KARYA SASTRA NOVEL “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS” SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH (Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas Negeri kota Salatiga)
commit to user
1
KARYA SASTRA NOVEL “JALAN RAYA POS, JALAN
DAENDELS” SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN
SEJARAH
(Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas Negeri
kota Salatiga)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Oleh: Ana Ngatiyono
S860809003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
(2)
commit to user
2
KARYA SASTRA NOVEL “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS” SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas Negeri kota Salatiga)
Disusun oleh: Ana Ngatiyono
S860809003
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Suyatno Kartodirdjo _______________ ____________ NIP. 130324012
Pembimbing II Dra. Sutiyah M.Pd., M.Hum ______________ ____________ NIP. 19590708 198601 2 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Dr. Warto, M.Hum. NIP.196109251986031001
(3)
commit to user
(4)
commit to user
4
PERNYATAAN
Nama : Ana Ngatiyono NIM : S860809003
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul” Karya Sastra Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas kota Salatiga)” adalah benar-benar karya sendiri, hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Salatiga, Juli 2011 Yang membuat pernyataan
(5)
commit to user
5
PERSEMBAHAN
Teriring rasa terimakasih dan rasa syukur kepada Allah SWT, karya ini kupersembahkan:
1. Kepada Bapak Dahman dan Ibu Martiyah, terimakasih atas doa, kesabaran, dukungan, dan keteladannya.
2. Embah Buyut Darmo, Embah Riyoto dan Suniti, terimakasih karena terus mendoakan cucunya dan semua nasehatnya agar aku bisa menjadi anak yang baik, bertanggung jawab dan berbakti pada orang tua, serta dapat hidup lebih baik.
(6)
commit to user
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Karya Sastra Novel “ Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas kota Salatiga)”, yang dalam penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Warto, M. Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Dra. Sutiyah M.Pd, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, kemudahan, dan semangat dalam penulisan tesis.
(7)
commit to user
7
6. Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu.
7. Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Salatiga, Drs. Saptono Nugrohadi M.Pd, M.Si atas dukungan dan bantuannya.
8. Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Salatiga dan Bapak Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Salatiga yang telah memberikan ijin untuk penelitian dan segala bantuannya.
9. Endah Harini S.Pd, Dra. Suprapti, Dra Sri Maryati, terimakasih atas bantuan dan dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
10.Bapak Dahman dan Ibu Martiyah atas segala dukungan dan doanya.
11.Teman-teman pascasarjana pendidikan sejarah angkatan 2009 terimakasih atas segala dukungan dan bantuannya.
12.Kak Idris “Idris Hulubalang”....terimakasih atas banyak bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
13.Teman-teman Pendidikan Sejarah UNY Angkatan 2005.
Demikian kata pengantar dari peneliti dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Surakarta, Juli 2011
Ana Ngatiyono
(8)
commit to user
8 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….. i
PENGESAHAN PEMBIMBING……….. ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS……… iii
HALAMAN PERNYATAAN……… iv
MOTTO……….. v
PERSEMBAHAN ………. vi
KATA PENGANTAR……… vii
DAFTAR ISI……….. ix
DAFTAR GAMBAR……….. xii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii
ABSTRAK……….. xiv
ABSTRACT………... xv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar belakang Masalah………... 1
B. Rumusan Masalah………... 10
C. Tujuan Penelitian……… 10
D. Manfaat Penelitian……….. 11
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR... 14 A. Kajian Teori……….. 14
1. Karya Sastra Sejarah……….. 14
a. Pengertian karya Sastra……… 14
b. Hubungan Karya Sastra dan Sejarah………. 20
c. Fungsi Sastra dan Pembelajaran Sastra………. 29
2. Novel Sejarah……….. 33
a. Pengertian Novel Sejarah……….. 33
b. Unsur-unsur Novel……… 38
3. Sumber Pembelajaran Sejarah……… 48
(9)
commit to user
9
b. Macam Sumber Pembelajaran Sejarah………. 50
c. Fungsi Sumber Pembelajaran Sejarah……….. 52
d. Peran Sumber Pembelajaran Sejarah……… 53
e. Kriteria Memilih Sumber Belajar Sejarah………… 54
4. Pembelajaran Sejarah……….. 55
5. Nilai Sejarah……… 59
B. Penelitian yang Relevan……… 61
C. Kerangka Berpikir………. 64
BAB III METODE PENELITIAN……….. 68
A. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 68
B. Bentuk dan Strategi Penelitian……….. 69
C. Sumber Data……….. 71
D. Teknik Pengumpulan Data……… 72
E. Teknik Cuplikan……… 74
F. Validitas Data……… 75
G. Teknik Analisis Data………. 78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……. 81
A. Hasil Penelitian dan Pembahasan………. 81
1. Deskripsi Latar……… 81
2. Sajian Data……….. 166
B. Pokok Temuan……….. 243
1. Pesan Sejarah yang Terkandung Dalam Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”……….. 243
2. Pemahaman Guru Terhadap Sumber Pembelajaran Sejarah Dengan Menggunakan Novel………. 244 3. Apresiasi Guru Sejarah terhadap Novel “Jalan raya
Pos, Jalan Daendels” Sumber Pembelajaran Sebagai Bahan Pendamping Sumber Pembelajaran Sejarah……
245 4. Relevansi Pengetahuan Sejarah yang Terkandung
dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Terhadap Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas…………..………..
(10)
commit to user
10
C. Pembahasan………... 247
BAB V PENUTUP……… 268
A. Kesimpulan………... 268
B. Implikasi……… 270
C. Saran……….. 273
DAFTAR PUSTAKA……… 274 LAMPIRAN………..
279
(11)
commit to user
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hlm.
1. Kerangka Berpikir 66
2. Trianggulasi Sumber 77
(12)
commit to user
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hlm.
1. Lampiran 1 279
2. Lampiran 2 282
(13)
commit to user
13 ABSTRAK
Ana Ngatiyono, S860809003. 2011. Karya Sastra Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus pada Peserta Didik Sekolah Menengah Atas kota Salatiga). Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. . Juli 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pesan sejarah yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”. (2) Pemahaman guru terhadap sumber pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel. (3) Apresiasi guru sejarah terhadap novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai bahan pendamping sumber pembelajaran sejarah. (4) Relevansi pengetahuan sejarah yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” terhadap Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas.
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri kota Salatiga yang terdiri dari SMA Negeri 1, 2, dan 3. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus tunggal terpancang. Sumber data terdiri dari dokumen (naskah novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”, silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/RPP), informan (guru sejarah dan siswa), tempat dan peristiwa saat proses pembelajaran dengan menggunakan novel. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi langsung, pembahasan novel, dan analisis dokumen. Teknik cuplikan yang dipakai adalah purposive sampling. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pesan sejarah yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” adalah bentuk perlawanan pemimpin dan rakyat pribumi terhadap kolonial Belanda mulai dari kota Anyer sampai Panarukan, adanya peristiwa Cadas Pangeran di Sumedang, pemberontakan petani di Cilegon, munculnya garong (gabungan romusha ngamuk) di Cimahi, ataupun perlawanan para jawara di Tangerang. Pesan sejarah yang lain adalah pertumbuhan dan perkembangan kota yang dilalui Jalan Raya Pos, dan mengetahui banyaknya korban Pribumi akibat pembangunan Jalan Raya Pos. (2) pemahaman guru terhadap novel “Jalan raya Pos, Jalan Daendels” hanya terbatas pada sejarah kota-kota di Pulau Jawa yang dilalui Jalan Raya Pos dan relatif tidak memahami secara utuh; (3) Guru sejarah di Sekolah Menengah Atas kota Salatiga berapresiasi tinggi terhadap penggunaan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”, meskipun dalam penggunaannya diakui ada kendala misalnya membutuhkan alokasi waktu yang lebih banyak. (4) Materi sejarah dalam novel tidak semuanya sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), sehingga guru harus mengklasifikasikannya.
(14)
commit to user
14 ABSTRACT
Ana Ngatiyono, S860809003. 2011. novel, be entitled “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” as history learning resources (chase study of State Senior High School students at Salatiga Municipality). Thesis. Surakarta: History Education Study Program, Sebelas Maret University of Surakarta Postgraduate Program. Juli 2011.
This research had the purpose: (1) the historical massages which Contains in the novel Jalan raya Pos, Jalan Daendels; (2) the teachers understanding of learning resources make use of novel; (3) history teacher appreciate to the novel Jalan raya Pos, Jalan Daendels as the associate history material; (4) to know students knowledge after use the novel Jalan raya Pos, Jalan Daendels as associate history material.
The research took location in State Senior High School 1, 2, and 3 Salatiga. The research method was used is the quantitative description with single embedded chase study. The data sources consist of the documents (novel, syllabus, teaching planning implementation and planning). Informant (history teacher and students), places and event is teaching and learning activities. The data collecting techniques uses in dept interviews, direct observation, and document analysis. The citation technique that is used is purposive sampling. The data validity uses data and method triangulation technique. The data analysis uses interactive analysis with: data reducing, data serving, and conclusion drawing that is interacted with the data collection periodically.
The results of the research shows that: (1) history massage in the novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” are: a struggle of local chips and local people to Dutch colonial from Anyer to Panarukan, struggle of local people in Cadas Pangeran at Sumedang, pheasant revolt of Cilegon, rise up the garong (gabungan romusha ngamuk) in Cimahi, and struggle of the jawara in Tangerang. The other history massage is the growth and develop the cities at the Jalan Raya Pos, and get information about genocide of local people when build the roads (2) teachers understanding to novel “Jalan raya Pos, Jalan Daendels” is limited on the city history in Java island in Jalan Raya Pos and relatively had not understood the whole history massages; (3) teacher history in senior high school at Salatiga has have high appreciation to use the novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”, even thought has the problem in using, likes need more times to allocated. (4) Not all of the material of history accordance with standard competence and based competence, so the teacher should clasiify.
