PEMBUATAN ROTI MANIS SUBSITUSI LABU KUNING DAN PENAMBAHAN GLISEROL MONOSTEARAT.

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Roti Manis

Roti adalah produk-produk olahan yang merupakan hasil proses pemanggangan adonan yang telah difermentasi. Bahan utama dalam pembuatan roti terdiri dari tepung, air, ragi roti dan garam sedangkan bahan pembantu dan tambahannya antara lain gula, susu skim, shortening, telur dan bread improver (Pomeranz, 1971).

Roti yang berkualitas baik berwarna putih dan terdiri atas pori-pori yang merata dan penyebarannya terjadi pada seluruh permukaan roti sehingga memberikan tekstur spons yang empuk dan merata diseluruh bagian roti tersebut. Kulit luar (bagian atas roti) yang berwarna coklat dan teksturnya keras disebabkan oleh reaksi pencoklatan yang disebut Mailard. Mailard adalah reaksi kimia antara asam amino dan gula pereduksi yang menyebabkan terjadinya pencoklatan. (Soediaoetama, 1993).

Roti manis merupakan salah satu jenis roti yang terbuat dari adonan manis yang diragikan serta mengandung 10% gula atau lebih. Adonan roti manis membutuhkan jumlah mentega putih lebih banyak dari adonan roti yang lain yaitu minimum 10% lemak. Lemak yang biasa digunakan dalam roti manis adalah lemak susu tipe Compound Shortening dan mentega putih dihidrogenasi. Lemak tersebut mempunyai daya pembentuk krim rendah, bersifat plastis dan mampu berdispresi dalam adonan (Ketaren, 1986).

Menurut Tranggono (1990), bahan yang digunakan dalam pembuatan roti terdiri dari bahan baku dan bahan pembantu. Bahan baku yaitu bahan dasar utama yang diperlukan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk yang akan mempengaruhi kualitas yang dihasilkan. Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan pada proses produksi dan mempunyai pengaruh nyata terhadap mutu produk yang dihasilkan sehingga lebih baik daripada sebelumnya.


(2)

terigu membentuk jaringan dan kerangka dari roti sebagai akibat dari pembentukan protein yang terkandung dalam tepung terigu yang tidak larut dalam air. Air berfungsi mengikat protein dalam bentuk gluten dan sebagai pelarut dari bahan-bahan lainnya. Ragi berfungsi sebagai pengembang adonan dengan memproduksi gas CO2 serta

memberikan aroma pada roti. Lemak berfungsi sebagai pelumas dalam proses pengembangan sel dalam adonan dan memperbaiki remah roti. Susu berfungsi sebagai penambah nutrisi, memberikan rasa, menambah volume ragi dan memberikan warna pada kulit roti. Telur berfungsi sebagai penambah nutrisi, memperbaiki warna roti, dan memperbaiki remah roti. Gula pasir berfungsi sebagai penambah nutrisi, memberikan rasa dan warna pada kulit roti (Tranggono, 1990). Secara garis besarnya pembuatan roti manis sama dengan roti tawar. Perbedaan yang mendasar hanya pada proses pembentukan adonan dan penggunaan mentega yang memberi rasa lebih lezat dan aroma yang lebih sedap.

Syarat mutu roti manis dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1. Standart Kualitas Roti Manis Secara Nasional

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Keadaan : Kenampakan Bau Rasa Air

Abu (tidak termasuk garam) dihitung atas dasar bahan kering) Abu yang tidak larut dalam asam NaCl

Gula Lemak

Serangga / Belatung Bahan tambahan makanan Pengawet Pewarna Pemanis Buatan Sakarida Siklamat Cemaran Logam Raksa (Hg) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn)

Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E.coli Kapang - - - % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b - mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Koloni/g APM/G Koloni/g

Normal tidak berjamur Normal Normal Maks. 40 Maks. 3 Maks. 3,0 Maks. 2,5 Maks. 8,0 Maks. 2,5 Tidak boleh ada

Sesuai SNI 0222-1995 Negatif Maks. 0,05 Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,5 Maks. 106

< 3 Maks. 104


(3)

1. Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan pada penggilingan biji gandum, protein tepung gandum berpengaruh sangat nyata terhadap sifat-sifat adonan. Protein gandum sangat unik, apabila tepung gandum dicampur dengan air dalam perbandingan tertentu, maka protein akan membentuk suatu struktur spons bila dipanggang (Desrosier, 1988).

Tepung terigu merupakan tepung yang dihasilkan dari penggilingan biji gandum (Tritium vulgane).Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam pembuatan roti karena mengandung protein gluten. Protein dalam tepung terigu merupakan komponen yang penting dalam pembentukan adonan. Tepung terigu dapat membentuk adonan liat dan dapat menahan gas – gas selama fermentasi dan pemanggangan sehingga dihasilkan roti manis yang mengembang dan ringan. Gluten sebagian besar terdiri dari protein (75% - 80%), pati yang tidak tercuci (5% - 15%) dan lemak (5% - 10%). Gluten terbentuk dari gliadin yang mempunyai sifat lentur dan dapat direnggangkan (Utami, 1992).

Gambar 1. Reduksi Ikatan Disulfida dalam Gliadin dan Glutenin (deMan, 1997) Komposisi kimia gluten antara lain protein 72%, air 10%, lemak 4% dan karbohidrat 14% (Buckle et al,1987).


(4)

Tabel 2. Daftar komposisi tepung terigu per 100 gram bahan.

No Komposisi Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Air (gr) Kalori (kal) Protein (gr) Lemak (gr) Karbohidrat (gr) Serat kasar (gr) Kalsium (mg) Zat besi (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) 13,5 344 12 2 70 2 33 3,5 0,4 0,1 5,1 Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1996)

Berdasarkan kandungan proteinnya, tepung terigu dibedakan atas : a. Protein Tinggi (Hard Flour)

Mempunyai kandungan protein 11-13 %. Digunakan untuk produk roti tawar, roti manis dan adonan pastry.

b. Protein Sedang (Medium Flour)

Mempunyai kandungan protein 9-10%. Lebih cocok digunakan untuk mie, cake dan pastry.

c. Protein Rendah (Soft Flour)

Mempunyai kandungan protein 7-9%. Tepung jenis ini lebih cocok digunakan untuk biscuit, cake, dan crackers.

2. Labu Kuning (Curcubita sp.)

Labu kuning (Curcubita moschata)atau yang sering disebut dengan waluh (Jawa Tengah), ataupun pumpkin (Inggris), merupakan salah satu sayuran yang mempunyai bentuk bulat sampai lonjong dan berwarna kuning kemerahan. Pada bagian tengah labu kuning tersebut, terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Berat buah labu kuning dapat mencapai ± 4 kg sampai 20 kg. Buah labu kuning sudah dapat dipanen pada umur 3-4 bulan (Hendrasty, 2003).

Labu kuning merupakan sumber karotenoid yang memiliki peranan gizi penting dalam pembentukan vitamin A (Sudakhar, 2003).


(5)

masyarakyat namun pemanfaatannya sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena masyarakyat masih belum terlalu menyadari akan potensi dan kandungan gizi yang dimiliki buah tersebut. Secara umum labu kuning kaya akan kandungan vitamin A, vitamin C, mineral dan karbohidrat serta antioksidan yang bermanfaat sebagai anti kanker. Dengan kandungan yang gizi yang dimilikinya terutama β-karoten (provitamin A) nya yang tinggi tepung labu kuning sangat baik untuk fortifikasi. Tepung labu kuning berpotensi sebagai pendamping terigu dalam berbagai produk olahan pangan sehingga produk olahan yang ditambah dengan tepung labu kuning mempunyai warna dan rasa yang menarik (Kamsiati, 2010).

Labu kuning merupakan salah satu produk hortikultura termasuk famili Cucurbitaceae yang mempunyai nutrisi yang beragam. Warna oranye menandakan labu mengandung antioksidan penting yaitu β-karoten. Bahan ini dikonversi menjadi vitamin A di dalam tubuh. Pada proses konversinya menjadi vitamin A menghasilkan banyak fungsi penting untuk kesehatan secara keseluruhan. Karoten merupakan salah satu pigmen karotenoid (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Kandungan karotenoid di dalam sayur-sayuran berhubungan dengan vitamin A di dalamnya. Sebagai contoh β-karoten yang banyak terdapat di dalam labu kuning adalah precursor vitamin A (provitamin A) yang penting karena setiap molekul β -karoten di dalam tubuh manusia akan di proses menjadi dua molekul vitamin A. Fortifikasi karoten pada makanan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas antioksidan dalam plasma (Holt et al., 2002).

Menurut Winarno (1997), karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye serta larut dalam lipida. Karotenoid dibedakan menjadi dua yaitu xantofil dan hidrokarbon karoten. Karotenoid yang banyak terdapat dalam bahan makanan adalah β-karoten yang terdapat dalam buah yang berwarna kuning seperti labu kuning. Warna kuning yang terdapat dalam buah labu kuning ini dapat digunakan sebagai bahan pewarna alami pada produk olahan seperti roti manis.


(6)

kuning dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat Fisiko - Kimia Tepung Labu Kuning

Komposisi Jumlah %

Air Protein Lemak Karbohidrat Gula Pektin Abu

10,97 12,00 2,12 68,72 50,94 4,46 6,19 Sumber : Murdijati, 1985

Gambar 2. Buah labu kuning (Hendarsti, 2003).

Labu kuning mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk diolah menjadi tepung labu kuning. Tepung labu kuning adalah tepung yang dengan butiran halus, lolos ayakan 80 mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning, dengan kadar air ± 13%. Kondisi fisik tepung labu kuning ini sangat dipengaruhi oleh kondisi bahan dasar dan suhu pengeringan yang digunakan. Semakin tua labu kuning, semakin tinggi kandungan gulanya. Oleh karena kandungan gulanya yang tinggi ini, apabila suhu yang digunakan pada proses pengeringan terlalu tinggi tepung yang dihasilkan akan menggumpal Hendarsti (2003).

Proses pengolahan labu kuning menjadi tepung labu kuning menurut Hendrasti (2003), adalah melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1. Pemotongan dan pencucian

Labu kuning yang sudah memenuhi syarat di potong-potong membujur terlebih dahulu menjadi ± 8 potong. Kemudian dicuci dengan air mengalir


(7)

dilakukan hingga kulit labu kuning tersebut benar-benar bersih. 2. Pengupasan

Labu kuning yang telah dicuci selanjutnya dihilangkan biji dan serabutnya, serta dikupas kulitnya sampai bersih.

