Etnografi Masyarakat Sukawana.

(1)

ETNOGRAFI DESA SUKAWANA, KECAMATAN

KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, BALI

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana


(2)

ETNOGRAFI DESA SUKAWANA, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, BALI

Editor

1. Aliffiati, SS, M.Si

2. Ni Putu Diah Paramitha Ganeshwari Penulis

1. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si 2. Dr. Purwadi, M.Hum 3. Dra. AA Ayu Murniasih, M.Si 4. Dr. Industri Ginting Suka, M.A

5. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum

Pengumpul Data Ayu Dwi Kurnia Dewi

Cokorda Istri Sinthia Dewi

Dewa Gede Ngurah Hartawan D.P Dicna Aktenar

Eka Trisma Hidayanti Fauziana Rahmat

Ida Ayu Komang Candraningsih Ida Bagus Oka Wedasantara I Kadek Dwi Antara Putra I Kadek Mustika Udayana I Made Dwi Angga Permana I Putu Yudi Santika

I Wayan Hartawan

Komang Windu Adi Nugraha Made Andika Hadiputra E. Made Widana

Makhrofsi Zarah Afandi Nanda Diah Andini Ni Kadek Ayu Narisma Ni Kadek Yuliani Ni Ketut Nugrahaningari Ni Luh Ekayani

Ni Made Ayu Ratna Dewi Ni Putu Diah Paramitha G. Pandu Sukma Demokrat Sarah Ulina Kariny Wrediayu Cahyaningtyas Yasinta Florida Naya Yosua Maleawan Sujati Yudha Kurniawan Zania Zellini


(3)

SAMBUTAN

Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, karena berkat anugerah dan rahmat-Nya maka hasil penelitian mahasiswa dapat diterbitan dalam bentuk buku.

Melalui kesempatan ini, selaku Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana menucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Materi buku ini sepenuhnya merupakan hasil penelitian Mahasiswa Prodi Antropologi di Desa Bali Mula. Semoga dengan diterbitkannya buku ini mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian serta enumbuhkan budaya menulis di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa Prodi Antropologi serta meningkatka pengetahuan terhadap kearifan lokal.

Akhirnya ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi atas terbitnya buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dapat memberikan kebijaksanaan serta kekuatan kepada kita dalam berkarya mengembangkan ilmu pengetahuan.

Denpasar, Oktober 2015


(4)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa maka laporan ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini merupakan hasil penelitian lapangan dilakukan di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli pada tanggal 23-25 Juni 2014. Penelitian dilakukan oleh seluruh mahasiswa semester II dan IV dan didampingi oleh dosen pendamping. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tujuan untuk mempermudah koordinasi dan menggali data. Tema yang ditulis oleh mahasiswa secara umum adalah tema etnografi.

Terlaksananya penelitian berkat bantuan dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal tersebut, maka melalui kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Kaprodi Antropologi, Kepala Desa dan Bendesa serta para penglingsir Desa Sukawana karena atas bantuannya maka penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

Akhirnya, tidak ada gading yang tidak retak. Laporan penelitian ini sangat jauh dari sempurna, maka kami mohonkan kritik yang konstruktif kepada para membaca.

Denpasar, Oktober 2015


(5)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR BAGAN ix

BAB I : LINGKUNGAN HIDUP DI DESA SUKAWANA 1 1.1 Lokasi dan Lingkungan Alam 1 1.2 Pola Penggunaan Lahan 3 1.3 Keadaan Penduduk 5 1.4 Pendidikan dan Kesehatan 5 1.5 Mata Pencaharian Hidup dan Kondisi Ekonomi 9

1.6 Organisasi Sosial 10

BAB II : SEJARAH DESA DAN MITOS 14

2.1 Sejarah Desa Sukawana 14 2.2 Kisah Ki Suling Dalang dan Idung Lantang 16 2.3 Membunuh Babi pada Saat Tertentu Adalah Tabu 17 2.4 Mitos Goa Kaki (Kakek) Raksasa 17 2.5 Rasionalitas Tersembunyi di Balik Mitos

Goa Kaki (Kakek) Raksasa di Desa Sukawana 18 BAB III : MATA PENCAHARIAN HIDUP MASYARAKAT

DESA SUKAWANA 21

3.1 Sektor Pertanian 21

3.2 Peternakan 24

BAB IV: KESATUAN HIDUP SETEMPAT 26 

4.1 Bentuk – Bentuk Kesatuan Hidup Setempat 26 4.2 Dasar-Dasar Kesukuan dan Kelompok 28 4.3 Sistem Religi Masyarakat 29 BAB V: SISTEM PEMERINTAHAN ADAT, DEWAN ADAT,

DAN PEJABAT LAIN 30

5.1 Sistem Pemerintahan Desa Sukawana 30 5.2 Hubungan Antar Kelompok 33 BAB VI : STRATIFIKASI SOSIAL DAN SISTEM PERKAWINAN 34

6.1 Stratifikasi Sosial 34 6.2 Sistem Perkawinan 35


(6)

DAFTAR PUSTAKA 36


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lingkungan Alam Desa Sukawana 1 Gambar 2 Peta Desa Sukawana 2 Gambar 3 Kantor Kepala Desa Sukawana 10 Gambar 4 Pura Pucak Penulisan di Desa Sukawana 14 Gambar 5 Wilayah Desa Sukawana Terletak di Daerah Pegunungan 19 Gambar 6 Salah Satu Pura Subak yang Ada di Desa Sukawana 23 Gambar 7 Salah Satu Peternakan Ayam di Desa Sukawana 24 Gambar 8 Arca dan Lingga yang Tersimpan di Pura Pucak Penulisan 29


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Pemanfaatan Ruang Tata Guna Lahan 3 Tabel 2: Fasilitas Umum yang terdapat di Desa Sukawana 4 Tabel 3: Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukawana 6 Tabel 4: Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Sukawana 6 Tabel 5: Sarana dan Prasarana Kesehatan Di Desa Sukawana 8 Tabel 6: Penduduk Desa Sukawana Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup 9 Tabel 7: Jabatan dan Tugas Kepemimpinan Adat Desa Sukawana 13


(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Struktur Organisasi Pemerintah Desa 12 Bagan 2: Struktur Bagian Ulu Apad (Kanan-Kiri) 32


(10)

BAB I

LINGKUNGAN HIDUP DI DESA SUKAWANA

1.1 Lokasi dan Lingkungan Alam

Desa Sukawana merupakan salah satu desa pemukiman Bali Mula yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.745 meter di atas permukaan laut. Keadaan iklim Desa Sukawana yaitu beriklim tropis, suhu berkisar rata-rata 23-26 derajat celsius. Curah hujan di wilayah ini termasuk dalam kategori relatif sedang dengan rata-rata 1.800-1.887 mm/tahun atau rata rata 149 hari kalender. Bulan November – Maret merupakan musim hujan, April musim pancaroba, dan Mei- Oktober musim kemarau.

Gambar 1

Lingkungan Alam Desa Sukawana

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Luas wilayah Desa Sukawana 33,61 km persegi atau 3.361 Ha. Secara administratif, Desa Sukawana tebagi dalam sembilan (9) wilayah banjar (dusun), yaitu Banjar Kuum, Banjar Kutedalem, Banjar Paketan, Banjar Lateng, Banjar Kubusalia, Banjar Desa, Banjar Sukawana, Banjar Tanah Daha, dan Banjar Munduk Lampah. Orbitrasi dari Ibu Kota Propinsi adalah 72 km, Kota Kabupaten


(11)

36 km, Ibu Kota Kecamatan 5 km. Jarak banjar dinas terjauh ke pusat pemerintahan desa adalah 5 km. Batas wilayah administratif sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kutuh  Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pinggan  Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kintamani  Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Daup

Gambar 2 Peta Desa Sukawana

Sumber: Reuter, 2005

Daratan Desa Sukawana terdiri dari perbukitan dan lembah, terdapat berbagai tumbuhan di hutan sekitarnya seperti pohon pinus, cemara, puspa, dan ampupu atau kayu putih. Tumbuhan di hutan tersebut sangat dilindungi oleh pemerintah. Bagi siapa yang berani menebang pohon di hutan tersebut maka akan dihukum karena terdapat undang-undang mengenai hutan lindung dan ada polisi hutan yang selalu mengawasi hutan disana.


(12)

Tanah di Desa Sukawana ada yang berwarna kuning, merah, dan hitam, beberapanya ada yang berpasir. Tanah yang berwarna merah berada di area Subak Paka yang umumnya ditanami cengkeh dan ada kaitan dengan mitos terbunuhnya Kakek Raksasa (cerita dapat dilihat pada bab selanjutnya).

Para penduduk desa banyak yang menanam jeruk, kopi, anggur, markisa, cengkeh, stroberi, limau, lemon, bambu, jahe, kunyit, dan bawang. Beberapa ada yang hanya dikonsumsi pribadi dan beberapa komoditas lainnya diperjualbelikan di pasar. Ada juga hewan yang dipelihara oleh penduduk Desa Sukawana yaitu anjing, ayam, sapi dan babi. Anjing selain dipelihara untuk menjaga rumah dapat pula dijual ke orang kota dengan kisaran harga 1-2 juta untuk satu ekor anak anjing (ras kintamani). Anjing yang dipelihara disana dilepas begitu saja di pekarangan rumah, kurang begitu mendapat perawatan yang bagus, anjing tidak diberi makan dengan baik sehingga sering berebut makanan dengan sesamanya. Hewan lainnya seperti ayam, sapi dan babi dipelihara di ladang.

1.2 Pola Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di wilayah Desa Sukawana dipilah menjadi daerah pemukiman seluas 25 Ha; tanah tegalan (ladang) seluas 2.785 Ha; hutan seluas 500 Ha; serta penggunaan lain-lain (fasilitas umum, pura, setra (kuburan), jalan, lapangan, dan sebagainya) seluas 51 Ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas lahan digunakan untuk tegalan atau ladang guna kepentingan aspek mata pencaharian hidup. Perlu digaris-bawahi bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan di Desa Sukawana masihlah sangat baik.

Tabel 1: Pemanfaatan Ruang Tata Guna Lahan

JENIS PEMANFAATAN LUAS WILAYAH (Ha) LUAS WILAYAH (%)

Luas Keseluruhan 3.361 100

Hutan 500 14

Tegalan 2.785 82,9

Pemukiman 25 0,7

Lain-lain (Fasilitas Umum) 51 1,5

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.


