlenmeyer, labu kjeldahl, labu soxhlet, penggaris dan kertas bersih.
D. Metode Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada faktorial dengan 2 faktor dan diulangi sebanyak 3 kali, selanjutnya dianalisis ragam untuk mengetahui adanya perbedaan diantara dua perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT).
Faktor I : Substitusi labu kuning kukus terhadap tepung terigu (% b/b) A1 : 10%
A2 : 20% A3 : 30%
Faktor II : Penambahan gliserol monostearat (% b/b)
B1 : 1%
B2 : 2%
S3 : 3%
Kombinasi dari kedua faktor diatas akan menghasilkan kombinasi perlakuan sebagai berikut :
B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A2B1 A2B2 A2B3
(40)
Dari dua faktor diatas, maka akan didapat 9 kombinasi perlakuan
A1B1 = Substitusi labu kuning 10% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 1%
A1B2 = Substitusi labu kuning 10% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 2%
A1B3 = Substitusi labu kuning 10% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 3%
A2B1 = Substitusi labu kuning 20% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 1%
A2B2 = Substitusi labu kuning 20% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 2%
A2B3 = Substitusi labu kuning 20% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 3%
A3B1 = Substitusi labu kuning 30% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 1%
A3B2 = Substitusi labu kuning 30% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 2%
A3B3 = Substitusi labu kuning 30% dengan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) 3%
Menurut Vincent (1999), model statistika untuk RAL pola faktorial dengan 2 faktor sebagai berikut:
Dimana:
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j dari faktor II)
µ = Nilai tengah populasi (rata – rata yang sesungguhnya)
αi = Pengaruh aditif ke-i dari faktor I
βj = Pengaruh aditif ke-j dari faktor II
(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j dari faktor II
ε = Pengaruh kesalahan (galat dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi dari perlakuan ij)
(41)
2. Peubah Tetap Penelitian
Peubah yang digunakan dalam penelitian :
a. Total berat (tepung terigu : labu kuning kukus) = 100 gram
b. Berat gula pasir = 20 gram
c. Berat susu skim = 3 gram
d. Berat ragi/yeast = 2,2 gram
e. Berat mentega cair = 10 gram
f. Kuning telur = 1 buah
g. Volume air = 20 ml
h. Lama fermentasi I = 25 menit
i. Lama fermentasi II = 45 menit
j. Lama penggorengan = 10 menit
k. Suhu penggorengan =1800C-1900C
E. PARAMETER
1. Parameter yang diamati untuk bahan baku ( labu kuning kukus) meliputi:
a. Analisa Kadar air metode oven (Sudarmadji,dkk, 2003) b. Analisa kadar β-karoten (AOAC, 1992)
2. Parameter yang diamati untuk produk donat labu kuning meliputi : a. Analisa Kadar air metode oven (Sudarmadji,dkk, 2003)
b. Analisa Kadar protein metode Kjeldhal (Sudarmadji, 1997) c. Volume pengembangan
(42)
e. Organoleptik (warna, rasa, dan tekstur)
3. Parameter yang diamati untuk produk donat labu kuning yang terbaik meliputi :
a. Analisa kadar beta karoten (AOAC, 1992)
F. PROSEDUR PENELITIAN 2. Proses Pembuatan Roti Donat
a. Persiapan bahan
Tahap persiapan dimulai dengan penimbangan bahan-bahan antara lain tepung terigu (90gr, 80gr, 70gr) dan labu kuning (10gr ; 20gr ; 30gr). Gliserol monostearat (1%; 2%; 3%), gula pasir (20 gr), mentega cair (10gr), ragi roti (2,2 gr), susu (3 gr).
b. Pencampuran I
Tahap pencampuran I dilakukan untuk mencampur terlebih dahulu bahan-bahan seperti berikut : tepung terigu, labu kuning kukus, gula pasir, ragi roti, susu.
c. Pencampuran II
Setelah pencampuran pertama dilakukan kemudian air dan mentega cair dicampur juga dengan perlahan-lahan dalam kondisi alat pengadonan (bosh) berputar pelan (speed one).Lalu diaduk secara homogen.
d.Pengadonan
Pengadonan dilakukan dengan kecepatan sedang (speed two) selama 30 menit
(43)
e. Fermentasi awal
Fermentasi awal dilakukan diwadah baskom selama 30 menit dengan suhu kamar dalam kondisi wadah tertutup
f. Penimbangan dan pembentukan
Penimbangan ditujukan untuk mengetahui berat adonan setelah fermentasi awal pembentukan yang dilakukan untuk memberikan adonan bentuk yang disukai sehingga produk akhir dapat menarik konsumen.
g. Fermentasi akhir
Fermentasi akhir dilakukan didalam loyang selama 30 menit dengan suhu kamar dalam kondisi tertutup.
h. Penggorengan
Penggorengan dilakukan pada suhu 150oC-190oC sampai matang. Pada penggorengan adonan berubah warna menjadi kecoklatan.
i. Analisa produk
Roti donat yang dihasilkan dilakukan analisis terhadap rendemen, kadar air, kadar protein, volume pengembangan, tekstur dan uji organoleptik (warna, rasa, dan tekstur) dan beta karoten pada perlakuan yang terbaik.