(15)
commit to user
15 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra sebagai sebuah simbol verbal mempunyai beberapa peranan antara lain sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan. Obyek karya sastra adalah realitas atau apapun yang dianggap realitas oleh pengarangnya. Apabila realitas itu berupa sebuah peristiwa sejarah maka karya sejarah tersebut mencoba untuk menterjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa
imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Karya sastra sejarah dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Karya sastra baik lisan maupun tulisan menurut Alvian (dalam Lewar, 1998: 6) merupakan artefak (benda hasil kecerdasan manusia), wujud, dan bagian dari kebudayaan manusia. Sebagai ekspresi dan pernyataan kebudayaan sastra mempunyai unsur ideas dan activities. Konsep ini menyiratkan keberadaan karya sastra sebagai bentuk ekspresi dan refleksi pemikiran sastrawan atas realitas kehidupan yang dihadapi. Keterkaitan antara perkembangan dunia sastra dan perubahan sosial dalam masyarakat dimungkinkan oleh fungsi dan kedudukan kesusastraan sebagai bagian dari sistem seni budaya. Perkembangan sastra dalam berbagai bentuk di antaranya novel sejarah merupakan cara seorang sastrawan
(16)
commit to user
16
untuk bereskpresi dan menuangkan ide-ide dalam sebuah karya novel yang tetap mempertahankan unsur sejarah sebagai bagian penting dari substansi novel. Perkembangan novel dalam bentuk novel sejarah dipengaruhi oleh perkembangan dan perubahan sosial dalam masyarakat yang khawatir nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia terkikis oleh arus globalisasi.
Mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas memiliki peran penting dan strategis dalam membentuk kepribadian bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas di Kota Salatiga pada saat ini kurang diminati oleh peserta didik karena dianggap sebagai pelajaran yang membosankan dan hanya mengandalkan hafalan saja. Pembelajaran sejarah di sekolah banyak dengan cara yang masih konvensional yaitu pemberian materi pembelajaran sejarah yang masih berupa rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat atau dihafal kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Sumber belajar yang digunakan guru sejarah dan peserta didik hanyalah sebatas pada buku-buku teks sejarah, sehingga akan lebih jelas dan efektif jika pengajar menyertai dengan berbagai sumber pengajaran yang dapat membantu menjelaskan bahan lebih realistik dan menarik (Hartono Kasmadi, 1996: 126).
Prinsip pengajaran yang baik terjadi apabila proses pembelajaran mampu mengembangkan konsep generalisasi, dan bahan abstrak dapat menjadi hal yang jelas dan nyata. Guru sejarah sebagai komponen yang menentukan dalam implementasi strategi pembelajaran haruslah berusaha menciptakan strategi yang inovatif guna mengatasi permasalahan dalam pengajaran sejarah. Penggunaan
(17)
commit to user
17
sumber pembelajaran bervariasi yang dapat merangsang kemampuan berfikir inilah yang sampai sekarang belum banyak dilaksanakan oleh para guru sejarah di Sekolah Menengah Atas terutama di Kota Salatiga.
Sementara itu, dalam proses pembelajaran termasuk di dalamnya pembelajaran sejarah merupakan proses komunikasi. Dalam proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu kelompok pengirim pesan (guru), komponen penerima pesan (peserta didik), dan komponen pesan itu sendiri yang berupa materi pelajaran. kadang-kadang dalam proses pembelajaran terjadi kegagalan komunikasi, artinya materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru tidak dapat diterima secara optimal, lebih parah lagi mereka sebagai penerima pesan salah menangkap isi pesan yang disampaikan. Sebagai upaya untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka guru dapat menyusun strategi pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran yang dapat mempermudah dan mengefektifkan proses pembelajaran dan yang terpenting adalah membuat proses pembelajaran lebih menarik (Wina Sanjaya, 2009: 162).
Sumber belajar (learning resources) yang digunakan harus sesuai dengan pengertian pokoknya yaitu semua sumber baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sesuai dengan pengertian tersebut, sumber belajar yang akan dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah penggunaan karya sastra dalam bentuk novel sejarah.
(18)
commit to user
18
Novel sejarah dapat menjadi alternatif sumber pembelajaran dikarenakan adanya upaya menciptakan pembelajaran sejarah yang menarik. Kemenarikan itu diperoleh apabila pembelajaran mengandung upaya meningkatkan pemahaman terhadap sejarah itu sendiri. Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah dapat memperdalam pengertian pelajar tentang peristiwa penting dan juga kemungkinan mereka memahami cara hidup dan pandangan hidup orang di masa lalu. Pengertian penting itu bukan saja data kognitif (nama, tanggal, peristiwa) dari bahan sastra, tetapi lebih jauh mengandung pengetahuan tentang manusia, kehidupan, dampak, akibat serta tingkah laku manusia. Sumber pembelajaran berupa novel sejarah ini dapat digunakan secara efektif untuk menyampaikan informasi atau pesan, dan dapat merangsang kemampuan berpikir.
Novel sejarah itu berfungsi sebagai perangsang minat, artinya peserta didik bisa mulai belajar sejarah melalui novel sejarah terlebih dahulu untuk membangkitkan minat untuk mengatasai kejenuhan setelah membaca buku teks yang bahasanya kering dan kurang menggugah emosi atau perasaan. Dengan demikian berbagai macam sumber acuan dalam kegiatan pembelajaran bisa digunakan secara terpadu atau bergantian. Salah satu caranya guru dapat memilihkan novel-novel yang mempunyai latar belakang sejarah sebagai sumber pendukung dari buku teks. Berdasarkan latar belakang di atas maka diwujudkan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan karya sastra novel berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”
Kenyataannya memang membaca novel sejarah jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku teks sejarah. Hal tersebut terlihat dari penelitian awal
(19)
commit to user
19
yang pernah dicoba sebelum penelitian ini dilaksanakan dengan mendasarkan pada indikator ketertarikan peserta didik. Penyebabnya karena novel sejarah adalah karya fiksi dan buku teks sejarah adalah karya non fiksi. Keduanya mempunyai perbedaan mendasar dalam cara penyajian maupun bahasanya. Sebagai karya fiksi novel sejarah disajikan dalam bentuk narasi dan menggunakan bahasa yang khas (konotatif) sehingga dalam suatu deskripsi mengenai suatu tempat peristiwa (setting), tokoh (character), maupun peristiwa (incident) nampak begitu hidup seolah-olah pembaca bisa melihat, mendengar, merasakan dan mengalami peristiwa itu sendiri. Bahasa dalam karya fiksi (novel) bisa menyentuh perasaan dan menghanyutkan pembaca. Disamping itu, dalam karya fiksi terdapat plot dan suspense yang merupakan daya tarik tersendiri bagi pembaca. Sebaliknya, buku teks sejarah disajikan dalam bentuk eksposisi dan menggunakan bahasa ilmiah (denotatif) sehingga dalam deskripsi suatu peristiwa, tokoh, dan tempat kejadian terasa kering, kurang menyentuh emosi pembaca. Kadang-kadang kalimatnya begitu panjang sehingga pembaca (peserta didik) mengalami kesukaran dalam memahami isi buku teks tersebut, dan adanya perasaan dipaksa dalam membaca buku teks karena merupakan buku wajib.
Kelemahan pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas Kota Salatiga belum diupayakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Hal ini terlihat dari data observasi awal yang menunjukkan guru sejarah di Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Salatiga semuanya belum pernah menggunakan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran di kelas. Belum dimanfaatkannya novel sebagai sumber pembelajaran di sekolah inilah yang melatarbelakangi
(20)
commit to user
20
penelitian ini. Hal ini dikarenakan penggunaan sumber berupa novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” dapat menjadi sumber pembelajaran sejarah yang menarik untuk mempelajari sejarah bangsa Indonesia masa Kolonial Belanda.
Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” memuat isi sebuah kesaksian tentang peristiwa kemanusiaan yaitu pembangunan jalan raya pos yang bernama Jalan Daendels. Pembangunan jalan ini merupakan satu dari banyak kisah tragedi kerja paksa yang terjadi di sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Digunakannya novel ini sebagai sumber belajar sejarah diharapkan nantinya akan mengurangi kebosanan dalam pembelajaran sejarah. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah berupa pembangunan Jalan Raya Pos sehingga dalam menghayati peristiwa sejarah itu dapat lebih mendalam. Nilai-nilai sejarah dan pendidikan sejarah yang dihayati bertujuan untuk menumbuhkan penghargaan terhadap sejarah bangsa. Pengetahuan-pengetahuan yang sulit sekali didapat dari buku teks terutama tentang sejarah perkotaan dapat diperoleh peserta didik dari membaca novel ini.
Alasan mendasar novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” dipakai sebagai sumber pembelajaran menunjuk pada alasan bahwa keberhasilan pembelajaran sejarah rendah karena kurangnya relevansi dan keterlibatan atau ketertarikan yang dialami oleh peserta didik. Selain itu, masalah pengajaran sejarah tidak menarik walaupun telah menggunakan berbagai metode, seperti tugas kelompok, diskusi, bermain peran, ataupun simulasi. Cara-cara pembelajaran itu tidak cukup berhasil karena peserta didik kadang-kadang tidak berminat atau menganggap
(21)
commit to user
21
pembelajaran kurang sungguh-sungguh.(diunduh dari http:// belajarsejarah.com/?
detail= beritanya&id=16&kode =4, tanggal 20 Juni 2010).