(13)

Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Sukawana adalah berupa empat (4) gedung SD (Sekolah Dasar). Empat gedung SD tersebut merupakan sarana penunjang pembentukkan pengetahuan masyarakat. Menurut pernyataan Kepala Desa Sukawana periode 2014-2019, I Wayan Astawa, kualitas pendidikan desa masih kurang dan diperlukan adanya peningkatan motivasi siswa, guru dan pegawai, serta penambahan anggaran pemeliharaan sarana-prasarana sekolah.

Selain empat (4) gedung SD, terdapat pula fasilitas umum lainnya seperti kantor desa, balai banjar, pasar, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan desa, lapangan umum, dan pura. Keseluruhan fasilitas tersebut berfungsi untuk menunjang kegiatan administratif dan pembangunan desa beserta masyarakatnya. Adapun banyaknya fasilitas umum yang menunjang administrasi dan pemerintahan desa serta pengembangan SDM dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 : Fasilitas Umum yang terdapat di Desa Sukawana NO JENIS/NAMA

FASILITAS JUMLAH/LUAS LOKASI

1 Kantor Desa 120 M Sukawana

2 Balai Banjar 7 Buah

Kuum, Kutedalem, Paketan, Lateng, Kubusalia, Munduk Lempah, Sukawana

3 Gedung SD 4 Lokal Kutedalem, Sukawana,

Kubusalia, dan Paketan

4 Pasar Desa 1 Kutedalem

5 Jalan Provinsi 2 Km Kutedalem

6 Jalan Kabupaten 10 Km 9 Dusun

7 Jalan Desa 10 Km Desa Sukawana

8 Lapangan Umum 1 Lokal Desa Sukawana

9 Pura Kayangan

Tiga 3 Lokal Sukawana,Kubusalia dan Kuum

10 Pura Subak 28 Lokal Desa Sukawana

11 Pura Setingkat

kayangan desa 3 Lokal Sukawana,Kubusalia dan Kuum Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des)


(14)

1.3 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sukawana berdasarkan hasil sensus pada tahun 2013 adalah 5.670 jiwa, terdiri dari 2.970 jiwa penduduk laki-laki dan 2.700 jiwa penduduk perempuan, masuk ke dalam 1.576 KK (Kepala Keluarga). Tidak terdapat perincian data penduduk menurut tingkat umur dengan interval 5 tahun. Selain itu tidak terdapat pula angka kelahiran, kematian, dan mobilitas per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pencatatan data secara terperinci kurang dilakukan oleh pemerintah Desa Sukawana.

Di Desa Sukawana tidak terdapat pembatasan jumlah penduduk/ KK karena tingkat mobilitas masih rendah, dan daya tampung lingkungan masih tinggi. Pendatang boleh saja menetap di Desa Sukawana asalkan memenuhi atau melengkapi syarat administratif dan lebih lanjut serta harus terlibat sebagai anggota banjar dinas, banjar adat, dan desa pekraman. Wilayah persebaran penduduk awalnya terpusat di daerah umah tua (rumah tua) sekitar Pura Bale Agung, namun setelah berkembangnya perekonomian, masyarakat banyak yang membangun rumahnya (pondoknya) di ladang atau di pinggir jalan utama. Hal tersebut dimaksudkan agar akses untuk bekerja lebih dekat dan efisien. Banyak pula masyarakat yang mewarisi rumah tua hanya tinggal di sana saat malam hari untuk ‘menumpang tidur’ dan esoknya kembali beraktivitas di pondok yang ada di ladang. Selain pada malam hari, deretan rumah tua ini hanya akan ramai pada saat pekan upacara adat. Hal itu karena persiapan sarana dan prasarana upacara serta lokasi pura berada dekat dengan rumah tua yang memakai sitem tabuan (terpusat).

1.4 Pendidikan dan Kesehatan a. Pendidikan

Ketersediaan sarana-prasarana pendidikan guna mendukung pengentasan wajib belajar 9 tahun di Desa Sukawana bisa dikatakan cukup memadai di samping pemerintah juga telah mendukung dengan biaya pendidikan melalui program BOS yang dikelola secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melalui Komite Sekolah. Pelibatan masyarakat dalam sektor pendidikan dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Sekali pun fasilitas pendidikan telah cukup memadai, bukan berarti tidak terjadi permasalahan pendidikan di tingkat masyarakat. Permasalahan utama yang terjadi berupa rendahnya biaya pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan, kesenjangan tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat, seperti antara penduduk


(15)

miskin dengan kaya dan/atau antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, kualitas pendidikan juga belum optimal.

1 2 3 4 5

1 Gedung TK _ _ _

2 Gedung SD 4 Unit

Br. Kutedalem,Br Tanah daha,Br Paketan dan Br. KubusaliaDesa sukawana

Baik

3 SMP dan Sederajat 1 Unit Dsn Kutedalem Baik

5 Unit

Tabel 3. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Desa Sukawana

JUMLAH

KETERANGAN (Kondisi) NO. SARANA DAN PRASARANA

PENDIDIKAN

VOLUME

(Buah) Lokasi

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.

Berdasarkan data tabel 3 diketahui bahwa tidak terdapa fasilitas Gedung TK dan tidak ada SMA di sana, sehingga penduduk memiliki 2 pilihan terkait hal tersebut. Pertama menyekolahkan TK, SMA, atau sampai PT di luar desa, bahkan bisa hingga di luar kota. Pilihan kedua yaitu orang tua tidak menyekolahkan TK anaknya karena lokasi jauh dan sibuk bekerja, dan untuk pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA dan PT apabila orang tuanya mampu, mereka akan menyekolahkan anaknya ke luar desa, bahkan sampai ke luar Kota Bangli. Berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk di Desa Sukawana dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 : Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Sukawana JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH (Orang)

Tidak Tamat SD 753

Tamat SD 1.068

Tamat SMP 718

Tamat SMA/Sederajat 879

Diploma III - Sarjana 211

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.


(16)

Struktur penduduk menurut pendidikan menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang dipunyai Desa Sukawana, yaitu penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 39,8 %; tamat pendidikan dasar (SD) 45,1%; tamat SMP 12,2 %; tamat SLTA 7,3 %; Diploma dan Sarjana 2,4 %. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa SDM yang kurang berkualias dan kurang memiliki spesialisasi tertentu banyak terdapat di Desa Sukawana. Untuk mengantisipasi pengangguran dan kurangnya produktivitas warga, dapat diambil solusi seperti pelatihan keterampilan kerja dan wirausaha, penyuluhan pertanian agar masyarakat dapat mengenal IPTEK di bidang pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Selain itu perlu diadakan sosialisasi ke masyarakat, terutama ke orang tua berkaitan dengan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan. Hal ini agar para orang tua merasa berkewajiban untuk menyekolahkan anaknya (baik laki-laki maupun perempuan) hingga sampai jenjang pendidikan tertinggi. Sehingga pembangunan SDM nantinya dapat turut serta berkontribusi terhadap pembangunan daerah.

Selain sarana gedung sekolah, diperlukan juga penunjang lainnya untuk membangun SDM yang handal di Desa Sukawana, seperti Balai Latihan Kerja dan akses pendidikan melalui perpustakaan dan internet. Tentunya budaya membaca masyarakat juga perlu ditingkatkan. Penulis merasakan bahwa saat berada di Desa Sukawana sulit untuk mendapatkan sinyal, serta penduduknya masih kurang merasa perlu terhadap internet sehingga sedikit yang mengenal internet. Maka perlu diadakan penyuluhan tentang manfaat internet dan pembangunan sarana prasarananya agar masyarakat lebih melek terhadap perkembangan IPTEK yang ada, terlebih lagi akhir tahun 2015 ini kita sudah diberlakukan perdagangan bebas komunitas ekonomi ASEAN (Asean Economy Comunity 2015). Sehingga dari sekarang perlu dipersiapkan dan digalakkan lagi pembangunan SDM dan IPTEK agar daya saing penduduk dapat meningkat.

b. Kesehatan

Berbicara tentang sistem pengetahuan dan pengembangan SDM tentunya tidak akan pernah lepas dari bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan tingkat kesahatan yang baik, masyarakat dapat menjalankan aktivitasnya dengan lancar, baik aktivitas belajar maupun bekerja. Di bidang kesehatan, pemerintah telah menyediakan sarana-prasarana kesehatan dan tenaga medis dalam rangka untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Secara rinci sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Sukawana disajikan pada Tabel 5.


(17)

1 2 3 4 1 Puskesmas

2 Pustu 1 Unit baik

3 Polindes 2 Unit

4 Posyandu 9 kelompok aktif

JUMLAH

KETERANGAN (Kondisi)

NO. SARANA DAN PRASARANA

KESEHATAN

VOLUME (Buah)

Tabel 5. Sarana dan Prasarana Kesehatan Di Desa Sukawana

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa terdapat 1 unit Puskesmas Pembantu dengan kondisi baik dan terdapat pula 2 unit Polindes. Masyarakat biasanya hanya menggunakan sarana dan prasarana kesehatan dalam kegiatan Posyandu, itu pun partisipasinya masih kurang. Penduduk juga jarang menjalani chek-up kandungannya, namun syukurnya mereka sudah terbiasa melahirkan di bidan ataupun rumah sakit. Saat berjalan di daerah rumah tua yang berdekatan dengan Bale Agung, penulis melihat banyak sampah yang berserakan di pinggir jalan. Hal tersebut mungkin terjadi karena penduduk sedikit menghabiskan waktunya di rumah tua, lebih sibuk dan lebih sering berada di pondok dekat ladang. Hal tersebut membuat perhatian terhadap kebersihan di daerah rumah tua kurang diperhatikan, padahal sampah-sampah plastik yang tidak dapat cepat terurai oleh alam itu dapat menjadi sumber penyakit seperti demam berdarah, malaria, ataupun penyakit yang disebarkan oleh serangga.

Seperti yang diterangkan di atas, masalah kesehatan kerap muncul karena kesadaran akan pola hidup bersih dan sehat dari masyarakat masih tetap kurang, hal ini nampak dari rendahnya tingkat kehadiran ibu-ibu dalam kegiatan Posyandu. Selain itu kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya agar bersih dan sehat sebagai langkah pencegahan penyakit masih rendah serta pemanfaatan potensi tanaman obat untuk menjaga kesehatan atau pengobatan masih belum membudaya. Oleh karena itu, berbagai program kesehatan seperti penyuluhan, revitalisasi Posyandu masih tetap perlu dilanjutkan, tentunya dengan meningkatkan koordinasi dengan instani pemerintah sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan kesehatan.