(44)
substitusi labu kuning kukus Tepung terigu A1 = 10 % ( 90%, 80%, 70%)
A2 = 20 % A3 = 30 %
Gula pasir (20 gr) GMS Ragi roti (2,2 gr) (1%,2%,3%) Susu (3gr)
Mentega (10 gr) Air (20 cc)
Analisa :
- Kadar air
Kadar protein
- Tekstur (Penetrometer) Donat substitusi labu kuning - Volumepengembangan
Organoleptik analisa :
(warna, rasa dan tekstur) Perlakuan terbaik - beta karoten
Gambar 7. Diagram alir penelitian Pencampuran / pengadukan adonan menggunakan alat pengadonan (bosh) selama
20 menit
Fermentasi awal (suhu kamar, selama 30 menit) dalam baskom tertutup
Penimbangan danpencetakan
Fermentasi akhir (suhu kamar, selama 30 menit) dalam loyang tertutup
(45)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Analisa Bahan Baku
Pada penelitian pembuatan donat dengan subtitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat, dilakukan analisis bahan baku terhadap labu kuning dan gliserol monostearat. Hasil analisis bahan baku dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisa bahan baku
No. Komposisi Labu kuning Labu kuning
kukus
1 kadar air 90,795 (%) 88,88 (%)
2 kadar pati 6,20 (%) 5,41 (%)
3 B.karotein 18,797 (mg/100gr) 18,363 (mg/100gr)
Dari Tabel 6 diatas dapat diketahui komposisi labu kuning menurut Anonimous (1992), tidak berbeda jauh dengan hasil.
Menurut Anonymous (1992), labu kuning mempunyai kadar air 91,20% dan kadar pati 6,6%, sedangkan menurut hasil penelitian labu kuning mempunyai kadar air 90,795% , kadar pati 6,20% , kadar beta karoten 18,797 mg/100gr.
(46)
B. Kadar Air
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan subtitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar air donat yang dihasilkan. Demikian juga antara masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata. Rerata kadar air donat tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata kadar air donat dari perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat.
Perlakuan Kadar Air Notasi DMRT
Labu Kuning kukus
Gliserol
Monostearat (%) 5%
(%) (%)
10 1 20,943 a -
2 22,753 b 0,8777
3 23,253 bc 0,9220
20 1 23,963 c 0,9486
2 24.446 cd 0,9664
3 24,830 cd 0,9811
30 1 24,970 d 0,9930
2 25,770 de 0,9983
3 26,040 e 1,0048
Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf berbeda berarti berbeda nyata Pada Tabel 7 terlihat pada perlakuan substitusi labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat 3% memiliki kadar air yang paling tinggi 26,040%, sedangkan pada perlakuan substitusi labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat 1% memiliki kadar air yang paling rendah 20,943%. Hubungan antara perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar air donat ditunjukkan pada Gambar 4.
(47)
Gambar 4. Hubungan antara substitusi labu kuning kukus dan penambahan gli- serol monostearat terhadap kadar air donat.
Gambar 4. menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi penambahan gliserol monostearat dan semakin tinggi substitusi labu kuning kukus maka kadar air donat semakin meningkat
Hal ini disebabkan karena selama proses pengukusan labu kuning akan mengalami proses gelatinisasi yang akan menyebabkan granula pati dalam labu kuning membengkak dan menyerap air, sehingga semakin tinggi labu kuning yang ditambahkan maka kadar air semakin meningkat, hal ini disebabkan baik labu kuning dan gliserol monostearat mempunyai sifat mengikat air.
Menurut Widjanarko (2008), proses pemanasan adonan tepung akan menyebabkan granula semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Suhu dimana pembengkakan maksimal disebut suhu gelatinisasi.
(48)
Selanjutnya pengembangan granula pati juga disebabkan masuknya air ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul penyusun pati.
Purnomo (1994) menyatakan bahwa peningkatan daya serap air oleh gliserol monostearat disebabkan adanya kemampuan pengikatan air oleh gugus polar (hidrofilik) yang dimilikinya. Menurut Mudjisihono (1993), roti yang ditambah gliserol monostearat memiliki kapasitas penyerapan air lebih tinggi dibandingkan dengan roti tanpa gliserol monostearat. Hal ini disebabkan gliserol monostearat dapat menghalangi penggabungan molekul-molekul pati dengan matriks protein sehingga –OH bebas pada gliserol monostearat yang berikatan jumlahnya masih relative banyak.
C. Kadar Protein
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terdapat interaksi tidak nyata (p < 0,05) terhadap kadar protein roti donat yang dihasilkan tetapi perlakuan substitusi tepung terigu : labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat antar masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata kadar protein donat dengan perlakuan substitusi labu kuning kukus dapat dilihat pada Tabel . 8 Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata kadar protein donat mempunyai kisaran antara 6,635%-7,912%.