3. Pengecilan Ukuran

Labu kuning yang telah dikupas kulitnya dipotong tipis-tipis dan kecil dengan tujuan untuk mempercepat proses pengeringan.

4. Pengeringan

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga surya (penjemuran) ataupun dengan alat pengering (cabinet dryer). Apabila menggunakan tenaga surya, pengeringan labu kuning dilakukan selama 4-6 hari(tergantung pada cuaca), sementara apabila menggunakan cabinet dryer, dilakukan dengan suhu 700C selama 48 jam.

5. Penggilingan

Potongan labu kuning hasil pengeringan dapat segera diggiling atau dihancurkan menggunakan blender kering maupun alat penggiling yang lain. Penggilingan dilakukan hingga labu kuning tersebut hancur menjadi bubuk (tepung).

6. Pengayakan

Tepung labu kuning hasil penghancuran kemudian diayak dengan saringan berukuran 80 mesh. Tepung yang lolos ayakan ditampung dalam tempat tersendiri, sementara yang tidak lolos ayakan dapat digiling lagi hingga akhirnya dapat lolos ayakan.

7. Pengemasan

Tepung labu kuning hasil pengayakan harus segera ditimbang dan dikemas dalam kantong plastik dengan ukuran sesuai, kemudian dibungkus kembali dengan aluminium foil.

Beberapa hasil penelitian yang menggunakan labu kuning diantaranya: Hasil mie kering terbaik didapatkan pada proporsi tepung terigu : tepung labu kuning (70:30) dan penambahan telur 20% yang menghasilkan mie kering dengan kadar air 8,7966%, kadar protein 10,8588%, kadar pati 58,8260%, elastisitas 25,0062%, kapasitas rehidrasi 52,7117%, antioksidan 2,8803%, total skor preferensi tekstur (86), preferensi


(8)

tawar penambahan gluten 4,5% dengan substitusi tepung terigu : tepung labu kuning (90:10) mendapatkan hasil yang terbaik yaitu memiliki kadar air 17,36%; kadar protein 15,41%; kadar pati 44,74%; kadar β-karoten 8,640 µg/100g; volume pengembangan 234,5%; ukuran pori 2,726 mm/cm2, tekstur 0,913 mm/gr.dt dengan uji organoleptic

warna 5,45; rasa 205; dan tekstur 5,40.

Hasil Penelitian (Hendrasti, 2003) tentang proses pembuatan tepung labu kuning dapat dilihat pada Gambar 3.

Labu kuning

Tepung Labu kuning

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Hendrasti, 2003)

3. Gliserol Monostearat (GMS)

Gliserol Monostearat adalah suatu emulsifier buatan yang merupakan bahan surfaktan (Surface Active Agent). Fungsi utamanya adalah mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Ciri khas dari emulsifier adalah adanya gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dapat mengikat air dan lemak menjadi satu kesatuan yang stabil (Fenema, 1985).

Penyortiran

Pencucian

Pengupasan

Pengecilan ukuran

Pengeringan


(9)

umur simpan (shelf life) dan memperbaiki volume roti. Hal ini karena gliserol monostearat bertindak sebagai conditioner pada adonan dalam 2 cara. Pertama, gliserol monostearat dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten. Kedua, gliserol monostearat dapat meningkatkan kestabilan sel gas dalam adonan sehingga volume roti dan tekstur dapat tercapai. Gliserol monostearat memiliki kandungan protein 0,03 %.

O H

H3C(CH2)16C - O - C - H

H - C - OH

H - C - OH

H

Gambar 4. Struktur Kimia Gliserol Monostearat (GMS) (Bailey's, 1996 ) Gliserol monostearat merupakan emulsifier buatan yang tersusun dari radikal asam stearat sebagai gugus non polar dan mempunyai dua gugus hidroksil dari gliserol sebagai gugus polar. Adanya dua gugus hidroksil dan gliserol sebagai gugus polar salah satu gugus hidroksil (-OH) pada akhir rantai gliserol monostearat bereaksi dengan molekul-molekul amilosa secara heliks. Akibat reaksi tersebut membentuk ikatan kompleks antara molekul-molekul amilosa sehingga selama fermentasi gas karbondioksida tertahan dan adonan menjadi berkembang (Bailey's, 1996).

Dari penelitian roti manis hasil substitusi tepung terigu dan tepung bekatul oleh Muchtadi, (1995) disebutkan bahwa secara umum, pengembangan roti cukup baik kecuali untuk tingkat substitusi tepung bekatul 25% dengan metode spounge and dough. Hasil penelitian Setiowati (2010) menyebutkan bahwa penambahan (GMS) sebanyak 4% dengan tingkat substitusi tepung bekatul 20% menghasilkan roti tawar dengan kualitas baik dan disukai konsumen.


(10)

1. Gula Pasir

Menurut Marliyati (1992), gula dapat memenuhi beberapa fungsi antara lain substrat bagi yeast sehingga dapat memproduksi gas CO2 pada roti, memberikan rasa

manis, mengatur fermentasi, dan pembentukan warna kulit pada roti. Gula yang tersisa setelah fermentasi disebut sisa gula yang akan memberikan warna pada kulit roti dan rasa pada roti. Warna ini merupakan hasil reaksi browning non-enzimatis antara gula dengan protein dari tepung. Gula bersifat higroskopis dan hal ini dapat memperbaiki daya tahan (shelf life) dari roti. Gula yang ditambahkan tidak melebihi 8 % karena akan menghambat proses fermentasi.

2. Susu Skim

Susu skim adalah susu bubuk tanpa lemak dengan kandungan protein yang tinggi dan kandungan air sekitar 5 %. Menurut Marliyati (1992), pemakaian susu dalam pembuatan roti adalah meningkatkan nilai gizi roti. Susu mengandung kasein (protein susu) dan laktosa serta mineral kalsium. Susu juga dapat memberikan efek terhadap warna yaitu sebagai hasil reaksi browning non-enzimatis antara gula dengan protein dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya.

Menurut Natalia (1990), susu digunakan untuk memberikan flavor yang spesifik serta pembentukan warna kulit roti sebab susu mengandung laktosa yang tidak dapat difermentasi oleh yeast. Selain itu, susu juga dapat memperbaiki nilai nutrisi pada roti.

3. Yeast / Ragi

Ragi roti atau yeast adalah mikroorganisme yang memfermentasikan adonan sehingga menghasilkan gas karbondioksida yang akan mengembangkan adonan. Jika proses fermentasi terkendali dengan baik, maka akan menghasilkan roti dengan volume dan tekstur yang baik serta cita rasa yang enak. Fungsi utama yeast dalam pembuatan roti adalah untuk menghasilkan CO2 dan memberikan flavor lain yang

dihasilkan dan pengembangan adonan sebagai hasil dari fermentasi secara total (Subarna, 1992).

Menurut Charley (1982), ragi yang digunakan untuk pembuatan roti adalah ragi Saccharomyces Cerevisiae. Ragi memfermentasikan gula dalam kondisi anaerob


(11)

dapat berasal dari tepung, yaitu sukrosa atau dari gula yang sengaja ditambahkan ke dalam adonan seperti gula tebu dan maltose. Di dalam ragi terdapat beberapa enzim, yaitu protease, lipase invertase, maltase dan zymase. Protease memecah protein dalam tepung menjadi senyawa nitrogen yang dapat diserap sel khamir untuk membentuk sel yang baru. Lipase memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserin. Invertase memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase memecah maltose menjadi glukosa dan zymase memecah glukosa menjadi alcohol dan karbondioksida. Akibat dari fermentasi ini timbul komponen-komponen pembentuk flavor roti, diantaranya asam asetat, aldehid dan ester (Koswara, 2009).

Proses fermentasi oleh ragi juga berhubungan dengan aktivitas enzim yang terdapat pada ragi. Reaksi yang dihasilkan dari aktivitas enzim ini adalah :

C12H22O11 + H2O + Ragi 2 C6H12O6

Sukrosa Air Invert Sugar

Enzyme

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2

Dekstrosa Etil Alkohol

Gambar 5. Reaksi proses fermentasi (Wahyudi, 2003)

Menurut Hanneman (1996), ada 3 macam jenis yeast yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan roti, yaitu :

a. Active Dry Yeast

Active Dry Yeast berbentuk butiran dan umumnya dikemas dalam kaleng serta mengadung 92% zat padat dan 8% zat cair. Ragi ini dapat disimpan pada suhu kamar dan untuk mengaktifkannya harus direndam dalam air dengan suhu 310C.

b. Compressed Yeast

Compressed Yeast berupa blok yang dbungkus, mengandung 30% zat padat dan 70% zat cair, harus disimpan pada suhu 0-40C serta harus

digunakan dalam waktu singkat. c. Instant Yeast

Instant Yeast berbentuk butiran kecil, mirip seperti bubuk, dikemas dalam aluminium foil yang hampa udara atau diisi dengan gas nitrogen.


(12)

langsung digunakan dengan mencampurkannya pada tepung.

4. Air

Air sangat menentukan konsistensi dan karakteristik reologi adonan, yang sangat menentukan sifat adonan selama proses dan akhirnya menentukan mutu produk yang dihasilkan (Koswara, 2009). Air berfungsi sebagai pelarut dari bahan-bahan lain seperti : garam, gula, susu bubuk dan lain sebagainya (Subarna, 1992). Air berperan mengontrol kepadatan adonan, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung secara seragam membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna. Air juga memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Koswara, 2009).

Jumlah air yang digunakan tergantung pada kekuatan tepung dan proses yang digunakan. Faktor-faktor yang terlibat pada proses penyerapan air antara lain macam dan jumlah protein. Banyaknya air yang dipakai akan menentukan mutu dari roti yang dihasilkan (Koswara, 2009).

