Analisis Prioritas pada Program Pemeliharaan Jembatan dengan Metode Analytical Hierarchy Process (studi kasus: Pemeliharaan Jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar).

(1)

i TESIS

ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM

PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI

SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)

IDA BAGUS MADE ARTAMANA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i TESIS

ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM

PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI

SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)

IDA BAGUS MADE ARTAMANA NIM 1091561004

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

ii

ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM

PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI

SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Teknik Sipil

Program Pascasarjana Universitas Udayana

IDA BAGUS MADE ARTAMANA NIM 1091561004

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 23 JUNI 2016

Pembimbing I,

Putu Alit Suthanaya, ST., MEngSc., PhD NIP. 19690805 199503 1 001

Pembimbing II,

D.M. Priyantha Wedagama, ST.,MT.,MSc.,PhD. NIP. 19700303 199702 1 005

Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Putu Alit Suthanaya, ST., MEngSc., PhD NIP. 19690805 199503 1 001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001


(5)

iv

Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis

Tesis ini telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : Nomor: 2900/UN.14.4/HK/2016, Tanggal 20 Mei 2016

Ketua : Putu Alit Suthanaya, ST, MEngSc, Ph.D Anggota :

1. D. M. Priyantha Wedagama, ST.,MT., MSc., PhD. 2. Prof. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME, Ph.D 3. Dr. Ir. I Nyoman Budiartha RM., MSc. 4. Dr. Ir. I Wayan Suweda, MSP, MPhil


(6)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : IDA BAGUS MADE ARTAMANA

NIM : 1091561004

PROGRAM STUDI : TEKNIK SIPIL KONSENTRASI TRANSPORTASI JUDUL TESIS : ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM

PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 24 Juni 2016


(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas asung kertha wara nugraha-Nya tesis ini yang berjudul “Analisis Prioritas Pada Program Pemeliharaan Jembatan Dengan Metode Analythical Hierarchy Process (Studi Kasus: Pemeliharaan Jembatan Pada Satker PJN Metropolitan Denpasar” dapat diselesaikan. Terwujudnya hasil penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu disampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bapak Putu Alit Suthanaya, ST, MEng.Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing I dan Bapak D. M. Priyantha Wedagama, ST., MT., MSc., PhD. sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga diucapkan kepada seluruh staff administrasi dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas dukungannya. Terima kasih kepada Ayah dan mendiang Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dan kepada istri tercinta Ida Ayu Gde Kurnia Jayanti, ST.,M.,Si serta ananda tersayang Ida Bagus Erlangga Adityanatha yang dengan penuh perhatian dan pengorbanan memberikan penulis kesempatan berkonsentrasi untuk belajar menyelesaikan tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu diharapkan masukan, baik itu kritik maupun saran sehingga dapat menyempurnakan tesis ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan asung kertha wara nugraha-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan tesis ini, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Denpasar, 24 Juni 2016


(8)

vii

ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE ANALYTICAL HEIRARCHY PROCESS

(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)

ABSTRAK

Untuk menjaga dan mempertahankan kondisi jembatan agar tetap dalam kondisi fungsional, maka diperlukan pemeliharaan jembatan. Permasalahan serius di negara berkembang seperti Indonesia adalah keterbatasan dana dalam alokasi anggaran. Untuk mengatasi minimnya dana yang tersedia, maka diperlukan suatu prioritas dalam penyusunan program pemeliharaan jembatan agar dana yang tersedia dapat teralokasi secara efisien dan tepat sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan struktur hirarki dan menentukan ukuran kuantitatif dari masing-masing kriteria dan subkriteria pada struktur hirarki untuk menyusun skala prioritas dengan mengambil studi kasus di Satker PJN Metropolitan Denpasar.

Penelitian ini menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penyusunan prioritasnya. Data sekunder dikompilasi dari instansi yang terkait antara lain BPJN VIII, Satker PJN Metropolitan Denpasar dan Satker P2JN Provinsi Bali. Berdasarkan data sekunder yang terkumpul dan hasil kajian pustaka termasuk buku-buku dan jurnal, disusun struktur hirarki. Kuesioner digunakan pada pengumpulan data primer untuk mendapatkan nilai perbandingan berpasangan antar kriteria dari struktur hirarki. Kuesioner disebarkan dengan teknik purposive sampling, dengan responden para pakar program pemeliharaan jembatan.

Struktur hirarki yang didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) level. Level-1 adalah tujuan, yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan jembatan, level-2 adalah kriteria dan level-3 merupakan subkriteria yang mempengaruhi kriteria pada level-2. Kriteria yang berpengaruh dalam penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan antara lain: i). kriteria sistem jaringan (subkriterianya yaitu: kondisi jembatan (A1), fungsi jembatan (A2) dan material penyusun bangunan atas jembatan (A3)), ii). kriteria sistem kelembagaan (subkriterianya antara lain biaya pemeliharaan (B1), tertuang dalam renstra (B2) dan sejarah pemeliharaan jembatan (B3)), iii).kriteria sistem tata guna lahan (subkriterianya antara lain: menuju kawasan strategis transportasi (C1), menuju kawasan strategis pariwisata (C2) dan menuju kawasan strategis tempat suci/warisan budaya dan alam (C3)) serta iv).kriteria sistem pergerakan dengan sub kriteria LHR (D1) dan penyempitan jalan (D2).

Bobot pengaruh kuantitatif masing-masing subkriteria A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3, D1 and D2 masing-masing adalah sebagai berikut: 23.74%, 7.05%, 5.01%, 4.13%, 3.87%, 6.39%, 12.40%, 5.22%, 5.38%, 10.61% dan 16.19%. Dari bobot tersebut diperoleh formula perhitungan skor prioritas pemeliharaan jembatan dengan formulasi Y = 23,74A1 + 7,05A2 + 5,01A3 + 4,13B1 + 3,87B2 + 6,39B3 + 12,4C1 + 5,22C2 + 5,38C3 + 10,61D1 + 16,19D2. Dengan hasil 19 jembatan menempati skala prioritas sangat tinggi, 16 jembatan dengan skala prioritas tinggi, 19 jembatan dengan skala prioritas sedang, 15 jembatan dengan skala prioritas rendah dan 17 jembatan dengan skala prioritas sangat rendah.


(9)

viii

PRIORITY ANALYSIS ON BRIDGE MAINTENANCE PROGRAM USING ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS METHOD

(CASE STUDY: BRIDGE MAINTENANCE IN WORK UNIT FOR IMPLEMENTATION OF NATIONAL ROAD IN DENPASAR

METROPOLITAN) ABSTRACT

Bridge maintenance is required to keep the bridge functioned. A main problem faced in developing countries including Indonesia is the financial constraint in budget allocation. To overcome this, a priority analysis is required within bridge maintenance program to allocate funds efficiently and to achieve the program objective effectively. The study aims to analyse a hierarchical structure of the respective quantitative criteria and sub-criteria and to determine priority scales by using a case study in Work Unit for Implementation of National Road in Denpasar Metropolitan.

This study employs Analytical Hierarchy Process (AHP) method to analyse the program priority. Secondary data are collected from the relevant agencies such as BPJN VIII, Work Unit for Implementation of National Road in Denpasar Metropolitan and Work Unit of P2JN for Bali Province. These secondary data and several literatures including books and journals are subsequently considered to construct the hierarchical structure. Questionnaires are used to collect the primary data and to obtain a comparison value between the paired criteria of the hierarchical structure. Questionnaires are distributed by purposive sampling technique and used to interview the experts on bridge maintenance program.

A hierarchical structure drawn for this study consists of three (3) levels. Level-1 describes the goal i.e. the determination of bridge maintenance priority scales. Level-2 consists of the criteria while Level-3 comprises of sub-criteria which in return has an effect on those criteria at L:evel-2. The influential criteria in the preparation of bridge maintenance priority contain i). network system criteria consisting the sub-criteria of bridge conditions (A1), bridge function (A2) and material constituent building over bridges (A3)), ii). institutional criteria systems consisting sub-criteria of maintenance cost (B1), strategic planning (B2) and bridge maintenance history (B3)), iii). land use criteria comprising towards transportation strategic areas (C1), towards tourism strategic areas (C2) and towards sanctuaries/cultural heritage and nature strategic areas (C3)) and iv). system movement criteria taking in sub-criteria of average daily traffic (D1) and road narrowing (D2).