Novel sejarah yang dipilih harus mampu menghidupkan masa lampau masa silam harus dekat dan dialami dalam realitas yang sebenarnya. Novel sejarah juga harus membuat pembacanya mengalami kejadian-kejadian, merasakan suasana sesuai zaman, berhadapan dengan tokoh-tokoh yang dihidupkan, mengenali perasaan-perasaan, semangat, pikiran-pikiran dan motif-motif perbuatan mereka. Novel sejarah tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman konkret subyektif dalam bentuk gambaran-gambaran. Hal terpenting yang menjadi dasar penggunaan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran diharapkan dapat menambah pemahaman dalam transformasi peristiwa sejarah yang belum banyak digunakan dalam dunia pendidikan.
Sementara itu, dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” mengandung isi atau kiteria sebagai sebuah novel sejarah yang di dalamnya peserta didik dapat memahami makna dan seakan-akan menjadi bagian dari peristiwa itu, karena bahasa yang digunakan lebih imajiner atau mudah dipahami. Novel ini dipilih sebagai sumber pembelajaran karena relevan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas. Standar Kompetensi yang sesuai adalah “menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang.” Dengan Kompetensi Dasar yang sesuai adalah “menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia pada masa kolonial.”
(22)
commit to user
22
Dalam pembelajaran sejarah berbasis sastra atau menggunakan karya sastra sebagai sumber pembelajaran, harus dipahami bahwa karya sastra yang digunakan bersifat pendukung buku teks dan hanya dipilih karya sastra yang relevan dengan peristiwa sejarah. Relevan dapat diartikan sesuai dengan materi yang ada dalam kurikulum yaitu digunakannya novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” ketika guru menjelaskan mengenai periode masa kolonial awal. Perkembangan kekuasaan bangsa Eropa di Indonesia pada saat pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811) dianggap relevan dengan pesan sejarah yang terdapat dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
Disamping itu, novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” isinya memuat pengetahuan sejarah terutama sejarah perkotaan. Deskripsi sejarah kota yang ditampilkan bukan hanya sekadar sejarah pembangunan Jalan Raya Pos saja tetapi juga sejarah lengkap terkait kota-kota yang dilewati pembangunan jalan. Pengambaran sejarah kota pada novel ini menjadikan isi novel bukan hanya berisi pengalaman Pramoedya Ananta Toer dan sejarah seputar pembangunan Jalan Raya Pos saja. Peserta didik diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas tentang sejarah kota-kota yang dilewati Jalan Raya Pos setelah membaca novel.
Sejarah perkotaan yang ditampilkan, terutama untuk kota-kota besar dijabarkan periodisasi sejarahnya dari masa ke masa. Misalnya kota Blora atau Lasem, dalam novel ini sejarah kota dijelaskan mulai dari masa Kerajaan Majapahit, masa kolonial, sampai kondisi kota masa kontemporer. Peserta didik diharapkan dapat mengilhami sejarah kota dari masa ke masa sehingga dapat
(23)
commit to user
23
melihat dan memahami perkembangan kota. Meskipun pengetahuan tentang sejarah kota penting bagi peserta didik, namun tujuan utama agar dapat mengilhami nilai-nilai sejarah, nilai pendidikan sejarah, dan nilai kemanusiaan terkait dengan pembangunan Jalan Raya Pos.
Pertimbangan lain yang menjadikan dipilihnya novel “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” sebagai sumber pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas Kota Salatiga dikarenakan isi dari novel ini berbeda dengan novel lain. Ditinjau dari penokohan tidak banyak tokoh yang ada dalam novel, hanya sebuah roman pengalaman pribadi penulis (Pramoedya Ananta Toer) dilengkapi dengan pengambaran tokoh-tokoh sejarah yang terlibat dalam setiap peristiwa sejarah yang diceritakan.
Dilihat dari sudut pandang perbedaan antara fakta dan fiksi, dalam kajian novel ini tidak banyak menggunakan gaya bercerita yang terlalu fiktif tetapi lebih banyak berupa fakta sejarah, sehingga hal ini akan membantu peserta didik untuk memahami isi novel dikaitkan dengan fakta sejarah yang ada yaitu pembangunan jalan raya pos. Pemilihan karya sastra yang tidak terlalu fiktif ini dilakukan sebab kemampuan membaca dan pemahaman terhadap fakta dan fiksi disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik di Sekolah Menengah Atas. Hal ini yang menyebabkan guru harus mempertimbangkan pemilihan novel disesuaikan faktor bahasa karya sastra yang dipilihnya.
Tujuan utama penggunaan karya sastra dalam bentuk novel sejarah dalam kegiatan pembelajaran sejarah adalah membuat peserta didik lebih tertarik untuk mempelajari sejarah dan menjadi sumber pembelajaran yang efektif untuk
(24)
commit to user
24
menyampaikan pesan dalam bentuk materi pembelajaran. Penggunaan sumber belajar baru yang lebih bervariasi ini juga diharapkan akan menjadi tantangan baru bagi guru dan peserta didik di Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Salatiga.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ajukan pada penelitian ini adalah:
1. Pesan sejarah apa yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”?
2. Apakah guru sejarah sudah memahami sumber pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
3. Bagaimana apresiasi guru sejarah terhadap novel “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” sebagai bahan pendamping sumber pembelajaran sejarah?
4. Bagaimana relevansi pengetahuan sejarah yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” terhadap Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
1. Pesan sejarah apa yang terkandung dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
2. Apakah guru sejarah sudah memahami sumber pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels?
(25)
commit to user
25
3. Bagaimana apresiasi guru sejarah terhadap novel “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” sebagai bahan pendamping sumber pembelajaran sejarah. 4. Bagaimana relevansi pengetahuan sejarah yang terkandung dalam novel
“Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” terhadap Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas.”
2. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengangkat pesan atau nilai sejarah dari karya sastra novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”. Pesan-pesan sejarah yang diangkat menjadikan novel dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah. Penggunaan sumber pembelajaran baru dapat membantu mempermudah peserta didik memahami jalannya peristiwa sejarah, sehingga dapat membuat pembelajaran sejarah di sekolah menjadi lebih menarik.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi: a. Peneliti
1) Bermanfaat menemukan solusi pemecahan permasalahan mengenai kurangnya minat belajar peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas Kota Salatiga.
(26)
commit to user
26
2) Penelitian ini bermanfaat meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai sumber pembelajaran sejarah dengan menggunakan karya sastra dalam bentuk novel sejarah.
3) Memberikan hal yang baru bagi pengembangan sumber pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas kota Salatiga.
b. Peserta didik
1) Karya sastra novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran sejarah sehingga peserta didik dapat lebih tertarik untuk belajar sejarah.
2) Penggunaan karya sastra novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai sumber pembelajaran sejarah diharapkan dapat mendorong aktivitas, motivasi, dan kreatifitas belajar sejarah peserta didik.
c. Guru
1) Karya sastra dalam bentuk novel sejarah memiliki peran yang penting dalam pengembangan sumber belajar sejarah selain dengan menggunakan buku teks sehingga dapat menumbuhkan minat dan motivasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah.
2) Menjadi masukan bagi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran sejarah.
3) Penggunaan karya sastra dalam bentuk novel sejarah sebagai sumber pembelajaran dapat dijadikan sebagai upaya peningkatan kemampuan guru untuk menjadikan pembelajaran sejarah lebih bervariatif.
(27)
commit to user
27 d. Sekolah
1) Karya sastra dalam bentuk novel sejarah dapat dijadikan salah satu sumber pembelajaran sejarah di sekolah.
2) Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran sekolah serta turut berperan memanfaatkan sumber pembelajaran yang lebih menarik sebagai pendamping buku teks.
(28)
commit to user
28 BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori 1. Karya Sastra Sejarah
a. Pengertian Karya Sastra
Pada kenyataannya, sastra selalu memiliki keterikatan dengan situasi dan kondisi di sekitarnya. Hal itu tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan Wellek dan Warren (1949: 94),sebagai berikut:
Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. (…) But, furthermore, literature’ represents’ ‘life’;and ‘life’ is, in large measure, a social reality, even though the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possessed of a specific social status: he receives some degree of social recognition and reward; he addresses audience, however hypothetical. Indeed, literature has usually arisen in close conection with particular social institutions (…). Literature has also social function, or ‘use’, which cannot be purely individual. (Wellek dan Warren, 1949: 94)
Dalam kutipan di atas, Wellek dan Warren merinci alasan mengapa sastra dan lingkungannya disebut mempunyai keterikatan yang erat satu sama lain.
Pertama, sastra merupakan suatu institusi sosial yang juga menggunakan medium ciptaan masyarakat, yaitu bahasa. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab sastra memerlukan bahasa agar dapat tersampaikan pada masyarakat dengan baik.
Kedua, sastra mewakili “kehidupan”, yang dalam arti luas disebut sebagai sebuah realitas sosial. Meskipun hanya rekaan pengarang, ‘kehidupan’ dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai sebuah tiruan yang disusun berdasarkan kehidupan nyata.
(29)
commit to user
29
tertentu serta berhubungan dengan pembaca yang mengakui dan mengapresiasi eksistensi pengarang melalui karya-karyanya. Keempat, sastra mempunyai pertalian erat dengan institusi-institusi tertentu. Sering masyarakat menggunakan puisi dalam melakukan upacara adat, ritual tertentu, atau hanya sekadar permainan. Kelima, sastra juga berfungsi sosial atau memiliki “kegunaan” sosial.
Wellek dan Warren (1956:3) dengan tegas menyebutkan , “we must first make a distinction between literature and literary study. The two are distinct activities: One is creative, an art, the other, is not pricesely a science, ia a species a knowledge or of learning.” Jadi harus dibedakan antara sastra dan studi sastra. Sastra adalah hasil kreatifitas (kegiatan kreatif) dari sebuah karya seni. Studi sastra akan dipertanyakan, apakah karya sastra itu? Apa sajakah jenis karya sastra itu? Bagaimana sifat salah satu jenis karya sastra tertentu? Aspek-aspek spesifik apa sajakah yang dimiliki karya sastra itu? Lebih lanjut mengenai apakah karya sastra itu, Rene Wellek dan Austin Warren (1956: 8) menyebutkan, “one way is to define literature as everything in print. We then shall be able to study the medical profession in the fourteenth centur or planetary motion in the early middle ages or witchcraft in old and New England.”