(49)
Tabel 8. Rerata kadar protein donat dari perlakuan substitusi labu kuning
Perlakuan Notasi DMRT
Labu Kuning
kukus Kadar protein 5%
(%) (%)
10 7,912 c 0,356
20 7,461 b 0.339
30 6,635 a -
Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf berbeda berarti berbeda nyata
Dari table 8. menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah substitusi labu kuning kukus atau semakin rendah jumlah tepung terigu maka kadar protein donat semakin menurun. Hal ini disebabkan karena tepung terigu yang digunakan adalah tepung terigu yang mengandung protein tinggi (hard flour) dengan kandungan protein sebesar 11-12%. Dalam hal ini, kandungan protein tepung terigu lebih tinggi dibandingkan kadar protein pada labu kuning (1-2%). Sehingga semakin banyak labu kuning kukus yang ditambahkan maka kadar protein donat yang dihasilkan semakin menurun. Menurut Anonymous (2008), kandungan protein pada tepung terigu protein tinggi adalah 11,93%.
Nilai rata-rata kadar protein donat dengan perlakuan penambahan gliserol monostearat dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata kadar protein dengan kisaran antara 7,072%-7,597 %.
Tabel 9. Nilai rata-rata kadar protein donat dari perlakuan penambahan gliserol monostearat
Perlakuan Notasi DMRT
Gliserol
monostearat Kadar protein 5%
(%) (%)
1 7,597 c 0,356
2 7,340 b 0.339
3 7,072 a -
(50)
Dari Tabel 9. menunjukkan bahwa semakin meningkatnya penambahan gliserol monostearat maka kadar protein donat semakin menurun. Semakin tinggi gliserol monostearat maka kadar air semakin tinggi karena konsentrasi gizi (protein) di dalam massa yang tertinggal per berat kering bahan semakin menurun sehingga kadar protein semakin turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Mudjisihono dkk (1993), variasi penambahan gliserol monostearat tidak menyebabkan perbedaan kadar protein pada roti tawar yang dihasilkan karena gliserol monostearat sebagian besar tersusun bukan oleh fraksi protein
D. Volume Pengembangan
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan subtitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) terhadap volume pengembangan donat yang dihasilkan. Demikian juga antara masing-masing perlakuan terdapat interaksi yang nyata. Rerata volume pengembangan donat tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.
(51)
Tabel 10. Rerata volume pengembangan donat dari perlakuan substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat.
Perlakuan Notasi DMRT
Labu kuning kukus
Gliserol
Monostearat 5%
(%) (%) Volume Pengembangan
(%)
10 1 94 bc 6.5141
2 112 d 6.5529
3 118 d 6.5916
20 1 91 b 6.2233
2 100 c 6.3396
3 102 c 6.4365
30 1 81 a -
2 83 a 5.758
3 85 ab 6.049
Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf berbeda berarti berbeda nyata
Pada Tabel 10. terlihat pada perlakuan substitusi labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat 1% memiliki volume pengembangan yang rendah 81%, sedangkan pada perlakuan substitusi labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat 3% memiliki volume pengembangan yang paling tinggi 118%. Hubungan antara perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap volume pengembangan donat ditunjukkan pada Gambar 5.
(52)
Gambar 5. Hubungan antara substitusi labu kuning kukus dan penambahan Gliserol monostearat terhadap volume pengembangan donat.
Gambar 5. menunjukkan bahwa dengan semakin tingi penambahan gliserol monostearat dan semakin menurunnya substitusi labu kuning menyebabkan volume pengembangan donat semakin meningkat.
Hal ini dikarenakan gliserol monostearat yang berfungsi sebagai bahan pengikat antar granula pati. Gliserol monostearat mempunyai dua gugus yaitu gugus polar dan gugus nonpolar, sedangkan gugus polar akan berinteraksi dengan fraksi amilosa membentuk ikatan kompleks dan matriks (film) sehingga dapat
membantu kerja gluten dalam memperangkap gas CO2 hasil fermentasi,
sedangkan gugus nonpolar juga berinteraksi dengan amilopektin yaitu pada pemanasan pati lebih lanjut mengakibatkan pelarutan, sedangkan peningkatan
(53)
volume pengembangan pada menurunnya substitusi labu kuning kukus dikarenakan jumlah tepung terigu menjadi banyak. Semakin banyak tepung terigu dalam adonan maka jumlah gluten dalam adonan akan semakin meningkat, sehingga akan meningkatkan kemampuan adonan dalam menahan gas CO2 yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume pengembangan roti.
Menurut Subarna (1992), gluten memiliki sifat fisik yang elastis dan ekstensibel sehingga memungkinkan adonan dapat menahan gas CO2 dan adonan dapat menggelembung seperti balon. Hal inilah yang memungkinkan produk roti mempunyai struktur berongga yang seragam dan halus. Pendapat tersebut diatas diperkuat oleh Matz (1972) yang menyatakan bahwa volume roti dipengaruhi oleh terbentuknya gas CO2 hasil aktivitas ragi roti (yeast) serta kemampuan adonan
menahan gas CO2 tersebut. Kemampuan adonan dalam menahan gas CO2 ini
dipengaruhi oleh kandungan gluten dalam tepung terigu.
