Etnografi Masyarakat Sade.

(1)

ETNOGRAFI DUSUN SADE, DESA REMBITAN, LOMBOK

TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT

Program Studi Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana


(2)

ETNOGRAFI DUSUN SADE, DESA REMBITAN, LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT

Editor

1. Aliffiati, SS., M.Si

2. Ni Putu Diah Paramitha Ganeshwari

Penulis

1. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si 2. Dr. Purwadi, M.Hum 3. Dr. Industri Ginting Suka, MA 4. Dra. AA Ayu Murniasih, M.Si

5. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum

Pegumpul Data Abima Narasatriangga

Ayu Ningrum Rahmawati Cokorda Istri Sinthia Dewi Dicna Aktenar

Eka Trisma Hidayanti Fauziana Rahmat Fransiskus Sumardi

Ida Ayu Komang Candraningsih Ida Bagus Oka Wedasantara I Gusti Bagus Arya Putra I Komang Windu Adi Nugraha I Made Arya Sugiawan

I Made Dwi Angga Permana I Putu Raka Artama

Kadek Dwi Antara Putra

Made Andika Hadiputra Evagana Makhrofsi Zarah Afandi

Nanda Diah Andini Ni Kadek Ayu Narisma Ni Ketut Nugrahaningari Ni Made Ayu Ratna Dewi Ni Putu Asri Widiyasari

Ni Putu Diah Paramitha Ganeshwari Pandu Sukma Demokrat

Petronela Sriyanti Kamis Sarah Ulina Kariny Yosua Maleawan Yudha Kurniawan


(3)

SAMBUTAN

Ketua Program Studi Antropologi

Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Udayana

Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang

Widhi Wasa, karena berkat anugerah dan rahmat-Nya maka hasil penelitian mahasiswa dapat

diterbitan dalam bentuk buku.

Melalui kesempatan ini, selaku Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Sastra dan

Budaya Universitas Udayana mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Materi buku ini

sepenuhnya merupakan hasil penelitian Mahasiswa Prodi Antropologi di Dusun Sade, Desa

Rembitan, Lombok Tengah. Semoga dengan diterbitkannya buku ini mendorong mahasiswa

untuk melakukan penelitian serta menumbuhkan budaya menulis di kalangan generasi muda,

khususnya mahasiswa Prodi Antropologi serta meningkatkan pengetahuan terhadap kearifan

lokal.

Akhirnya ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah

memberikan kontribusi atas terbitnya buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dapat

memberikan kebijaksanaan serta kekuatan kepada kita dalam berkarya mengembangkan ilmu

pengetahuan.

Denpasar, Oktober 2015


(4)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa maka laporan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut

Kabupaten Lombok Tengah NTB pada tanggal 20 sampai dengan 25 Agustus 2014. Penelitian

dilakukan oleh seluruh mahasiswa semester II dan IV dan didampingi oleh dosen pendamping.

Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tujuan untuk mempermudah koordinasi

dan menggali data. Tema yang ditulis oleh mahasiswa secara umum adalah tema etnografi.

Terlaksananya penelitian berkat bantuan dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka melalui kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Sastra

dan Budaya Universitas Udayana, Kaprodi Antropologi, Kepala Dusun Sade, serta pihak-pihak

lain yang turut membantu kelancaran penelitian ini.

Akhirnya, tidak ada gading yang tidak retak. Laporan penelitian ini sangat jauh dari

sempurna, maka kami mohonkan kritik yang konstruktif kepada para membaca.