5. Lemak

Lemak merupakan emulsi air dalam minyak (kira-kira 18% air terdispersi dalam 80% lemak) dengan sejumlah kecil protein yang bertindak sebagai zat pengemulsi (Winarno, 1992). Lemak memberikan gizi, rasa lezat, bertugas sebagai bahan pengempuk dan membantu pengembangan susunan fisik makanan yang dibakar (baked food). Dalam produksi roti, lemak menjadi pengempuk dan membuatnya menjadi lebih membangkitkan rasa lezat, membantu menahan gas karena gluten mengikat udara, dan membuat volume roti menjadi lebih baik lagi.

Menurut Matz (1972), lemak digunakan untuk mempertahankan aroma dan membantu menahan gas yang dihasilkan dalam proses fermentasi adonan roti. Makin banyak jumlah gelembung udara yang terperangkap oleh lemak dalam adonan maka volume roti yang dihasilkan akan semakin besar dan teksturnya semakin empuk (Ketaren, 1986).

6. Garam

Garam akan meningkatkan keliatan gluten dan daya absorbs air dari tepung. Ini memperlambat pengembangan adonan, tetapi dengan fermentasi yang cukup


(13)

pentingnya dengan kontrol fermentasi dari kondisioner gluten adalah memberi rasa gurih pada produk (Subarna, 1992).

Pemakaian garam dalam bakery berkisar antara 1,5 sampai 2,5% berdasarkan berat. Jika digunakan tepung sangat kuat, disarankan pemakaian garam 1,5% (Subarna, 1992).

7. Telur

Telur merupakan bahan tambahan dalam pembuatan roti. Telur bersama tepung terigu membentuk kerangka atau struktur roti, selain itu telur juga menyumbangkan kelembaban (mengandung 75 % air dan 25% solid) sehingga roti menjadi empuk, beraroma, penambah rasa, peningkatan gizi, pengembangan atau peningkatan volume serta mempengaruhi warna dari roti. Lecithin dalam kuning telur mempunyai daya emulsi sedangkan lutein dapat membangkitkan warna pada hasil produk. Telur yang digunakan adalah telur yang segar (pH 7 - 7,5), tidak dalam kondisi dingin, tidak rusak atau pecah sebelum dipakai. Sebelum digunakan telur dikocok terlebih dahulu (Faridah, dkk, 2008).

Dalam proses pembuatan roti, telur berfungsi meningkatkan nilai gizi, memberikan rasa yang lebih enak dan membantu untuk memperlemas jaringan zat gluten karena adanya lesitin dalam telur yang mengakibatkan roti menjadi lebih empuk dan lemas (Koswara, 2009).

D. Proses Pembuatan Roti Manis

Secara umum proses pembuatan roti manis meliputi tahap-tahap : pencampuran (mixing), fermentasi, pengembangan (proofing), pembentukan (makeup), penambahan bahan pengisi, pemanggangan dan pendinginan (Subarna, 1992).

1. Pencampuran

Pencampuran atau mixing merupakan suatu tahapan yang penting dalam pembuatan roti. Adonan diaduk agar semua unsur bahan dapat bercampur serata mungkin. Tujuan pencampuran ialah membuat dan mengembangkan daya rekat atau gluten pada tepung terigu yang mengandung protein dan jika dicampur dengan air, diaduk-aduk, ditarik-tarik dan diremas-remas maka akan terbentuk gluten. Rahasia


(14)

tercapai suatu perkembangan optimal dari gluten.

Ketika bahan-bahan adonan dicampur dalam mixer akan membentuk masa yang basah dan lengket dengan permukaan kasar bergumpal-gumpal. Setelah pengadukan yang cukup adonan akan menjadi lembut, elastik, relatif kering dan tidak lengket serta resisten terhadap pemanggangan. Setelah tahap ini pengadukan sebaiknya dihentikan, jika tidak adonan akan basah, lengket dan berair. Bila tahap ini terjadi maka akan overmix dan akan menghasilkan kue yang bantat, lembek dan pori-pori tidak bagus (Syahrial, 2008).

Terdapat 3 macam sistem pembuatan adonan roti, yaitu sistem Sponge and Dough (dengan cara babon), sistem Straight Dough (cara langsung), dan sistem No Time Dough (cara cepat).

Dalam metode babon, sebagian besar tepung dan air, semua ragi roti dan garam mineral serta zat pengemulsi dicampur menjadi babon. Babon difermentasi selama 3-6 jam, kemudian dicampur dengan bahan lainnya. Pada pembuatan babon cair, 25% tepung dibuat babon cair sebelum pencampuran adonan.

Proses Straight Dough lebih sederhana tetapi kurang fleksibel, karena tidak mudah dimodifikasi jika terjadi kesalahan dalam proses fermentasi atau tahap sebelumnya. Dalam proses ini seluruh bahan dicampur sekaligus menjadi adonan sebelum difermentasi. Demikian pula pada metode cepat, seluruh bahan dicampur sekaligus. Bedanya dengan No Time Dough adonan langsung dibentuk atau masuk ke dalam alat pencampur tanpa fermentasi (Subarna, 1992).

Pada saat pencampuran yang perlu diperhatikan adalah jumlah penambahan air yang dibutuhkan. Lama proses pencampuran ini biasanya antara 18-20 menit untuk mendapatkan adonan yang elastis dan homogen.

2. Fermentasi

Tujuan fermentasi adonan adalah untuk pengembangan adonan sehingga mudah ditangani dan menghasilkan produk yang bermutu baik. Selain itu fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa roti. Adonan roti manis biasanya difermentasikan pada suhu 27-300C dengan kelembaban nisbi 80-85% selama 60

menit (Subarna, 1992).

Selama fermentasi terjadi perubahan gula menjadi gas CO2 dan alkohol


(15)

Gambar 6. Reaksi Proses Fermentasi

Tahapan fermentasi ada dua yaitu 1) fermentasi gula dalam tepung oleh yeast, 2) berkembangnya yeast lebih lanjut dengan adanya gula dengan menghasilkan gas CO2 dan alkohol. Suhu optimal untuk fermentasi adonan adalah 330C - 350C atau 410

- 430C dengan kelembaban relatif 80 - 85% serta lama fermentasi antara 60 - 90 menit.

Yeast membawa perubahan pada adonan selama fermentasi, akumulasi produk akhir pada dalam bentuk alcohol dan gas CO2 (Mudjisihono, 1993). Sedangkan menurut

Utami (1992), fermentasi utama dimaksudkan untuk pembentukan inti gelembung gas. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi adalah 30 menit, namun fermentasi akan menjadi semakin lama jika suhu dingin. Dalam kondisi ini, lama fermentasi bisa mencapai 1 jam. Sebaiknya proses fermentasi segera dihentikan ketika adonan sudah mengembang dua kali lipat dari besar adonan semula. Fermentasi yang terlalu lama akan menyebabkan adonan over proof, yaitu kondisi dimana adonan menjadi lembek dan berair. Fermentasi terlalu singkat akan menyebabkan roti menjadi keras, pori-pori kasar dan roti tidak empuk (Syahrial, 2008).

3. Pengembangan

Pengembangan adonan adalah tingkat dimana gas yang dihasilkan dalam adonan berada pada tingkat terakhir dan memberi volume pada roti. Suhu rata-rata dari tempat pengembangan (proof box) umumnya 350-360C.

4. Pembentukan

Tujuan pembentukan adonan adalah membentuk lapisan film untuk menahan gas selama proses fermentasi kedua. Manfaatnya adonan menjadi lebih mudah dibentuk dan lebih elastis.

5. Pemanggangan

Menurut Subarna (1992), meskipun pemilihan bahan dan proses sebelum pemanggangan dilakukan dengan sempurna, suhu dan waktu oven mempunyai pengaruh penting pada mutu produk. Pemanggangan roti manis biasanya dilakukan pada suhu 1950C selama 15 menit. Pemanggangan dilakukan hingga roti matang dan


(16)

mengakibatkan adonan lebih cepat berwarna kecoklatan. Proses pembuatan roti manis dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Diagram Alir Proses Pembuatan Roti Manis (Subarna, 1992)

6. Pendinginan

Setelah di oven, roti dikeluarkan dari cetakan dan didinginkan. Pendinginan dilakukan untuk pemotongan tanpa mengalami kerusakan. Pendinginan udara terbuka dapat dilakukan dengan waktu sekitar 30-60 menit, setelah dingin roti kemudian dikemas untuk mencegah tercemarnya roti dari mikroba yang tidak dikehendaki (Subarna, 1992).

E. Faktor-faktor yang Berpengaruh Dalam Pembuatan Roti Manis

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sifat dan mutu roti manis yang dihasilkan, antara lain :

 Mutu dan jumlah dari bahan-bahan yang digunakan

 Proses pembuatan

 Proses pencampuran (mixing)

 Fermentasi


(17)

 Baking

F. Analisa Keputusan

Menurut Siagian (1987), analisa keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Tujuan dari analisa keputusan adalah untuk menemukan keputusan yang secepat-cepatnya. Ketepatan keputusan bergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan diolah dalam analisa. Mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif yang baik.

Proses pengambilan keputusan didahului dengan mengetahui adanya permasalahan, alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif yang memberikan hasil atau keuntungan paling besar dengan resiko paling kecil serta paling efektif, jadi masalah yang mempersulit adalah adanya alternatif yang harus dipilih sebagai landasan atau tindakan yang harus dilaksanakan (Assauri, 1980).

G. Analisa Finansial

Analisa kelayakan adalah analisa yang dilanjutkan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak. Analisa kelayakan tersebut dibagi menjadi 5 tahap yaitu dengan persiapan, tahap penelitian, tahap penyusunan, tahap evaluasi proyek. Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan metode Net Present Value (NPV), Rate Of Return (ROR) dengan metode Internal Rate Of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Payback Period (PP) (Susanto dan Saneto, 1994).

1. Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Studi kelayakan merupakan pekerjaan membuat ramalan atau tafsiran yang didasarkan atas anggapan-anggapan yang tidak selalu bisa dipenuhi. Konsekuensinya adalah bisa terjadi penyimpangan-penyimpangan. Salah satu penyimpangan itu ialah apabila pabrik berproduksi dibawah kapasitasnya. Hal ini menyebabkan pengeluaran yang selanjutnya mempengaruhi besarnya keuntungan.


(18)

dan hasil penjualan adalah penentuan Break Event Point (BEP). BEP adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besar nilai atau hasil penjualan atau laba. Jadi pada keadaan tertentu tersebut perusahaan tidak dapat keuntungan dan juga tidak mengalami kerugian.