Menurut Anonymous (2006), gliserol monostearat berfungsi meningkatkan kualitas adonan dengan memperbaiki ikatan gluten antar komponen-komponen roti. Kekuatan adonan akan meningkat jika semakin banyak jembatan disulfida yang terbentuk oleh gluten. Gliserol monostearat sering digunakan untuk memperkuat jaringan protein gluten agar didapatkan retensi gas (gas retention) yang lebih baik sehingga dapat mengembangkan volume roti tawar.
Menurut Purnomo (1994), pengembangan roti juga dipengaruhi oleh kandungan protein gluten dalam tepung terigu. Tepung terigu mempunyai kemampuan menghasilkan adonan yang viskoelastis karena adanya gluten.
(54)
Gluten berperan sebagai bahan konstruksi struktur adonan sehingga penahanan gas CO2 selama fermentasi dapat ditahan.
Dalam Mudjisihono (1993), gliserol monostearat mampu berinteraksi dengan molekul amilosa sehingga dapat menahan gas yang berakibat adonan menjadi lebih mengembang.
Purnomo (1994) yang menyatakan bahwa, adonan yang mengalami penambahan gliserol monostearat memiliki volume yang lebih tinggi karena kapasitas penahanan dari gas CO2 yang meningkat. Lebih lanjut Mudjisihono (1993), menyatakan bahwa gliserol monostearat yang ditambahkan pada adonan roti tawar berinteraksi secara heliks dengan molekul-molekul amilosa saat gelatinisasi pati dan cukup mampu untuk menahan gas CO2 sehingga adonan akan mengembang.
E. Tekstur (dengan Penetrometer)
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan subtitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) terhadap kekerasan donat yang dihasilkan. Demikian juga antara masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata. Rerata kekerasan donat tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11.
(55)
Tabel 11. Rerata kekerasan Donat dari perlakuan substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat.
Perlakuan Tekstur Notasi DMRT
Labu kuning
kukus Gliserol Monostearat (mm/gr dt) 5%
(%) (%)
10 1 0.363 g 0.0152
2 0,430 h 0,0153
3 0,443 i 0,0153
20 1 0,257 d 0,0145
2 0,303 e 0,0148
3 0,333 f 0,0150
30 1 0,127 a -
2 0,183 b 0,0134
3 0,227 c 0,0141
Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf berbeda berarti berbeda nyata
Semakin tinggi nilai tekstur berarti produk donat semakin
empuk.
Pada Tabel 11. terlihat pada perlakuan substitusi labu kuning kukus 30% dan penambahan gliserol monostearat 1% memiliki tingkat tekstur (kekerasan) yang rendah 0,127 mm/gr dt, sedangkan pada perlakuan substitusi labu kuning kukus 10% dan penambahan gliserol monostearat 3% memiliki tingkat tekstur (kekerasan) yang paling tinggi yaitu 0,443 mm/gr dt. Hubungan antara perlakuan substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat terhadap tingkat tekstur (kekerasan) donat ditunjukkan pada Gambar 6.
(56)
Gambar 6. Hubungan antara substitusi labu kuning kukus dan penambahan Gliserol monostearat terhadap tekstur donat.
Gambar 6. menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi penambahan gliserol monostearat dan semakin menurunnya substitusi labu kuning kukus menyebabkan nilai tekstur yang dihasilkan semakin meningkat (empuk)..
Hal ini disebabkan karena penurunan substitusi labu kuning kukus menyebabkan meningkatnya jumlah tepung terigu sehingga jumlah pati dan kandungan gluten dalam adonan lebih besar, ditambah pula dengan penambahan gliserol monostearat yang berfungsi surfaktan dan membantu kerja gluten dan pati dalam memerangkap CO2 sebagai hasil fermentasi.
Menurut Mudjisihono (2002), selama pembakaran granula pati mengalami pembengkakan, dengan adanya gliserol monostearat dan shortening dapat menekan pembengkakan pati. Menurut Martin et. al. (1991), monogliserida dan shortening dapat berinteraksi dengan bagian molekul pati yang membengkak
(57)
dan menyebabkan ikatan silang pati dan protein menjadi lemah sehingga tingkat kekerasan roti menurun.
F. Uji Organoleptik 1. Rasa
Berdasarkan analisis uji Friedman (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) dari uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan rasa pada masing-masing panelis maupun sampel. Hasil uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan rasa ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Organoleptik terhadap tingkat kesukaan rasa Perlakuan
Labu Kuning kukus
Gliserol Monostearat
Total Rangking (%) (%)
10 1 110
2 119
3 98
20 1 86
2 117
3 65
30 1 57
2 51
3 49
Dari Tabel 12. Menunjukkan bahwa perlakuan substitusi labu kuning kukus 30% dan penambahan gliserol monostearat 3% menunjukkan tingkat kesukaan terendah (49) sedangkan tingkat kesukaan tertinggi (119) pada substitusi labu kuning kukus 10% dan penambahan gliseril monostearat 2%.