The quantitative weight on each sub-criteria of A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3, D1 and D2 are 23.74%, 7.05%, 5.01%, 4.13%, 3.87%, 6.39%, 12.40%, 5.22%, 5.38%, 10.61% and 16.19% respectively. Using these weights, the equation to determine the bridge maintenance priority is obtained as Y = 23,74A1 + 7,05A2 + 5,01A3 + 4,13B1 + 3,87B2 + 6,39B3 + 12,4C1 + 5,22C2 + 5,38C3 + 10,61D1 + 16,19D2. As the results, 19 bridges occupies the very high priority scale, 16 bridges with high priority scale, 19 bridges on a scale of being priority, 15 bridges with a scale of low priority and 17 bridges with very low priority scale.


(10)

ix DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Jalan dan Klasifikasinya ... 7

2.1.1 Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan... 7

2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya ... 8

2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya ... 8

2.2 Jembatan... 9

2.2.1 Pengertian jembatan ... 9

2.2.2 Klasifikasi jembatan ... 11


(11)

x

2.2.4 Pemeliharaan jembatan ... 16

2.2.5 Penilaian kondisi jembatan ... 17

2.2.6 Panjang dan lebar jembatan ... 19

2.3 Sistem Transportasi Makro ... 20

2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di Provinsi Bali ... 24

2.4.1Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali... 24

2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali .... 25

2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi Bali ... 26

2.5 Analisis Multikriteria ... 29

2.5.1 Penentuan Skala Prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP) ... 33

2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif... 37

2.5.3 Proses-proses dalam metode analytical hierarchy process.. 38

2.5.4 Matrik perbandingan berpasangan... 39

2.5.5 Perhitungan bobot elemen... 40

2.5.6 Perhitungan konsistensi dalam metode AHP...... 41

2.5.7 Penggabungan pendapat responden ... 44

2.5.8 Model matematis penentuan skala prioritas ... 45

2.6 Populasi dan Sampel ... 46

2.6.1 Populasi ... 46

2.6.2 Sampel ... 48

2.6.3 Teknik sampling ... 51

2.6.4 Batasan sampel... 53

2.6.5 Kriteria sampel ... 53

2.6.7 Teknik pengumpulan data... 54

2.7 Kuesioner... 56

2.7.1Masalah-masalah mendasar dalam penyusunan kuesioner 57


(12)

xi

2.7.3 Jenis pertanyaan dalam kuesioner ... 59

2.7.4 Prosedur menyiapkan kuesioner... 61

2.7.5 Skala pengukuran kuesioner... 63

2.8 Penelitian Sebelumnya ... 64

2.8.1 Penelitian Tri Wiyono ... 64

2.8.2 Penelitian Anthony Ompusunggu ... 65

2.8.3 Penelitian I Kadek Sutika ... 66

2.8.4 Kajian terhadap penelitian sebelumnya ... 67

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ... 70

3.1 Kerangka Berpikir ... 70

3.2 Konsep Penelitian ... 72

BAB IV METODE PENELITIAN... 75

4.1 Rancangan Penelitian... 75

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 77

4.2.1 Lokasi penelitian ... 77

4.2.2 Waktu penelitian ... 77

4.3 Penentuan Sumber Data ... 78

4.3.1 Sumber data ... 78

4.3.2 Populasi dan sampel ... 80

4.3.3 Teknik pengambilan sampel ... 82

4.4 Variabel Penelitian ... 83

4.4.1 Penentuan struktur hirarki ... 83

4.4.2 Struktur hirarki penelitian... 84

4.5 Instrumen Penelitian ... 88

4.6 Prosedur Penelitian ... 90

4.6.1 Teknik pengumpulan data primer ... 90

4.6.2 Teknik pengumpulan data sekunder... 93

4.6.2 Pemilihan Metode penelitian ... 94


(13)

xii

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 96

5.1 Pengumpulan Data Sekunder ... 96

5.1.1 Gambaran umum lokasi studi ... 96

5.1.2 Kondisi jembatan di lokasi studi ... 97

5.1.3 Fungsi jembatan di lokasi studi ... 99

5.1.4 Material penyusun bangunan atas jembatan di lokasi studi 101

5.1.5 Biaya pemeliharaan jembatan ... 102

5.1.6 Rencana strategis ... 103

5.1.7 Data sejarah jembatan ... 103

5.1.8 Data lalu lintas harian rata-rata ... 105

5.1.9 Data jembatan yang menjadi penyebab penyempitan jalan 105

5.2 Pengumpulan Data Primer ... 106

5.2.1 Pertanyaan analisis AHP pada Level-2 ... 107

5.2.2.Rekapitulasi jawaban responden pada Level-2 ... 108

5.2.3 Pertanyaan analisis AHP pada Level-3 ... 113

5.2.4 Rekapitulasi jawaban responden pada Level-3A ... 115

5.2.5 Rekapitulasi jawaban responden pada Level-3B ... 118

5.2.6 Rekapitulasi jawaban responden pada Level 3C ... 121

5.2.7 Rekapitulasi jawaban responden pada Level 3D ... 124

5.3 Ukuran Kuantitatif Masing-Masing Kriteria ... 125

5.3.1 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 2 ... 125

5.3.2 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3A... 128

5.3.3 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3B... 131

5.3.4 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3C... 133

5.3.5 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3D... 136

5.3.6 Rekapitulasi ukuran kuantitatif masing-masing kriteria ... 138

5.4 Perhitungan Skor Prioritas Pemeliharaan Jembatan ... 139

5.5 Pengelompokan Skala Prioritas ... 142


(14)

xiii

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 150

6.1 Simpulan ... 150

6.2 Saran ... 152


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan ... 19

Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro... 21

Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria ... 30

Gambar 3.1 Model Struktur Hirarki ... 73

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 76

Gambar 4.2 Struktur Hirarki Penelitian ... 88

Gambar 5.1 Fungsi Jembatan pada Jalan Nasional di Lokasi Studi ... 100

Gambar 5.2 Material penyusun bangunan atas jembatan di Lokasi Studi .. 101


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan ... 12

Tabel 2.2 Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan ... 18

Tabel 2.3 Nilai dan Definisi Pendapat Kuantitatif dalam Skala Perbandingan Saaty... 38

Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen... 40

Tabel 2.5 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan... 41

Tabel 2.6 Konsistensi Matrik... 42

Tabel 2.7 Nilai Random Indek ... 43

Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya ... 67

Tabel 4.1 Struktur Hirarki pada Penelitian Sebelumnya ... 87

Tabel 5.1 Sebaran Jembatan pada Jalan Nasional di Kota Metropolitan Denpasar ... 97

Tabel 5.2 Kondisi Jembatan pada Jalan Nasional di Kota Metropolitan Denpasar ... 98

Tabel 5.3 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-2 ... 112

Tabel 5.4 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3A... 117

Tabel 5.5 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3B... 120

Tabel 5.6 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3C... 123

Tabel 5.7 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3D... 125

Tabel 5.8 Rekapitulasi Hasil Analisis Ukuran Kuantitatif ... 139


(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

PJN = Pelaksanaan Jalan Nasional AHP = Analytical Hierarchy Process BPJN = Balai Pelaksanaan Jalan Nasional

P2JN = Perencanaan dan Pelaksanaan Jalan Nasional Satker = Satuan Kerja

BMS = Bridge Management System DOS = Disk Operating System

GTI = Gelegar Beton Bertulang Indonesia PU = Pekerjaan Umum

KSPN = Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

UNESCO = United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization SK = Surat Keputusan

RMSD = Root Mean Square Deviation MAD = Median Absoolute Deviation LHR = Lalu-lintas Harian Rerata

DIPA = Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran CR = Consistency Ratio

JAP = Jalan Arteri Primer JKP = Jalan Kolektor Primer PKN = Pusat Kegiatan Nasional PKW = Pusat Kegiatan Wilayah