Untuk memperoleh keuntungan maka usaha tersebut harus ditingkatkan dari penerimaanya harus berada di atas titik tersebut. Penerimaan dari penjualan dan ditingkatkan melalui 3 cara, yaitu menaikkan harga jual per unit, menaikkan volume penjualan dan menaikkan harga jualnya. Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :

a. Biaya Titik Impas

b. Unit TitiK Impas

Keterangan:

FC : Biaya Tetap S : Penjualan (Sales) VC : Biaya Variabel per unit

2. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan sekarang dengan nilai biaya sekarang. Bila data analisa diperoleh nilai NPV lebih besar dari 0 (nol), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam perhitungan diperoleh dari NPV lebih kecil dari 0, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. (Susanto dan Saneto 1994) Rumus NPV adalah :

NPV = Σn Bt - Ct

t = 1 (1+i)

FC BEP rupiah =

1 - VC S

FC BEP unit =


(19)

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek I = Suku bunga bank

3. Payback Periode (PP)

Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Paybackperiode tersebut (<) nilai ekonomis proyek. Untuk industri pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil 10 tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun(Susanto dan Saneto, 1994). Rumus penentuan adalah sebagai berikut :

Payback Periode = I

Ab Keterangan :

I = biaya investasi yang diperlukan

Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya

4. Internal Rate Of Return (Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate Of Return merupakan tingkat bunga yang menunjukan persamaan antar interval penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.

NPV

IRR = 1 + (i' - i)

NPV + NPV' Keterangan :

NPV = NPV positif hasil percobaan nilai NPV' = NPV negatif hasil percobaan nilai i = Tingkat bunga


(20)

Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang di present valuenkan (dirupiahkan sekarang)

Gross B / C = Σn Bt

t=1 (1+i) Keterangan :

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t C = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t n = Umur ekonomis dari suatu proyek

i =Suku bunga bank

H. Landasan Teori

Roti manis adalah makanan yang dibuat dari tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan kemudian dipanggang, dimana ke dalam adonan boleh ditambahkan garam, gula, susu, lemak, dan bahan-bahan pelezat seperti kismis, coklat, sukade dan sebagainya (Arthur, 2009).

Untuk menambah nilai nutrisi pada roti manis, dilakukan substitusi tepung tepung terigu dengan tepung labu kuning. Permasalahan yang timbul dalam pembuatan roti dan bahan baku tepung campuran (tepung terigu dan tepung labu kuning) adalah tekstur roti manis yang keras dan kurang mengembang. Substitusi tepung terigu dengan tepung campuran yang berlebihan dalam pembuatan roti manis menyebabkan volume roti yang menurun. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan Gliserol Monostearat (GMS). Gliserol Monostearat merupakan emulsifier buatan yang digunakan dalam proses pengolahan makanan. Gliserol Monostearat (GMS) berperan sebagai bahan surfaktan sehingga dapat memperbaiki sifat fungsional tepung campuran sebagai bahan pensubstitusi tepung terigu pada pembuatan roti (Herudiyanto, dkk, 2002).

Menurut Fenema (1985), Gliserol Monostearat adalah suatu emulsifier buatan yang merupakan bahan surfaktan (Surface Active Agent). Fungsi utamanya adalah mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Ciri khas dari emulsifier adalah adanya gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dapat mengikat air dan lemak menjadi satu kesatuan yang stabil.

Penambahan gliserol monostearat dapat meningkatkan volume roti. Hal ini disebabkan gliserol monostearat yang berfungsi sebagai emulsifier dan sebagai


(21)

molekul-molekul amilosa sehingga dapat menahan gas CO2 hasil fermentasi yeast,

akibatnya adonan menjadi lebih berkembang (Mudjisihono, dkk, 1993)

dalam Modifikasi kimia protein gluten memegang peranan penting dalam pengolahan roti. Terutama reaksi yang mengakibatkan putus atau tebentuknya ikatan -s-s- sangat mempengaruhi sifat reologi seperti kerenggangan dan elastisitas (de Man, 1997). Menurut Pomeranz dalam Purnomo (1994) ikatan disufida dalam gluten berperan penting sebagai penghubung silang rantai polipida. Redukasi ikatan disulfida mengakibatkan ikatan peptide terbuka. Perubahan jenis ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sifat reologi adonan roti. Selama fermentasi terjadi perubahan gula menjadi gas CO2 dan alkohol sebagai berikut :

C6H12O6 CO2 + C2H5OH

Gambar 8. Reaksi Proses Fermentasi

CO2 dibebaskan oleh sel-sel khamir sebagai zat yang terlarut. Apabila

konsentrasi CO2 meningkat dalam cairan, gelembung-gelembung gas mulai terbentuk

mengelilingi inti-inti udara dalam adonan. CO2 terbnetuk terus selama gula yang

dirombak masih ada, maka pengembangan dapat menyeluruh mendesak kerangka adonan yang sudah terbentuk. Selama fermentasi pengembangan adonan dapat terus mengembang sebesar dua kali lipat.

Mekanisme pengikatan CO2 karena pengaruh yeast dalam pembuatan roti

karena sifat elastisitas kohesif dari gluten yang mengikat air. Terjadinya elastisitas kohesif di awali dengan terjadinya ikatan hydrogen air antara molekul protein tepung sehingga membentuk sturktur melingkar sedang dalam molekul terjadi ikatan disulfida dan ikatan-ikatan tertentu. Pada pencampuran dengan air, protein mengikat air dan menggelembung sehingga keseluruhan adonan bersifat lembek sehingga pada saat ini terjadi perubahan bentuk molekul. Selama proses fermentasi, terjadi perubahan susunan molekul dan jaringan protein akan terisi gas. Jika dipanggang, adonan ini akan mengembang karena ekspansi gas dan jika kemudian gas terlepas.

Menurut Wood (1998) yeast adalah penghasil gas CO2 yang berperan dalam

mengembangkan adonan dan penghasil aroma pada saat proses fermentasi. Yeast yang ditambahkan ke dalam adonan memerlukan waktu adaptasi selama ± 45 menit sebelum memperbanyak diri serta memecah karbohidrat. Tepung dan yeast mengandung enzim protease dan peptidase, dimana enzim-enzim tersebut aktif


(22)

amino (Subarna, 1992).

Pemanggangan merupakan tahap terakhir untuk menentukan kualitas roti yang diinginkan. Menurut Subarna (1992), meskipun pemilihan bahan dan proses sebelum pemanggangan dilakukan dengan sempurna, suhu dan waktu oven mempunyai pengaruh penting pada mutu produk. Pemanggangan roti manis biasanya dilakukan pada suhu 1950C selama 15 menit. Pemanggangan dilakukan hingga roti matang dan

kulit berwarna kuning kecoklatan. Roti yang menggunakan gula banyak seperti roti manis memerlukan waktu pemanggangan lebih singkat karena gula yang tinggi mengakibatkan adonan lebih cepat berwarna kecoklatan.

I. Hipotesa

Diduga terdapat pengaruh antara substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kualitas produk roti manis yang dihasilkan.


(23)

BAB III

BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan , Analisa Pangan, Laboratorium Uji Inderawi program studi Teknologi Pangan UPN "Veteran" Jatim Surabaya, Labortorium Chem-Mix Pratama Yogyakarta, dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-September 2014.

B. Bahan Penelitian

Bahan dasar yang digunakan untuk Roti Manis yaitu Labu kuning yang dibeli di pasar di daerah Rungkut, tepung tepung terigu protein tinggi, gula pasir, susu skim, ragi instan, garam, mentega putih, dan telur yang dibeli di toko bahan kue daerah Rungkut, gliserol monostearat yang dibeli di toko bahan kimia Tree Star di daerah Rungkut.

Bahan Kimia yang digunakan untuk analisa adalah aquades, alkohol, HCL, NaOH, K2S2O4, Na2SO4, H2O, H2SO4, indikator PP, butiran zink, etanol.

C. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan roti manis meliputi : timbangan analitik, mixer, wadah, Loyang, oven listrik, cabinet dryer. Alat yang digunakan untuk analisa pada pembuatan roti manis antara lain : alat titrasi, pipet, gelas ukur dan peralatan gelas lainnya, kertas saring, kromatografi, spektrofotometer, Erlenmeyer.


(24)

D. Metododologi Penilitian

1. Rancangan Percobaan

Dalam penilitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola factorial dengan dua faktor dan tiga kali ulangan, selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam, bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan. Menurut Gasperz (1994), model matematika untuk percobaan factorial yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap adalah sebgai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij ; i = 1,……a j = 1,……b k = 1,……c Dimana :

Yijk : Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor B).

µ : Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya) αi : Pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A

βj : Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B

(αβij) : Pengaruh interaktif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

εij : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij

2. Peubah yang digunakan

a. Peubah Berubah

Faktor I. Substitusi tepung labu kuning (%) A1 = 10

A2 = 20 A3 = 30


(25)

Faktor II. Penambahan Gliserol Monostearat (%) B1 = 1

B2 = 2 B3 = 3

Dari hasil kombinasi dua faktor tersebut diperoleh sembilan perlakuan sebagai berikut :

Tabel 4. Kombinasi Perlakuan Faktor A dan B B

A

B1 B2 B3

A1 A1B1 A1B2 A1B3

A2 A2B1 A2B2 A2B3

A3 A3B1 A3B2 A3B3

Keterangan :

A1B1 = Substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan GMS 1% A1B2 = Substitusi tepung labu kuning 20% dan penambahan GMS 1% A1B3 = Substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan GMS 1% A2B1 = Substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan GMS 2% A2B2 = Substitusi tepung labu kuning 20% dan penambahan GMS 2% A2B3 = Substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan GMS 2% A3B1 = Substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan GMS 3% A3B2 = Substitusi tepung labu kuning 20% dan penambahan GMS 3% A3B3 = Substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan GMS 3%

b. Peubah Tetap

1. Total Berat Tepung (Terigu + Labu Kunig) = 100 gram

2. Berat Gula Pasir = 25 gram

3. Berat Garam = 2 gram

4. Berat Shortening = 16 gram

5. Berat Ragi Roti = 2,2 gram

6. Berat Susu Skim = 5 gram

7. Telur = 15 gram


(26)

9. Lama Fermentasi Awal = 60 menit 10. Lama Fermentasi Akhir = ± 45 menit 11. Lama Pemanggangan = 30 menit 12. Suhu Pemanggangan = 1500C

3. Parameter yang diamati

 Parameter yang diukur meliputi : Bahan Baku (Tepung Labu Kuning) :

1. Kadar Pati Metode Direct Acid Hydrolysis (Soedarmadji, 1997) 2. β-Karoten (Muchtadi, 1998)

3. Rendemen Produk Roti Manis :

1. Kadar Air Metode Oven (Soedarmadji, dkk., 1997) 2. Kadar Abu (Soedarmadji, 1997)

3. Kadar Protein (Soedarmadji, dkk., 1997) 4. β-Karoten (Muchtadi, 1989)

5. Volume Pengembangan (Susanto, 1998) 6. Jumlah Pori (Susanto, 1998)

7. Organoleptik (warna, rasa, dan tekstur) (Kartika, 1988)

4. Prosedur Penelitian

1) Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning a. Penyortiran labu kuning

b. Pencucian dengan air yang mengalir untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit buahnya.

c. Pengupasan labu kuning yang telah dicuci selanjutnya dihilangkan biji dan serabutnya, serta dikupas kulitnya sampai bersih.

d. Blanching dengan suhu 800C.

e. Pengecilan ukuran pada labu kuning yang telah di blanching dipotong tipis-tipis dengan tujuan untuk mempercepat proses pengeringan.

f. Pengeringan dengan alat pengering (cabinet dryer) dilakukan dengan suhu 700C selama 8 jam.