(18)

1.5 Mata Pencaharian Hidup dan Kondisi Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Sukawana masih bercorak agraris yang menitikberatkan pada sektor pertanian. Hal ini didukung oleh penggunaan lahan pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar sebanyak 86% dari total penggunaan lahan desa. Juga 86% mata pencaharian penduduk menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Pada sektor ini, komoditi yang menonjol sebagai hasil andalan adalah holtikultura, perkebunan, palawija. Penduduk desa banyak yang menanam jeruk, kopi, anggur, markisa, cengkeh, stroberi, limau, lemon, bambu, jahe, kunyit, dan bawang. Berikut data penduduk Desa Sukawana berdasarkan mata pencaharian hidup.

Tabel 6 : Penduduk Desa Sukawana Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup Jenis Mata Pencaharian Hidup Jumlah (Orang)

Petani, Peternak, Nelayan 4.865

Buruh/ Tukang 300

PNS, Pensiunan, Polisi, TNI, PTT, Pegawai 25

Pegawai Swasta/ Usaha 229

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, peternak, dan nelayan. Posisi kedua yanitu sebagai buruh atau tukang, posisi ketiga sebagai pegawai swasta atau memiliki usaha sendiri, dan yang paling minoritas yaitu penduduk yang bekerja sebagai pegawai negara.

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong perekonomian dasar dan menonjol di samping sektor pertanian adalah peternakan. Sektor peternakan memberikan prospek yang cukup bagus adalah ternak ayam petelor, ternak babi, anjing dan ternak sapi. Sektor peternakan yang sedang bergeliat adalah penggemukan sapi dan peternakan babi. Sebagai penggerak ekonomi masyarakat terdapat fasilitas pasar di Kintamani, Kayuambua, dan Bangli. Pada sektor jasa, yang menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi keuangan mikro berupa koperasi, LPD, Kelompok UED sebagai pendukung ekonomi desa. Hal ini diharapkan akan membawa dampak positif dalam perkembangan ekonomi desa secara keseluruhan. Di samping itu sektor jasa yang lain adalah sektor industri pariwisata.


(19)

Sektor industri pariwisata yang berkembang di Desa Sukawana adalah wisata alam pegunungan dan Pura Penulisan, diharapkan kedua objek ini mampu mendorong perkembangan ekonomi desa secara keseluruhan, karena sektor ini mempengaruhi perkembangan sektor-sektor yang lainnya.

1.6 Organisasi Sosial

a. Kelembagaan Pemerintahan Desa

Struktur kelembagaan di Desa Sukawana di samping kelembagaan administratif Pemerintah Desa dan kelembagaan dari Desa Adat/Pekraman, juga kelembagaan yang muncul atau yang didorong keberadaannya dari motif ekonomi, budaya, kesehatan, pendidikan dan sosial politik. Kelembagaan dari Pemerintahan Desa antara lain, Pemerintah Desa, BPD, LPM, PKK Desa, PKK Desa Sukawana. Kelembagaan bidang ekonomi misalnya, koperasi, LPD, kelompok usaha kecil, kelompok tani, ternak, dll. Kelembagaan bidang pendidikan seperti, Komite Sekolah, dll. Kelembagaan bidang kesehatan seperti Posyandu, Kelompok Dana Sehat, dll. Kelembagaan bidang budaya seperti sekaa gong, sekaa santi, dll. Kelembagaan bidang sosial dan politik seperti Karang Taruna, Lembaga Patus Kematian Suka Duka, subak abian, dll.

Gambar 3

Kantor Kepala Desa Sukawana


(20)

b. Pembagian Wilayah .

Secara adminsitrasi Desa Sukawana terbagi dalam sembilan (9) wilayah kerja banjar dinas yaitu Banjar Dinas Kuum, Banjar Dinas Kutedalem, Banjar Dinas Paketan, Banjar Dinas Lateng, Banjar Dinas Kubusalia, Banjar Dinas Desa, Banjar Dinas Sukawana, Banjar Dinas Tanah Daha, dan Banjar Dinas Munduk Lampah.

c. Struktur Organisasi Pemerintah Desa

Sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 9 Tahun 2007, maka struktur pemerintahan Desa Sukawana telah lengkap. Dikepalai oleh seorang Perbekel (Kepala Desa), kesekretariatan dipimpin oleh Sekdes (Sekretaris Desa) dan dibantu lima (5) orang Kepala Urusan. Untuk di tingkat banjar dinas, Perbekel dibantu sembilan (9) orang Kelian Dinas Difintif. Mengenai tata hubungan kerja dapat dijelaskan dalam diagram berikut:


(21)

Bagan 1: Struktur Organisasi Pemerintah Desa

d. Kondisi Pemerintahan Adat

Seperti pada pemerintahan adat Bali Mula pada umumya, di Desa Sukawana pemerintah adatnya memakai sistem Ulu Apad yaitu sistem kepemimpinan yang diperoleh berdasarkan usaha seseorang (achived), bila bagian atasnya sudah selesai masa tugasnya (baki) karena semua anaknya telah menikah maka yang menggantikan posisi pimpinan adat (Jero Bayan) adalah bawahannya,


(22)

begitu seterusnya. Sistem perekrutannya yaitu anggota yang dianggap sah adalah warga asli Desa Sukawana yang baru menikah langsung masuk ke dalam sistem pemerintahan dan harus mengabdi (ngayah) sampai akhirnya ia menempati posisi tertentu sampai posisi puncak untuk memimpin penyelenggaraan upacara adat. Berikut jenjang posisi pemerintahan adat dari atas ke bawah.

Tabel 7 : Jabatan dan Tugas Kepemimpinan Adat Desa Sukawana JABATAN

ADAT JUMLAH ORANG TUGAS

Jero Bayan 2 Orang

(Kiwa / kiri dan Tengen/ kanan)

Memimpin upacara

Jero Bau 4 Orang

(2 Kiwa dan 2 Tengen)

Menjadi wakil Jero Bayan

Jero Nyingguk 2 Orang Memantau kesalahan yang terjadi

dalam hal adat.

Jero Nakeh/ Penakoan

3 Orang

(Sekdon (keset don) /sekretaris,

Tuwaan (lebih tua) , Nyomanan (lebih muda))

Mengukur atau menimbang pepeson atau jumlah sarana prasarana yang haruis disumbangkan oleh warga untuk keperluan upacara adat.

Jero Pengelanan 4 Orang

Menentukan pembagian kerja dan pembagian hasil (lungsuran) upacara.

Jero Kelian 4 Orang

(2 Kiwa dan 2 Tengen)

Mengatur, memimpin, mengelola, dan menjembatani antara posisi atas dan bawah.

Kasinoman /

Sayaa 4 Orang

Melayani (ngayahin) posisi bagian atas

Krama Ulu Ampad

Banyak (Semua warga Desa

Sukawana yang sudah menikah masuk ke dalam krama Ulu Apad)

Mengikuti rapat (sangkep) dan terlibat dalam upacara adat di Desa Sukawana dan pura yang berhubungan dengannya.


(23)

BAB II

SEJARAH DESA DAN MITOS

2.1 Sejarah Desa Sukawana

Berdasaran bukti arkeologis yang ditemukan, sejarah Desa Sukawana dimulai pada abad ke-8 masehi dengan ditemukannya Prasasti Raja Singa Mandawa yang mengatakan bahwa ada sebuah desa yang letaknya di dekat Pura Pucak Penulisan yang bernama Desa Wangun Urip, namun desa tersebut memiliki anggota yang masih sedikit. Sebelum prasasti tersebut ditemukan, sesungguhnya telah ada peninggalan berupa batu megalitik berupa menhir yang membuktikan bahwa sejak jaman dahulu sudah ada yang menetap di sana.

Gambar 4

Pura Pucak Penulisan di Desa Sukawana

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Desa Sukawana merupakan Desa Bali Mula yang masih memegang teguh tradisi aslinya. Menurut narasumber yang kami wawancarai, terdapat perbedaan antara Bali Aga dan Bali Mula. Bali Aga merupakan masyarakat asli Bali yang telah terkena pengaruh dari Majapahit, sedangkan Bali Mula belum. Desa Sukawana merupakan Desa Bali Mula, karena tidak terkena pengaruh dari Majapahit dan tidak mengenal bangunan meru (bangunan suci dengan atap bertingkat). Jaman dahulu tempat pemujaan hanya berupa batu-batu seperti pada waktu jaman megalitik, namun dikarenakan peradaban, lambat laun hal tersebut berubah.


(24)

Secara tradisi, masyarakat Desa Sukawana memiliki Hari Raya Nyepi sendiri (nyepi desa) yang didasarkan pada kalender tahun Bali Mula. Nyepi bagi masyarakat Desa Sukawana adalah penanda tutup tahun atau akhir tahun. Kalender tahun Bali Mula hanya diketahui oleh para penglingsir (orang yang dituakan) dan pinandita (pendeta) setempat. Kalender ini memiliki bahasa sendiri.

Selain dari peninggalan berupa prasasti dan artefak, sejarah Desa Sukawana juga dapat ditelusuri dari sebuah legenda atau mitos. Konon, dahulu kala di kaki Gunung Wangun Urip hidup seorang gadis yang selama hidupnya belum menikah. Oleh karena perempuan tersebut belum menikah, perempuan itu dikenal dengan nama Daha Tua yang artinya Gadis Tua. Ia hidup di sekitar hutan. Oleh karena dihuni oleh Daha Tua, daerah di sekitar hutan itu pun disebut dengan nama Tanah Daha. Di tempat inilah Daha Tua menetap serta pekerjaannya adalah merabas hutan. Jika hutan sudah dibersihkan dan layak ditanami, maka Daha Tua itu menanaminya dengan tanaman bawang putih atau kesuna.

Pekerjaan Daha Tua tiap harinya hanya menanam kesuna, di samping memelihara ayam putih kedas (ayam yang bulunya berwarna putih bersih) yang memiliki suara nyaring dan merdu sebagai penghibur hati Daha Tua itu siang dan malam. Apabila musim panen tiba, Daha Tua menyimpan bawang putih atau kesuna hasil panennya mempergunakan sok (sebuah bakul dari pohon bambu) sebagai tempat kesuna, lalu ditempatkan digubuknya di dalam hutan Tanah Daha.

Sementara itu, di hutan sebelah utara dari tempat tinggal si Gadis Tua, ada empat jejaka bersaudara yang menetap tinggal di sana. Keempat jejaka itu masing masing bernama Tuwaan, Madenan, Nyomanan, dan Ketutan. Yang bernama Madenan tidak lagi ikut dengan ketiga saudaranya karena sudah menetap di tempat yang agak jauh dari tempat saudaranya tinggal. Tempat itu sampai saat ini dikenal dengan nama Desa Madenan.