PKSN = Pusat Kegiatan Strategis Nasional RKP = Rencana Kerja Pemerintah

RPJM = Rencana Program Jangka Menengah PP = Peraturan Pemerintah

Sp = Simpang


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A.1 Peta Ruas Jalan Nasional Metropolitan Denpasar ... 157 Lampiran A.2 Peta Jembatan pada Ruas Jalan Nasional Metropolitan

Denpasar ... 158 Lampiran B.1 Data Responden Penelitian ... 159 Lampiran B.2 Kuesioner Penelitian ... 161 Lampiran C.1-1 Data Dasar Jembatan Di Jalan Nasional Kota

Metropolitan Denpasar ... 169 Lampiran C.1-2 Data Kondisi Jembatan Di Jalan Nasional Kota

Metropolitan Denpasar ... 174 Lampiran C.1-3 Data Fungsi Jembatan Di Jalan Nasional Kota

Metropolitan Denpasar ... 177 Lampiran C.1-4 Data Jenis Material Penyusun Bangunan Atas Jembatan 180 Lampiran C.1-5 Data Alokasi Biaya Pemeliharaan Jembatan TA.2015 … 183 Lampiran C.1-6 Data Jembatan Dalam Renstra Jembatan 2015 ……...…. 186 Lampiran C.1-7 Data Umur Jembatan Di Jalan Nasional Kota

Metropolitan Denpasar ... 189 Lampiran C-1.8 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Strategis

Transportasi ………..………… 192

Lampiran C-1.9 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Strategis

Pariwisata ……….……… 196

Lampiran C-1.10 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Tempat

Suci/ Budaya/ Alam ….……… 199 Lampiran C.1-11 Data Lalu Lintas Harian Rata-Rata …….…... 204 Lampiran C-1.12 Data Lebar Jembatan dan Lebar Jalur Lalu Lintas Jalan

Pendekatnya ………...….. 207 Lampiran C.2-1 Penilaian Berpasangan Kriteria AHP pada Level 2 ……. 210 Lampiran C.2-2 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3A 213 Lampiran C.2-3 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3B 215


(19)

xviii

Lampiran C.2-4 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3C . 217 Lampiran C.2-5 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3D 219 Lampiran D.1 Skor Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Satker

PJN Metropolitan Denpasar ……... 221 Lampiran D.2 Susunan Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Satker PJN


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jaringan jalan nasional dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional. Jalan juga membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Jaringan jalan berfungsi baik jika jalan, bangunan-bangunan pelengkap dan perlengkapannya dipelihara dengan baik. Salah satu bangunan pelengkap jalan adalah jembatan.

Jembatan merupakan fasilitas infrastruktur yang vital bagi kelangsungan perkembangan kegiatan sosial dan ekonomi suatu wilayah. Jembatan merupakan bagian sistem transportasi yang menjadi pengontrol kapasitas sistem. Jembatan merupakan struktur paling mahal per kilometer sistem dan keruntuhannya akan menyebabkan keruntuhan sistem transportasi itu sendiri. Pelayanan suatu ruas jalan sangat tergantung pada kemampuan jembatan terlemah yang ada pada jalan tersebut (Supriyadi dan Muntohar, 2007).

Seiring dengan pertambahan usia jembatan maka semakin lemah kondisi pelayanan suatu jembatan. Untuk menjaga dan mempertahankan kondisi jembatan agar tetap dalam kondisi fungsional maka diperlukan pemeliharaan jembatan. Pemeliharaan jembatan terdiri dari pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi dan penggantian jembatan. Pemeliharaan dimaksudkan untuk


(21)

2

memelihara pencapaian umur rencana dan untuk meminimalkan potensi kerusakan jembatan, sehingga dapat memberikan pelayanan yang layak. Sebagai infrastruktur vital yang mahal, maka pemeliharaan jembatan memerlukan biaya yang tidak murah. Permasalahan serius di negara berkembang seperti Indonesia adalah keterbatasan dana dalam alokasi anggaran. Padahal infrastruktur jembatan dibangun dengan investasi tinggi dan sangat berpengaruh terhadap aksesibilitas dan tingkat kesejahteraan suatu daerah. Robohnya Jembatan Mahakam II di Kutai Kartanegara, pada tanggal 26 November 2011 (Kompas, 2011), amblasnya Jembatan Comal di Pemalang, pada 18 Juli 2014 (Tempo, 2014) dan runtuhnya Jembatan Tukad Keladian di Jembrana pada tanggal 23 Januari 2016 (Balipost, 2016), telah mengingatkan betapa pentingnya peranan jembatan dalam sistem jaringan jalan. Untuk mengatasi minimnya dana yang tersedia, maka diperlukan suatu prioritas dalam penyusunan program pemeliharaan jembatan agar dana yang tersedia dapat teralokasi secara efisien dan tepat sasaran.

Sejak tahun 1993, penyelenggara jalan yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Bina Marga telah mengembangkan suatu sistem untuk pemeriksaan, pencatatan, perencanaan, penyelidikan, pembuatan desain, pemeliharaan, pengawasan pelaksanaan konstruksi, suplai serta penyimpanan material jembatan yang disebut Bridge

Management System (BMS) atau Sistem Manajemen Jembatan. Namun sistem ini

belum dapat diterapkan dengan maksimal karena terdapat banyak kendala dalam pengoperasiannya. Menurut Sucipto (2004), BMS memiliki banyak kelemahan sehingga saat ini masih belum dapat sepenuhnya diimplementasikan untuk


(22)

3

pengelolaan jembatan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: tidak terjaganya data histori, tidak mencakup data berupa foto dan gambar, pembaruan data kurang real time, bekerja pada stand-alone computer dengan sistem operasi DOS, dan informasi yang dihasilkan hanya diketahui oleh pengelola jembatan saja. BMS saat ini praktis hanya difungsikan sebagai suatu sistem informasi untuk inventarisasi dan pencatatan pemeriksaan jembatan.

Pada saat ini penyusunan program pemeliharaan jembatan hanya diprioritaskan berdasarkan nilai kondisi jembatan, dimana jembatan yang memiliki nilai kondisi yang tinggi (rusak) akan mendapatkan prioritas utama untuk ditangani. Jika terdapat beberapa jembatan yang rusak dan anggaran terbatas maka akan terjadi permasalahan dalam penentuan prioritas, karena hanya satu kriteria yang dipakai dalam penyusunan prioritas. Menurut Wiyono (2011), selain nilai kondisi jembatan terdapat kriteria lain yang berpengaruh dalam penentuan prioritas pemeliharaan jembatan, seperti tingkat kepadatan lalu lintas, aksesibilitas jembatan, biaya pemeliharaan dan sistem pengadaan barang dan jasa. Ompusunggu (2009), menyebutkan bahwa kriteria finansial, kriteria transportasi, kriteria sosial dan kriteria teknik juga mempengaruhi prioritas pemeliharaan jembatan. Faktor-faktor tersebut bersifat multikriteria sehingga diperlukan suatu metode yang sesuai untuk menganalisis permasalahan yang memiliki aspek multikriteria.

Dari beberapa metode yang umum dipakai dalam analisis multikriteria, metode AHP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode lain salah satu diantaranya yaitu dalam pengukuran yang bersifat kuantitatif, bobot kriteria


(23)

4

(ukuran kuantitatif) dalam metode AHP akan didapat langsung dari hasil analisis, sedangkan pada metode lain bobot kriteria (ukuran kuantitatif) ditetapkan terlebih dahulu sehingga ukuran yang ditetapkan tersebut sebelum dipakai sebagai instrumen/ alat ukur, harus dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terlebih dahulu. Kelebihan tersebut diatas menyebabkan Metode AHP paling tepat digunakan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian akan menggunakan kuesioner dengan teknik purposive sampling. Kuesioner disebarkan kepada responden ahli yang dipilih berasal dari stakeholder yang terkait dengan topik penelitian.