Substitusi labu kuning kukus 10% memberikan rasa yang paling disukai panelis dibandingkan substitusi labu kuning 30%. Tingkat kesukaan terhadap
(58)
donat akan menurun sejalan dengan substitusi labu kuning kukus. Pada substitusi labu kuning kukus 10% dalam donat panelis masih menyukai rasa pada donat tersebut, sedangkan substitusi donat 30% menyebabkan ketidaksukaan panelis terhadap donat tersebut. Hal ini karena rasa khas dari labu kuning sudah dapat dirasakan yang dapat menimbulkan after taste (jejak rasa) pada donat.
Menurut Winarno (1984), penyebab terjadinya peningkatan kegurihan dari suatu produk pangan ditentukan oleh besarnya protein dan lemak dalam produk tersebut. Pernyataan tersebut didukung oleh Sudarmadji, dkk (1997) bahwa kandungan protein dari suatu bahan makanan berkolerasi cukup tinggi terhadap penilaian konsumen terutama dalam hal rasa.
2. Warna
Hasil uji Friedman terhadap panelis pada warna roti tawar (Lampiran 11) tidak terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) terhadap warna pada masing-masing panelis maupun sampel. Hasil uji Friedman pada warna donat terhadap labu kuning dan gliserol monostearat ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Organoleptik warna terhadap donat Perlakuan
Labu Kuning kukus
Gliserol Monostearat
Total Rangking (%) (%)
10 1 129
2 126
3 118
20 1 104
2 132
3 96
30 1 81
2 74
(59)
Pada Tabel 13. menunjukkan bahwa nilai tertinggi substitusi labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat 1% yaitu 129 (kuning kecoklatan) dan nilai terendah pada labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat 3% yaitu 70 (coklat kehitaman).
Donat yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan hingga coklat kehitaman. Warna donat tersebut berasal dari bahan baku yang digunakan yaitu labu kuning kukus dan tepung terigu. Warna donat yang disukai oleh panelis yaitu berwarna kuning pada bagian dalam dan berwarna kuning kecoklatan pada bagian luar, sedangkan warna yang tidak disukai oleh panelis yaitu warna kulit luar donat coklat kehitaman dan warna kekuningan pada bagian dalam donat.
Hal ini diduga rendahnya substitusi labu kuning yang berarti juga tinggi kadar protein dalam adonan labu kuning sehingga akan menghasilkan warna donat yang disukai yaitu kuning kecoklatan akibat reaksi Mallard, sedangkan penambahan gliserol monostearat tidak mempengaruhi warna donat yang dihasilkan dikarenakan gliserol monostearat merupakan emulsifier dan tidak berpengaruh terhadap warna.
Reaksi Maillard terjadi selama penggorengan donat yang berakibat warna coklat pada donat yang dihasilkan Menurut Winarno (1995), reaksi Maillard terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer.
(60)
3. Tekstur
Hasil uji Friedman terhadap panelis (Lampiran 12) terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) terhadap tekstur pada masing-masing panelis maupun sampel. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 14. Uji Organoleptik donat terhadap tekstur Perlakuan
Labu kuning kukus
Gliserol Monostearat
Total Rangking (%) (%)
10 1 108
2 112
3 96
20 1 92
2 104
3 74
30 1 58
2 60
3 53
Pada Tabel 14. dapat dilihat bahwa perlakuan substitusi labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat 2% memiliki nilai tertinggi (112) yaitu memiliki tingkat kekerasan rendah (empuk). Sedangkan nilai terendah (53) yang diberikan oleh panelis yaitu pada substitusi labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat 3% yaitu memiliki tingkat kekerasan tinggi (keras). Hal ini disebabkan semakin sedikit substitusi labu kuning dalam adonan maka tekstur donat menjadi baik (empuk) dan panelis memberikan penilaian yang tinggi. Semakin banyak labu kuning yang ditambahan dalam adonan akan mengurangi kandungan protein gluten sehingga donat menjadi kurang empuk dan sebaliknya semakin sedikit labu kuning yang ditambahkan dalam adonan maka donat yang dihasilkan menjadi empuk.
(61)
Peningkatan substitusi labu kuning kukus dapat mengurangi jumlah protein gluten yang terdapat dalam adonan. Hal ini disebabkan penurunan kandungan gluten dalam adonan donat yang menyebabkan adonan lebih bersifat hidrofilik, sehingga terjadi interaksi lebih kuat diantara granula pati. (He dan Hoseney dalam Marleen 2002).
Menurut Griffin dan Lynch (1968) dalam Marleen (2002), tekstur roti tawar erat hubungannya dengan pengkristalan fraksi amilopektin yang berlangsung secara perlahan-lahan setelah roti selesai dipanggang.
Menurut Martin et. al. (1991), monogliserida seperti gliseril monostearat dan shortening dapat berinteraksi dengan bagian molekul pati yang membengkak dan menyebabkan ikatan silang pati dan protein menjadi lemah sehingga tingkat kekerasan atau tekstur donat menurun.