Denpasar, Oktober 2015


(5)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR

TABEL

DAN

BAGAN

viii

BAB

I

:

ETNOGRAFI

DESA

REMBITAN 1

1.1

Lokasi

dan

Lingkungan

Alam

1

1.2

Keadaan

Penduduk

4

1.3

Pendidikan dan Kesehatan

5

BAB

II

:

PENDUDUK

DUSUN

SADE

8

2.1

Demografi

Dusun

Sade

8

2.2

Asal-Usul Penduduk dan Bahasa

8

2.3

Mata Pencaharian Penduduk

9

BAB III : BENTUK-BENTUK KESATUAN HIDUP SETEMPAT

DAN

POLA

PEMUKIMAN

12

3.1

Bentuk-Bentuk Kesatuan Hidup

Setempat

12

3.2

Pola Pewarisan

15

3.3

Pola

Pemukiman

Dusun

Sade

16

3.4

Bangunan – Bangunan Tradisional

di

Dusun

Sade 18

3.5

Ukuran Tradisional dalam Membangun Rumah Tradisional di Dusun Sade

31

3.6

Sekilas tentang Pemekaran

Desa

Rembitan 32

3.7

Dasar-Dasar Kesukuan dan Hubungan

Antar-Kelompok

33

BAB IV: PEMERINTAHAN

ADAT 34

 

4.1

Sistem Pemerintahan Adat

34

4.2

Dewan Adat dan Pejabat Lain

40

4.3

Hubungan dengan Kampung atau Desa Tetangga

42

BAB V: SISTEM PELAPISAN SOSIAL

46

BAB VI: PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT

DUSUN

SADE

48

6.1

Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial yang Terjadi pada

Masyarakat

Dusun

Sade

48

6.2

Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial dalam Kehidupan


(6)

6.3

Dampak yang Ditimbulkan dari Perubahan Sosial di Dusun Sade

52

DAFTAR PUSTAKA

54


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Papan Tanda ‘Selamat Datang’

di

Dusun

Sade

1

Gambar 2

Peta Desa Rembitan

2

Gambar 3

Penduduk Sade yang Sedang Berjualan di Depan Rumah Mereka

9

Gambar

4

Hasil

Tenun

Penduduk

Sade

11

Gambar

5

Makam

Wali

Nyato

12

Gambar

6

Upacara

Pernikahan

di

Dusun

Sade

13

Gambar 7

Suasana Gotong Royong

di

Dusun

Sade

14

Gambar

8

Pemukiman

Penduduk

Dusun

Sade

17

Gambar 9

Bale Tani

19

Gambar

10

Bale

Kodong

22

Gambar

11

Lumbung

Padi

24

Gambar 12

Kandang Sapi di Desa Sade

27

Gambar 13

Suasana di Dalam Masjid Dusun Sade

29

Gambar 14

Ukuran Panjang

dan

Lebar

31

Gambar

15

Ukuran

Tinggi

31

Gambar

16

Uang

Kepeng

36

Gambar 17

Tanah Pertanian di

Dusun

Sade

41

Gambar 18

Barugak,

Tempat

Menerima

Tamu

45


(8)

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel 1

Pemanfaatan Ruang Tata

Guna

Lahan 3

Tabel

2

Fasilitas

Umum

Penunjang

3

Tabel 3

Sarana dan Prasarana Pendidikan di

Desa

Rembitan

5

Tabel 4

Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Rembitan

6

Tabel 5

Sarana dan Prasarana Kesehatan

di

Desa

Rembitan

7

Tabel 6

Penduduk Desa Rembitan Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup

11

Bagan 1

Stuktur Pemerintahan Adat

Dusun

Sade

40


(9)

BAB I

ETNOGRAFI DESA REMBITAN

1.1 Lokasi dan Lingkungan Alam

Dusun Sade adalah salah satu dusun yang berada di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Desa Rembitan terletak di daerah perbukitan dengan ketinggian 250-300 mdpl dengan curah hujan 1.250 mm/tahun tipe D yang terjadi pada bulan Oktober-Januari dan pada bulan Februari-September musim kemarau, dengan keadaan iklim subtropis dan suhu udara rata-rata 34-18°C.