(27)

g. Penggilingan dengan blender hingga labu kuning tersebut hancur menjadi bubuk (tepung).

h. Pengayakan tepung labu kuning hasil penghancuran diayak dengan saringan 80 mesh. Tepung yang lolos ayakan ditampung dalam tempat tersendiri, sementara yang tidak lolos ayakan dapat digiling lagi hingga akhirnya dapat lolos ayakan.

Proses pembuatan tepung labu kuning dapat dilihat pada Gambar 9.


(28)

2) Proses Pembuatan Roti Manis

a. Persiapan bahan dimulai dengan penimbangan bahan antara lain tepung terigu : tepung labu kuning = 70:30, 80:20, 90:10, gliserol monostearat (1 % b/b, 2 % b/b, 3 % b/b), gula pasir (25 gram), garam (2 gram), shortening (16 gram), ragi roti (2,2 gram), susu skim (5 gram), telur (15 gram).

b. Pencampuran I dilakukan mencampur bahan seperti : tepung terigu, tepung labu kuning, gula pasir, susu skim, dan ragi roti.

c. Setelah adonan I tercampur merata, kemudian memasukkan telur dan air es secara perlahan-lahan dalam kondisi alat pengadonan (Bosh) berputar pelan (speed one). Selanjutnya menambahkan garam dan shortening sampai didapatkan adonan yang kalis.

d. Fermentasi awal dilakukan di wadah baskom selama ± 60 menit dengan suhu 270-300C dalam kondisi wadah tertutup.

e. Pembuangan gas (dividing).

f. Membagi adonan dan diukur volume.

g. Fermentasi akhir dilakukan di dalam loyang selama ± 45 menit dengan suhu (270-300C).

h. Pemanggangan merupakan tehapan terakhir pembuatan roti manis. Pemanggangan dilakukan pada suhu 1500C selama 30 menit.

Pemanggangan ini bertujuan untuk mengembangkan adonan yaitu adanya kontak panas dengan gas karbondioksida dalam adonan. Pada pemanggangan, adonan roti akan berubah warna menjadi coklat.

i. Analisa produk

Roti manis yang dihasilkan dilakukan analisa terhadap kadar air, kadar abu kadar protein, kadar total karoten, volume pengembangan, jumlah pori, uji organoleptik (warna, rasa, aroma dan tekstur) dan hasil terbaik kadar β -Karoten.


(29)

Diagram alir proses pembuatan roti manis dapat dilihat pada Gambar 10. Tepung terigu : tepung labu kuning

(90:10) (80:20) (70:30)

Roti Manis Analisa :

- Kadar Air

- Kadar Abu

- Kadar Protein

- β-Karoten

- Volume Pengembangan

- Jumlah Pori

- Organoleptik (rasa, warna,

aroma dan tekstur)

Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Roti Manis Pencampuran

Pengadukan hingga kalis

Pembuangan gas / Dividing

Fermentasi akhir dalam loyang 45 menit (27-300C)

Pemanggangan ± 30 menit Suhu 1500C

Fermentasi awal dalam suhu kamar (27-300C) selama 60 menit

Telur (15 gr) Air (40 ml) Garam (2 gr) Shortening (16 gr)

Gula (25 gr) Susu skim (5 gr) Ragi (2,2 gr) GMS (1%;2%;3%)


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku tepung terigu dan tepung labu kuning dan analisa substitusi tepung labu kuning dengan penambahan gliserol monostearat (GMS) yang dihasilkan yang terdiri dari analisa fisik, kimiawi dan organoleptik. Analisa dilanjutkan dengan analisa keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini digunakan sebagai produk industri.

A. Hasil Analisa Bahan Awal

Pada awal penelitian dilakukan analisis bahan awal tepung labu kuning yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis tepung labu kuning Bahan

Analisa

Tepung Labu Kuning Kadar Pati (%)

Kadar β-Karoten (µg/100g) Rendemen (%)

66,6139 87035,2615

10

Hasil analisis menunjukkan bahwa tepung labu kuning, menunjukkan kadar pati sebesar 66,6139%, kadar β-karoten 87035,2615 µg/100g dan rendemen 10%. Berdasarkan hasil penelitian Suhartini (2006), tepung labu kuning mengandung kadar pati 31,83% dan β-karoten 88,985 mg/100g. Hasil perbedaan analisis seperti kadar pati dan β-karoten disebabkan karena adanya pengaruh perbedaan umur panen, varietas, atau cara pembuatan tepung, suhu, dan alat penggilingan. Kandungan β -karoten yang tinggi pada tepung labu kuning diharapkan dapat menghasilkan roti manis yang mengandung provitamin A.


(31)

1. Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis ragam (lampiran 4), menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar air roti manis. Demikian juga perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berpengaruh yang nyata terhadap kadar air roti manis yang dihasilkan. Rerata kadar air dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar air roti manis, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai rata-rata kadar air dari perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan GMS

Perlakuan Rerata Kadar Air (%)

Notasi DMRT (5%) Substitusi

TLK (%b/b)

GMS (%b/b)

10% 1%

2% 3% 28.55 28.61 28.91 a a a - 0.77 0.81

20% 1%

2% 3% 29.83 31.30 34.42 b c d 0.83 0.85 0.86

30% 1%

2% 3% 34.85 35.69 36.75 d d e 0.87 0.88 0.88 Keterangan : Nilai rara-rata yang didampingi huruf yang berbeda menyatakan terdapat

perbedaan yang nyata p ≤ 0,05

Pada Tabel 6, menunjukkan bahwa nilai rerata kadar air pada roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) menunjukkan nilai rerata kadar air berkisar antara 28.55% – 36.75%. Perlakuan substitusi tepung labu kuning sebesar 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 3% memberikan nilai rerata kadar air tertinggi (36.75%). Sedangkan nilai rerata kadar air terendah yaitu pada perlakuan substitusi tepung labu kuning sebesar 10% dan penamabahan gliserol monostearat (GMS) 1% (28.55%). Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 11.


(32)

Gambar 11. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar air roti manis. Pada Gambar 11, menunjukkan bahwa semakin tinggi substitusi tepung labu kuning dan semakin banyak penambahan gliserol monostearat (GMS) maka semakin tinggi kandungan kadar air yang terdapat dalam roti manis. Hal ini disebabkan karena tepung labu kuning mempunyai serat yang lebih tinggi dari tepung terigu, sedangkan gliserol monostearat (GMS) memiliki gugus hidrofilik yang mempunyai kemampuan dapat mengikat air. Sehingga semakin tinggi substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) maka kadar air semakin meningkat. Menurut Hendrasty (2003), kadar air pada tepung labu kuning sebesar 13%. Sedangkan kadar air pada tepung terigu mencapai 11-13%. Air yang terikat pada protein sulit dilepaskan walaupun dengan pemanasan (Meyer,1973). Didukung oleh pendapat Cowan (1975), bahwa terbentuknya matriks protein juga dapat mengikat air.

2. Kadar Abu

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap nilai kadar abu roti manis, tetapi perlakuan substitusi tepung labu kuning dan gliserol monostearat (GMS) memberikan


(33)

abu roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata-rata kadar abu dari perlakuan substitusi tepung labu kuning Substitusi Tepung

Labu Kuning (%)

Kadar Abu (%)

Notasi DMRT (%)

10% 20% 30% 2.57 2.66 2.77 a a b - 0.19 0.19 Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah tepung labu kuning yang disubstitusikan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang terdapat dalam roti manis. Hal ini disebabkan karena kadar abu tepung labu kuning lebih tinggi (5,455%) jika dibandingkan dengan kadar abu tepung terigu (0,25-0,60%) Astawan (2008)

Menurut (Hendrasty,2003.) kandungan mineral pada labu kuning lebih tinggi dibandingkan kadar mineral dalam tepung terigu. Kandungan mineral dalam labu kuning antara lain fosfor 64mg/100g, kalsium 45mg/100g, dan besi 1,4mg/100g.

Rerata kadar abu roti manis dengan perlakuan penambahan gliserol monostearat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai rata-rata kadar abu roti manis dengan perlakuan penambahan gliserol monostearat Penambahan Gliserol Monostearat (%) Kadar Abu (%)

Notasi DMRT (%)

1% 2% 3% 2.83 2.75 2.42 b b a 0.19 0.18 -

Dari Tabel 8, menunjukkan bahwa Semakin rendah penambahan gliserol monostearat (GMS) maka kadar abu roti manis akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan gliserol monostearat (GMS) mempunyai gugus hidrofilik yang memiliki kemampuan dapat mengikat air, sehingga komponen yang lain kecil.

Hasil penelitian ini sesuai dengan syarat mutu roti manis (SNI 1995) yang menyebutkan bahwa kadar abu maksimal 3%.