G. Analisis Keputusan
Data-data yang diperlukan untuk analisis keputusan adalah aspek kuantitas yang meliputi kadar air, kadar protein, volume pengembangan, tingkat kekerasan (tekstur) dan juga aspek kualitas yang meliputi rasa, warna, tekstur pada produk donat yang dihasilkan. Dari data-data tersebut diambil perlakuan yang terbaik berdasarkan standart mutu yang ditentukan serta penerimaan konsumen terhadap produk pada uji organoleptik.
Analisis keputusan terbaik pada pembuatan donat dengan substitusi labu kuning dan penambahan gliseril monostearat dilakukan berdasarkan hasil uji organoleptik rasa, warna dan tekstur menghasilkan nilai rata-rata yang cukup
(62)
tinggi pada substitusi labu kuning dan penambahan gliseril monostearat. Hasil analisis donat dari kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 Tabel 15. Data Hasil Analisis Donat
perlakuan kadar air
kadar
protein volume tekstur warna rasa tekstur (%) (%) pengembangan mm/gr.dt
A1B1 20,943 8,212 94 0,363 129 110 108
A1B2 22,753 7,963 112 0,430 126 119 112
A1B3 23,253 7,728 118 0,443 118 98 96
A2B1 23,963 7,578 91 0,257 104 86 92
A2B2 24,446 7,460 100 0,303 132 117 104
A2B3 24,830 7,346 102 0,333 96 65 74
A3B1 24,970 7,035 81 0,127 81 57 58
A3B2 25,770 6,727 83 0,183 74 51 60
A3B3 26,040 6,208 85 0,227 70 49 53
Dari Tabel 15. dapat dilihat bahwa hasil analisis produk donat yang dilakukan memenuhi standart mutu roti sehingga kombinasi perlakuan substitusi labu kuning 20% dan penambahan gliserol monostearat 2% merupakan produk donat yang disukai konsumen dan sesuai dengan Standart Mutu Indonesia (SNI).
H. Kadar B-karoten
Berdasarkan Tabel 15 hasil analisa keseluruhan, menunjukkan bahwa perlakuan terbaik yaitu pada donat dengan substitusi labu kuning 20 (% b/b) dan penambahan gliserol monostearat 2 (% b/b). Kadar B-karoten pada perlakuan ini yaitu sebesar 11,594 mg/100gr, dan pada analisa bahan baku labu kukus yaitu sebesar 18,363 mg/100gr penyusutan kadar beta karoten ini disebabkan karena adanya proses pemanasan pada suhu tinggi.
Menurut Winarno (2002), beta karoten merupakan provitamin A (bakal vitamin A) pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Sayangnya
(63)
mempunyai sifat yang sangat teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik.
I. Analisis Finansial
Analisis finansial ditujukan untuk mengetahui tingkat kelayakan (secara ekonomis) dari produksi donat. Pada penelitian ini dilakukan analisis finansial untuk perlakuan yang telah memenuhi kriteria yang diharapkan yaitu pada perlakuan substitusi labu kuning 20% dan penambahan gliseril monostearat 2% .
Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan produksi donat meliputi BEP, NPV, Gross B/C IRR dan PP. hasil perhitungan Analisis Finansial dapat dilihat pada Lampiran 13.
1. Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi yang direncanakan pada perusahaan donat adalah /tahun. Produksi 1 tahun dilakukan selama 312 hari kerja. Data-data kapasitas produksi dapat dilihat pada Lampiran 13.
2. Biaya Produksi
Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan agar dapat menjalankan suatu usaha. Biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya produksi langsung/ biaya tidak tetap.
Biaya tetap adalah biaya yang bersifat independent atau tidak berubah terhadap pemakaian alat. biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya dapat berubah-ubah sejalan dengan besarnya produksi yang dilakukan. Total biaya produksi per tahun adalah Rp. 191.602.016,97 ,-
(64)
3. Harga Pokok Produksi
Harga pokok produksi perusahaan donat adalah Total Biaya Produksi Harga Pokok =
Kapasitas = 191.602.016,97
20.800
= Rp. 9.211,- / bungkus atau Rp. 9250,-/bungkus 4. Harga Jual
Harga jual produk donat dihitung berdasarkan harga pokok ditambah keuntungan yang ingin dicapai, harga jual produk donat ditetapkan Rp. 10.800,- /bungkus dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga Jual = harga pokok + keuntungan 40% + pajak 10% = Rp. 9250 + Rp. Rp. 3684,656 + Rp. 921,16 = Rp. 13.875-/bungkus
5. Break Event Point (BEP)
Break Event Point (BEP) menunjukkan nilai pada saat total angka penjualan sama
dengan pengeluaran. Analisis finansial ditunjukkan untuk menentukan jumlah produk atau jumlah penghasilan yang harus dicapai agar tercipta titik impas penerimaan dan pengeluarannya sehingga dapat diketahui keadaan perusahaan pada waktu tertentu. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 13 diperoleh nilai BEP produk donat sebagai berikut :
Biaya titik impas = Rp. 81.060.268,66,-
Prosen titik impas = 28.09%
(65)
6. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi data
sekarang dengan nilai penerimaan bersih dimasa datang. Dari perhitungan dapat diketahui suatu perusahaan layak untuk dilaksanakan apabila NPV>0.