Gambar 1

Papan Tanda ‘Selamat Datang’ di Dusun Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Luas wilayah Desa Rembitan 1.475 Ha. Secara administratif, Desa Rembitan terbagi atas Dusun Rembitan I, Dusun rembitan II, Dusun Rembitan III, Dusun Rembitan IV, Dusun Telok Bulan Daye, Dusun Telok Bulan Dauq, Dusun Lentek I, Dusun Lentek II, Dusun Selemang Timuq, Dusun Selemang Bat, Dusun selak, Dusun Sade, Dusun Sade Timuq, Dusun Sade Lauq, Dusun Penyalu, Dusun Peluq, Dusun Kukun, Dusun Rebuk I, Dusun Rebuk II, Dusun Bontor Lauq, Dusun Bontor Daye. Orbitrasi dari Ibu Kota Propinsi adalah 45 Km, Kota Kabupaten 18 km, Ibu Kota Kecamatan 3 km. Batas wilayah administratif sebagai berikut :


(10)

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kuta;  Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Suaka, dan;  Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Prabu.

Gambar 2 Peta Desa Rembitan

Daratan Desa Rembitan terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, pantai, datar dan bergelombang. Tanah di Desa Rembitan berwarna kecoklatan, beberapa ada yang berwarna merah. Tanah yang berwarna merah berada di area kantor kepala desa.

Pada musim tanam, penduduk desa biasanya menanam padi di sawah. Musim tanam padi bertepatan dengan musim hujan karena sawah Desa Rembitan termasuk sawah tadah hujan. Selain padi, penduduk Desa Rembitan juga menanam kedelai dan terkadang jagung. Hasil dari yang mereka tanam hanya dikonsumsi sendiri tidak untuk dijual. Ada juga hewan yang dipelihara oleh penduduk Desa Rembitan yaitu ayam, sapi, dan kerbau. Ayam


(11)

dipelihara oleh penduduk Desa Rembitan di sekitar rumah dengan diberi makan setiap hari, sedangkan sapi dan kerbau dipelihara di luar dari wilayah dusun atau di ladang.

Tabel 1: Pemanfaatan Ruang Tata Guna Lahan Jenis Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) Luas Wilayah Keseluruhan 1.475

Hutan 450 Perkebunan 40 Perikanan 5,5

Sumber : Profil Desa Rembitan Tahun 2013-2014

Penggunaan lahan di wilayah Desa Rembitan terdiri dari hutan seluas 450 Ha, perkebunan seluas 40 Ha, dan perikanan seluas 5,5 Ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas lahan digunakan untuk perhutanan dan perkebunan guna kepentingan aspek mata pencaharian hidup. Serta perlu digaris-bawahi bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan di Desa Rembitan masihlah sangat baik.

Di Desa Rembitan terdapat dua (2) unit taman kanak-kanak (TK), enam (6) gedung SD, sebuah gedung SMP, sebuah gedung MI, sebuah gedung MA, yang dapat menunjang pembentukkan pengetahuan masyarakat Desa Rembitan secara formal. Terdapat pula PKBM 1 unit, PAUD 5 unit, serta dua (2) jenis kursus yang dapat pula membentuk pengetahuan masyarakat meskipun secara informal.

Selain itu, terdapat pula fasilitas umum yang menunjang administrasi dan pemerintahan desa serta pengembangan SDM seperti: sebuah kantor desa; 8 ruas jalan; 2 jenis jembatan; 1 buah sarana olahraga; tujuh (7) buah sarana kesenian; delapan (8) unit masjid; tiga belas (13) unit musholla, serta dua (2) unit Pustu (Puskesmas Pembantu). Selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 : Fasilitas Umum Penunjang NO JENIS/NAMA

FASILITAS JUMLAH/ LUAS LOKASI

1 Kantor Desa 120 M Dusun Telok Bulan Lauq 2 Taman kanak-kanak / TK 2 Buah


(12)

4 Gedung SMP 1 5 Gedung MI 1 6 Gedung MA 1

7 PKBM 1

8 PAUD 5

9 Jalan Desa 8 ruas 10 Sarana Olahraga 1 unit 11 Sarana Kesenian 7 group 12 Masjid 8 unit 13 Musholla 13 unit 14 Jembatan 2 jenis 15 Pustu 2 buah

Sumber : Profil Desa Rembitan tahun 2013-2014

1.2 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Desa Rembitan berdasarkan hasil sensus pada tahun 2013, adalah sebanyak 8.942 jiwa, terdiri dari 4.324 jiwa penduduk laki-laki dan 4.618 jiwa penduduk perempuan, masuk ke dalam 2.801 KK (Kepala Keluarga). Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian, sektor lain yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah buruh tani, sektor industri rumah tangga dan pengolahan dan swasta, dan sektor lainnya seperti pegawai negeri, karyawan swata dari berbagai sektor.