Keterikatan sastra pada masyarakat dipertegas oleh Jabrohim (2003: 157), sastra bukan sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan. Merupakan suatu hal yang pasti bahwa semua penyair, pengarang, atau seniman mana pun pada umumnya selalu hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ruang dan waktu tersebut mempunyai bentuk riil dalam suatu masyarakat atau sebuah
(30)
commit to user
30
keadaan sosial yang pada saat bersamaan juga memuat berbagai macam permasalahan hidup. Di dalam masyarakat banyak elemen berinteraksi, bergumul satu sama lain.
Karya sastra memiliki bermacam-macam fungsi. Damono (2003: 2) menyatakan bahwa karya sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan sebuah kenyataan sosial. Hal itu menjadi penjelasan mengapa karya sastra dapat dipakai pengarang untuk mencurahkan segala permasalahan kehidupan manusia di dalam masyarakat. Melalui karya sastra, pembaca dapat mengetahui dan memahami salah satu atau beberapa persoalan yang dapat ditemui dalam kehidupan. Dengan kata lain, sastra memiliki suatu fungsi, yaitu sebagai cermin dari kenyataan.
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya (Sarjidu, 2004: 2). Jan van Luxemburg, dkk., (1989: 21) menyatakan bahwa sastra terikat oleh dimensi waktu dan budaya, karena sastra merupakan hasil kebudayaan.
Dalam sastra terdapat penangganan bahan yang bersifat khusus, termasuk di dalamnya ialah bagaimana cara penanganan potensi bahasa bagi pengungkapan karya sastra. Seorang pengarang dapat mengolah dan mengeksploitasi
(31)
potensi-commit to user
31
potensi yang terdapat pada bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu. Oleh karena itu, kekhususan dan keunikan pemakaian bahasa dalam karya sastra merupakan salah satu ciri khasnya. Fenomena yang khas terlihat pada cara pengolahan materi cerita. Karya sastra memiliki kebenaran cerita dan logika bercerita sendiri. Urutan penyajian cerita maupun logika bercerita dalam karya sastra juga memiliki kebenaran sendiri yang sama sekali berbeda dari kebenaran dan logika umum.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa semua teks sastra bersifat fiktif atau rekaan. Kebenaran cerita dalam karya sastra bukanlah kebenaran faktual atau nyata, melainkan kebenaran fiksionalitas berdasarkan daya imajinasi dan kreatifitas pengarang. Tipe dan pola atau peristiwa dan karakter tokoh-tokoh serta nama tokoh barangkali dapat ditemukan dalam dunia objektif (dunia nyata). Oleh karena itu apa yang ada dalam karya sastra tertentu hanya bersifat rekaan (karangan) belaka.
Perkembangan selanjutnya sastra atau seni bagi kalangan Marxisme merupakan bagian dari superstruktur masyarakat. Berbeda dengan pandangan Marx yang menganggap bahwa karya seni atau karya sastra tidak mempunyai otonomi sama sekali dengan infrastrukturnya. Eagleton (1976: 69), berpendapat berbeda bahwa karya sastra mempunyai otonomi relatif dan merupakan ekspresi dari ideologi ataupun ideologi ekspresi dari kelas sosial. Keotonomian relatif dari produksi karya sastra pada kenyataannya merupakan bagian dari variable kesejarahan. Karya sastra dalam model tertentu di satu sisi akan secara tepat melukiskan sistem ideologi masyarakatnya, namun disisi lain hanya melukiskan materi luarnya saja.
(32)
commit to user
32
Menurut Barnet (dikutip Suripan Sadi Hutomo, 1983: 1) sastra secara umum adalah as anything written. Pengertian tersebut mengandung dua hal yaitu pengertian yang luas dan sempit. Dikatakan luas karena segala sesuatu yang tercetak atau tertulis dapat disebut sebagai karya sastra tanpa harus dibedakan adanya: (1) Segala sesuatu yang tercetak atau tertulis yang bukan berupa karya seni. (2) Segala sesuatu yang tercetak dan tertulis yang berupa karya seni. Dikatakan sempit oleh karena tidak memasukkan sastra lisan (oral literature) karena dalam kenyataannya ada jenis genre sastra yang dilisankan.
Pada dasarnya sastra adalah seni bahasa. Menurut Robert Frost (dikutip Suripan Sadi Hutomo, 1983: 2), sastra adalah a performance in words. Sedangkan menurut Maatje (dikutip Saripan Sadi Hutomo, 1983: 4), sastra adalah een wereld in woorden, dengan kata lain karya sastra adalah dunia (een wereld) ciptaan pengarang dengan mempergunakan medium bahasa. Oleh plato, sastra disebut sebagai reflection of society. Hal tersebut tampak jelas dalam novel sosial (roman sosial) dan novel sejarah (roman sejarah) (Saripan Sadi Hutomo, 1983: 11). Menurut Harsya W. Bachtiar (Dikutip Ayatrohaedi, 1983: 17), kesusastraan dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra pengungkapan pemikiran dan perasaan yang dinyatakan dengan kata-kata yang dianggap bernilai atas dasar bentuk penyajiannya atau berdasarkan pengaruh yang dapat mengakibatkan perubahan pada perasaan pendengar atau pembacanya.
Karya sastra dapat berupa fiksi, puisi, ataupun drama. Karya sastra yang dikategorikan karya sastra fiksi adalah roman sosial, roman sejarah, cerita pendek. Hal ini tidak terbatas pada segala sesuatu yang tercetak atau tertulis saja, akan
(33)
commit to user
33
tetapi mencangkup segala sesuatu yang tidak tercetak atau tertulis (lisan). Karya sastra tidak tunduk pada metode-metode tertentu pada saat seorang sastrawan menciptakan karyanya sastra tersebut, meskipun sastra tersebut mengandung unsur-unsur kesejarahan. Hal itu berbeda dengan karya sejarah di mana penulis harus mengikuti prosedur tertentu yaitu harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain seperti topografi dan kronologi serta harus berdasarkan bukti-bukti (Kuntowijoyo, 1981: 3). Dengan demikian penulis karya sastra mempunyai kebebasan imajinatif yang agak berlebih jika dibandingkan dengan penulis sejarah.
Karya sastra sebagai seni kata mengandung estetika atau keindahan yaitu berupa estetika bahasa. Menurut Slamet Mulyana (dikutip Saripan Sadi Hutomo, 1983: 2) estetika atau keindahan yang terdapat dalam karya seni adalah hasil usaha seniman, bukan keindahan alamiah, dan juga bukan keindahan azali dan abadi. Keindahan adalah sifat yang memberi kepuasan rohani, apabila dikenal oleh pikiran karena sifat itu sempurna atau mendekati kesempurnaan. Salah satu unsur yang mendukung keindahan karya sastra adalah adanya penggunaan bahasa yang bersifat konotatif. Bahasa ini banyak menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang. Lambang dan simbol tersebut beraneka warna sesuai dengan individu senimannya dimana ia berada di suatu tempat dan pada suatu jaman. Oleh karena itulah untuk memahami karya sastra dianjurkan untuk memahami tiga macam kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra (Teeuw, 1978: 334). Dalam bahasa (tertulis) atau karya sastra, makna dari suatu kata atau kalimat
(34)
commit to user
34
tidak dimaknai secara tunggal melainkan dibuka kemungkinan makna lainnya (Alex Sobur, 2006: 106).
b. Hubungan antara Karya Sastra dan Sejarah
Menurut A. Teeuw (dikutip Edi S. Ekadjati, 1983: 19), karya sastra sejarah adalah karya tulis yang bersifat ganda, yaitu bersifat sastra dan sejarah. Dilihat dari sudut sastra, karya sastra sejarah termasuk salah satu jenis sastra. Karya sastra yang bernilai sejarah biasanya bahannya diambil dari sejarah. Demikian halnya dengan penggunaan bahasa, antara tulisan sejarah dan karya sastra berbeda. Sejarah lebih cenderung menggunakan referential simbolism dengan menunjuk secara tegas kepada objek, pikiran, kejadian, dan hubungan-hubungan. Sedangkan sastra lebih banyak pesan-pesan subjektif pengarang (Kuntowijoyo, 2006: 173).
Menurut Sartono Kartodirdjo (dikutip Edi S. Ekadjati, 1983: 19) karya sastra sejarah merupakan karya sejarah (historiografi). Hanya berdasarkan unsur-unsur yang dikandungnya karya sejarah tersebut digolongkan menjadi karya sejarah tradisional sehingga menghasilkan karya sejarah yang bersifat dan mengandung unsur-unsur tradisonal. Sebagian besar sejarawan mengatakan bahwa karya sastra merupakan alat bantu dari ilmu sejarah. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa karya sastra mempunyai sumbangsih besar untuk sejarawan dan historiografi. Dari karya sastra bisa diambil pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh dokumen tertulis maupun arsip yang berperspektif pemerintah. Dengan demikian dengan karya sastra sejarah pembaca dapat menerobos ruang kosong yang tidak dimiliki arsip maupun dokumen tertulis lainnya.