Penelitian ini mengambil studi kasus pada pemeliharaan jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar. Satker PJN Metropolitan Denpasar mengelola jaringan jalan nasional perkotaan yang tersebar di Denpasar, Badung, Gianyar, Buleleng, Klungkung dan Tabanan dengan panjang 215,86 Km, termasuk 86 buah jembatan dengan bentang bervariasi antara enam meter sampai dengan 300 m. Pada satuan kerja ini banyak turun alokasi dana pemeliharaan jembatan yang kurang tepat sasaran, dimana jembatan berkondisi baik malah terprogramkan dan jembatan berkondisi rusak tidak mendapatkan pemeliharaan. Salah satu contohnya adalah Tahun Anggaran 2014, pada unit kerja dimaksud turun anggaran pemeliharaan berkala Jembatan Tukad Mati I dan Tukad Yeh Ge padahal setelah disurvai ke lapangan pada jembatan tersebut hanya memerlukan pemeliharaan rutin saja. Sementara Jembatan Tukad Mati IV dan Jembatan Tukad Udang-Udang yang memerlukan pemeliharaan berkala tidak dialokasikan anggaran pemeliharaan berkala.


(24)

5

Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampai saat ini belum diketahui susunan skala prioritas pemeliharaan jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar, demikian juga hirarki dan ukuran kuantitatifnya. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, maka diperlukan suatu analisis untuk mengetahui susunan prioritas pemeliharaan jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana susunan hirarki dan ukuran kuantitatif dari masing-masing kriteria dan subkriteria yang berpengaruh pada penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP?

2. Bagaimana rumusan matematis hirarki penelitian pada penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP?

3. Bagaimana susunan skala prioritas pemeliharaan jembatan pada Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Kota Metropolitan Denpasar berdasarkan metode AHP?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Menyusun struktur hirarki dan mengetahui ukuran kuantitatif dari masing-masing kriteria dan subkriteria yang berpengaruh pada penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP.


(25)

6

2. Untuk mengetahui rumusan matematis hirarki penelitian pada penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP.

3. Menyusun skala prioritas pemeliharaan jembatan di Jalan Nasional Kota Metropolitan Denpasar berdasarkan metode AHP.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Bagi mahasiswa atau penulis adalah sebagai sarana untuk menerapkan ilmu transportasi yang didapat dalam perkuliahan.

2. Bagi institusi adalah sebagai tambahan untuk memperkaya khasanah penelitian.

3. Bagi pemerintah yang bersangkutan, penelitian ini dapat digunakan sebagai metode alternatif dalam penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan informasi dan masukan pada program-program pemeliharaan jembatan.


(26)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Jalan dan Klasifikasinya

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi bagian-bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

2.1.1Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan jalan menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan nasional.

b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.


(27)

8

2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya

Berdasarkan fungsinya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, mengelompokkan jalan menjadi:

a. Jalan arteri adalah jalan umum sesuai dengan fungsinya sebagai sarana angkutan utama dengan bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan berjarak jauh, berkecepatan rata-rata tinggi, serta jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

b. Jalan kolektor adalah jalan umum dengan fungsinya sebagai sarana angkutan umum yang bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu-lintas dengan asal-tujuan yang berjarak sedang, berkecepatan rata-rata sedang, serta jalan masuk dibatasi.

c. Jalan lokal adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan lokal yang dengan bercirikan sebagai pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah, serta dengan jalan masuk tidak dibatasi.

d. Jalan lingkungan adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan lingkungan yang bercirikan dengan pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah.

2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, berdasarkan statusnya, jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.


(28)

9

a. Jalan nasional adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan fungsinya meliputi jalan arteri atau jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan bisa juga berupa jalan strategis nasional dan/ atau jalan tol.

b. Jalan provinsi adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah provinsi yang sesuai dengan fungsinya meliputi jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota atau antar ibukota kabupaten/ kota dan bisa juga berupa jalan strategis provinsi. c. Jalan kabupaten adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten yang

sesuai fungsinya meliputi jalan lokal dari sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, atau bisa juga jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal sebagai jalan strategis kabupaten.

d. Jalan kota adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kota dalam sistem jaringan jalan sekunder dengan fungsi menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, dan menghubungkan antar pusat permukiman dalam kota.

e. Jalan desa adalah jalan yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar permukiman di dalam kecamatan, serta jalan lingkungan.

2.2 Jembatan

2.2.1Pengertian jembatan

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jembatan adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang


(29)

10

menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun/ menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan, jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.

Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan struktur bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan. Jembatan dibangun untuk dapat digunakan minimum 50 tahun. Ini berarti, disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik.

Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatif besar, jembatan yang dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah. Pada saat pelaksanaan


(30)

11

konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang telah ditentukan.

2.2.2 Klasifikasi jembatan

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), tipe jembatan diidentifikasi berdasarkan tipe bangunan atas, bahan dan asal bahan bangunan. Secara lengkap kode klasifikasi jembatannya disajikan pada Tabel 2.1. Dalam tabel tersebut terdapat tiga kolom antara lain kolom tipe bangunan atas, kolom bahan dan kolom asal bahan bangunan. Pada kolom pertama terdapat kode-kode dan keterangan mengenai tipe bangunan atas jembatan, pada kolom berikutnya tentang kode-kode dan keterangan dari bahan penyusun jembatan dan pada kolom ketiga terdapat kode-kode dan keterangan tentang asal bahan bangunan. Tabel tersebut tidak dihubungkan paralel dari kiri ke kanan, namun pembacaannya disesuaikan dengan jembatan yang ditinjau atau direncanakan. Sebagai contoh: misalkan suatu jembatan memiliki bangunan atas gelagar (G), bahannya adalah beton (T) dan asal bahan bangunannya adalah dari Indonesia (I) maka jembatan tersebut diidentifikasi sebagai Jembatan GTI (Gelagar Beton Indonesia). Sistem klasifikasi ini digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mengklasifikasikan jembatan pada program BMS.


(31)

12

Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan

A Gorong-gorong pelengkung A Aspal A Australia B Gorong-gorong persegi B Baja B Belanda (Lama)

Y Gorong-gorong pipa U Lantai baja gelombang C Karunia Berca Indonesia C Kabel Y Pipa baja diisi beton D Belanda (lama)

T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika D Flat slab P Beton prategang G Cigading H Pile slab T Beton bertulang I Indonesia P Pelat E Neoprene/ karet K Bukaka V Voided F Teflon R Austria E Pelengkung G Bronjong dan sejenisnya T Transbakrie F Ferry J Alumunium U United Kingdom

(Callender Hamilton) G Gelagar K Kayu W Bailley/ Acrow M Gelagar komposit M Pasangan batu H Adhi Karya O Gelagar boks S Pasangan bata J Jepang U Gelagar tipe U O

Tanah biasa/ lempung/

timbunan P PPI

L Balok pelengkung R Kerikil/ pasir Y Wijaya Karya N Rangka semi permanen X Bahan asli X Tidak ada struktur R Rangka V PVC M Amarta Karya S Rangka sementara N Geotextile L Lain-lain K Lintasan kereta api W Macadam

W Lintasan basah H Pasangan batu kosong X Lain-lain L Lain-lain

Bahan

TBA (Tipe Bangunan Atas) ABA (Asal Bahan Bangunan)

Sumber: Departemen PU (1993)

Sedangkan menurut Zainuddin (2013), jembatan dapat diklasifikasikan menurut fungsi, material, bentuk struktur atas dan lama waktunya digunakan. Menurut fungsinyajembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan jalan raya berfungsi menghubungkan jalan raya. b) Jembatan jalan rel berfungsi menghubungkan jalan rel.

c) Jembatan untuk talang air/ waduk berfungsi sebagai talang air/ waduk. d) Jembatan untuk penyeberangan (pipa air, minyak, gas,pedestrian, dll). Menurut materialnya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan bambu. b) Jembatan kayu.


(32)

13

c) Jembatan beton bertulang (konvensional maupun prategang). d) Jembatan baja (gelagar maupun rangka).

e) Jembatan komposit.

f) Jembatan pasangan batu kali/ bata.

Menurut bentuk struktur atasyang digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat.

c) Jembatan pelengkung/ busur. d) Jembatan rangka.

e) Jembatan gantung. f) Jembatan cable stayed.