Perhitungan pada Lampiran 13 diperolah bahwa perhitungan NPV sebesar Rp. 17.066.964,- yang berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan.
7. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C)
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) adalah nilai perbandingan
antara manfaat (pendapatan) dengan pengeluaran (biaya produksi). Suatu proyek layak untuk dilaksanakan apabila Gross B/C > 1. Dari perhitungan pada Lampiran 13 diperoleh Gross B/C sebesar 1 sehingga Gross B/C > 1,0298, berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan.
8. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat suku bunga yang
menunjukkan persamaan nilai penerimaan bersih dengan jumlah investasi (modal) awal suatu proyek yang sedang dikerjakan. Proyek dapat dilaksanakan apabila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang sedang berlaku.
Dari hasil perhitungan pada Lampiran 13 nilai IRR diperoleh sebesar 22,466 %, sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga bank (10%) yang berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan.
(66)
9. Payback Periode (PP)
Payback Periode (PP) adalah panjangnya waktu yang diperlukan
agar dana yang tertanam dalam suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya. Payback Periode dari suatu investasi yang diusulkan lebih pendek dari Payback Periode maksimum (umur ekonomis), maka usul investasi tersebut diterima.
Dari perhitungan Payback Periode pada Lampiran 13 diperoleh sebesar 4 tahun 7 bulan, hal tersebut berarti investasi pada proyek ini dapat kembali secara keseluruhan dalam waktu 3 tahun 3 bulan. Berdasarkan
Payback Periode yang diperoleh, maka proyek ini dapat diterima karena
(67)
A. KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar air, volume pengembangan, dan tekstur (pnetrometer) donat yang dihasilkan.
2. Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi yang nyata antara
perlakuan substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar protein donat yang dihasilkan.
3. Perlakuan substitusi labu kuning 20% dan penambahan gliserol monostearat 2% menghasilkan donat labu kuning yang terbaik dengan kriteria : kadar air 24.446%, kadar protein 7.460%, volume pengembangan 100%, tekstur (kekerasan)0,303 mm/gr dt, beta karoten 11,594 mg/100gr dan total rangking warna 132 , rasa 117 , tekstur 104.
4. Hasil analisis finansial diketahui bahwa nilai Break Event Point (BEP) dicapai pada Rp. 81.060.268,66,- sebesar 28,09 % dan kapasitas titik impas 584.272 bungkus/tahun, sedangkan Internal Rate of Return (IRR) mencapai 22.466%,
Payback Period (PP) dicapai selama 3,3 tahun, Net Present Value (NPV)
(68)
B. SARAN
Pada penelitian lebih lanjut mengenai rasa produk dengan substitusi labu kuning perlu penambahan surfactan untuk meningkatkan mutu produk substitusi labu kuning sedemikian rupa sehingga didapatkan produk substitusi labu kuning yang lebih disukai dan berpeluang lebih besar untuk dibeli oleh konsumen dan perlu dilakukan analisa kandungan beta-karoten dalam produk substitusi labu kuning.
(1)
58
9. Payback Periode (PP)
Payback Periode (PP) adalah panjangnya waktu yang diperlukan
agar dana yang tertanam dalam suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya. Payback Periode dari suatu investasi yang diusulkan lebih pendek dari Payback Periode maksimum (umur ekonomis), maka usul investasi tersebut diterima.
Dari perhitungan Payback Periode pada Lampiran 13 diperoleh sebesar 4 tahun 7 bulan, hal tersebut berarti investasi pada proyek ini dapat kembali secara keseluruhan dalam waktu 3 tahun 3 bulan. Berdasarkan
Payback Periode yang diperoleh, maka proyek ini dapat diterima karena
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan substitusi labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar air, volume pengembangan, dan tekstur (pnetrometer) donat yang dihasilkan. 2. Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi yang nyata antara
perlakuan substitusi labu kuning kukus dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar protein donat yang dihasilkan.
3. Perlakuan substitusi labu kuning 20% dan penambahan gliserol monostearat 2% menghasilkan donat labu kuning yang terbaik dengan kriteria : kadar air 24.446%, kadar protein 7.460%, volume pengembangan 100%, tekstur (kekerasan)0,303 mm/gr dt, beta karoten 11,594 mg/100gr dan total rangking warna 132 , rasa 117 , tekstur 104.
4. Hasil analisis finansial diketahui bahwa nilai Break Event Point (BEP) dicapai pada Rp. 81.060.268,66,- sebesar 28,09 % dan kapasitas titik impas 584.272 bungkus/tahun, sedangkan Internal Rate of Return (IRR) mencapai 22.466%,
Payback Period (PP) dicapai selama 3,3 tahun, Net Present Value (NPV)
(3)
60
B. SARAN
Pada penelitian lebih lanjut mengenai rasa produk dengan substitusi labu kuning perlu penambahan surfactan untuk meningkatkan mutu produk substitusi labu kuning sedemikian rupa sehingga didapatkan produk substitusi labu kuning yang lebih disukai dan berpeluang lebih besar untuk dibeli oleh konsumen dan perlu dilakukan analisa kandungan beta-karoten dalam produk substitusi labu kuning.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1992. Office Methods Of The Association Of Official Analytical Chemist. Washington DC.