(34)

3. Kadar Protein

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6), menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap nilai kadar protein roti manis yang dihasilkan. Perlakuan tepung labu kuning berpengaruh nyata terhadap kadar protein roti manis, dan gliserol monostearat berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar protein roti manis. Rerata kadar protein roti manis tiap perlakuan dapat dilihat di Tabel 9.

Tabel 9. Nilai rata-rata kadar protein dari perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan GMS.

Perlakuan Rerata Kadar

Protein (%)

Notasi DMRT (5%) Substitusi

TLK (% b/b)

GMS (%b/b)

10% 1%

2% 3% 9,33 8,09 8.17 c a ab 0,44 0,38 0,40

20% 1%

2% 3% 8,74 8,24 8,20 b ab ab 0,43 0,43 0,41

30% 1%

2% 3% 8,53 8,23 8,03 b ab a 0,43 0,42 -

Keterangan : Nilai rata-rata yang di samping huruf yang berbeda menyatakan terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)

Pada Tabel 9, menunjukkan bahwa nilai rerata kadar protein pada roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) menunjukkan nilai rerata kadar air berkisar antara 8,03-9,33%. Perlakuan subsitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% memiliki kadar protein yang paling tinggi (9,33%). Sedangkan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 3% memiliki kadar protein yang paling rendah (8,03%). Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar protein dapat dilihat pada Gambar 12.


(35)

Gambar 12. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar protein roti manis. Pada Gambar 12, menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan gliserol monostearat (GMS) dan semakin tinggi substitusi tepung labu kuning dapat menyebabkan kadar protein roti manis yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena tepung labu kuning mengandung serat dapat mengikat air sedangkan gliserol monostearat (GMS) memiliki gugus hidrofilik yang memiliki kemampuan dapat mengikat air. Sehingga semakin tinggi penambahan gliserol monostearat (GMS) dan semakin tinggi substitusi tepung labu kuning maka kadar protein semakin menurun.

Menurut Hidayat (2006), gliserol monostearat (GMS) yaitu 0,03% dan kadar protein tepung terigu sebesar 12%. Hal ini sesuai dengan pendapat Mudjishono (1993), variasi penambahan gliserol monostearat (GMS) tidak menyebabkan perbedaan kadar protein pada roti manis yang dihasilkan karena gliserol monosterat sebagian besar tersusun bukan oleh fraksi protein.


(36)

4. β-Karoten

Berdasarkan Hasil analisis ragam (Lampiran 7), menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap nilai kadar total karoten roti manis yang dihasilkan. Demikian juga antara masing-masing perlakuan berpengaruh yang nyata terhadap kadar β-karoten roti manis yang dihasilkan. Rerata kadar β-karoten perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai rata-rata kadar β-karoten perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat pada roti manis.

Perlakuan Rerata Kadar β- Karoten (µg/100g)

Notasi DMRT (5%) Substitusi TLK

(%b/b)

GMS (%b/b)

10% 1%

2% 3% 6625.81 8297.38 8888.65 a b b - 680.71 715.09

20% 1%

2% 3% 9535.20 10644.59 12237.95 c d e 735.72 749.47 760.93

30% 1%

2% 3% 13750.15 15337.22 18090.81 f g h 770.09 774.68 779.26 Keterangan : Nilai rata-rata yang di damping huruf yang berbeda menyatakan terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)

Tabel 10. Menunjukkan bahwa nilai rerata kadar β-karoten pada roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) menunjukkan nilai rerata kadar β-karoten pada roti manis berkisar antara 6625,81 – 18090,81 mg/g. Hasil tertinggi kadar β-karoten pada roti manis yaitu pada perlakuan dengan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 3% yaitu sebesar 18090,81 mg/g, sedangkan untuk perlakuan terendah dengan kadar total karoten 6625,81 mg/g, terdapat pada perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 2%. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar β-karoten roti manis, dapat dilihat pada Gambar 13.


(37)

Gambar 13. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap kadar β-karoten roti manis.

Gambar 13, menunjukkan bahwa semakin banyak substitusi tepung labu kuning dan semakin banyak penambahan gliserol monostearat (GMS), maka kadar β-karoten roti manis yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena tepung labu kuning mengandung β-karoten sedangkan gliserol Monostearat (GMS) sebagai lemak dapat mengikat β-karoten, sehingga semakin banyak penambahan gliserol monostearat (GMS) β-karoten yang larut dalam lemak juga semakin banyak dan akan meningkatkan kandungan β-karoten pada roti manis. Dalam penilitian (Enny Karti Basuki,dkk) menyatakan bahwa Gliserol Monostearat tersusun atas lemak (0,13%) dan memiliki kemampuan dalam pengikatan lemak dengan adanya gugus hidrofobik yang dimilikinya. Hal ini didukung oleh Istighfaro (2010) sifat β-karoten yang termasuk dalam golongan vitamin larut lemak. Tepung labu kuning mengandung kadar β -karoten yang lebih tinggi. Dari hasil penelitian analisis bahan baku tepung labu kuning (Tabel. 5) memiliki kandungan β-karoten sebesar 87035,2615 µg/100g.


(38)

5. Volume Pengembangan

Berdasarkan hasil anailisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa perlakuan tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terdapat interaksi yang nyata (p ≤ 0,05) terhadap volume pengembangan roti manis. Demikian juga pada masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap volume pengembangan roti manis. Rerata volume pengembangan roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap volume pengembangan roti manis, dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai rata-rata volume pengembangan dari perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan GMS

Perlakuan Rerata Volume Pengembangan

(mm/cm2)

Notasi DMRT (5%) Substitusi TLK

(%b/b)

GMS (%b/b)

10% 1%

2% 3% 204.30 208.67 212.27 f g h 0.91 0.916 0.921

20% 1%

2% 3% 127.00 128.80 172.03 c d e 0.870 0.886 0.90

30% 1%

2% 3% 123.00 124.00 126.33 a b c - 0.805 0.846 Keterangan :Nilai rara-rata yang didampingi huruf yang berbeda menyatakan

terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)

Pada Tabel 11, menunjukkan bahwa nilai rerata volume pengembangan roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) menunjukkan nilai rerata volume pengembangan berkisar antara 123.00 – 212.27%. Perlakuan substitusi tepung labu kuning sebesar 10% dan gliserol monostearat (GMS) 3% memberikan nilai rerata volume pengembangan tertinggi (212.27%). Sedangkan nilai rerata volume pengembangan terendah yaitu pada perlakuan substitusi tepung labu kuning sebesar 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% (123.00%). Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap kadar air dapat dilihat pada Gambar 14.


(39)

Gambar 14. Hubungan antara substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap volume pengembangan roti manis.

Pada Gambar 14, menunjukkan bahwa semakin meningkat penambahan gliserol monostearat (GMS) dan semakin menurun substitusi tepung labu kuning (tepung terigu tinggi) maka volume pengembangan roti manis semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena gliserol monostearat (GMS) dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten dan dapat menahan gas CO2

sehingga selama fermentasi adonan menjadi mengembang. Menurut Keetels (1995) gliserol monosterarat (GMS) dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten. Menurut Bailey's (1996) yang menyatakan bahwa gliserol monostearat (GMS) bereaksi dengan molekul-molekul amilosa membentuk ikatan kompleks sehingga selama fermentasi gas CO2 tertahan dan

adonan menjadi berkembang. Sehingga semakin meningkat penambahan gliserol monostearat (GMS) maka volume pengembangan roti manis semakin meningkat.

Substitusi tepung labu kuning semakin sedikit, mengakibatkan jumlah tepung terigu menjadi banyak, maka semakin banyak tepung terigu dalam adonan jumlah gluten dalam adonan akan semakin meningkat, sehingga akan meningkatkan kemampuan adonan dalam menahan gas CO2 yang mengakibatkan terjadinya


(40)

peningkatan volume pengembangan roti manis. Menurut Subarna (1992) gluten memiliki sifat fisik yang elastis dan ekstensibel sehingga memunkingkan adonan dapat menahan gas CO2 dan adonan dapat menggelembung seperti balon. Hal inilah

yang memungkinkan produk roti mempunyai struktur berongga yang seragam dan halus.

6. Jumlah Pori

Hasil analisis ragam (Lampiran 9), menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS). Demikian juga masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap jumlah pori roti manis. Rerata jumlah pori roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat terhadap jumlah pori roti manis

Perlakuan Rerata Jumlah Pori (cm2)

Notasi DMRT (5%) Substitusi

TLK (%b/b)

GMS (%b/b)

10% 1%

2% 3% 35.57 39.00 40.67 e f g 1.5533 1.5625 1.5718

20% 1%

2% 3% 26.30 30.83 35.00 c d e 1.4839 1.5117 1.5348

30% 1%

2% 3% 22.50 24.50 25.30 a b bc - 1.3730 1.4423 Keterangan : Nilai rara-rata yang didampingi huruf yang berbeda menyatakan terdapat

perbedaan yang nyata p ≤ 0,05

Tabel 12, menunjukkan bahwa nilai rerata jumlah pori pada roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat menunjukkan nilai rerata jumlah pori berkisar antara 22.50% - 40.67%. Perlakuan Substitusi tepung labu kuning sebesar 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 3% memberikan nilai rerata jumlah pori tertinggi (40.67%). Sedangkan nilai rerata jumlah pori terendah yaitu pada perlakuan substitusi tepung labu kuning sebesar 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% (22.50%). Hubungan perlakuan


(41)

manis dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Hubungan antara substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) terhadap jumlah pori roti manis

Pada Gambar 15, menunjukkan bahwa semakin meningkat penambahan gliserol monostearat (GMS) dan semakin menurun substitusi tepung labu kuning maka jumlah pori roti manis semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena gliserol monostearat dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten dan dapat menahan gas CO2 sehingga selama fermentasi adonan

menjadi mengembang. Menurut Keetels (1995) gliserol monosterarat (GMS) dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten. Menurut Bailey's (1996) yang menyatakan bahwa gliserol monostearat (GMS) bereaksi dengan molekul-molekul amilosa membentuk ikatan kompleks sehingga selama fermentasi gas CO2 tertahan dan adonan menjadi berkembang. Sehingga

semakin tinggi penambahan gliserol monostearat (GMS) maka volume pengembangan yang dihasilkan akan membesar dan jumlah pori roti manis akan bertambah besar pula.