Menurut lama waktu digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan sementara/ darurat: jembatan yang penggunaannya hanya bersifat sementara yakni menunggu hingga selesainya pekerjaan pembangunan jembatan permanen diresmikan/ digunakan. Jembatan darurat ini dapat berupa: jembatan kayu.

b) Jembatan semi permanen: jembatan sementara yang dapat ditingkatkan menjadi jembatan permanen, misalnya dengan cara mengganti lantai jembatan dengan bahan/ material yang lebih baik (kuat) dan awet, sehingga kapasitas serta umur jembatan menjadi bertambah baik, misalnya Jembatan Semi Permanen Australia.


(33)

14

c) Jembatan permanen: jembatan yang penggunaannya bersifat permanen serta mempunyai umur rencana, misalnya: jembatan baja, jembatan beton bertulang, jembatan komposit.

2.2.3Struktur jembatan

Menurut Zainuddin (2013), struktur jembatan adalah kesatuan antara elemen-elemen konstruksi yang dirancang dari bahan konstruksi yang bertujuan menerima beban-beban di atasnya baik berupa beban primer, sekunder, khusus dan beban lainnya untuk diteruskan/ dilimpahkan hingga ke tanah dasar. Secara umum konstruksi jembatan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:

a) Bangunan atas.

Bangunan atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan hingga ke perletakan, sedangkan lantai jembatan adalah bagian jembatan yang langsung menerima beban lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis bangunan atas jembatan pada umumnya ditentukan berdasarkan:

i. Bentang yang sesuai dengan perlintasan jalan, sungai atau keadaan lokasi jembatan.

ii. Panjang bentang optimum untuk menekan biaya konstruksi total.

iii. Pertimbangan yang terkait pada pelaksanaan bangunan-bangunan bawah dan pemasangan bangunan atas untuk mencapai nilai yang ekonomis. iv. Pertimbangan segi pandang estetika.

Bangunan atas terdiri atas: gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan, struktur lantai jembatan/ kendaraan, pertambatan arah melintang dan memanjang..


(34)

15

b) Bangunan bawah.

Bangunan bawah sebuah jembatan adalah bagian dari elemen-elemen struktur yang dirancang untuk menerima beban konstruksi di atasnya dan dilimpahkan langsung (berdiri langsung) pada tanah dasar atau bagian-bagian konstruksi jembatan yang menyangga jenis-jenis yang sama dan memberikan jenis reaksi yang sama pula. Bangunan bawah terdiri atas: pondasi yaitu bagian-bagian dari sebuah jembatan yang meneruskan beban-beban langsung ke tanah dasar/ lapisan tanah keras, Bangunan bawah (pangkul jembatan/ abutmen, pilar) yaitu bagian-bagian dari sebuah jembatan yang memindahkan beban-beban dari perletakan ke pondasi dan biasanya juga difungsikan sebagai bangunan penahan tanah. Analisa struktur bawah ini harus dipertimbangkan mampu menahan semua gaya-gaya yang bekerja, begitu pula tinjauan terhadap stabilitas sehingga aman terhadap penggulingan dan penggeseran dengan angka keamanan yang cukup serta daya dukung tanahnya masih dalam batas yang diijinkan.

c) Jalan pendekat (oprit)

Oprit adalah jalan yang menghubungkan antara ruas jalan dengan struktur jembatan, atau jalan yang akan masuk ke jembatan. Oprit merupakan timbunan material pilihan, biasanya berupa agregat yang berada di belakang abutment yang dipadatkan sedemikian rupa untuk menghindari penurunan.

d) Bangunan pengaman

Bangunan pengaman adalah bangunan yang diperlukan untuk mengamankan jembatan terhadap lalu lintas darat, lalu lintas air, penggerusan, dll.


(35)

16

2.2.4Pemeliharaan jembatan

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.13/PRT/M/2011 tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, berdasarkan tingkat dari kerusakan suatu jembatan (nilai kondisi jembatan) maka pemeliharaan bangunan pelengkap jalan termasuk didalamnya jembatan antara lain terdiri dari:

a) Pemeliharaan rutin

Pemeliharaan rutin dilakukan sepanjang tahun dan meliputi kegiatan: pembersihan secara umum, pembuangan tumbuhan liar dan sampah, pembersihan dan pelancaran drainase, perbaikan ringan, pengecatan sederhana dan pemeliharaan permukaan lantai kendaraan.

b) Pemeliharaan berkala

Pemeliharaan berkala dilakukan secara berkala meliputi kegiatan: pengecatan ulang, pelapisan permukaan aspal, penggantian lantai, penggantian kayu pada jalur roda kendaraan, pembersihan jembatan secara mendetail, penggantian siar muai (expansion joints), penggantian baut, penggantian elemen-elemen sekunder/ kecil, perbaikan sandaran tangan (hand railings), perbaikan pagar pengaman (guardrails), perbaikan patok pengarah (guide posts), menjaga berfungsinya bagian-bagian yang bergerak (perletakan/ landasan, siar muai), perkuatan elemen struktur sekunder, perbaikan tebing pada jalan pendekat dan perbaikan aliran sungai di dekat bangunan pelengkap jalan.

c) Rehabilitasi

Rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan berat lantai kendaraan (sistem lantai), perbaikan berat bangunan atas (struktur beton, baja, dan kayu), perbaikan


(36)

17

berat bangunan bawah, perkuatan struktur bangunan pelengkap jalan dan pemeliharaan tanggap darurat.

d) Penggantian/ rekonstruksi

Penggantian/ rekonstruksi merupakan kegiatan penggantian seluruh atau sebagian komponen bangunan pelengkap jalan tanpa meningkatkan kapasitas bangunan pelengkap jalan.

2.2.5 Penilaian kondisi jembatan

Dalam rangka pemeliharaan jembatan perlu dilakukan pemeriksaan secara rutin dan periodik. Jika didapatkan suatu kerusakan perlu dilanjutkan dengan penyelidikan yang mendalam dalam rangka evaluasi, apakah perlu dilakukan tindakan perbaikan, perkuatan atau penggantian, agar jembatan tetap berfungsi sebagimana mestinya. Pemeriksaan secara detail dilaksanakan untuk menilai secara akurat kondisi suatu jembatan. Semua komponen dan elemen jembatan diperiksa dan kerusakan-kerusakan yang berarti dikenali dan didata. Untuk tujuan pemeriksaan detail dan evaluasi dari kondisi jembatan secara menyeluruh, struktur jembatan dibagi atas hirarki elemen yang terdiri atas 5 level, tertinggi adalah level1, yaitu jembatan itu sendiri, dan level terendah adalah level 5, yaitu elemen kecil secara individual dan bagian-bagian jembatan (Departemen PU, 1993). Setelah elemen yang rusak dan bentuk kerusakan telah dicatat, nilai kondisi diberikan. Sistem penilaian elemen yang rusak terdiri atas serangkaian pertanyaan yang berjumlah 5 mengenai kerusakan yang ada. Setiap nilai diberi angka 1 dan 0, sehingga subjektifitas selama pemeriksaan dapat diminimalkan dan penilaian lebih konsisten.diberikan kepada elemen sesuai dengan kerusakan yang ada pada


(37)

18

setiap level hirarki jembatan,mulai dari level terendah yaitu level 5 sampai dengan level tertinggi yaitu level 1 yang merupakan jembatan secara keseluruhan, elemen atau kelompok elemen dinilai dengan diberikan suatu Nilai Kondisi antara 0 (nol) dan 5 (lima), angka-angka tersebut mewakili jumlah dari kelima nilai yang ditentukan menurut kriteria yang diberikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan

Nilai Kriteria Nilai Kondisi

Struktur (S) Berbahaya Tidak Berbahaya

1 0 Kerusakan (R) Parah

Tidak Parah

1 0 Kuantitas (K) Lebih dari 50 %

Kurang dari 50 %

1 0 Fungsi (F) Elemen tidak berfungsi

Elemen masih berfungsi

1 0 Pengaruh (P) Mempengaruhi elemen lain

Tidak mempengaruhi elemen lain

1 0 Nilai Kondisi (NK) NK = S+R+K+F+P 0 s/d 5 (Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1993)

Setelah penilaian elemen pada tingkat5, 4 atau 3, Nilai Kondisi untuk elemen pada levelyang lebih tinggi dalam hirarki ditentukan dengan cara mengevaluasi sejauh mana kerusakan dalam elemen pada tingkatan yang lebih rendah berpengaruh terhadap elemen pada tingkatanyang lebih tinggi, apakah elemen ini dapat berfungsi dan apakah elemen lain pada tingkatan yang lebih tinggi dipengaruhi oleh kerusakan-kerusakan tersebut, sehingga diperoleh Nilai Kondisi Jembatan pada tingkatan1.