Anonymous. 1994. Sekilas mengenal Tepung Terigu. Bogasari Flour Mills. Surabaya. Anonymous, 2008. Variasi donat. Tim dapur demedia. Jakarta.
Apriyantono, A.,Fardiaz,D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati dan Slamet, B., 1988.
Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor.
Bailey’s Industrial Oil and fat Product. 1996. Depertemen of Food Science cook.
Volume 3. Routger University, New Jersey.
Bushuk and Rasper, 1996. Wheat Production, Properties and Quality. Chapman and Hill, London.
Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and R.D. Applemen, 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Fance, W.J. 1976. The Student’s Technology of Bread Making and Confectionary. Rotlege and keegen Paul, London.
Fennema, U. R., 1985. Food Chemistry. Di dalam Penelitian Rony Hidayat, 2006. Pembuatan Roti Tawar (Kajian Substitusi Tepung Tapioka dan Penambahan Gliserol Monostearat). Laporan Skripsi Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur
Furia, E.T. 1968. Handbook Of Food Additive. The Chemical Rubber Co. Cronword. Hidayat, R., 2006. Pembuatan Roti Tawar (Kajian Substitusi Tepung Tapioka dan
Penambahan Gliserol Monostearat). Laporan Skripsi Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur.
(5)
Hasenhueltl, G.L. and R.W. Hartel. 1999. Food Emulsifier and Their Aplications International Thomson Pbl. New York.
Hui, Y.H. 1992. Encyclopedia of Food Science And Technology. Vol II. John Wley and Sons. Inc. New York.
Hui, Y.H. 1992. Starch Hydrolysis Products, VCH Publisher, United Kingdom Ltd. Kartika, B., Hastutik, P. dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan
Pangan. Penerbit PAU – Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Keetels, C.J.A.M. 1995. Effect of Lipid Surfactans on The Struktur and Mechanics of
Concentrated Starch Gels and Starch Bread. Wageningen Agriculture
University, Departmen of Food Science. Netherlands. Jurnal Of Food Science 24. Hal 33-45.
Ketaren, 1986. Pengantar Teknologi Lemak Minyak. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Kotschevar, L.H. 1975. Standarts Principles and Techniques in Quantity Food
Production. A Division of Cahner Publishing Co., Inc., Boston.
Massachusetts.
Kim, J.C. dan D. Ruiter. 1968. Bread From Non-Wheat Flour. Jurnal of Food Technology. Vol.22.
Marleen, H.2002. Efek Substitusi Tepung Terigu Oleh Tepung Campuran Kedelai dan Ubi Jalar Serta Penambahan Gliserol Monostearat Pada Pembuatan Roti Tawar, dalam Seminar Nasional PATPI Malang Hal B29-B74.
Marliyati, S.A, Faisal Anwar, Ahmad Sulaiman dan, 1992. Pengolahan Pangan
Tingkat rumah Tangga. Departemen Pendidikan dan Budaya Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Matz, S.A. 1992. Bakery Teknology and Enginering. Van Vostrand Reinhold, New York.
Meyer, L.H. 1980. Foog Chemistry. AVI Publishing Co., Wetport, Connecticut. Natalia, 1990. Study awal Substitusi Susu Bubuk Skim dengen Tepung Ampas Tahu
pada Roti Tawar. Tesis S1. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah
(6)
Mudjisihono, Joni Munarso dan Zuheid Noor. 1993. Pengaruh Penambahan Tepung
Kacang Hijau dan Gliserol Monostearat pada tepung jagung Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Roti Tawar. BPTP Sukamandi.
Pomeranz, Y., 1971. Wheat Chemistry and Technology. The AACC, Inc., St. Paul, Minessota.
Purnomo, A.E. 1994. Pengaruh Penambahan Gliseril Monostearat Pada Pembuatan Roti Tawar dengan Substitusi Tepung Selain Terigu. Laporan Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian – IPB. Bogor.
Subarna, 1992. Baking Technologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Sudarmadji, S. Haryono, B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dad Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sultan, W.J. 1981. Practical Baking. 3th Edition Revised. The AVI Publishing Inc. Westport, conecticut.
Susanto dan Yuwono, S.S., Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.
Spreer, E., 1998. Milk and Diary Product Teghnology. Marcel Dokker Inc., New York.
Utami, 1992. Pengolahan Roti, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Winarno, F.G., F. Srikandi dan F. Dedi. 1986. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibowo, D. 1992. Pangan dan Gizi. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Wood, B. J. B., 1998. Microbiology of Fermented Food. Blackie Academic and
Profesional, London.
Widjanarko,S. 2008. Gelatinisasi pati/ adonan berbasis pati.