(35)
commit to user
35
Sastra, baik tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau yang memberikan informasi pantas untuk disebut sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai sumber dokumenter, sastra mempunyai kekhasan yaitu sifatnya yang naratif sehingga dapat dikategorikan sebagai accepted history, misalnya babad, hikayat, tambo, atau kronik dan annals. Berkaitan dengan karya sastra tersebut, seni sastra dianggap sebagai jejak sejarah yang mengandung informasi tentang apa yang dianggap terjadi dan bermakna dalam skala luas dan sempit. Sastra termasuk sumber sejarah dilihat dari corak informasinya dapat digolongkan menjadi sumber naratif. Sumber naratif ialah sumber yang berisi uraian lengkap, kebanyakan adalah sumber tertulis terutama yang menyangkut masalah sosial, politik, kultural, dan agama. Sumber naratif juga di dalamnya memuat historiografi tradisional, biografi, kenang-kenangan (memoir), kronik, annals, atau inkripsi. (Sugihastuti, 2009: 160)
Relasi antara teks sastra dan kenyataan sejarah dibangun sesuai dengan teks itu sendiri, tetapi teks kesusastraan tidak dapat berhubungan simplistik dengan kenyataan sejarah. Dalam beberapa novel (misalnya novel sejarah) pembaca akan lebih memahami sebagai wacana sejarah daripada karya sastra, artinya teks kesusastraan hanya dapat dipahami sebagai penanda langsung dari kenyataan sejarah. karya sastra mungkin berisi kenyataan dan akurasi data sejarah, namun operasi data tersebut tetap diperlakukan secara fiktif dan mengikuti hukum produksi realitas tekstual.
Relevansi antara realitas tekstual dan sejarah yang dirujuk menempatkan ideologi dalam realitas sejarah sebagai kekuatan produksi. Eagleton (1976: 70)
(36)
commit to user
36
menegaskan bahwa bagian dari sejarah sudah difiksikan dan ditafsirkan sesuai dengan terminologi ideologi produksi sebagai model perantara sisipan ideologi dalam karya sastra. Jadi realitas sejarah secara ideologis menjadi kekuatan kedua. Ketentuan masuknya sejarah dalam karya sastra tidak hanya sebagai kesejarahan teks, tetapi masuk secara ideologis sebagai ukuran pembuktian penentu kehadiran dan penyimpangannya. Sejarah dalam teks sastra berfungsi sebagai penanda akhir dalam kesusastraan (Eagleton, 1976: 72). Hal ini terjadi karena secara ideologis sejarah menjadi struktur dominan yang menandai karakter teks dan pengaturan dari pembelokan kenyataan yang dibangun dalam karya sastra.
Hal yang membedakan antara teks sastra dan penulisan sejarah yaitu objeknya. Historiografi mempunyai objeknya sendiri yaitu sejarah itu sendiri. Sedangkan karya sastra merupakan hermeneutik dari historigrafi. Karya sastra merekontruksi kenyataan sejarah keluar dari kategori yang mengikatnya. Teks dikarakterkan oleh keganjilan antara abstrak dan kenyataan. Karya sastra berada dalam fenomena wacana historiografi dan filsafat. Karya sastra menyerupai historiografi dalam kepadatan tekturnya dan juga beranalogi dengan wacana filsafat pada keadaan yang umum terjadi. Hanya saja kekurangan yang nampak dalam karya sastra adalah kurangnya referensi nyata (Eagleton, 1976: 78). Tidak semua jenis karya sastra mengandung keefektifan yang menjadi unsur paling pokok, misalnya karya sastra yang menceritakan pengalaman pribadi penulis, atau biografis. Dalam konteks ini Karya sastra bentuk novel dengan judul “Jalan Raya Pos, Jalan Dandels” adalah salah satu jenis karya sastra yang berupa penceritaan pengalaman pribadi penulis yaitu Pramoedya Ananta Toer.
(37)
commit to user
37
Jika diamati dengan seksama, teks narasi dan teks sejarah memiliki suatu persamaan. Keduanya sama-sama dikonstruksi dengan berdasarkan pada waktu lampau (past time). Hal itu lebih terlihat jika kalimat-kalimat yang menyusun kedua jenis teks tersebut ditulis dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Kebanyakan kalimat dalam kedua jenis teks itu menggunakan pola yang dalam tata bahasa Inggris disebut sebagai past tense. Pola itu harus digunakan untuk menunjukkan pada pembaca bahwa suatu hal atau peristiwa terjadi atau bereksistensi di masa lalu (Green dan Le Bihan, 1998: 256). Persamaan tersebut menunjukkan bahwa meskipun teks narasi (fiksional) dan teks sejarah (faktual) bertolak belakang dalam hal sifat, keduanya mempunyai struktur yang sama. Sebagai konsekuensi logis dari persamaan tersebut, terdapat kemungkinan untuk saling tertukar dan saling berbaur karena sulitnya mengidentifikasi teks mana yang tergolong fiksional dan mana yang tergolong faktual. Walaupun memiliki kesamaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sejarah dan sastra mempunyai tujuan yang sama sekali berbeda, tetapi pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain (Ratna, 2005: 337).
Pernyataan itu telah disinggung sebelumnya oleh Jauss (1983: 25) bahwa sejarah sastra (suatu rangkaian peristiwa sastra) berperan sebagai suatu metode resepsi sastra dan memposisikan sejarah dan sastra sebagai dua entitas yang saling melengkapi (1982: 3-45). Hutcheon (dikutip Ratna, 2005: 337-338), mengemukakan bahwa sejarah, menurut Aristoteles, sastra sejarah tidak hanya mampu menceritakan masa lalu saja tetapi juga mampu menceritakan hal-hal yang belum terjadi karena sastra dihasilkan dengan perenungan atau kontemplasi yang
(38)
commit to user
38
menjadikannya lebih bersifat filosofis sejarah yang hanya menceritakan masa lalu tanpa perenungan. Perbedaan di atas diwariskan pada dua macam karya sastra yang berkaitan erat dengan sejarah; yaitu sastra sejarah dan novel sejarah. Keduanya berbeda menurut konsep hubungan yang terjadi di antaranya, sesuai dengan zamannya.
Kelahiran karya sastra tidak lepas dari kemampuan intersubjektivitas pengarang untuk menggali kekayaan masyarakat, memasukkannya ke dalam karya sastra, yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh pembaca. Kemampuan pengarang dalam melukiskan pengalaman yang diperoleh dalam masyarakat dan kemampuan pembaca untuk memahami suatu karya sastra menjadi unsur penting yang menentukan kekayaan suatu karya sastra. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat. Demikian juga dengan cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intens masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya, ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi sosial karya sastra
(39)
commit to user
39
sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain. Bakhtin (dikutip Ratna, 2005: 81), menyebutkan ciri-ciri karya sastra seperti ini sebagai karnaval, manusia berganti rupa melalui topeng.
Penggunaan karya sastra dari sebuah peristiwa sejarah diharapkan akan membuat pembelajaran sejarah semakin dinamis dengan mengajarkan sejarah dari pendekatan arus bawah masyarakat yang terpinggirkan oleh sejarah dan kekuasaan (history from bellow). Berbagai bentuk karya sastra baik novel dan yang lainnya menjadi lebih dari sekedar alat bantu karena bisa menjelaskan lebih detail dinamika yang terjadi dalam peristiwa sejarah, artinya bahwa karya sastra merupakan alat untuk berdialektika dalam sejarah dengan semangat zaman (zeit gheist) yang terkandung didalamnya. Kuntowijoyo (2006: 171), yang akrab dengan dunia karya sastra mengatakan bahwa sastra dan sejarah pada era sekarang mempunyai perbedaan yang tipis. Bahkan tidak sedikit pula karya sastra seperti novel memuat fakta-fakta dalam suatu peristiwa sejarah. Hal itu seakan-akan menunjukkan sastra dan sejarah mempunyai hubungan yang erat.
Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai beberapa peranan di antaranya cara pemahaman (model of comprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Objek karya sastra adalah realitas yaitu realitas yang dimaksudkan oleh pengarang itu sendiri. Apabila realitas tersebut berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat.
(40)
commit to user
40
Pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa tersebut dalam bahasa imajiner dengan maksud memahami peristiwa sejarah sesuai dengan kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti halnya karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol tersebut menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya sebatas pada campur tangan dan motivasi pengarangnya. Karya sastra yang berupa perhubungan kedua unsur itu mempunyai kadar yang sama, namun demikian karya sastra dalam penciptaan kadar aktualitas dan faktisitasnya lebih rendah dari pada imajinasi pengarang. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih merupakan asumsi teoritis yang pelaksanaanya sukar membedakan cara-cara itu di antara karya sastra (Kuntowijoyo, 2006: 172).
Hubungan antara karya sastra dan sejarah dapat dilihat pula dari karya-karya sastra yang digunakan sebagai sumber sejarah. Karya fiksi misalnya novel, nyanyian, puisi, bermanfaat terutama bagi para sejarawan yang menaruh minat terhadap masalah sosial pada kurun waktu tertentu. Menurut William Graham Summer (dikutip Ayatrohaedi, 1987: 39) karya sastra jenis itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan dokumen para sejarawan dalam setiap kemampuannya. Karya sastra tersebut dapat (1) Mengungkapkan rasa suka dan tidak suka, harapan dan
(41)
commit to user
41
ketakutan pengarang. (2) Memberikan pengertian terhadap warna lokal, lingkungan, dan membantu membentuk pandangan pengarang kepada sejarawan.