(38)

19

2.2.6 Panjang dan lebar jembatan

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), lebar jalur lalu lintas pada jembatan harus sama dengan lebar jalur lalu lintas pada bagian ruas jalan di luar jembatan, khusus untuk fungsi jalan arteri, lebar badan jalan pada jembatan harus sama dengan lebar badan jalan pada bagian ruas jalan di luar jembatan. Standar lebar lajur lalu-lintas untuk jalan sedang minimal adalah 2x3,5 meter. Lebar jembatan secara total merupakan gabungan antara lebar jalur lalu-lintas dan lebar trotoar.

Panjang jembatan diukur dari ujung expansion joint ke expansion joint lainnya. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), jembatan merupakan bangunan pelengkap jalan yang memiliki panjang di atas 2 (dua) meter. Namun dalam survei dan pemeriksaannya dibatasi mulai panjang minimum 6 (enam) meter untuk memudahkan pelaksanaan survei.

Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan Sumber: Departemen PU, (1993)


(39)

20

2.3 Sistem Transportasi Makro

Menurut Tamin (2008), sistem transportasi makro dibentuk oleh sistem transportasi yang lebih kecil atau disebut dengan sub sistem. Dari gambar dibawah, dapat dijelaskan sistem transportasi makro dibentuk oleh tiga sub sistem tranportasi mikro yaitu sub sistem kegiatan atau sub sistem tata guna lahan, sub sistem jaringan, dan sub sistem pergerakan. Ketiga sub sistem tersebut akan berinteraksi dan dikendalikan oleh sub sistem kelembagaan. Dalam tata guna lahan, suatu lahan akan memiliki peruntukan untuk kegiatantertentu. Peruntukan lahan untuk kegiatan tertentu dalam sistem transportasi makro merupakan bagian dari sub sistem tata guna lahan atau sub sistem kegiatan sebagai sub sistem yang pertama,sub sistem ini merupakan sub sistem yang berbasis lokasi/ wilayah. Pada sisi lain bahwa pergerakan lalu lintas disebabkan oleh proses pemenuhan kebutuhan, dan telah kita ketahui bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan kita pada suatu lahan tertentu. Pergerakan dari suatu lahan ke lahan yang lain akan memerlukan sarana transportasi (moda transportasi) dan tempat bergeraknya sarana transportasi (moda transportasi) tersebut akan memerlukan media (prasarana) transportasi. Prasarana yang diperlukan untuk bergeraknya moda transportasi merupakan sub sistem yang kedua yang disebut sub sistem jaringan. Sedangkan sub sistem yang ketiga adalah moda transportasi tersebut yang disebut sebagai sub sistem pergerakan yang berbasis sarana. Jika dijelaskan dalam suatu gambar maka menurut Tamin (2008), interaksi sistem transportasi makro dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(40)

21

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), sistem transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sistem Kegiatan (Transport Demand)

b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/ Transport Supply) c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/ Traffic)

d. Sistem Kelembagaan.

Setiap penggunaan tanah atau sistem kegiatan akan mempunyai suatu tipe kegiatan tertentu yang dapat “memproduksi” pergerakan (trip production) dan dapat “menarik” pergerakan (trip attraction). Sistem tersebut dapat merupakan suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use)

Sub Sistem Tata Guna

Lahan

Sub Sistem Jaringan

Sub Sistem Pergerakan

Sub Sistem Kelembagaan

Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin (2008)


(41)

22

seperti sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh penggunaan tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan erat dengan jenis/ tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/ atau barang, jelas membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal sebagai Sistem Jaringan, meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan laut.

Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/ atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/ atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/ sedang di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas


(42)

23

dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya. Pada akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada. Ketiga sistem transportasi mikro ini saling berinteraksi satu sama lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro. Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut:

I. Sistem Kegiatan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten/ Kota.

II. Sistem Jaringan: Kementerian Perhubungan, Balai Lalu-lintas Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas Perhubungan Kabupaten/ Kota, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, Satker Pelaksanaan Jalan, Dinas PU Provinsi, serta Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota.


(43)

24

III. Sistem Pergerakan: Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI melalui Direktorat Lalu Lintasnya.

Bappenas, Bappeda, dan Pemda berperanan penting dalam menentukan sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan, regional maupun sektoral. Kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Bina Marga). Sistem Pergerakan diatur oleh Kementerian Perhubungan dan dinas-dinas perhubungan di daerah, Kepolisian melalui direktorat lalu lintasnya, masyarakat sebagai pemakai jalan (road user) dan lain-lain. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum yang baik. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan, sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkan secara tuntas dan jelas memerlukan pemeliharaan yang serius.

2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di Provinsi Bali

2.4.1 Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali

Menurut PP Nomor 51 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, disebutkan bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan) Kawasan Strategis Pariwisatan Nasional (KSPN). Dari 88


(44)

25

(delapan puluh delapan) buah KSPN tersebut 11 (sebelas) diantaranya terdapat di Provinsi Bali. Kesebelas KSPN yang terletak di Provinsi Bali tersebut antara lain: a. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya.

b. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan Sekitarnya. c. KSPN Bali Utara/ Singaraja dan sekitarnya. d. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya.

e. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya. f. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya.

g. KSPN Bedugul dan sekitarnya. h. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya. i. KSPN Ubud dan sekitarnya.

j. KSPN Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya. k. KSPN Menjangan, Pemuteran dan sekitarnya.

2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali

Menurut Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, sistem jaringan transportasi di Provinsi Bali terdiri dari sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara. Kawasan strategis sistem jaringan transportasi nasional di Provinsi Bali antara lain:

a) Pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Gilimanuk di Jemberana dan Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem.

b) Terminal Type A yaitu Terminal Mengwi di Kabupaten Badung

c) Pelabuhan laut utama yaitu Pelabuhan Benoa di Denpasar, Pelabuhan Celukan Bawang di Buleleng dan Pelabuhan Tanah Ampo di Kabupaten Karangasem.


(45)

26

d) Bandar Udara (Bandara) Internasional yaitu Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai di Kabupaten Badung.

e) Terminal Barang (Cargo) Ubung di Kota Denpasar.

2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi Bali

Menurut Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 kawasan tempat suci yang ada di Provinsi Bali meliputi radius kesucian Pura Kahyangan baik Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan maupun Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura kahyangan yang terletak di lokasi studi antara lain:

a) Pura Kahyangan Jagat di Kota Denpasar antara lain: 1. Pura Griya Tanah Kilap di Kelurahan Pemogan. 2. Pura Prapat Nunggal di Kelurahan Pedungan. 3. Pura Dalem Pangembak di Kelurahan Sanur. 4. Pura Candi Narmada di Kelurahan Pemogan. 5. Pura Sakenan di Desa Serangan.

b) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Badung 1. Pura Uluwatu di Desa Pecatu.

2. Pura Padedekan di Desa Mengwi.

3. Pura Dalem Puri Puserjagat di Desa Sobangan. 4. Pura Pucak Mangu di Desa Tinggan.


(46)

27

6. Pura Dalem Solo di Desa Sedang.

7. Pura Pucak Gegelang di Desa Nungnung. 8. Pura Hyang Api di Desa Samuan.

9. Pura Kancing Gumi di Desa Sulangi. 10.Pura Bukit Sari Sangeh di Desa Sangeh. 11.Pura Taman Ayung di Mengwi

c) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Gianyar 1. Pura Gunung Raung di Desa Taro. 2. Pura Samuan Tiga di Bedulu. 3. Pura Erjeruk di Desa Sukawati. 4. Pura Masceti di Desa Medahan. 5. Pura Gunung Kawi di Desa Sebatu. 6. Pura Dalem Pingit di Desa Sebatu. 7. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya. 8. Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng. 9. Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng. 10.Pura Kebo Edan di Desa Pejeng. 11.Pura Gua Gajah di Desa Bedulu.