(42)

Substitusi tepung labu kuning semakin sedikit, mengakibatkan jumlah tepung terigu semakin banyak maka jumlah pori roti manis yang dihasilkan semakin meningkat. Matz (1992), menyatakan kemampuan adonan dalam menahan gas CO2

dipengaruhi oleh kandungan gluten yang terdapat dalam adonan roti tersebut. Semakin sedikit substitusi tepung labu kuning maka jumlah pori yang terbentuk akibat proses fermentasi semakin seragam.

C. Uji Organoleptik

Kualitas bahan pangan dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu kimiawi, fisik dan sensorik. Diterima atau tidaknya bahan pangan oleh konsumen banyak ditentukan oleh faktor mutu terutama mutu organoleptik (Kartika, 1998). Sifat organoleptik dari roti manis yang diberi perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) diuji meliputi rasa, warna, aroma dan tekstur dengan menggunakan uji hedonik. Hasil penelitian pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) yang dihasilkan kemudian diujikan secara organoleptik meliputi :

1. Uji Kesukaan Rasa

Rasa merupakan parameter yang sangat menentukan kualitas bahan makanan, karena rasa dari bahan makanan merupakan penilaian yang dominan dari konsumen, namun setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap rasa dari suatu produk makanan (Winarno, 1997).

Berdasarkan Uji Friedman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap rasa roti manis yang dihasilkan. Jumlah ranking pada roti manis perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penamabahan gliserol monostearat (GMS) dapat dilihat pada Tabel 13.


(43)

Perlakuan Jumlah Ranking Substitusi Tepung Labu Kuning

(%b/b)

Penambahan GMS (%b/b) 10%

20%

30%

1% 2% 3% 1% 2% 3% 1% 2% 3%

91,5 80 93 114,5

99 98 125 109,5 113,5 Keterangan : Semakin tinggi nilai maka semakin disukai

Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa nilai ranking uji kesukaan rasa pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berkisar antara 80-125. Nilai ranking tertinggi didapat pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% yaitu 125. Sedangkan roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 2% mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu 80. Substitusi tepung labu kuning 30% memberikan rasa yang paling di sukai penelis. Hal ini karena khas dari tepung labu kuning sudah dapat dirasakan yang dapat menimbulkan after taste (jejak rasa) pada roti manis yang dihasilkan, sedangkan penambahan gliserol monostearat (GMS) tidak mempengaruhi rasa roti manis yang dihasilkan. Pada substitusi tepung labu kuning 20% dalam roti manis panelis masih menyukai rasa pada roti manis tersebut. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan protein dalam produk roti manis tersebut, sedangkan substitusi tepung labu kuning 10% menyebabkan ketidaksukaan panelis terhadap roti manis tersebut. Menurut Winarno (2002) penyebab terjadinya peningkatan kerugian dari suatu produk pangan ditentukan oleh besarnya protein dalam produk tersebut. Pernyataan tersebut di dukung oleh Sudarmadji,dkk (1997) bahwa kandungan protein dari suatu bahan makanan berkolerasi cukup tinggi terhadap penilaian konsumen terutama dalam rasa.


(44)

2. Uji Kesukaan Warna

Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting dari suatu bahan pangan. Kesukaan konsumen terhadap suatu bahan pangan juga sangat ditentukan oleh warna. Menurut Winarno (1995), secara fisik faktor warna merupakan hal yang sangat penting menentukan suatu mutu bahan pangan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau menyimpan dari warna yang seharusnya.

Berdasarkan uji Friedman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap warna roti manis yang dihasilkan. Jumlah ranking perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) pada roti manis dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Nilai ranking uji kesukaan warna roti manis

Perlakuan Jumlah Ranking

Substitusi Tepung Labu Kuning (%b/b) Penambahan GMS (%b/b) 10 20 30 1 2 3 1 2 3 1 2 3 143,5 54 65 129,5 113,5 100 134,5 96,5 63,5 Keterangan : Semakin tinggi nilai maka semakin disukai

Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa nilai ranking uji kesukaan warna pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berkisar antara 54 – 143,5. Nilai ranking tertinggi didapat pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% yaitu 143,5. Sedangkan roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 2% mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu 54. Semakin


(45)

maka warna yang dihasilkan semakin terang yaitu kuning muda.

Roti manis yang dihasilkan berwarna sangat kuning muda dan sangat kuning tua. Warna roti manis tersebut berasal dari bahan baku yang digunakan yaitu tepung labu kuning dan tepung terigu. Warna roti manis yang disukai panelis yaitu warna kuning muda di dalam dan warna kecoklatan bagian luar, sedangkan warna yang tidak disukai panelis yaitu kuning tua.

Pewarnaan pada roti ini terjadi karena reaksi Maillard terutama bagian kulit luar. Pemanasan menyebabkan sisi aktif asam amino dalam protein tepung dan terjadi reaksi dengan gula reduksi yang akan berakhir dengan terbentuknya melanoidin yang berwarna coklat (Winarno, 2004).

Hal ini diduga rendah dan tingginya substitusi tepung labu kuning yang berarti juga kadar protein dalam adonan roti manis sehingga menghasilkan warna roti manis yang disukai yaitu coklat akibat reaksi Maillard, sedangkan penambahan gliserol monostearat (GMS) tidak mempengaruhi warna roti manis yang dihasilkan dikarenakan gliserol monostearat (GMS) merupakan produk bubuk dan berwarna putih.

3. Uji Kesukaan Aroma

Aroma merupakan parameter fisik pangan yang sangat penting. Penilaian konsumen terhadap produk pangan juga ditentukan oleh aroma. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 3), menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berpengaruh nyata (p ≤ 0,05)

terhadap aroma roti manis. Nilai rata-rata uji organoleptik aroma roti manis dengan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) dapat dilihat pada Tabel 15.


(46)

Tabel 15. Nilai rangking uji kesukaan aroma roti manis

Perlakuan Jumlah Ranking

Substitusi Tepung Labu Kuning (%b/b)

Penambahan GMS (%b/b) 10

20

30

1 2 3 1 2 3 1 2 3

119 85 70 122 110 92 122 102.5

89,5 Keterangan : Semakin tinggi nilai maka semakin disukai

Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa nilai ranking uji kesukaan aroma pada roti manis dengan perlakuan tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berkisar antara 70-122. Nilai ranking tertinggi didapat pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% yaitu 122. Sedangkan roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 3% mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu 70. Semakin banyak susbstitusi labu kuning yang dilakukan maka aroma roti manis semakin meningkat, hal ini disebabkan labu kuning memiliki aroma yang khas (Hendrasty, 2003).

4. Uji Kesukaan Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter fisik uji kesukaan konsumen terhadap produk pangan. Berdasarkan uji Friedman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berpengaruh nyata (p ≤ 0,05), terhadap tekstur roti manis yang dihasilkan. Jumlah ranking uji tekstur pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) dapat dilihat pada Tabel 16.


(47)

Perlakuan Jumlah Ranking Substitusi Tepung Labu

Kuning (%b/b)

Penambahan GMS (%b/b) 10

20

30

1 2 3 1 2 3 1 2 3

99,5 59,5 74 105,5 117,5 125 132 89 90 Keterangan : Semakin tinggi nilai maka semakin disukai

Berdasarkan Tabel 16, dapat dilihat bahwa nilai ranking uji kesukaan tekstur pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol monostearat (GMS) berkisar antara 59,5 – 132. Nilai ranking tertinggi didapat pada roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% yaitu 132. Sedangkan roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 10% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 2% mempunyai nilai ranking paling rendah yaitu 59,5. Semakin sedikit tepung labu kuning yang disubstitusikan dan semakin banyak gliserol monostearat (GMS) yang ditambahkan, maka tekstur roti manis yang dihasilkan semakin bagus dan disukai panelis. Peningkatan substitusi tepung labu kuning dapat mengurangi jumlah protein gluten yang terdapat dalam adonan.


(48)

Tabel 17. Hasil Analisa Roti Manis Substitusi Tepung Labu Kuning Dengan Penambahan Gliserol Monostearat (GMS)

Perlakuan Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Kadar Protein (%) Total Karoten (%) Volume Pengemba ngan (%) Jumlah Pori Uji Organolpetik TLK (%) GMS (%)

Rasa Warna Aroma Tekstur

10 1

2 3s 28.55 28.61 28.91 2.78 2.71 2.21 9.33 8.09 7.99 6625.81 8297.38 8888.65 204.30 208.67 212.27 40.67 39.00 35.57 91.5 80 93 143.5 54 65 119 85 70 99.5 59.5 74

20 1

2 3 29.83 31.30 34.42 2.90 2.85 2.56 8.74 8.24 8.20 9535.20 10644.59 12237.95 127.00 128.80 172.03 35.00 30.83 26.30 114.5 99 98 129.5 113.5 100 122 110 92 105.5 117.5 125

30 1

2 3 34.85 35.69 36.75 2.83 2.68 2.47 8.53 8.23 8.03 13750.15 15337.22 18090.81 123.00 124.00 126.33 25.30 24.50 13.50 125 109.5 113.5 134.5 96.5 63.5 122 102.5 89.5 132 89 90


(49)

D. Analisis Keputusan

Mutu suatu bahan pangan dapat diketahui berdasarkan tiga sifat yaitu : kimia, fisik, dan organoleptik. Diterima atau tidaknya bahan atau produk pangan oleh konsumen lebih banyak ditentukan oleh faktor sifat organoleptiknya, karena berhubungan langsung dengan selera konsumen (Mangkusubroto, 1987).

Pemilihan alternatif pada roti manis dilakukan berdasarkan hasil analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar β-Karoten, volume pengembangan, jumlah pori, dan uji organoleptik meliputi, rasa, warna, aroma, dan tekstur.

Berdasarkan hasil analisis dari sembilan kombinasi perlakuan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar β-Karoten, volume pengembangan, jumlah pori, dan uji organoleptic meliputi, rasa, warna, aroma, dan tekstur, merupakan produk yang disukai oleh konsumen sehingga dapat memberi keuntungan.

Dari masing-masing data tersebut dapat diperoleh yang terbaik, dimana aspek kualitas merupakan prioritas utama dari analisis keputusan karena berhubungan dengan konsumen. Alternatif selanjutnnya akan dilanjutkan dengan analisis finansial.