Suatu hari, salah satu ketiga bersaudara tersebut yakni Nyomanan mendengar suara ayam yang sangat merdu ketika bangun tidur di pagi hari. Suara ayam yang merdu tersebut berasal dari tengah Hutan Tanah Daha. Hati Nyomanan tertarik untuk mengetahui siapa yang memelihara ayam yang mempunyai suara merdu itu. Kemudian Nyomanan pun bergegas pergi ke arah suara ayam tersebut. Sesampainya ia di Hutan Tanah Daha, Nyomanan menemukan sebuah sok yang berisi bawang putih atau kesuna di dalam hutan. Ketika Nyomanan memperhatikan sok itu, ketika itu juga datang Daha Tua menghampirinya. Hati Nyomanan tertarik pada Daha Tua dan menyatakan bahwa Nyomanan hendak memperistrinya. Mungkin sudah kehendak dan takdir Hyang Maha Kuasa,


(25)

akhirnya mereka berdua melangsungkan perkawinan. Nyomanan tidak kembali lagi ke tempat saudaranya dan menetap menjalani hidup di hutan Tanah Daha.

Karena pada saat bertemu dengan istrinya diawali dengan menemukan sok berisi kesuna di tengah hutan (wana), maka tempat itu pun diganti namanya menjadi Sokwana. Sokwana artinya sok atau bakul berisi kesuna di tengah hutan (wana). Setelah kian berkembang, tempat itu diberi nama Desa Sokwana, yang sekarang menjadi Desa Sukawana. Sementara itu, Hutan Tanah Daha berubah menjadi sebuah banjar yang sekarang bernama Banjar Tanah Daha.

Selanjutnya dikisahkan Nyomanan inilah yang menurunkan Kraman Nyomanan di Desa Sukawana, sedangkan saudaranya yang menetap ditempat dulu yakni Tuwaan diyakini menurunkan Kraman Tuwaan. Sampai saat ini kedua kelompok (kraman) tersebut terus berkembang, bertambah banyak serta merupakan satu kesatuan yaitu Desa Pakraman Sukawana. Diyakini bahwa Desa Pakraman Sukawana awal terbentuknya berasal dari dua kelompok yaitu Nyomanan dan Tuwaan, namun keduanya sesungguhnya adalah tunggal dan selalu berdampingan serta bersama-sama membuat Desa Sukawana menjadi besar dan terus berkembang.

2.2 Kisah Ki Suling Dalang dan Idung Lantang

Di Desa Sukawana terdapat satu kisah mengenai Ki Suling Dalang dan Idung Lantang. Ki Kidung Dalang adalah seorang penduduk lokal yang bekerja sebagai pemburu burung merpati, sedangkan Idung Lantang adalah warga luar yang berwujud Ganesha. Ki Suling Dalang adalah seorang yang memiliki suara jernih, sedangkan Idung Lantang adalah seorang yang buruk rupa yang menginginkan istri dari Ki Suling Dalang yang bernama Timun Emas yang memiliki rupa yang cantik.

Idung Lantang sangat menginginkan Timun emas menjadi istrinya dengan melakukan berbagai cara. Sebelum Ki Suling dalang pergi berburu, ia selalu mengingatkan istrinya agar tidak membukakan pintu untuk siapapun yang datang kecuali dirinya. Namun Idung Lantang tidak kehabisan akal, ia melalukan berbagai hal dengan menyuruh orang menyamar untuk bernyanyi seperti Ki Suling Dalang tetapi selalu gagal. Tetapi seorang pengembala ayam berhasil mengelabuhi Timun Emas yang membuat Timun Emas membukakan pintunya. Pada akhirnya Timun emas diculik paksa dan hendak diperkosa oleh Idung Lantang.

Tetapi Timun Emas tidak kehabisan akal, ia menyuruh Idung Lantang mengambil bunga Cempaka Gondok. Setelah Idung Lantang naik, ditariklah hidung Idung Lantang yang membuat


(26)

hidung dan tubuhnya jatuh berserakan. Hasil dari beberapa potongan tubuh Idung Lantang yang berserakan seperti ibu jarinya menjadi kunyit, jari tangannya menjadi pisang kayu, telinganya menjadi daun dadap, kamennya menjadi bedeg dan tulangnya menjadi talenan.

Dari mitos yang tersebar itu maka setiap puncak upacara di Pura Puncak Penulisan, seluruh bagian tubuh dari Idung Lantang harus ada. Pembagiannya Desa Awan membawa bedeg, Desa Gunung Bau membawa kukusan, Desa Lambean membawa baju, Desa Bauh membawa pucuk daun dadab, Desa Blantih membawa beras merah dan Desa Batih membawa talenan. Hingga sampai saat ini upacara tersebut masih dilaksanakan yang disebut dengan “Bangun Urip”, yang menjadikan kesatuan yang kuat di dalam masyarakat Desa Sukawana. Masyarakat desa Sukawana tidak dapat diserang magic karena dilindungi oleh leluhur berupa mantra-mantra (yang tertulis dalam prasasti D) dengan syarat masyarakat Desa Sukawana selalu mentaati aturan-aturan yang berlaku.

2.3 Membunuh Babi pada Saat Tertentu Adalah Tabu

Salah satu hal yang tabu pada masyarakat di Desa Sukawana adalah adanya larangan menggunakan, memakan, ataupun membunuh babi pada penanggalan kekeran bulan. Pada penanggalan ini, masyarakat tidak diperbolehkan untuk menghaturkan babi di pura dan merajan. Hanya di rong tiga (tempat beristana Bhatara Hyang Guru) boleh menghaturkan babi, selain itu tidak boleh.

Kekeran bulan merupakan suatu aturan ataupun upacara yang dilaksanakan menjelang hari tilem (bulan mati) menuju purnama (bulan penuh) selama 15 hari. Kekeran Bulan merupakan aturan ataupun upacara untuk dilarang memotong babi yang diumumkan oleh pejuru adat (pejbat adat) sebelum hari Tilem Sasih Karo. Kekeran Bulan dibagi menjadi tiga pembagian waktu yaitu sasih ketiga, sasih keempat dan sasih ketuju (atau yang sering disebut dengan bulan posia pada penyambutan ulang tahun desa).

2.4 Mitos Goa Kaki (Kakek) Raksasa

Pada suatu hari hiduplah seorang manusia yang tinggi besar yang di tengah hutan yang kini merupakan bagian dari Desa Sukawana, ia merupakan penduduk asli yang sudah lama hidup di sana. Lalu datanglah penduduk baru yang entah dari mana asal mereka. Pendatang tersebut melihat sosok laki-laki besar tinggi itu seperti raksasa, padahal sesungguhnya dia adalah manusia. Isu keberadaan raksasa di tanah yang baru mereka datangi dengan sangat cepat menyebar dari mulut ke mulut.


(27)

Desakan pendatang membuat laki-laki tinggi besar yang sering disebut kaki (kakek) raksasa lebih memilih menyingkir ke hutan yang lebih dalam dan membuat goa sebagai tempat tinggalnya. Goa ini terletak di areal yang sekarang disebut Subak Paka.

Waktu terus berjalan, masyarakat merasakan si kakek raksasa tidak mau bergaul secara aktif di masyarakat sehingga masyarakat merasa risih sekaligus merasa terancam dengan keberadaan si kakek raksasa yang tinggi besar. Selanjutnya entah berdasarkan permasalahan apa yang mengawali, akhirnya para penduduk berbondong-bondong datang ke goa dan membunuh si kakek raksasa. Darahnya berkucuran hingga akhirnya dia meninggal. Darah kakek raksasa meresap ke tanah sekitarnya dan akhirnuya membuat tanah itu berwarna merah.

Kini tanah merah yang ada di Subak Paka itu dimanfaatkan sebagai areal ladang cengkeh, untuk menunjang perekonomian warga Desa Sukawana. Di dekat areal ini terdapat hutan dengan berbagai pohon-pohon besar seperti pohon pinus, cemara, puspa, dan ampupu atau kayu putih. Masyarakat sangat menjaga keberadaan berbagai jenis pohon di hutan tersebut. Mereka percaya bahwa roh kakek raksasa masih berada di goa dan sekitar hutan, sehingga pantang bagi masyarakat untuk memasuki goa dan pergi ke hutan pada malam hari. Pernah suatu hari ada penduduk yang tidak sengaja melihat cahaya bola api di tengah hutan, saat itu dia tengah berpondok di dekat ladangnya. Begitu pula penduduk lainnya yang juga secara tidak sengaja sering melihat cahaya bola api di tengah hutan dan di sekitar goa kakek raksasa pada saat malam hari, sehingga menguatkan keyakinan untuk tidak mengganggu hutan. Setiap pagi saat baru tiba di ladang dan sore hari saat akan pulang, para petani selalu memukul kentongan. Hal itu dilakukan untuk memberitahukan kedatangan serta kepulangan mereka, sekaligus meminta ijin kepada penghuni hutan untuk menggarap ladang.

2.5 Rasionalitas Tersembunyi di Balik Mitos Goa Kaki (Kakek) Raksasa di Desa Sukawana Daratan Desa Sukawana terdiri dari perbukitan dan lembah, terdapat berbagai tumbuhan di hutan sekitarnya seperti pohon pinus, cemara, puspa, dan ampupu atau kayu putih. Tumbuhan di hutan tersebut sangat dilindungi oleh pemerintah, bagi siapa yang berani menebang pohon di hutan lindung tersebut maka akan dihukum karena terdapat UU mengenai hutan lindung dan ada polisi hutan yang selalu mengawasi hutan di sana.

Jika hal di atas dikaitkan dengan mitos goa kaki (kakek) raksasa dan rohnya yang menghuni hutan di sekitar desa, maka alasan penduduk untuk tidak menebangi dan tidak menggangu hutan berpengaruh positif terhadap ekosistem sekitarnya. Hal tersebut termasuk cukup masuk akal,


(28)

mengingat bahwa daratan Desa Sukawana terdiri dari perbukitan dan lembah dengan curah hujan sedang, maka tanah di desa tersebut berpotensi longsor jika tidak ada pohon yang menyangga tanah dan menyerap air hujan.