12.Pura Pangukur-ukuran di Desa Pejeng Kelod. 13.Pura Selukat di Desa Keramas.

14.Pura Bukit Jati di Desa Samplangan. 15.Pura Bukit Darma di Desa Buruan.


(47)

28

d) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan 1. Pura Tambawaras di Desa Sangketan. 2. Pura Muncaksari di Desa Sangketan. 3. Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede 4. Pura Batu Belig di Desa Rijasa.

5. Pura Besikalung di Desa Jati Luwih. 6. Pura Teratai Bang di Desa Candi Kuning. 7. Pura Tanah Lot di Desa Beraban.

8. Pura Luhur Serijong di Desa Batu Lumbang. 9. Pura Luhur Natar Sari di Desa Apuan. 10.Pura Pucak Geni di Desa Cau Belayu.

e) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Klungkung 1. Pura Dasar Buana di Desa Gelgel.

2. Pura Segara Watuklotok di Desa Tojan. 3. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan. 4. Pura Penataran Peed di Desa Ped. 5. Pura Goa Giri Putri di Desa Suana. 6. Pura Segara Peed di Desa Ped. 7. Pura Taman Peed di Desa Ped.

8. Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat 127 cagar budaya di Indonesia namun belum satupun yang ditetapkan di Provinsi


(48)

29

Bali. Namun UNESCO pada tahun 2011, melalui Surat Identifikasi No.1194 Tahun 2011 mencatat Kawasan Persawahan dan Subak Jati Luwih di Tabanan sebagai Cagar Budaya Dunia. Terdapat beberapa cagar alam dan taman nasional di Provinsi Bali. Menurut SK Menteri Pertanian RI Nomor: 716/Kpts/Um/9/74, 29 September 1974 terdapat Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan seluas 1.762,80 Ha dan Cagar Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kabupaten Badung seluas 10 Ha. Menurut SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret 1978 di Bali juga ditetapkan sebuah taman nasional yaitu Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Jemberana dan Buleleng.

2.5 Analisis Multikriteria

Menurut Tamin (2008), analisis ini menggunakan persepsi stakeholders terhadap kriteria atau peubah yang dibandingkan dalam pengambilan keputusan. Analisis multikriteria memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan proses pengambilan keputusan informal yang saat ini digunakan antara lain:

i. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak berkepentingan.

ii. Peubah atau kriteria yang digunakan dapat lebih luas, baik kuantitatif maupun yang kualitatif.

iii. Pemilihan peubah tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah jika dianggap tidak sesuai.

iv. Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak terkait yang dilibatkan (stakeholders).


(49)

30

v. Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan keputusan, diantara para penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan masyarakat luas.

Konsep yang dikembangkan dalam analisis multikriteria adalah:

i. Analisis sudah mempertimbangkan semua peubah secara komprehensif dengan tetap menjaga proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan.

ii. Banyak faktor yang harus dipertimbangkandan kepentingan pihak yang harus diakomodasi.

iii. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan dengan mengembangkan sejumlah tujuan dengan mengembangkan sejumlah kriteria yang terukur.

iv. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu. v. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.

Menurut Tamin (2008), pendekatan analisis multikriteria dapat direpresentasikan seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria Sumber: Tamin (2008).

Tahapan kegiatan pengambilan keputusan dalam analisis multikriteria , secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

Usulan Pemeliharaan

Kriteria Penilaian

Analisis Multikriteria

Prioritas Pemeliharaan


(50)

31

a) Indikasi jumlah alternatif pemeliharaan yang akan dipilih.

b) Meninjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika kinerja suatu alternatif sama atau lebih baik untuk semua kriteria terhadap alternatif lainnya.

c) Melakukan pembobotan dengan menggunakan matriks pair wise comparison. d) Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap

kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.

e) Mengalikan bobot setiap kriteria dengan skor kinerja alternatif pada kriteria tersebut.

f) Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapatkan nilai total suatu alternatif

g) Meranking nilai tersebut sehingga didapatkan prioritas alternatif.

Tingkat kepentingan setiap kriteria diperoleh dari proses wawancara dengan mencari persepsi dari berbagai stakeholder. Stakeholder yang diambil adalah pada tingkat pengambil keputusan dari instansi terkait. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner dimana stakeholder diminta untuk mengurutkan kriteria yang ada, mulai dari yang paling penting sampai dengan kriteria yang tingkat kepentingannya paling rendah. Dari hasil wawancara tersebut maka kemudian dapat ditentukan bobot dari setiap kriteria.

Salah satu model pendukung keputusan multikriteria dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model tersebut disebut Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP menguraikan masalah multi faktor atau multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah


(51)

32

permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, subkriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis (Saaty, 1986).

Menurut Muslich (2009), metode lain dalam pengambilan keputusan dalam situasi multikriteria antara lain:

1. Metode timbangan.

Metode timbangan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kriteria/ pertimbangan yang dapat diukur dan dapat juga dipergunakan untuk kriteria/ pertimbangan yang memiliki ukuran yang sama. Langkah-langkah dari metode ini adalah dengan memberikan skor sebagai timbangan dari masing-masing kriteria/ pertimbangan, sebagai ukuran kuantitatif yang harus dipenuhi. Kelemahan dari metode ini adalah apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabilitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut.

2. Metode minimisasi penyimpangan.

Metode ini adalah suatu metode untuk menyelesaikan situasi permasalahan dimana masing-masing kriteria/ pertimbangan memiliki ukuran kuantitatif dengan skor yang sama. Seperti halnya dengan metode timbangan kelemahan dari metode ini apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka


(52)

33

ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabelitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut

3. Metode eleminasi.

Metode ini digunakan pada situasi masalah dengan tujuan/ kriteria yang tidak dapat dinyatakan secara kuantitatif tetapi masing-masing kriteria/ pertimbangan telah dirumuskan urutan prioritasnya secara kualitatif, jadi pada metode ini urutan prioritas merupakan tingkat skala prioritas yang diukur secara kualitatif.

2.5.1 Penentuan skala prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP)

Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP, menurut Saaty (1986), dijelaskan pula beberapa prinsip dasar metode AHP yaitu:

1. Dekomposisi.

Setelah mendefinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil kecilnya.

2. Comparative Judgment.

Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.

3. Synthesis of Priority.

Dari setiap matriks pairwise comparison, vektor eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk


(53)

34

melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.

4. Logical Consistency.

Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Beberapa keuntungan menggunakan metode AHP sebagai alat analisis adalah: i. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk

beragam persoalan yang tak berstruktur.

ii. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persolan kompleks.

iii. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

iv. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah eleman-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

v. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

vi. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

vii. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap alternatif.


(54)

35

viii. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

ix. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif dari penilaian yang berbeda-beda.

x. Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui pengulangan.

AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya, menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit usaha dan permasalahan kompleks lainnya.

Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang


(55)

36

memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan antara lain sebagai berikut:

1) Level 1 : Fokus/ sasaran/ goal 2) Level 2 : Faktor/ kriteria 3) Level 3 : Alternatif/ subkriteria

Menurut Saaty (1986), Struktur hirarki dalam metode AHP, terlebih dahulu dengan merumuskan tujuan yang akan dicapai, dilanjutkan dengan penentuan kriteria serta alternatif yang memungkin untuk dilakukan. Kriteria yang menempati hirarki pada metode AHP harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

a. Lengkap: bahwa kriteria harus mencakup semua aspek yang penting, yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.

b. Operasional: setiap kriteria harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan, sehingga benar-benar dapat menghayati terhadap alternatif yang ada.

c. Tidak berlebihan: bahwa setiap kriteria pada dasarnya tidak boleh memiliki pengertian yang sama atau tumpang tindih.