E. Analisis Finansial

Perhitungan analisis finansial dilakukan untuk produk roti manis dengan perlakuan substitusi tepung labu kuning 30% dan penambahan gliserol monostearat (GMS) 1%.

1. Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi direncanakan tiap hari memerlukan bahan baku tepung terigu dan tepung labu kuning serta bahan penunjang gula, garam, susu skim, shortening, telur, dan ragi/yeast. Tiap hari dihasilkan roti manis sebanyak 20,9 kg. Apabila satu bungkus berisi 209gr roti manis, setiap hari dihasilkan 100 bungkus sroti manis. Satu tahun dihasilkan 6520 kg atau 312.000 bungkus. Data kapasitas produksi lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 10.


(50)

2. Biaya

Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan suatu usaha. Biaya produksi terdiri dari biaya tidak tetap dan biaya tetap. Biaya tetap adalah biaya-biaya yang dalam jangka waktu tertentu tidak berubah mengikuti perubahan tingkat produksi. Biaya tetap bersifat konstan pada relevan range tertentu. Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah sejalan dengan tingkat produksi yang dihasilakan (Susanto, 1994).

Secara singkat total biaya per tahun dari industry roti manis adalah sebagai berikut :

Total Biaya produksi = Biaya tetap + Biaya TidakTetap

= Rp 43,904,913.94 + Rp 288,738,762

= Rp 332,643,675.94

Perincian total biaya produksi tiap tahun dapat dilihat pada lampiran 10.

3. Harga Pokok Biaya

Berdasarkan kapasitas produksi tiap tahun dan biaya produksi tiap tahun, maka dapat diketahui harga tiap kemasan ;

Harga pokok = Total biaya produksi Kapasitas produksi/tahun = Rp. 332,643,675.94

31,200 = Rp 10,661.66


(1)

iv

2. Fermentasi ... 16

3. Pengembangan ... 17

4. Pembentukan ... 17

5. Pemanggangan ... 17

6. Pendinginan ... 18

E. Faktor-faktor yang Berpengaruh Dalam Pembuatan Roti Manis... 18

F. Analisa Keputusan ... 19

G. Analisa Finansial ... 19

1. Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994) ... 19

2. Net Present Value (NPV) ... 20

3. Payback Periode (PP) ... 21

4. Internal Rate Of Return (Susanto dan Saneto, 1994) ... 21

5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto, 1994)... 22

H. Landasan Teori ... 22

I. Hipotesa ... 24

BAB III BAHAN DAN METODE ... 25

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Bahan Penelitian ... 25

C. Alat Penelitian ... 25

D. Metododologi Penilitian ... 26

1. Rancangan Percobaan ... 26

2. Peubah yang digunakan ... 26

3. Parameter yang diamati ... 28

4. Prosedur Penelitian ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Hasil Analisa Bahan Awal ... 32

B. Analisa Produk Roti Manis Labu Kuning ... 33

1. Kadar Air ... 33

2. Kadar Abu ... 34

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

v

3. Kadar Protein ... 36

4. β-Karoten ... 38

5. Volume Pengembangan ... 40

6. Jumlah Pori ... 42

C. Uji Organoleptik ... 44

1. Uji Kesukaan Rasa ... 44

2. Uji Kesukaan Warna ... 46

3. Uji Kesukaan Aroma ... 47

4. Uji Kesukaan Tekstur ... 48

D. Analisis Keputusan ... 51

1. Kapasitas Produksi ... 51

2. Biaya ... 52

3. Harga Pokok Biaya... 52

4. Harga Jual Produksi ... 53

BAB V KESIMPULAN ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 57

LAMPIRAN ... 58

Lampiran ... 58 Daftar Pustaka


(3)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standart Kualitas Roti Manis Secara Nasional...4

Tabel 2. Daftar komposisi tepung terigu per 100 gram bahan...6

Tabel 3. Sifat Fisiko - Kimia Tepung Labu Kuning...8

Tabel 4. Kombinasi Perlakuan Faktor A dan B...27

Tabel 5. Hasil analisis tepung labu kuning...32

Tabel 6. Nilai rata-rata kadar air dari perlakuan substitusi tepung labu...33

Tabel 7. Nilai rata-rata kadar abu dari perlakuan substitusi tepung labu kuning...35

Tabel 8. Nilai rata-rata kadar abu roti manis dengan perlakuan penambahan...35

Tabel 9. Nilai rerata kadar protein dari perlakuan substitusi tepung labu kuning...36

Tabel 10.Nilai rata-rata kadar β-karoten perlakuan substitusi tepung labu kunin...38

Tabel 11.Nilai rata-rata volume pengembangan dari perlakuan substitusi tepung...40

Tabel 12. Perlakuan substitusi tepung labu kuning dan penambahan gliserol……….42

Tabel 13. Nilai ranking uji kesukaan rasa pada roti manis...45

Tabel 14. Nilai ranking uji kesukaan warna roti manis...46

Tabel 15. Nilai rangking uji kesukaan aroma roti manis...48

Tabel 16. Nilai rangking uji kesukaan tekstur roti manis...49

Tabel 17. Hasil Analisa Roti Manis Substitusi Tepung Labu Kuning Dengan...50

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Reduksi Ikatan Disulfida dalam Gliadin dan Glutenin (deMan, 1997)…...…5

Gambar 2. Buah labu kuning (Hendarsti, 2003)……...……...……...…….…...……...…8

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning…...……...……...10

Gambar 4. Struktur Kimia Gliserol Monostearat (GMS) (Bailey's, 1996 )……...…...…11

Gambar 5. Reaksi proses fermentasi (Wahyudi, 2003)...…...……...……...…13

Gambar 6. Reaksi Proses Fermentasi...17

Gambar 7. Diagram Alir Proses Pembuatan Roti Manis (Subarna, 1992)...18

Gambar 8. Reaksi Proses Fermentasi...23

Gambar 9. Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning...29

Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Roti Manis...31

Gambar 11. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan…………34

Gambar 12. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan………..37

Gambar 13. Hubungan antara perlakuan substitusi tepung labu kuning dan…………39

Gambar 14. Hubungan antara substitusi tepung labu kuning dan penambahan……..41

Gambar 15. Hubungan antara substitusi tepung labu kuning dan penambahan……..43


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada roti sudah cukup dikenal di masyarakyat, baik sebagai makanan pengganti nasi maupun sebagai makanan kecil atau selingan. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya berdiri industri roti baik dalam skala rumah tangga maupun industri menengah (Marleen, 2002). Selain roti tawar yang rasanya tawar (plain), juga dikenal roti manis yang dibuat dari adonan yang menggunakan lebih banyak gula, lemak dan telur (Subarna, 1992).

Menurut Arthur (2009), roti manis adalah makanan yang dibuat dari tepung terigu yang diragikan dengan ragi roti dan kemudian dipanggang, dimana ke dalam adonan boleh ditambahkan garam, gula, susu, lemak dan bahan-bahan pelezat seperti kismis, coklat, sukade dan sebagainya.

Kandungan gluten merupakan keunikan tepung terigu yang berperan dalam menentukan kualitas roti. Gluten adalah komponen protein yang mempunyai sifat viskoelastik bila dicampur dengan air, mampu menahan gas yang terbentuk pada saat fermentasi, sehingga volume roti dapat mengembang dan menghasilkan pori-pori yang seragam dibagian dalam roti (Mudjisihono, 1994). Menurut Suhardi (1988), gluten merupakan penyusun utama protein terigu (80-90%), sehingga semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi kadar gluten dan semakin baik kualitas roti yang dihasilkan.

Pada pembuatan roti manis yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kemampuan menghasilkan gas dan kemampuan untuk menahan gas selama fermentasi. Parameter yang menentukan kualitas roti manis adalah volume pengembangan, warna kulit, remah roti dan aroma yang dihasilkan.

Untuk menambah nilai nutrisi pada roti manis, dilakukan substitusi tepung terigu dengan tepung labu kuning. Permasalahan yang timbul dalam pembuatan roti manis dari bahan baku tepung campuran (tepung terigu dan tepung daun kelor) adalah tekstur roti yang keras dan kurang mengembang. Substitusi tepung terigu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

2

dengan tepung campuran yang berlebihan dalam pembuatan roti manis menyebabkan volume roti yang menurun. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menambahkan Gliserol Monostearat (GMS). Menurut Keetels (1995) Gliserol Monostearat (GMS) dapat berinteraksi dengan gluten sehingga menghasilkan penguatan jaringan gluten. Dan Gliserol Monostearat (GMS) bereaksi dengan molekul-molekul amilosa membentuk ikatan kompleks sehingga selama fermentasi gas CO2 tertahan dan adonan menjadi berkembang (Bailey's, 1996). Gliserol Monostearat (GMS) berperan sebagai bahan

surfaktan sehingga dapat memperbaiki sifat fungsional tepung

campuran.(Herudiyanto, dkk, 2002).

Menurut hasil penelitian Suhartini (2006) pada pembuatan roti tawar penambahan gluten 4,5% dengan substitusi tepung terigu : tepung labu kuning (90:10) mendapatkan hasil yang terbaik yaitu memiliki kadar air 17,36%, kadar protein

15,42%, kadar pati 44,74%, kadar β-karoten 8,640 mg/100g, volume pengembangan

234,5% ukuran pori 2,726 mm/cm2, tekstur 0,913 mm/gr.dt dengan uji organoleptic warna 5,45, rasa 205 dan tekstur 5,40. Hasil penelitian Setiowati (2010) menyebutkan bahwa penambahan Gliserol Monostearat (GMS) sebanyak 4% dengan tingkat substitusi tepung bekatul 20% menghasilkan roti tawar dengan kualitas baik dan disukai konsumen.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh substitusi tepung labu kuning dan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) terhadap kualitas roti manis yang dihasilkan. 2. Menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara substitusi tepung labu

kuning dan penambahan Gliserol Monostearat (GMS) sehingga dihasilkan roti manis dengan kualitas baik dan disukai konsumen.

C. Manfaat Penilitian

1. Meningkatkan nilai nutrisi roti manis melalui substitusi tepung labu kuning dalam pembuatan roti manis.

2. Meningkatkan nilai ekonomis tepung labu kuning dengan memanfaatkan dalam pembuatan roti manis.