Kebudayaan daerah Desa Rembitan tidak terlepas dan diwarnai oleh Agama Hindu, Islam dan Sasak. Struktur penduduk menurut agama menunjukkan keseluruhan penduduk Desa Rembitan beragama Islam (100%), Hindu (0%), Budha (0%), Kristen Protestan (0%) dan Katolik (0%).

Di Desa Rembitan tidak terdapat pembatasan jumlah penduduk/ KK karena tingkat mobilitas masih rendah, dan daya tampung lingkungan masih tinggi. Pendatang boleh saja menetap di Desa Rembitan asalkan memenuhi atau melengkapi syarat administratif dan lebih lanjut lagi peraturan adat yang berlaku di masyarakat.


(13)

1.3 Pendidikan dan Kesehatan a. Pendidikan

Ketersediaan sarana-prasarana pendidikan guna mendukung pengentasan wajib belajar 9 tahun di Desa Rembitan bisa dikatakan cukup memadai di samping pemerintah juga telah mendukung dengan biaya pendidikan melalui program BOS yang dikelola secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melalui Komite Sekolah. Pelibatan masyarakat dalam sektor pendidikan dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Sekalipun fasilitas pendidikan telah cukup memadai, bukan berarti tidak terjadi permasalahan pendidikan di tingkat masyarakat. Permasalahan utama yang terjadi berupa rendahnya biaya pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan, kesenjangan tingkat pendidikan antar kelompok masyarakat, seperti antara penduduk miskin dengan kaya dan/atau antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, kualitas pendidikan juga belum optimal.

Tabel 3. Sarana dan Prasarana Pendidikan Di Desa Rembitan NO. SARANA DAN PRASANA

PENDIDIKAN

VOLUME

(Buah) LOKASI

KETERANGAN (Kondisi) Pendidikan Umum / Formal

1 TK / Taman Kanak-kanak 2 unit 2 SD 6 unit 2 SMP 1 unit 3 MI 1 unit 4 MA 1 unit

JUMLAH 11 unit

Pendidikan Non-Formal

1 PKBM 1 unit 2 PAUD 5 unit 3 KURSUS 2 jenis

JUMLAH 8 unit

Sumber : Profil Desa Rembitan tahun 2013-2014

Berdasarkan data tabel 3 diketahui bahwa terdapat TK serta PAUD sehingga masyarakat bisa memilih untuk menyekolahkan anaknya pada usia dini. Untuk melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi) masyarakat ada yang memilih di kota ataupun di luar kota. Selain pendidikan formal juga terdapat sarana dan prasarana pendidikan nonformal yang memungkinkan bagi masyarakat yang kurang mampu memiliki pengetahuan/


(14)

keahlian. Berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk di Desa Rembitan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 : Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Rembitan JENIS

PENDIDIKAN VOLUME

GURU / TUTOR MURID / WARGA BELAJAR KETERANGAN TK 2 unit 15 orang 70 orang

SD 6 unit 83 orang 886 orang SMP 1 unit 32 orang 454 orang MI 1 unit 11 orang 75 orang MA 1 unit 24 orang 59 orang PKBM 1 unit 14 orang 104 orang PAUD 5 unit 20 orang 209 orang KURSUS 2 jenis 6 orang 30 orang