Gambar 5

Wilayah Desa Sukawana Terletak di Daerah Pegunungan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Selain itu terdapat 28 subak abian yang ada di Desa Sukawana, jika ekosistem hutan terganggu tentu saja akan berdampak pada keberadaan subak abian yang merupakan handalan warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun berada pada ketinggian 1.745 m di atas permukaan laut, berkat lestarinya hutan di Desa Sukawana masih terdapat sumber mata air yang keluar dari celah bebetuan di dekat tebing. Air yang keluar sedikit demi sedikit itu ditampung dalam sebuah wadah. Para petani yang memerlukan air untuk mengairi subak abian milik mereka dapat mengambil air di sana. Beruntung jika ladangnya berada di bawah sumber mata air, hanya tinggal memasang pipa ke bawah, maka air akan mengalir ke ladangnya, namun bagi mereka yang memiliki ladang di atas tebing maka harus memasang pompa air untuk menaikkan air ke atas.

Larangan memasuki goa kaki (kakek) raksasa yang lubang goanya memiliki panjang 2 meter dan lebar 1 meter sangat beralasan dan masuk akal karena dengan kontur tanah merah yang labil,


(29)

serta tidak adanya celah udara di dalam goa. Maka siapapun yang masuk ke goa tersebut akan sesak napas karena kehabisan oksigen dan bahaya longsor dalam goa dapat saja terjadi, sehingga membahayakan jiwa orang yang masuk ke dalam goa tersebut. Selain itu pergi ke hutan malam-malam juga ditabukan, hal tersebut juga cukup masuk akal. Untuk apa orang pergi ke dalam hutan tengah malam? Hutan di malam hari yang gelap gulita, dengan suhu dingin yang menusuk, serta terdapat tebing di sekitarnya tentu saja akan membahayakan orang yang berjalan tanpa panduan cahaya, bisa saja orang tersebut terpleset masuk jurang atau digigit ular.

Di luar topik ekologi, terdapat pula pesan sosial dari insiden pembunuhan kakek raksasa yang sebenarnya adalah manusia. Ketidakterbukaan kakek raksasa terhadap pendatang baru dan memilih untuk mengintimidasi dirinya dengan mengasingkan diri ke hutan yang lebih dalam membuat pendatang baru merasa tidak nyaman dan terancam atas sikap tersebut, sehingga untuk mematikan rasa takutnya penduduk membunuh kakek raksasa. Pesan sosialnya yaitu kita sebagai manusia harus terbuka dan beradaptasi terhadap perubahan, jika tidak maka kita akan telindas jaman. Komunikasi dan keharmonisan antar tetangga haruslah selalu dibangun untuk menciptakan suasana tenang, damai, dan aman dalam bermasyarakat.


(30)

BAB III

MATA PENCAHARIAN HIDUP MASYARAKAT DESA SUKAWANA

Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.500 mdpl, curah hujan yang relatif sedang. Keadaan iklim Desa Sukawana adalah beriklim tropis dengan suhu berkisar 23-26 derajat celsius. Curah hujan rata-rata 1800 s/d 1887 mm/tahun atau 149 hari kalender. Jumlah penduduk Desa Sukawana berdasarkan Profil Desa tahun 2013 adalah sebanyak 1.576 KK atau sebanyak 5.670 jiwa. Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian (80%), peternakan (10%). Sektor lain yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah buruh (4%), dan sektor lainnya seperti pegawai negeri, karyawan swata dari berbagai sektor sebanyak (6%).

3.1 Sektor Pertanian

Wilayah Desa Sukawana yang terletak di daerah dataran tinggi menjadikan daerah ini cocok untuk mengembangkan industri di bidang perkebunan. Berbagai macam tanaman perkebunan dikelola oleh masyarakat setempat seperti jeruk, cengkeh, bawang merah, kopi, tembakau, kol, dan markisa.

Hampir sebagian besar penduduk Desa Sukawana yang bermata-pencaharian sebagai petani memanfaatkan hasil produk buah jeruk sebagai penghasilan utamanya, melihat kondisi alam yang sangat mendukung untuk pertumbuhan buah jeruk. Terdapat berbagai jenis buah jeruk yang biasanya mereka tanam di lahan mereka masing-masing, di antaranya jeruk sumaga, jeruk keprok, jeruk peras, jeruk spuntan/nyonyok, dan jeruk slayer. Dari kelima jenis jeruk tersebut, yang paling banyak ditanam yaitu jeruk sumaga dan jeruk spuntan karena rasanya yang manis dan memiliki harga jual yang relatif lebih tinggi.

Kisaran harga masing-masing per kilo dari buah jeruk tersebut yaitu jeruk sumaga Rp.4.000-an, jeruk keprok Rp.4.000-Rp.4.000-an, jeruk peras Rp.3.000-Rp.4.000-an, jeruk spuntan Rp.6.000-Rp.4.000-an, jeruk slayer Rp.4.000-an. Harga buah jeruk ini dapat berubah-ubah mengikuti musim. Biasanya musim panen buah jeruk di Desa Sukawana yaitu pada bulan Juli sampai September.

Pada tahun 2013, terdapat 750 hektar perkebunan jeruk dengan nilai produksi sebesar 97,5 miliar. Dalam pengelolaan perkebunan jeruk ada dua macam pengelolaan yaitu dikelola sendiri oleh


(31)

pemilik lahan (mulai dari pembiayaan , penanaman, perawatan hingga panen), serta ada pula dikelola dengan sistem nyakap dimana pemilik lahan akan bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola perkebuanan jeruknya. Pemilik lahan yang menyediakan lahan dan membiayai produksi lahan, sementara itu pihak lain yang diajak bekerja sama (yang nyakap) bertugas dalam proses penanaman hingga panen. Untuk hasil panen jeruk akan dibagi bersama dengan pembagian 60 % untuk pemilik lahan dan 40 % untuk pihak yang nyakap.

Penanaman jeruk memerlukan waktu kurang lebih 3 tahun dari masa pembibitan hingga dapat berbuah. Bibitnya didatangkan dari Singaraja. Masa bertahan tumbuh sebuah pohon jeruk bisa mencapai 25 tahun. Panen raya diadakan setiap setahun sekali. Pupuk yang digunakan masyarakat adalah pupuk buatan pabrik (pupuk urea), di samping juga menggunakan pupuk kandang.

Jika satu area kebun jeruk dikelola oleh sebuah keluarga, maka sistem pembagian kerja cukup dilakukan dengan memanfaatkan tenaga keluarga yakni bapak, ibu dan anak. Tenaga pekerja upah hanya akan digunakan jika telah memasuki masa panen. Upah yang diberikan pada pekerja rata-rata Rp.50.000 per orang dalam seharinya.

Selain memanen secara swadaya, ada juga sistem yang disebut majeg yaitu panen tidak dilakukan oleh petani, melainkan dilakukan oleh pihak pembeli (pemajeg) atau sering disebut tengkulak. Dalam proses jual beli antara tengkulak dengan petani jeruk akan ada proses tawar-menawar. Untuk penetapan harga jual akan dihitung dengan cara melihat kelebatan buah jeruknya dan akan dikalikan sejumlah pohon jeruk yang ada. Kisaran harganya antara 30 sampai 70 juta sekali panen per satu hektar.

Komoditi lain yang banyak dikembangkan adalah cengkeh yang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Cengkeh biasa dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, bahan campuran rokok kretek atau bahan dalam pembuatan minyak atsiri. Perkebunan cengkeh banyak terdapat di Banjar Kubusalia, mengingat kondisi fisik lingkungan di sana tidak cocok untuk ditanami buah jeruk.

Dalam proses pengolahannya, cengkeh sebelumnya perlu dijemur agar kering kurang lebih selama 4 sampai 5 hari. Dari awal bibit ditanam hingga untuk mendapatkan hasil panen yang pertama membutuhkan waktu 3 bulan, kemudian untuk panen-panen selanjutnya dapat dipanen setiap tahun sekali. Harga jual dari cengkeh saat ini adalah berkisar Rp.60.000 sampai Rp.100.000 per kilogramnya.


(32)

Selain jeruk dan cengkeh, kopi menjadi salah satu komoditi yang dikembangkan di Desa Sukawana ini. Hasil panen kopi dari lahan sekitar 1 hektar mencapai 5 sampai 7 karung, di mana masing-masing karung beratnya hingga 100-200 kilogram.

Menurut salah satu sumber, sebagian masyarakat mengolah lahan mereka dengan berbagai tanaman, tidak hanya satu komoditi saja. Bahkan ada yang dalam satu keluarga mereka menggarap perkebunan jeruk, kopi dan cengkeh secara bersamaan dan ditambah pula dengan beternak ayam. Pembagian waktu kerja disesuaikan, ketika akan memasuki panen jeruk, mereka akan fokus menangani tanaman jeruk, begitu pula ketika memasuki masa panen cengkeh dan kopi.

Sebagai wadah sosial profesi petani, terdapat organisasi sosial di bidang pertanian yang disebut subak abian. Terdapat 28 subak abian di wilayah Desa Sukawana yang mewilayahi tegalan (ladang) seluas 2.785 hektar. Organisasi subak abian ini sangat menjungjung tinggi konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga bentuk hubungan yang harmonis antara manusia dengan sang pencipta (parhyangan), antara manusia dengan sesama manusia (pawongan), serta antara manusia dengan lingkungan (palemahan).

Gambar 6

Salah Satu Pura Subak yang Ada di Desa Sukawana


(33)

3.2 Peternakan

Komoditi peternakan yang ada di Desa Sukawana yaitu peternakan ayam petelur. Peternakan ayam petelur ini terdapat di beberapa banjar dan subak, seperti Banjar Kuum, Subak Pujung, Subak Gunggung. Dari namanya yaitu peternakan ayam petelur, yang dimanfaatkan di sini yaitu telurnya. Telur ini dihasilkan oleh ayam petelur yang dapat menghasilkan sebutir telur setiap harinya. Untuk memiliki ayam petelur, mereka biasanya membeli bibit dari Jawa, kemudian memeliharanya hingga dewasa. Selama 20 bulan ayam petelur berada dalam masa bertelurnya, setelahnya ayam tersebut dianggap tidak berkualitas lagi sehingga perlu untuk dicarikan bibit baru. Untuk setiap butir telur dihargai sekitar Rp.1.000. Biasanya hasil telur ini langsung dijual ke pengepul di Desa Batur.

Gambar 7

Salah Satu Peternakan Ayam di Desa Sukawana

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Selain ayam petelur, ada pula warga yang beternak ayam pedaging. Ayam pedaging biasanya dijual per ekor, dengan kisaran harga sekitar Rp. 55.000 per ekor dengan berat mencapai 3 kg. Ayam yang dikembangkan adalah ayam jenis boiler, yaitu red boiler dan white boiler. Ada pula yang menjual ayam bali, guna untuk keperluan upacara. Apabila ada yang ingin membeli ayam bali ini diharuskan memesan sebelumnya, karena jenis ayam ini lumayan langka.