Sedangkan kelemahanmetode AHP adalah: ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Beberapa contoh aplikasi Analytical Hierarchy Process antara lain untuk membuat suatu set alternatif, perencanaan, merancang sistem, menentukan prioritas, memilih kebijakan terbaik


(56)

37

setelah menemukan satu set alternatif, alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem dan menentukan kebutuhan/ persyaratan.

2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif

Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yaitu membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif.

Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif). Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya berdasarkan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.


(1)

64

2. Semantik Deferential

Adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap/ karakteristik seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinue yang jawabannya sangat positifnya paling kanan dan sangat negatifnya paling kiri.yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya.

3. Rating Schale

Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.

4. Skala Likert

Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.

2.8 Penelitian Sebelumnya 2.8.1 Penelitian Tri Wiyono

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dengan judul penelitian: Sistem Penentuan Prioritas Penanganan Pemeliharaan Jembatan di Kabupaten Karanganyar. Tahapan penelitian meliputi; menentukan kriteria dan subkriteria yang menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas penanganan jembatan, melakukan pembobotan kriteria dan subkriteria dengan metode Proses Hirarki


(2)

65

Analisis, membuat sistem pendukung keputusan menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel 2007 untuk menentukan urutan prioritas penanganan pemeliharaan jembatan. Berdasarkan hasil studi literatur dan diskusi/ wawancara terhadap 11 stakeholder digunakan lima kriteria dalam menentukan prioritas penanganan jembatan antara lain sebagai berikut:

1. Kondisi kerusakan komponen jembatan. 2. Tingkat kepadatan lalu lintas.

3. Aksesibilitas jembatan. 4. Biaya penanganan.

5. Sistem pengadaan barang dan jasa.

Subkriteria yang digunakan oleh Wiyono dalam penelitiannya adalah: 1. Memerlukan penanganan.

2. Tidak memerlukan penanganan.

2.8.2 Penelitian Anthony Ompusunggu

Penelitian ini berjudul Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Jalan Pantura Jawa Timur. Penelitian ini dimulai dari penentuan variabel-variabel/ kriteria-kriteria yang berpengaruh dalam penentuan skala prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan sintesa kajian yang dipertegas oleh resonden expert. Kemudian dilakukan pemilihan alternatif jembatan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dengan menggunakan alat analisa multivariabel yaitu AHP. Tahap selanjutnya dilakukan analisis sensitifitas untuk mengetahui kemapanan kriteria yang digunakan dalam penelitian ini guna menentukan alternatif jembatan dalam


(3)

66

program pemeliharaan. Adapun kriteria dan subkriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kriteria financial dengan subkriteria budget/ anggaran dan efisiensi biaya. 2. Kriteria transportasi dengan subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan

jalan alternatif.

3. Kriteria sosial dengan subkriteria jumlah penduduk.

4. Kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan.

2.8.3 Penelitian I Kadek Sutika

Pada Tahun 2010, I Kadek Sutika membuat suatu penelitian yang bertopik Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Ruas-Ruas Jalan Provinsi di Provinsi Bali dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur hirarki yang didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 level. Level-1 ditempati oleh tujuan, yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan ruas-ruas jalan, sedangkan pada level-2 ditempati kriteria dan level-3 subkriteria. Adapun kriteria dan subkriteria yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:

1. Sistem kelembagaan, dengan subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang.

2. Sistem jaringan, dengan subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan.

3. Sistem tata guna lahan dengan empat subkriteria antara lain keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan


(4)

67

keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci.

4. Sistem pergerakan dipengaruhi oleh subkriteria LHR Jalan.

2.8.4 Kajian pustaka terhadap kriteria penelitian sebelumnya

Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat diperoleh gambaran hirarki yang telah digunakan dalam penelitian sejenis yang pernah dilaksanakan dengan obyek penelitian yang berbeda. Struktur hirarki tersebut dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk penyusunan hirarki pada penelitian ini. Struktur hirarki tersebut antara lain kriteria dan subkriteria pada penelitian sebelumnya. Pada Tabel 2.8 dapat dilihat perbandingan kriteria pada penelitian sebelumnya.

Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya

Sutika Ompusunggu Wiyono

Sistem Jaringan Teknik Kondisi kerusakan komponen jembatan.

Sistem Tata Guna Lahan Aksesibilitas jembatan.

Sistem Pergerakan Transportasi Tingkat kepadatan lalu lintas. Sosial

Sistem Kelembagaan Financial Biaya penanganan.

Sistem pengadaan barang dan jasa. Sumber: Pengolahan Data, 2016.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ketiga peneliti menggunakan kriteria yang memiliki pemahaman yang sama satu sama lainnya. Sutika menyebut kriterianya dengan sistem jaringan yang terdiri dari subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan, sementara Ompusunggu menyebutnya dengan kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan. Pada penelitian lain, Wiyono menyebut kriteria ini sebagai kriteria kondisi kerusakan jembatan yang pada


(5)

68

prinsipnya memiliki pemahaman yang sama dengan kriteria sistem jaringan oleh Sutika maupun kriteria teknik oleh Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem jaringan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem jaringan dari Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.

Sutika menyebut kriterianya yang kedua sebagai kriteria sistem tata guna lahan yang merupakan perwujudan dari empat subkriteria antara lain keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci. Sementara Wiyono untuk kriteria ini menyebutnya dengan aksesibilitas jembatan dalam menghubungkan suatu tata guna lahan. Ompusunggu tidak memiliki kriteria yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika dan Wiyono ini. Dari kedua kriteria tersebut kriteria sistem tata guna lahan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem tata guna lahan dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.

Kriteria selanjutnya dari Sutika adalah kriteria sistem pergerakan yang merupakan perwujudan dari subkriteria lalu-lintas harian rata-rata. Pada penelitian Ompusunggu, kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria transportasi yang


(6)

69

merupakan perwujudan tiga subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan jalan alternatif. Kriteria ini juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria social dalam penelitian Ompusunggu, karena faktor social tersebut merupakan perwujudan dari subkriteria jumlah penduduk yang menyebabkan bangkitan dari pergerakan itu sendiri. Dalam penelitian Wiyono terdapat kriteria tingkat kepadatan lalu-lintas yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika maupun Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.

Kriteria terakhir dalam penelitian Sutika adalah kriteria sistem kelembagaan yang merupakan perwujudan dari subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang. Kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria financial pada penelitian Ompusunggu. Kriteria Sutika dan Ompusunggu itu juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria biaya penanganan dan kriteria sistem pengadaan barang pada penelitian Wiyono. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.


Dokumen yang terkait

Analisis Metode Fuzzy Analytic Hierarchy Process (Fahp) Dalam Menentukan Posisi Jabatan

12 131 82

Perbandingan Metode Analytical Hierarchy Process Dan Weighted Sum Model Pada Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Sepeda

11 131 80

Implementasi Metode Profile Matching dan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pada Perekrutan Tenaga Kurir (Studi Kasus PT. JNE Cabang Medan)

16 91 137

Penentuan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) (Studi Kasus: Pertanian Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi)

18 117 72

Analisa Pemilihan Moda Transportasi Dengan Metode Analytic Hierarchy Process ( AHP ) Studi Kasus : Kuala Namu - Medan

22 147 107

Implementasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Fuzzy Multi-Attribute Decision Making (Fuzzy MADM) dalam Penentuan Prioritas Pengerjaan Order di PT. Sumatera Wood Industry

6 138 175

Implementasi Metode K- Means Clustering Dan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Penilaian Kedisiplinan Siswa (Studi Kasus : SMP Negeri 21 Medan)

20 99 166

Studi Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Dan Metode Technique For Order Preference By Similarity To Ideal Solution (TOPSIS) Untuk Peningkatan Kualitas Layanan Di Rumah Sakit Bina Kasih Medan-Sunggal

4 41 149

Kajian Analisis Sensitivitas Pada Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)

15 94 75

ANALISIS PEMILIHAN KONTRAKTOR MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ( Studi Kasus Pembangunan Jembatan di Desa Karangan )

0 0 19