Karya sastra sejarah ditulis berdasarkan bukti sejarah dan dengan sendirinya nilai kesejarahan dapat lebih dipertangungjawabkan. Tentu saja dalam karya sastra di dalamnya secara sengaja pencipta memasukkan hal-hal yang sifatnya fiktif, terutama dalam penokohan. Di samping memang terdapat tokoh-tokoh yang memang diakui keberadaannya dalam peristiwa sejarah, dalam karya sastra juga muncul tokoh-tokoh tambahan yang muncul dan lahir dari daya cipta pengarang. Dalam hal-hal tertentu, tidak mustahil seluruh tokoh yang muncul merupakan tokoh fiktif (misalkan namanya). Para ahli sejarah haruslah menyesuaikan tokoh-tokoh tersebut dengan tokoh yang pernah hidup. Tokoh-tokoh tetralogi dalam karya Pramoedya Anantatoer (dilarang terbit), ini merupakan contoh dari karya sastra jenis ini (Ayatrohaedi, 1987: 40)
Selain sastra sejarah, perkembangan penulisan sejarah Indonesia secara garis besar mengenal tiga bentuk penulisan sejarah menurut ruang dan waktu. Pertama, penulisan sejarah tradisional yang berupa kidung, usana, silsilah, tambo, babad, dan sejarah. Teeuw (dikutip Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, 1985: 22) mengungkapkan bahwa beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi penulisan sejarahnya sendiri yang cukup penting dan biasanya tidak terpisah dari sastra sejarah. Kedua, penulisan sejarah kolonial dan Ketiga, penulisan sejarah nasional. Di samping itu pembagian penulisan sejarah dibagi berdasarkan metode, pendekatan ilmiah yang dipergunakan penulisnya, maupun tema pokok yang dipakai sebagai dasar rekonstruksi sejarah sesuai dengan
(42)
asas-commit to user
42
asas studi modern mengenai sejarah. Ditinjau dari isi dan tujuan penulisan karya sejarah dapat dibedakan pula sebagai kisah ceritera, bentuk didaktis, bentuk dramatis, bentuk heroik, bentuk patriotis, bentuk sastra politik, sampai bentuk karya sastra ilmiah (Abdurrahman Surjomihardjo, 1978: 116)
Sebelum muncul banyak karya sastra sejarah (novel), sebenarnya diawali dari berbagai bentuk sejarah tradisional. Sejak masa Hindu sudah ada tradisi penulisan sejarah meskipun sebatas pada tradisi Purana yang selanjutnya berkembang menjadi tarikh-tarikh dinasti. Perkembangan itu tetap saja ditandai dengan ciri-ciri tidak dikenal umum, dibesar-besarkan, kurang data yang otentik, dan pengabaian topografi serta kronologi. Penulisan sejarah terus mengalami perkembangan dengan munculnya epik-epik sejarah masa Budha seperti pancatantra dan Jataka yang bersifat jenaka dan tradisi berkisah untuk penulisan genealogis-genealogis Budhis. Cerita dan kronik tersebut berkisar pada bentuk-bentuk pemujaan sampai pada bentuk-bentuk hagiografi yang dipakai dalam pendidikan moral dan agama. Dimulai dari tradisi Srilangka yang disebut Vamsa menghasilkann beberapa kronik yang dengan prakarsa pihak keraton, dari sinilah timbul tradisi penulisan sejarah. Karya-karya ini berbentuk traikh dan kisah jenaka, awalnya hanya ditulis dalam bentuk sajak dan pemakaian hanya terbatas` pada kalangan keraton. Keberhasilan suatu kronik ini lebih ditentukan oleh nilai sastranya daripada kecermatan metode sejarahnya. (Taufik Abdullah, 1985: 4).
Secara garis besar ciri-ciri historiografi tradisional antara lain; (1) Karya-laryanya kuat dalam hal genealogis, tetapi lemah dalam hal kronologi dan detail biografis; (2) Tekanannya ada pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot dan
(43)
commit to user
43
penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama; (3) Memfokuskan perhatian pada kingship (konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks; (4) Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astrologis cenderung untuk menyampaikan keterangan-keterangan mengenai sebab-akibat dan ide kemajuan (progress) (Taufik Abdullah, 1985: 9). Dari historiografi tradisional yang ciri-cirinya tidak menggunakan metode ilmiah (lebih besar unsur sastranya) dan historiografi modern dengan metode penulisan ilmiah berkembang menjadi karya sastra yang substansi isinya adalah sejarah.
Dalam penggunaan imajinasi yang sifatnya a priori sastra dan sejarah sifatnya hampir sama. Keduanya sama-sama membuat gambaran yang sifatnya koheren, yang dapat dipahami yang sanggup menerangkan dan membenarkan diri sendiri, sebagai hasil dari aktifitas yang otonom. Perbedaannya adalah sastra mempunyai objek persepsi hal-hal yang ada sekarang, sedangkan sejarah adalah objeknya masa lampau. Keterbatasan sejarah terletak pada objeknya tidak dalam peranan imajinasi. Hubungan yang erat antara karya sastra terutama dalam bentuk novel sejarah dengan sejarah menjadikan karya sastra sejarah dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas.
c. Fungsi Sastra dan Pembelajaran Sastra
Dalam bidang pendidikan sastra sangat penting bagi peserta didik dalam upaya pengembangan rasa, cipta, dan karsa. Hal yang lepas dari fungsi utama sastra yakni sebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penum-buhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Sastra akan dapat
(44)
commit to user
44
memperkaya pengalaman batin pembacanya. Sebagai karyai majinatif, sebagaimana diungkapkan Meeker (1972: 8), sastra merupakan konstruksi unsur-unsur pengalaman hidup, di dalamnya terdapat model-model hubungan-hubungan dengan alam dan sesama manusia, sehingga sastra dapat mempengaruhi tanggapan manusia terhadapnya. Tindak kekerasan dan anarkisme yang akhir-akhir ini marak di masyarakat, salah satu sebabnya adalah karena mereka tidak memiliki kepekaaan rasa, akal budi, dan solidaritas sosial yang kesemuanya itu dapat dibina melalui pembelajaran sastra dengan sering “menggauli sastra”. Mengingat, lebih dari 45 tahun masyarakat Indonesia jauh dari sastra (Ismail, 2002: 1-3).
Sastra memiliki fungsi yang tinggi dalam pengembangan cita, rasa, dan karsa manusia. Secara luas fungsi sastra tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: (1) Sastra dapat merangsang kita untuk memahami dan menghayati kehidupan yang ditampilkan pengarang dalam karyanya setelah melalui interpretasinya; (2) Sastra menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, psikologis sehingga membuat orang dapat lebih cepat mencapai kematangan mental dan kemantapan bersikap yang terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran dewasa; (3) Melalui sastra orang dapat meresapi, menghayati secara imajinatif kepentingan-kepentingan di luar dirinya dan mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lain, berganti-ganti menurut wawasan pengarang dan karya yang dihadapinya. “Poetry begins with delight and ends in wisdom”, demikian diungkapkan Robert Frost (Graves, dalam Sayuti, 2002: 41); (4) Melalui sastra, budaya atau tradisi suatu bangsa diteruskan secara regeneratif baik cara
(45)
commit to user
45
berpikir, adat-istiadat, sejarah, perilaku religius, maupun bentuk-bentuk budaya lainnya; (5) Karya sastra memberikan sesuatu kepada pembaca dalam hal mempertinggi tingkat pengenalan diri sendiri dan lingkungan, yang pada gilirannya akan dapat mempertinggi dan mempertajam kesadaran sosial (social awareness).
Lazar (1993: 24) menjelaskan, bahwa fungsi sastra adalah: (1) Sebagai alat untuk merangsang peserta didik dalam menggambarkan pengalaman, perasaan, dan pendapatnya; (2) Sebagai alat untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya dalam mempelajari bahasa; dan (3) Sebagai alat untuk memberi stimulus dalam pemerolehan kemampuan berbahasa. Dalam bahasa yang lebih sederhana pembelajaran sastra memiliki fungsi psikologis, ideologis, edukatif, moral, dan kultural. Adapun fungsi pembelajaran sastra menurut Lazar (1993: 24) adalah: (1) Memotivasi peserta didik dalam menyerap ekspresi bahasa; (2) Alat simulatif dalam language acquisition; (3) Media dalam memahami budaya masyarakat; (4) Alat pengembangan kemampuan interpretatif; dan (5) Sarana untuk mendidik manusia seutuhnya (educating the whole person).
Frye (1974: 129) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran sastra yang apresiatif diharapkan dapat membentuk pengembangan imajinasi pada peserta didik. Hal tersebut sangat mungkin untuk dicapai sebab sastra menyediakan peluang (pemaknaan yang) tak terhingga. Sebagai contoh, melalui membaca roman, peserta didik dapat mengenali tema tertentu, bagaimana tema dicerminkan dalam plot, bagaimana karakter hadir dalam sikap atau nilai-nilai, dan bagaimana
(46)
commit to user
46
pengisahan menjadi bagian dari pandangan tertentu. Melalui teks drama, peserta didik juga dapat berlatih berpikir kritis dalam menyikapi kehidupan, sebab menurut Satoto (1998: 2), dalam drama (absurd) dapat ditemukan cara pengungkapan baru terhadap keresahan, keputusasaan, dan ketidakpuasan terhadap kehidupan sosial. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan.
Dalam proses pembelajaran, sastra dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Termasuk di dalamnya: realitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan,cinta kasih dan kebencian, kesetaraan dan dan bias jender, keshalihan dan kezhaliman, serta ketuhanan dan kemanusiaan. Alhasil, melalui pembelajaran sastra, peserta didik diharapkan akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya, mandiri, sanggup mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik, berwawasan luas, mampu berpikir kritis, berkarakter, halus budi pekertinya, dan peka terhadap lingkungan sosial masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian, menurut Sayuti (2002: 46) pembelajaran sastra yang apresiatif niscaya akan memberikan kontribusi yang bermakna bagi proses pendidikan secara komprehensif.