(34)

Komoditi peternakan lain yang cukup unik adalah peternakan anjing kintamani. Anjing kintamani yang memiliki ciri fisik menyerupai serigala ini, merupakan anjing asli Banjar Paketan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Selama ini, masyarakat umum sudah terlanjur mengetahui bahwa anjing ini dapat ditemukan di seluruh wilayah Kintamani. Akan tetapi, pendapat tersebut sedikit keliru. Anjing kintamani asli hanya dapat ditemukan di Banjar Paketan. Mereka yang menjual anjing kintamani di luar daerah Banjar Paketan mungkin saja itu merupakan anjing campuran yang diakui sebagai anjing kintamani asli.

Berdasarkan warna bulunya, terdapat tiga (3) jenis anjing kintamani. Ada yang berwarna putih, hitam dan cokelat. Sementara ini anjing kintamani yang memiliki warna putih lebih ditonjolkan karena telah mendapatkan pengakuan sebagai anjing ras asli Indonesia.

Anjing ini dibudidayakan di tempat/di rumah masing-masing warga, tidak ada tempat peternakan khusus. Pemilik anjing kintamani membudidayakan anjing ini dominan untuk dijual sebagai tambahan penghasilan. Usia hidup anjing ini dapat mencapai 20 tahun. Sekali mengandung, seekor anjing kintamani betina dapat melahirkan hingga tujuh (7) ekor, namun tak jarang hanya seekor saja. Ketika akan melahirkan, anjing kintamani akan menggali lubang sebagai tempatnya melahirkan anak-anaknya. Dalam lubang itu pula menjadi tempat untuk mengasuh anaknya. Makanan yang diberikan peternak untuk anjing kintamani adalah ketela, sayur jepang (labu siam), dedak, dan telur.

Kisaran harga anak anjing atau konyong adalah sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah. Sementara untuk yang dewasa harganya sekitar 5-10 juta rupiah. Terdapat pula perlombaan atau kontes-kontes untuk mengukur tingkat keaslian anjing kintamani yang bertujuan untuk mengembangkan minat untuk tetap membudidayakan anjing asli kintamani ini. Kemenangan seekor anjing dalam sebuah kontes tentunya akan meningkatkan nilai jualnya. Anjing pemenang memiliki nilai jual hingga 80 juta rupiah.

Di Banjar Paketan sendiri terdapat kelompok ternak anjing kintamani yang berfungsi sebagai wadah berkumpul untuk menjalin kerja sama dan berbagi informasi antara peternak anjing kintamani, baik dalam usaha perawatan, perkembangbiakan hingga pemasarannya. Namun untuk peternakannya sendiri dilakukan secara individu.


(35)

BAB IV

KESATUAN HIDUP SETEMPAT 

 

5.1 Bentuk – Bentuk Kesatuan Hidup Setempat

Warga Desa Sukawana pada umumnya saling mengenal satu sama lain, akan tetapi semua itu tergantung juga pada pribadi masing-masing individu. Perbedaan usia menjadi salah satu faktor bahwa tidak semua warga saling mengenal. Misalnya saja seorang berumur 40-50an, tidak begitu mengenal (dalam arti mengetahui nama, tempat tinggal, anaknya siapa) pemuda-pemudi meskipun berasal dari satu desa. Semakin sering seseorang bergaul, tentu lebih banyak pula yang akan mengenalnya.

Desa Sukawana termasuk desa yang ramah dengan para pendatang. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah pendatang yang tinggal di desa ini. Mereka datang dari desa-desa di Kabupaten Bangli dan Karangasem. Tujuan mereka antara lain adalah untuk bekerja. Kebanyakan kaum pendatang menjadi penggarap kebun. Kaum pendatang yang tinggal di Desa Sukawana semuanya beragama Hindu. Tidak ditemukan kaum pendatang beragama non-Hindu datang untuk tinggal di desa ini.

Penduduk pendatang di Desa Sukawana dikenal dengan istilah krama giringan. Krama giringan memiliki organisasi sendiri dengan seorang kelian krama giringan sebagai pemimpin organisasi mereka. Sejauh ini, antara krama giringan dengan penduduk asli bisa hidup bersama dengan damai. Apabila krama giringan tersebut memiliki sifat ramah dan mudah bergaul, maka penduduk asli pun akan bersikap ramah kepada mareka.

Seorang krama giringan dalam hal kependudukan akan tercatat sebagai bagian dari krama dinas. Jika ingin menjadi krama adat Desa Sukawana, krama giringan harus memiliki tanah pribadi di Desa Sukawana, entah dengan cara membeli, pemberian, atau dengan cara lainnya. Kepemilikan lahan secara pribadi menjadi salah satu syarat bahwa seseorang diakui sebagai bagian dari penduduk Desa Sukawana. Selain tanah milik pribadi, ada juga tanah yang dalam pengelolaannya diatur oleh desa. Tanah desa tersebut tersebar di beberapa titik lokasi Desa Sukawana. Kuburan (setra) merupakan salah satu contoh tanah yang dikelola oleh desa.

Kewajiban antara penduduk pendatang tentunya berbeda dengan penduduk asli. Misalnya saja dalam hal pemungutan dana punia dalam pembangunan Pura Bale Agung Desa Sukawana. Rupanya, penduduk asli dikenakan iuran yang lebih besar daripada krama giringan. Hal ini


(36)

menunjukkan bahwa penduduk asli memiliki kewajiban yang lebih banyak dibandingkan dengan krama giringan.

Oleh karena memiliki kewajiban yang lebih besar, tentunya penduduk asli memiliki hak yang lebih banyak. Misalnya saja mengenai penggunaan lahan kuburan (setra). Hanya penduduk yang sudah berstatus krama adat yang diizinkan untuk dikubur di kuburan desa, sedangkan krama giringan tidak. Jika ada krama giringan yang meninggal, ia harus dipulangkan ke desa asalnya. Penduduk asli juga berhak menempati posisi penting dalam pemerintahan desa, sementara krama giringan tidak. Posisi penting yang dimaksud misalnya ulu apad, pemangku (pemuka agama), kepala desa, dan sebagainya. Sebenarnya, kepala desa saat ini (periode 2014) juga merupakan penduduk pendatang, akan tetapi ia sudah dianggap sebagai bagian Desa Sukawana karena sudah berstatus sebagai krama adat. Karenanya, ia dapat menduduki posisi sebagai kepala desa.

Secara administratif, Desa Sukawana terbagi atas sembilan (9) desa dinas dan tiga (3) desa adat. Pada awalnya, hanya terdapat tujuh (7) desa dinas, akan tetapi karena semakin banyaknya penduduk, terjadilah pemekaran desa dinas. Sembilan (9) desa dinas yang dimaksud adalah Banjar Dinas Kuum, Banjar Dinas Kutedalem, Banjar Dinas Paketan, Banjar Dinas Lateng, Banjar Dinas Kubusalia, Banjar Dinas Desa, Banjar Dinas Sukawana, Banjar Dinas Tanah Daha, dan Banjar Dinas Munduk Lampah. Sama seperti pembagian desa di Bali pada umumnya, desa dinas menangani urusan administrasi, sedangkan desa adat lebih menangani permasalahan adat.

Meskipun dikelilingi hutan, penduduk Desa Sukawana tidak ada yang melakukan aktivitas berburu. Mereka kebanyakan adalah peternak dan petani. Dalam beternak, penduduk melakukannya di kebun atau ladang mereka. Letak kebun penduduk jauh dari desa. Oleh karena itu, kebanyakan penduduk membangun pondok di kebun mereka sebagai tempat tinggal. Padatnya aktivitas penduduk di kebun menyebabkan penduduk jarang berada di pemukiman desa. Mereka hanya pulang jika ada odalan pura atau upacara adat lainnya. Berbeda dengan Desa Bayung Gede (yang juga merupakan salah satu desa Bali Mula di Kec. Kintamani, Bangli), rupanya tidak ada larangan untuk membawa ternak ke pemukiman penduduk. Nampaknya meskipun dikatakan sebagai desa Bali Mula, Sukawana sudah termasuk desa yang terbuka terhadap perubahan.

Desa Sukawana berbatasan dengan desa-desa lain yang mengelilinginya. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Bantang dan Desa Daup. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kutuh dan Subaya. Desa Kintamani menjadi perbatasan wilayah selatan dan sebelah utaranya berbatasan dengan Desa Siakin dan Desa Pinggan. Bentuk batas desa tersebut tidaklah jelas, bisa berupa hutan, kebun,


(37)

atau tugu. Perbatasan wilayah nampaknya tidak begitu menjadi hal yang dipentingkan bagi Desa Sukawana. Hal ini dilihat dari tidak adanya petugas khusus untuk menjaga wilayah perbatasan tersebut. Siapa pun diijinkan untuk melewati batas, asalkan tidak memliki tujuan buruk tentunya.

5.2 Dasar-Dasar Kesukuan dan Kelompok

Seperti yang telah diungkapkan dalam sub-bab sebelumnya bahwa seluruh penduduk Desa Sukawana adalah orang Bali yang tetap bertahan dengan agama Hindu-nya. Dalam sistem kekerabatan orang Bali, dikenal istilah dadia (klen) yang menunjukkan bahwa seseorang memilik garis keturunan yang sama.

Di Desa Sukawana terdapat sekitar 30 klen (dadia), seperti Pasek Kayu Selem, Pasek Gelgel, dan masih banyak lainnya. Klen-klen tersebut masing memiliki pura dadia-nya masing-masing yang tersebar di wilayah Desa Sukawana. Jumlah anggota satu klen berbeda-beda, ada puluhan hingga ratusan kepala keluarga. Bahkan ada pula klen yang keanggotaannya hanya satu keluarga. Jika seseorang yang berasal dari klen yang sama memiliki suatu upacara, misalnya upacara nelu bulanin (bayi berumur tiga bulan), maka orang yang berasal dari klen yang sama wajib menghadirinya, akan tetapi bagi yang berasal dari klen yang berbeda tidak dapat menghadiri upacara tersebut.

Selain klen, adapula organisasi yang ada di tengah-tengah masyarakat Sukawana berdasarkan wilayah kebun mereka. Organisasi tersebut dinamakan subak. Berbeda dengan subak yang pada umumnya dikenal sebagai sebuah sistem pengairan, subak di Desa Sukawana adalah organisasi guna mengatur sistem jalan antar kebun. Subak untuk pengairan disebut subak sawah, sedangkan subak yang ada di Desa Sukawana adalah subak abian (kebun). Ada sekitar 28 organisasi subak di Desa Sukawana. Organisasi subak dipimpin oleh seorang klian subak. Setiap subak memiliki pura subak-nya masing-masing. Anggota subak akan berkumpul jika ada odalan di pura subak mereka.

Selain subak, terdapat juga kelompok-kelompok (sekaa) yang bertugas dalam ritual keagamaan. Sekaa-sekaa yang dimaksud misalnya adalah sekaa gong (kelompok penabuh), sekaa mebat (kelompok pembuat lawar –makanan khas Bali), sekaa pragina (kelompok penari), serta beberapa sekaa lain yang dibentuk sesuai kebutuhan upacara yang akan dilaksanakan.

Di Desa Sukawana tidak terdapat sistem kasta, tetapi ada beberapa golongan yang dianggap lebih tinggi atau terhormat kedudukannya. Golongan-golongan tersebut misalnya sulinggih


(38)

(pemimpin upacara keagamaan), pemuka masyarakat, dan tokoh adat. Dalam pemilihan tokoh-tokoh tersebut menggunakan sistem Ulu Apad.

5.3 Sistem Religi Masyarakat

Terdapat satu hal yang unik dalam sistem religi masyarakat Desa Sukawana. Dalam pemujaan, biasanya masyarakat Hindu Bali (Majapahit) akan menggunkan mantra sebagai pengantar pemujaan, akan tetapi, dalam ritual Desa Sukawana mereka menggunakan pujasana. Pujasana merupakan doa yang diucapkan dengan bahasa sehari-hari (bahasa Bali) dan tidak ada pakem mengenai hal-hal apa saja yang harus diucapkan oleh pemujanya. Masyarakat Desa Sukawana (dan juga masyarakat lainnya) juga tidak diperkenankan untuk membawa persembahan berupa daging babi ke Pura Puncak Penulisan. Hal ini sudah tertulis dalam Prasasti Sukawana. Selain itu, konon di masa lalu, masyarakat Desa Sukawana dan sekitarnya menganut ajaran Siwa, sehingga di Pura Puncak Penulisan banyak terdapat lingga sebagai media pemujaan Dewa Siwa.

Gambar 8

Arca dan Lingga yang Tersimpan di Pura Pucak Penulisan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014  


(39)

BAB V

SISTEM PEMERINTAHAN ADAT, DEWAN ADAT, DAN PEJABAT LAIN

5.1 Sistem Pemerintahan Desa Sukawana

Di Desa Sukawana terdapat sistem adat yang digunakan sejak jaman dahulu hingga saat ini, bernama sistem Ulu Apad yang berjumlah 23 orang yang dibagi menjadi dua sisi, yaitu sisi kiri dan kanan. Istilah Ulu Apad merupakan sebuah kiasan ruang yang menunjuk pada proses kenaikan tingkat. Secara harfiah Apad berarti “tangga” dan Ulu berarti “kepala”; mendaki tangga sampai ke ujung kepala. Istilah “mendaki tangga sampai ke ujung kepala” dimaksudkan sebagai kedudukan orang dalam pemerintahan adat Sukawana, setiap orang akan naik satu per satu anak tangga sesuai giliran.

Kedua sisi ini sama-sama kuat peranannya di dalam sistem pemerintahan Ulu Apad tersebut. Yang disebelah kanan biasa disebut Tuaan (tua yang berarti lebih tua) dan yang sebelah kiri sering disebut Nyomanan (nyom berarti muda atau lebih muda/ juga nyoman yaitu anak yang dilahirkan ketiga). Jadi di sini diibaratkan bahwa Tuaan secara simbolis adalah laki-laki (kanan) dan Nyomanan adalah simbolis perempuan (kiri). Dalam sejarahnya Tuaan ini merupakan kakakter tua sedangkan Nyomanan adalah adiknya yang membentuk sistem pemerintahan sendiri. Dalam menempati kedudukan masing-masing, harus dari keturunan Tuaan dan Nyomanan.

Adapun tingkatan posisi dalam kedua sistem pemerintahan adat ini yang paling tinggi yaitu di sebelah kanan Jro Bayan Mucuk, di sebelah kiri disebut Jro Bayan Kiwa yang dibantu oleh empat orang Jro Bau yang bertugas mengatur pelaksanaan upacara. Di bawahnya ada dua Jro Nyingguk yang bertugas seperti jaksa atau yang mengeluarkan sanksi terhadap warga yang melanggar peraturan. Di bawahnya lagi, ada tiga orang Jro Nakeh yang bertugas sebagai penimbang, salah satunya bertugas menjadi juru tulis atau yang dulu biasa disebut keset don. Namun untuk yang ini diambil dari keturunan di sebelah kanan (Tuaan), sedangkan yang di sebelah kiri hanya ada dua Jro Nakeh, tidak ada juru tulis atau keset don-nya. Di bawahnya lagi ada dua orang Jro Ngelan/ Kelih yang bertugas sebagai pembagi dari apa yang sudah didapat dari Jro Nakeh, dan dibagi-bagikan kepada jro yang lainnya dan masyarakat. Setiap jabatan di dalam sistem pemerintahan Ulu Apad ini dipegang oleh yang laki-laki, sementara yang perempuan atau istrinya berperan sebagai pendamping sang suami dan juga tetap diberi gelar jro.


(40)

Selain 23 orang di dalam sistem pemerintahan adat, ada pimpinan lain yang ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk membantu atau melayani masyarakat yang biasa disebut sebagai bendesa atau kepala desa. Bendesa atau kepala desa ini bertugas mengurusi segala urusan pemerintahan daerah yang formal dan bendesa ini posisinya di luar dari sistem pemerintahan adat Sukawana. Namun bendesa juga diperbantukan kepada Jro Ngelan/ Kelih.

Setiap orang di Desa Sukawana (keturunan di sana) secara otomatis akan masuk ke sistem Ulu Apad apabila orang tersebut sudah menikah. Sistem ini tidak memandang umur ataupun pendidikan. Bila sudah menikah, maka mereka langsung terdaftar dalam sistem Ulu Apad, namun untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi harus mengantri atau menunggu giliran. Bila salah satu sudah keluar dari sistem Ulu Apad entah karena meninggal atau karena anak/cucu sudah menikah semua, orang tersebut akan berstatus baki/nyada (bebas dari sistem), maka yang memiliki posisi di bawahnya naik memenuhi posisi orang yang sudah keluar tersebut. Jadi gambaran mudahnya seperti, rontok satu, naik satu.

Terdapat ritual semedi sebelum seseorang melakukan sistem Ulu Apad yang kemudian dilanjutkan dengan “perang kelapa” sebagai persembahan, kemudian kelapa tersebut akan ditebas oleh Jro Bayan. Dalam perang kelapa tersebut, calon Jro Kelih harus membawa kelapa sendiri dan sebanyak mungkin. Hal ini dimaksudkan apabila terbelahnya kelapa itu jelek, maka perang kelapa akan dilanjutkan terus sampai kelapa tersebut terbelah dengan bagus. Kelapa yang akan digunakan untuk perang kelapa harus disediakan sendiri oleh calon Jro Kelih.

Prosesi mediksa (upacara pengukuhan orang suci) di Sukawana ditanggung oleh desa, jadi tidak ada beban bagi perseorangan yang akan di-diksa. Para pandita di Desa Sukawana ini tidak diperbolehkan muput di pura-pura lain (merupakan kearifan lokal).

Di Desa Sukawana ini, yang berwenang untuk mengurusi awig-awig (peraturan adat) adalah orang-orang yang ada di sistem Ulu Apad dan dibantu oleh prajuru. Jika orang-orang yang ada di sistem Ulu Apad itu melanggar awig-awig, mereka tidak bisa dikeluarkan, hanya dikenakan denda berupa banten. Apabila tidak membayar denda, maka hukuman yang dipercayakan akan datang dari atas (Tuhan).

Di Desa Sukawana ini juga memiliki seorang pemangku yang masih kecil (anak-anak) yang disebut Mangku Alit atau Mangku Bunga. Mangku Alit atau Mangku Bunga ini dipilih oleh pekraman setempat, dipilih dengan syarat resik sempurna. Tugas dari Mangku Bunga ini adalah membersihkan arca-arca yang tidak bisa disentuh oleh orang dewasa atau orang yang kesuciannya telah hilang


(41)

(sudah mengetahui hawa nafsu duniawi). Jika Mangku Bunga ini telah menyukai seseorang, atau telah memikirkan hawa nafsu maka ia akan diberhentikan dari jabatan Mangku Bunga atau Mangku Alit tersebut. Tugas dari Mangku Bunga atau Mangku Alit adalah membersihkan dan mengantarkan prasasti yang sakral ketika ada upacara di Desa Sukawana, karena di Sukawana terdapat prasasti sakral yang tidak boleh disentuh siapapun selain Mangku Bunga tersebut.


(42)

5.2 Hubungan Antar Kelompok

Masyarakat asli Desa Sukawana pada dasarnya menerima kedatangan orang luar, baik itu melalui pernikahan maupun perpindahan penduduk. Para pendatang tetap hidup berdasarkan aturan yang ada di Desa Sukawana, sehingga keharmonisan di dalam masyarakat tetap terjaga. Meskipun demikian, terdapat aturan atau perjanjian yang bersifat adat jika salah seorang dari masyarakat Sukawana telah melakukan pelanggaran, misalnya saja melakukan tindak pencurian. Selain ia diproses secara hukum negara, ia juga akan diproses secara hukum adat seperti membayar ganti rugi kepada pihak desa. Ganti rugi kepada pihak desa bisa berupa apa saja sesuai dengan keputusan dari pemimpin adat, misalnya saja desa saat itu sedang membangun pura dan membutuhkan banyak material, bisa jadi orang yang terkena sanksi tersebut dikenakan denda bahan-bahan material. Untuk jumlahnya tergantung dari keputusan pemimpin adat setempat.

Masyarakat Desa Sukawana seperti masyarakat tradisional lainnya, tentu mengenal sistem gotong-royong maupun tolong-menolong antar warga. Apabila ada warga yang memiliki acara tertentu seperti pernikahan maka warga yang lain akan datang dan membantu atau yang biasa disebut ngayah.

Jika dalam masyarakat Desa Sukawana terjadi perselisihan antara individu dengan kelompok tertentu atau kelompok dengan kelompok, maka yang menjadi mediator adalah enam (6) jabatan paling atas yaitu Jro Bayan Mucuk, Jro Bayan Kiwa, serta empat orang Jro Bau. Keenam orang inilah yang berhak menjadi penengah maupun penentu sanksi bagi orang-orang yang berselisih.