Dalam bahasa positivisme terdapat korelasi positif antara pembelajaran sastra dengan pembelajaran bidang studi lain. Untuk dapat mencapai korelasi positif tersebut paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama,
(47)
commit to user
47
pembelajaran sastra harus dilakukan secara kreatif. Cara-cara tradisional yang lebih bersifat verbalistik dan inner ideas sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan cara inovatif yang lebih dinamis, kritis, dan kreatif. Kedua, bahan-bahan (karya sastra) yang diberikan kepada peserta didik hendaknya merupakan karya-karya yang diprediksikan dapat membuat mereka lebih kritis, lebih peka terhadap nilai-nilai dan beragam situasi kehidupan.
2. Novel Sejarah
a. Pengertian Novel Sejarah
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif biasanya dalam bentuk cerita. Novel biasanya lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerita pendek serta tidak dibatasi keterbatasan struktural metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan dalam kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut (diunduh dari www. wikipedia.co.id, pada tanggal 5 Februari 2011).
Novel juga merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut. Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah pemeran (tokoh cerita) juga lebih banyak.
(48)
commit to user
48
Hal ini sangat berbeda dengan novel yang lebih sederhana dalam penyajian alur cerita dan tokoh cerita yang ditampilkan dalam cerita tidak terlalu banyak.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar di masyarakat, hal ini dikarenakan daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar, tetapi juga ada kelanjutannya yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada masyarakat. Novel syarat utamanya harus menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang selesai membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri, yaitu novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan hiburan saja. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola-pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan hanya berfungsi personal. Novel berfungsi sosial apabila novel tersebut ikut membina masyarakat menjadi manusia. Sedangkan novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihadirkan dapat membina manusia atau tidak, tetapi yang terpenting adalah novel yang dimaksud dapat memikat dan membuat orang tertarik membacanya.
Menurut Kuntowijoyo (2006: 178), bagi karya sastra yang menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan baku, ada ketentuan-ketentuan tertentu selain
(49)
commit to user
49
banyak kebebasannya. Novel sejarah yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan dengan historical truth, meskipun kebenaran sejarah bersifat relatif. Pengarang novel sejarah dapat menggunakan masa lampau yang luas untuk menolak atau mendukung suatu interpretasi atau gambaran sejarah yang sudah mapan. Novel sejarah juga dapat lahir sebagai jawaban intelektual dan literer terhadap problematika suatu jaman dengan menggunakan masa lampau sebagai refleksi.
Menurut George Lucacs (dikutip Kuntowijoyo, 2006: 179) novel sejarah tidak perlu tokoh sejarah sebagai tokoh utamanya atau tokoh-tokoh sejarah sebagai tokoh-tokohnya. Realitas sejarah muncul dalam novel sejarah dapat dilihat melalui historical authenticity, historical faithfulness, dan authenticity of local colour yang terdapat di dalamnya. Historical authenticity (keaslian sejarah) adalah kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati, yang khas untuk suatu jaman. Melukiskan secara benar semangat jaman (zeitgeist) yang menjadi tugas bagi sejarawan lewat peristiwa sejarah yang aktual, menjadi tugas pula bagi penulis novel melalui lukisannya yang imajiner. Oleh karena itu, penulis novel sejarah perlu mempelajari tulisan-tulisan sejarah mengenai objeknya secara mendalam. Selanjutnya yang dimaksud dengan historical faithfulness (kesetiaan sejarah) ialah keharusan-keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi rakyat yang sesungguhnya.
Authenticity of local colour yaitu deskripsi yang setia mengenai keadaan-keadaan fisik, tata cara peralatan.
(50)
commit to user
50
Novel sejarah sendiri merupakan suatu genre tradisi sastra modern yang lahir di Barat pada awal abad ke-19. Genre ini mengisahkan tokoh dan peristiwa historis tertentu. Dalam novel sejarah yang cenderung bersifat fiksional, unsur sejarah seperti tokoh dan peristiwa historis digunakan semata-mata sebagai fakta sejarah yang menjadi dasar penceritaan, sedangkan cara penyusunan unsur-unsur tersebut menjadi suatu kisah adalah sepenuhnya bersifat khayal. Novel sejarah, jika dibandingkan dengan sastra sejarah, kurang mengedepankan peran sebagai dokumentasi sosial. Namun, ia lebih menonjol dalam fungsi estetis sebagai karya fiksi, tanpa menghilangkan sama sekali fungsi historisnya. Novel sejarah juga tidak semata-mata memberikan pemahaman sejarah, tetapi juga dialektika antara masa lalu dengan kontemporeritas masyarakat sastra pada umumnya (Ratna, 2005: 350-351).
Lukacs berpendapat (dikutip Ratna, 2005: 231), bahwa ciri-ciri novel sejarah selain yang telah disebutkan sebelumnya ialah unsur-unsur psikologi dan sikap sehingga tokoh-tokoh dan peristiwa dapat mewakili masa tertentu. Ratna (2005: 233) menegaskan bahwa novel sejarah mempunyai beberapa karakteristik yang menonjol sebagai suatu genre. Karakteristik pertama yaitu bahwa novel sejarah memiliki fungsi-fungsi ganda, fungsi estetis dan dokumen sosial. Karakteristik kedua ialah bahwa sejarah dalam novel jenis ini berfungsi sebagai latar belakang saja, bukan sebagai tujuan utama seperti dalam penulisan sejarah. Karakteristik ketiga ialah bahwa novel sejarah bersifat lebih sosiologis dari pada historis. Karakteristik keempat ialah bahwa novel sejarah memberikan pertimbangan lain pada pembaca, tidak seperti fakta sejarah yang dianggap
(51)
commit to user
51
mengandung kebenaran yang dapat dipercaya. Dengan kata lain, novel sejarah mengajak pembaca melihat suatu peristiwa dengan cara pandang yang berbeda dari apa yang telah dipaparkan dalam teks sejarah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel sejarah adalah karya sastra fiksi yang menggunakan sumber-sumber sejarah sebagai bahan penulisannya. Novel sejarah dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah apabila substansi isinya mengandung unsur-unsur sejarah yang mendalam. Pembelajaran sejarah dengan menggunakan sumber pembelajaran berupa novel sejarah diharapkan dapat menarik peserta didik untuk mempelajari materi sejarah karena bahasa yang digunakan lebih bersifat konotatif.
Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” merupakan cerita atau penuturan dari perjalanan pengarang yang sekaligus sebagai tokoh utama cerita. Tuturan perjalanan yang dihadirkan dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” difiksikan oleh penulis dengan gaya bahasa yang bersifat konotatif tanpa menghilangkan unsur historisnya. Gaya bahasa konotatif merupakan salah satu dari ciri sebuah novel. Kebenaran yang dihadirkan penulis dalam novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” bersifat relatif berdasarkan pengetahuan dan subjektifitasnya. Gambaran sejarah yang terdapat dalam buku-buku sejarah terutama buku teks sejarah dengan interpretasi yang sudah mapan berusaha untuk ditolak dan didukung dengan menggunakan masa lampau yang luas dan pandangan pribadi penulis sebagai dasarnya. Novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” juga dapat lahir sebagai jawaban intelektual dan literer terhadap permasalahan suatu jaman dengan menggunakan masa lampau sebagai refleksi.
(52)
commit to user
52
Permasalahan yang dimaksudkan oleh penulis adalah terpuruknya bangsa Indonesia sehingga berusaha merefleksi peristiwa masa lampau dari pembangunan Jalan Raya Pos untuk menjawab permasalahan. Berdasarkan kriteria tersebut, karya sastra “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” dapat dikategorikan sebagai novel sejarah.
b. Unsur-Unsur Novel
Konsep fungsi (prinsip-prinsip antarhubungan unsur-unsur dalam karya) memegang peranan penting dalam teori strukturalisme. Unsur-unsur memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antar unsur, yang pada akhirnya membentuk suatu totalitas. Dengan demikian, unsur tidak memiliki arti di dalam dirinya sendiri, melainkan dapat dipahami semata-mata dalam proses antar hubungan (Ratna, 2005: 76). Unsur karya fiksi (novel) adalah penokohan, alur, dan latar (Wellek, 1990: 283). Sementara itu, menurut Stanton (1999: 19), kategori fakta cerita ialah alur, tokoh, dan latar. Sedangkan Luxemburg (1989: 137) beropini bahwa tokoh, ruang-ruang, dan peristiwa-peristiwa ialah seluruh elemen yang membangun dunia rekaan. Ruang yang ada dalam cerita berfungsi sebagai dunia yang memuat berbagai peristiwa, serta tokoh.
1)Tema
Menurut arti katanya tema berarti sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan. Kata ini berasal dari kata Yunani tithenai yang berarti menempatkan atau meletakkan (diunduh dari
(53)
commit to user
53
tanggal 20 Juni 2011). Tema adalah persoalan utama yang diungkapkan oleh pembuat cerita di dalam sebuah karya tulis, novel, cerpen, puisi. Tema biasa didapat dari suatu keadaan atau motif tertentu yang terdiri dari suatu objek peristiwa kejadian atau lainnya.
Tema secara garis besar dikatakan sebagai gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Dengan kata lain, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain. Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara
implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami).
Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa. Dalam sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan. Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral
Pengertian tema, secara khusus dalam karang-mengarang, dapat dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut karangan yang telah selesai dan dari sudut proses penyusunan sebuah karangan. Dilihat dari sudut sebuah karangan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui
(54)
commit to user
54
karangannya. Amanat utama ini dapat diketahui misalnya bila seorang membaca sebuah roman/novel sejarah. Selesai membaca novel akan meresaplah ke dalam pikiran pembaca suatu sari atau makna dari seluruh karangan itu (diunduh dari
http://pendidikan.infogue.com/pengertian_tema, pada tanggal 20 Juni 2011).
2)Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. (diunduh dari http://fendy-studentsite.blogspot. com/2010/10/
pengertian-tema-judul- topik-amanat. html, pada tanggal 20 Juni 2011).