Di Desa Sukawana terdapat sebuah pura yang bernama Pura Pucak Penulisan. Setiap dua puluh tahun sekali diadakan ritual (odalan besar) untuk pemujaan terhadap leluhur yang di-empon oleh masyarakat setempat. Saat itu orang-orang dari Pecatu maupun daerah lainnya yang leluhurnya berasal dari Sukawana datang untuk bersembahyang di Pura Puncak Penulisan. Selain ikut serta dalam ritual-ritual di Pura Pucak Penulisan, mereka juga membayar peturunan untuk upacara tersebut.


(43)

BAB VI

STRATIFIKASI SOSIAL DAN SISTEM PERKAWINAN

6.1 Stratifikasi Sosial

Desa Sukawana merupakan desa Bali Mula yang tidak mengenal adanya sistem kasta atau Catur Warna seperti pada masyarakat keturunan Bali Majapahit. Masyarakat Sukawana juga tidak mengenal stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan ataupun banyaknya mempunyai lahan perkebunan dan juga tinggi rendahnya pendidikan, namun masyarakat Sukawana mengenal adanya stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan adat pada masyarakatnya yang disebut Ulu Apad.

Ulu Apad tersebut terdiri dari jabatan tertinggi yaitu Kubayan. Jabatan Kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti apabila yang bersangkutan sudah mempunyai kumpi atau cicit. Apabila tidak ada keturunan, jabatan Kubayan akan dipegang sampai meninggal. Ada dua Kubayan yaitu Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi warga untuk melakukan pujawali atau piodalan. Tanpa Jro Kubayan, upacara tidak dapat dilaksanakan. Keduanya bertugas menghantarkan bahkti krama yang menghaturkan sembah. Selain itu, Jro Kubayan juga dapat memerintahkan ataupun melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat sehingga dapat dikatakan bahwa Jro Kubayan merupakan pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana.

Masyarakat juga mengenal adanya Mangku Bunga yang dipilih berdasarkan sistem Ulu Apad. Apabila ada salah satu dari keluarga ayah atau kakek menjadi seorang Ulu Apad, maka cucunya akan dipilih masyarakat sebagai Jero Mangku Bunga. Mangku Bunga dipilih berdasarkan beberapa kriteria seperti seorang anak kecil yang berumur minimal 5-6 tahun, tidak memiliki kekurangan fisik, tidak cacat mental, dan sudah mandiri dalam artian tidak merepotkan seseorang pada saat menjalankan tugasnya.

Mangku Bunga dipilih dari seorang anak kecil karena mereka belum mengenal wanita, kepentingan politik, hukum, emosional, dan egoisme. Mangku Bunga memiliki kewajiban memangku, menghormati, memegang, menjaga prasasti yang lahir dari setiap peradaban kerajaan. Mangku Bunga memiliki hak terhadap semua hasil persembahan di pura terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada warga yang lain yang akan diolah sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, sekarang Mangku Bunga menyerahkan semua hasil persembahan kepada warga dan ia meminta sajian khusus yang disediakan warga. Status Mangku Bunga dapat dikatakan hilang apabila seorang Mangku Bunga sudah mulai memikirkan wanita di kehidupannya.


(44)

6.2 Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan yang berlaku untuk masyarakat Sukawana memiliki aturan dan syarat yang sudah di sepakati bersama. Apabila seseorang menikah dengan orang dari dalam Desa Sukawana, maka akan dikenakan sanksi yaitu menyerahkan dua ekor babi ke desa. Sedangkan seseorang yang menikah dengan orang di luar Desa Sukawana wajib menyerahkan satu ekor babi ke desa. Babi tersebut akan dipotong dan dibagikan kepada warga desa secara merata. Apabila jumlah babi dirasa berlebihan, maka akan dipelihara ataupun dilelang kepada warga desa.

Penduduk Desa Sukawana tidak diperbolehkan atau ditabu-kan untuk menikah dengan orang dari Desa Batur. Menurut kepercayaan, penduduk Desa Batur masih satu ikatan darah dengan mereka.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.

Reuter, Thomas A. 2005. Custodians of the Sacred Mountains : Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(46)

DAFTAR INFORMAN

NAMA INFORMAN USIA JABATAN

I Nyoman Sabaraka 47 tahun Jro Kubayan Desa Sukawana


(1)

(sudah mengetahui hawa nafsu duniawi). Jika Mangku Bunga ini telah menyukai seseorang, atau telah memikirkan hawa nafsu maka ia akan diberhentikan dari jabatan Mangku Bunga atau Mangku Alit tersebut. Tugas dari Mangku Bunga atau Mangku Alit adalah membersihkan dan mengantarkan prasasti yang sakral ketika ada upacara di Desa Sukawana, karena di Sukawana terdapat prasasti sakral yang tidak boleh disentuh siapapun selain Mangku Bunga tersebut.


(2)

5.2 Hubungan Antar Kelompok

Masyarakat asli Desa Sukawana pada dasarnya menerima kedatangan orang luar, baik itu melalui pernikahan maupun perpindahan penduduk. Para pendatang tetap hidup berdasarkan aturan yang ada di Desa Sukawana, sehingga keharmonisan di dalam masyarakat tetap terjaga. Meskipun demikian, terdapat aturan atau perjanjian yang bersifat adat jika salah seorang dari masyarakat Sukawana telah melakukan pelanggaran, misalnya saja melakukan tindak pencurian. Selain ia diproses secara hukum negara, ia juga akan diproses secara hukum adat seperti membayar ganti rugi kepada pihak desa. Ganti rugi kepada pihak desa bisa berupa apa saja sesuai dengan keputusan dari pemimpin adat, misalnya saja desa saat itu sedang membangun pura dan membutuhkan banyak material, bisa jadi orang yang terkena sanksi tersebut dikenakan denda bahan-bahan material. Untuk jumlahnya tergantung dari keputusan pemimpin adat setempat.

Masyarakat Desa Sukawana seperti masyarakat tradisional lainnya, tentu mengenal sistem gotong-royong maupun tolong-menolong antar warga. Apabila ada warga yang memiliki acara tertentu seperti pernikahan maka warga yang lain akan datang dan membantu atau yang biasa disebut ngayah.

Jika dalam masyarakat Desa Sukawana terjadi perselisihan antara individu dengan kelompok tertentu atau kelompok dengan kelompok, maka yang menjadi mediator adalah enam (6) jabatan paling atas yaitu Jro Bayan Mucuk, Jro Bayan Kiwa, serta empat orang Jro Bau. Keenam orang inilah yang berhak menjadi penengah maupun penentu sanksi bagi orang-orang yang berselisih.

Di Desa Sukawana terdapat sebuah pura yang bernama Pura Pucak Penulisan. Setiap dua puluh tahun sekali diadakan ritual (odalan besar) untuk pemujaan terhadap leluhur yang di-empon oleh masyarakat setempat. Saat itu orang-orang dari Pecatu maupun daerah lainnya yang leluhurnya berasal dari Sukawana datang untuk bersembahyang di Pura Puncak Penulisan. Selain ikut serta dalam ritual-ritual di Pura Pucak Penulisan, mereka juga membayar peturunan untuk upacara tersebut.


(3)

BAB VI

STRATIFIKASI SOSIAL DAN SISTEM PERKAWINAN

6.1 Stratifikasi Sosial

Desa Sukawana merupakan desa Bali Mula yang tidak mengenal adanya sistem kasta atau Catur Warna seperti pada masyarakat keturunan Bali Majapahit. Masyarakat Sukawana juga tidak mengenal stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan ataupun banyaknya mempunyai lahan perkebunan dan juga tinggi rendahnya pendidikan, namun masyarakat Sukawana mengenal adanya stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan adat pada masyarakatnya yang disebut Ulu Apad.

Ulu Apad tersebut terdiri dari jabatan tertinggi yaitu Kubayan. Jabatan Kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti apabila yang bersangkutan sudah mempunyai kumpi atau cicit. Apabila tidak ada keturunan, jabatan Kubayan akan dipegang sampai meninggal. Ada dua Kubayan yaitu Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk yang merupakan panutan bagi warga untuk melakukan pujawali atau piodalan. Tanpa Jro Kubayan, upacara tidak dapat dilaksanakan. Keduanya bertugas menghantarkan bahkti krama yang menghaturkan sembah. Selain itu, Jro Kubayan juga dapat memerintahkan ataupun melarang segala sesuatu yang dilakukan oleh desa adat sehingga dapat dikatakan bahwa Jro Kubayan merupakan pemimpin tertinggi adat di Desa Sukawana.

Masyarakat juga mengenal adanya Mangku Bunga yang dipilih berdasarkan sistem Ulu Apad. Apabila ada salah satu dari keluarga ayah atau kakek menjadi seorang Ulu Apad, maka cucunya akan dipilih masyarakat sebagai Jero Mangku Bunga. Mangku Bunga dipilih berdasarkan beberapa kriteria seperti seorang anak kecil yang berumur minimal 5-6 tahun, tidak memiliki kekurangan fisik, tidak cacat mental, dan sudah mandiri dalam artian tidak merepotkan seseorang pada saat menjalankan tugasnya.

Mangku Bunga dipilih dari seorang anak kecil karena mereka belum mengenal wanita, kepentingan politik, hukum, emosional, dan egoisme. Mangku Bunga memiliki kewajiban


(4)

6.2 Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan yang berlaku untuk masyarakat Sukawana memiliki aturan dan syarat yang sudah di sepakati bersama. Apabila seseorang menikah dengan orang dari dalam Desa Sukawana, maka akan dikenakan sanksi yaitu menyerahkan dua ekor babi ke desa. Sedangkan seseorang yang menikah dengan orang di luar Desa Sukawana wajib menyerahkan satu ekor babi ke desa. Babi tersebut akan dipotong dan dibagikan kepada warga desa secara merata. Apabila jumlah babi dirasa berlebihan, maka akan dipelihara ataupun dilelang kepada warga desa.

Penduduk Desa Sukawana tidak diperbolehkan atau ditabu-kan untuk menikah dengan orang dari Desa Batur. Menurut kepercayaan, penduduk Desa Batur masih satu ikatan darah dengan mereka.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Desa Sukawana Tahun 2014-2019.

Reuter, Thomas A. 2005. Custodians of the Sacred Mountains : Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(6)

DAFTAR INFORMAN

NAMA INFORMAN USIA JABATAN

I Nyoman Sabaraka 47 tahun Jro Kubayan Desa Sukawana I Wayan Astawa 46 tahun Kepala Desa Sukawana