3) Alur
Alur dapat dikatakan sebagai salah satu elemen penting dalam sebuah cerita. Dalam perspektif formalisme, alur atau plot disebut dengan terminologi
sjuzet atau syuzhet. Sementara itu, dalam pandangan naratogi istilah wacana naratif juga merujuk pada alur (Ratna, 2005: 137). Adapun Forster (dikutip Green dan LeBihan, 1996: 64) memiliki argumen tersendiri mengenai apa yang disebut dengan alur atau plot.
“Aspects of the Novel” (1926) draws a distinction between ‘plot’ and ‘story’. He states that ‘The King died and then the Queen died’ is a story and ‘The King died and the Queen died of grief’ is a plot. They are both features of narrative, but the plot transforms the events by combining temporal succession with ‘cause’. (...) In the Forster example, the
(55)
commit to user
55
statement of the ‘cause’ of the Queen’s death transforms the story into a plot, or story into discourse.
Dalam kutipan di atas, Forster mendefinisikan plot (alur) dengan membandingkannya terhadap story (kisah/cerita). Ia memberikan dua rangkaian kalimat sebagai contoh; yakni “Sang Raja wafat dan kemudian sang Ratu wafat” dan “Sang Raja wafat dan sang Ratu wafat karena berduka”. Kalimat pertama, lanjut Forster, merupakan suatu rentetan cerita semata. Kalimat tersebut menyiratkan keruntutan kronologis (temporal succession). Namun, tidak ditemukan adanya sebuah hubungan sebab akibat yang masuk akal di antara kedua peristiwa dalam kalimat tersebut. Sementara itu, kalimat kedua tidak hanya menunjukkan urutan kejadian, tetapi juga menjelaskan kepada pembaca bahwa terdapat sebuah hubungan sebab-akibat yang logis di antara kedua kejadian. Berdasarkan penjelasan Forster, dapat disimpulkan bahwa plot atau alur merupakan rangkaian kronologis yang menunjukkan hubungan kausalitas dari berbagai peristiwa di dalam suatu narasi. Adapun menurut Zaimar, uraian teks atas satuan isi cerita memiliki bermacam-macam kriteria, salah satu di antaranya ialah makna (Noor, 1999: 24). Sebuah teks, lanjut Zaimar, dapat diurai menjadi sejumlah satuan isi cerita yang biasa disebut sebagai sekuen. Sekuen dapat didefinisikan sebagai bagian ujaran yang terbentuk oleh suatu satuan makna (Noor, 1999: 24).
Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu: pertama, berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi) atau disebut alur linear. Kedua, berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal) atau disebut alur kausal. Ketiga, berdasarkan tema cerita disebut alur
(1)
commit to user
319Catatan Lapangan Nomor 8
Sumber data : wawancara dengan Endah Harini S.Pd
Tanggal : 14 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 10.00 – 10.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 1 Salatiga
Isi ringkasan data:
Mengenai penggunaan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran mata pelajaran sejarah di kelas, Endah Harini berpendapat bahwa penggunaan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai sumber belajar merupakan sebuah penawaran yang menarik, mengingat hal ini merupakan hal yang baru. Menurutnya novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” baik apabila digunakan sebagai sumber pembelajaran karena nilai sejarah yang sangat beragam sehingga dapat membeikan pengetahuan baru bagi siswa. pengetahuan baru itu yang akan membuat peserta didik semakin tertarik untuk belajar sejarah.
Catatan peneliti:
Endah Harini memang memberikan apresiasi tinggi terhadap novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai sumber pembelajaran. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran dengan menggunakan novel, Endah Harini begitu bersemangat untuk menyampaikan fakta-fakta yang kemungkinan tidak ada dalam buku teks sejarah.
(2)
commit to user
320Catatan Lapangan Nomor 8
Sumber data : wawancara dengan Dra. Suprapti
Tanggal : 16 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 11.00-11.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 2 Salatiga
Isi ringkasan data:
Menurut Suprapti novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini” isinya sangat luas tidak terfokus pada satu kajian Kompetensi Dasar yaitu masa Daendels, sehingga siswa terlihat kesulitan untuk memahami isinya. Menurutnya novel ini cocok untuk para mahasiswa sejarah yang membutuhkan kajian lebih kritis. Ia juga menambahkan bahwa penggunaan novel sudah cukup bagus untuk memulai, dan tantangan baginya dan teman-teman guru sejarah SMA Negeri 2 Saltiga untuk mengembangkannya. Meskipun sangat bagus karena banyak pesan sejarah yang termuat tetapi karena daya kritis dan kemampuan peserta didik setingkat SMA kurang maka menurutnya kurang efektif.
Catatan Peneliti:
Hasil pengamatan peneliti saat berlangsung kegiatan pembelajaran dengan menggunakan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” masih banyak peserta didik yang kurang bergairah untuk membaca suatu literature sejarah.
(3)
commit to user
321Catatan Lapangan Nomor 8
Sumber data : wawancara dengan Dra. Sri Maryati
Tanggal : 18 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 11.00-11.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 3 Salatiga
Isi ringkasan data:
Terkait dengan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ini” digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah, Sri Maryati sangat mendukung. Ia mengatakan bahwa novel ini sebagai salah satu cara mencairkan kebekuan pada peserta didik yang selama ini dominan menggunakan buku teks. Isi dan pesan sejarah yang adapun dapat menambah wawasan bagi peserta didik.
Catatan Peneliti:
Ketertarikan Sri Maryati terhadap novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” terlihat dari cara menyampaikan pesan-pesan sejarah yang belum berhasil ditemukan oleh peserta didik dengan penuh semangat.
(4)
commit to user
322Catatan Lapangan Nomor 9 dan 10
Sumber data : wawancara dengan Endah Harini S.Pd
Tanggal : 14 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 10.00 – 10.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 1 Salatiga
Isi ringkasan data:
Endah Harini tetap mengharapkan adanya rekomendasi novel-novel yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar dari pihak terkait atau mungkin ada penelitian yang ilmiah tentang itu. Menurutnya hal itu dianggap penting agar guru-guru di sekolah mempunyai rambu-rambu pemanfaatan novel sejarah dalam kegiatan belajar mengajar karena belum semua guru paham tentang novel sejarah.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa sebuah TOR (Term of Reference) sangat
penting sebagai arahan dalam penggunaan novel “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” sebagai sumber pembelajaran
Catatan Peneliti:
Pernyataan Endah Harini sesuai dengan kondisi nyata dalam pengembangan sumber pembelajaran sejarah. Memang selama ini belum ada penelitian ilmiah tentang penggunaan novel sebagai sumber pembelajaran sejarah. Sebuah TOR (Term of Reference) juga belum ada sehingga belum ada acuhan untuk menggunakan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran sejarah.
(5)
commit to user
323Catatan Lapangan Nomor 9 dan 10
Sumber data : wawancara dengan Dra. Suprapti
Tanggal : 16 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 11.00-11.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 2 Salatiga
Isi ringkasan data:
Suprapti juga menambahkan perlunya kegiatan semacam workshop atau seminar tentang pemanfaatan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran. Kegiatan ini sangat penting agar guru-guru di sekolah memiliki kesamaan persepsi dan pemahaman tentang cara menggunakan novel sejarah yang baik, efektif, dan tentunya dapat menggali hal-hal menarik dalam cerita novel agar dapat menumbuhkan minat peserta didik dalam kegiatan pembelajaran sejarah. Selain itu, dengan seminar atau workshop, guru mengetahui manfaat novel sejarah apabila digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Suprapti menambahkan bahwa diperlukan dukungan yang baik dari pihak-pihak terkait, misalnya dengan pengadaan novel-novel sejarah sebagai sumber bacaan bagi guru dan peserta didik. Novel-novel sejarah yang ada hendaknya baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas, sehingga guru dan siswa memiliki kekayaan sumber yang beragam dan memiliki alternatif bahan bacaan.
Catatan Peneliti:
Harapan yang disampaikan Suprapti sesuai dengan realita yang terjadi dalam pengembangan pembelajaran sejarah. sejauh yang ditemukan peneliti memang belum pernah diselenggarakan semacam workshop atau seminar tentang penggunaan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran.
(6)
commit to user
324Catatan Lapangan Nomor 9 dan 10
Sumber data : wawancara dengan Dra. Sri Maryati
Tanggal : 18 Mei 2011
Peneliti : Ana Ngatiyono
Mulai s.d jam : 11.00-11.30 WIB
Lokasi : SMA Negeri 3 Salatiga
Isi ringkasan data:
Menurut pendapat Sri Maryati dalam rangka mengurangi kendala dalam penggunaan novel sejarah, guru-guru perlu diberi pembekalan bagaimana cara menggunakan novel sejarah sebagai sumber belajar agar efektif dan efesien bagi peserta didik, serta mempunyai pemahaman cara-cara menggali nilai-nilai sejarah dari novel sejarah yang akan digunakan. Ia juga sangat mendukung perlunya
semacam workshop tentang penggunaan novel sejarah sebagai sumber
pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas kota Salatiga. Sri Maryati menambahkan bahwa diperlukan sebuah program yang terpadu antara SMA-SMA di kota Salatiga dengan standar TOR (Term of Reference), dan workshop bersama diharapkan akan mampu menyamakan persepsi dalam penggunaan novel sejarah sebagai sumber belajar dikalangan guru sejarah SMA di kota Salatiga
Catatan Peneliti:
Harapan yang disampaikan Sri Maryati sesuai dengan realita yang terjadi dalam pengembangan pembelajaran sejarah. sejauh yang ditemukan peneliti memang belum pernah diselenggarakan semacam workshop atau seminar tentang penggunaan novel sejarah sebagai sumber pembelajaran. Sebuah TOR
(Term of Reference) juga belum ada sehingga belum ada acuhan untuk