Sumber : Profil Desa Rembitan tahun 2013-2014

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas SDM yang ada di Desa Rembitan dapat dikatakan baik. Masyarakat telah menyadari pentingnya pendidikan/sekolah. Angka anak yang bersekolah pun lebih tinggi dibandingkan yang tidak, meskipun hanya sekadar untuk bisa menulis atau membaca. Akan tetapi nampak bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan, jumlah siswanya semakin berkurang. Hal tersebut mungkin dikarenakan anak perempuan yang sudah bisa menenun dan memiliki umur yang cukup (15 tahun ke atas/ sudah menstruasi) dianggap sudah siap menikah. Bahkan ada pandangan bahwa jika tidak segera menikah, maka akan disebut perawan tua. Dapat disimpulkan bahwa bagi masyarakat Desa Rembitan, sekolah (terutama bagi kaum perempuan) dianggap kurang penting.

b. Kesehatan

Berbicara tentang sistem pengetahuan dan pengembangan SDM tentunya tidak akan pernah lepas dari bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan kesahatan yang baik, masyarakat dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik, belajar maupun bekerja. Di bidang kesehatan, pemerintah telah menyediakan sarana prasarana kesehatan dan tenaga medis dalam rangka untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Secara rinci sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Rembitan disajikan pada Tabel 5.


(15)

Tabel 5 : Sarana dan Prasarana Kesehatan Di Desa Rembitan NO SARANA DAN PRASARANA

KESEHATAN

VOLUME (Buah)

KETERANGAN (Kondisi) 1 Puskesmas Pembantu (Pustu) 2 Unit Baik

JUMLAH 2 Unit

Sumber : Profil Desa Rembitan Tahun 2013/2014

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa hanya terdapat 2 unit Pustu dengan kondisi baik. Masyarakat biasanya hanya menggunakan sarana dan prasarana kesehatan dalam kegiatan Posyandu, itu pun partisipasinya masih kurang. Penduduk juga jarang melakukan

chek-up kandungan. Saat melakukan penelitian kami merasa penduduk kurang

memperhatikan kesehatan. Salah satu contoh adalah tidak adanya tong sampah di Dusun Sade, padahal dusun tersebut adalah salah satu dusun wisata yang seharusnya memperhatikan kebersihan. Selain itu, toilet umum yang kotor dan tidak ada air membuat ketidaknyamanan bertambah.

Penduduk Dusun Sade menggunakan kotoran kebau/sapi yang dicampur dengan air untuk mengepel lantai rumah/tokonya. Hal itu menurut ilmu kesehatan dinilai tidak baik, karena kotoran kerbau akan membawa penyakit dan juga bau. Akan tetapi, menurut informan yang kami wawancara, mengepel dengan kotoran kerbau tidak membuat lantai mereka bau. Mengepel dengan kotoran sapi juga membuat rumah warga terhindar dari nyamuk. Di samping itu, kotoran sapi membuat lantai tidak lembab pada saat musim dingin serta tidak kering pada saat musim panas.


(16)

BAB II

PENDUDUK DUSUN SADE

2.1 Demografi Dusun Sade

Dusun Sade merupakan dusun yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berjarak kurang lebih 70 km dari Kota Mataram atau sekitar 2 jam dalam perjalanan. Penduduk Dusun Sade ini merupakan keturunan generasi ke-15. Penduduk Dusun Sade berjumlah 529 jiwa, dengan jumlah laki-laki 262 jiwa dan jumlah perempuan 267 jiwa. Di dalam Dusun Sade memiliki kepala keluarga yang berjumlah kurang lebih 152 KK. Dalam aturan Dusun Sade, tidak ditemukan adanya hal yang mangatur pembatasan jumlah penduduk.

Persebaran penduduk Dusun Sade terpusat, namun dalam perkembangannya mulai terjadi penyebaran penduduk secara perlahan. Masyarakat Dusun Sade memiliki prinsip hidup senang berkumpul, sehingga pola penyatuan hidup lebih diutamakan. Jadi pola penyebaran penduduk Dusun Sade terpusat pada satu kampung.

. Sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat adalah perkawinan endogami dusun, namun tak jarang terjadi perkawinan eksogami. Dalam hal sistem pewarisan, anak laki-laki diberikan hak prioritas untuk mewarisi rumah dari kedua orang tuanya. Akan tetapi apabila dalam satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka pewarisan akan jatuh pada anak laki-laki dari kerabat atau saudara. Anak perempuan juga memiliki hak waris, namun yang dapat diwariskan untuk anak perempuan hanyalah barang perabotan rumah tangga.

2.2 Asal-Usul Penduduk dan Bahasa

Ada beberapa versi mengenai asal-usul penduduk Dusun Sade. Versi yang pertama menyebutkan bahwa asal-usul penduduk Dusun Sade berdasarkan cerita berasal dari Jawa, yaitu berasal dari leluhur Hama Ratu Mas Sang Haji. Perkembangan penduduk Dusun Sade sampai sekarang sudah mencapai generasi ke 15 berlangsung selama 1 abad lebih.

Versi kedua menyebutkan bahwa penduduk Dusun Sade berasal dari kerajaan Hindu-Budha, dengan rajanya yaitu Raja A.A Gede Karangasem. Pengaruh kerajaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah penduduk yang berdasarkan tiga tangga, yang merupakan simbol dari waktu telu. Agama yang dianut penduduk Dusun Sade adalah Islam waktu telu, Islam yang masih memiliki pengaruh ajaran Hindu-Budha.


(17)

Penduduk Dusun Sade menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari. Aksara atau bahasa tertulisnya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst tetapi dalam pengucapan huruf vokal menjadi He Ne Ce Re Ke..dst.

2.3 Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk Dusun Sade terdiri atas petani, peternak, penenun, pelayan restoran, pemandu wisata, dan penjual aksesoris. Kaum laki-laki mayoritas bekerja sebagai petani di ladang, sedangkan kaum perempuan sebagai penenun. Letak ladang penduduk dari dusun berada kira-kira 100-200 meter. Ladang penduduk biasanya berada di luar dusun. Tanaman yang ditanam di ladang yaitu jenis padi dan kedelai. Ada juga masyarakat bekerja sebagai pelayan restoran yang berada di luar dusun dengan jarak kira-kira 7 km dari Dusun Sade. Sebagai mata pencaharian tambahan, mereka juga membuat cinderamata berupa kalung, gelang, dan berbagai aksesoris lainnya untuk dijual kepada wisatawan yang datang.

Gambar3

Penduduk Sade yang Sedang Berjualan di Depan Rumah Mereka

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Panen padi yang dilakukan di Dusun Sade dilakukan setiap satu tahun sekali, dari bulan Oktober sampai Januari, sementara itu untuk panen kedelai dilakukan pada Januari sampai Maret. Sistem penanaman padi dilakukan secara gotong-royong oleh keluarga dan


(18)

hasil panennya dikonsumsi sendiri bersama keluarga, tidak untuk dijual. Penanaman padi menggunakan sistem tadah hujan, sehingga pada musim kemarau tidak ada aktivitas menanam padi. Pada musim kemarau tersebut warga menggantikannya dengan menanam kedelai.

Proses penanaman padi di Dusun Sade sama halnya dengan masyarakat pada umumnya. Hasil panen padi biasanya mencapai 3-10 ton. Dalam panen padi tersebut terdapat aturan nyerabi yaitu pada setengah dari hasil padi dipanen untuk konsumsi sendiri dan sisa setengahnya diletakkan di lumbung untuk dijadikan bibit. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk kimiawi yang biasanya dibeli di pasar.

Proses penanaman kedelai memiliki dua cara, tergantung dari kondisi tanah saat akan menanam bibit. Jika tanah yang dijadikan media penanaman kedelai berupa tanah basah, bibit kedelai cukup ditaburi di atas tanah, kemudian ditutupi daun padi agar bibit kedelai bisa tumbuh dengan baik. Jika media tanah kering, tanah tersebut dijajani lalu di setiap lubang ditaruh bibit kedelai. Proses kerja penanaman kedelai tersebut juga dilakukan secara gotong-royong.

Selain bertani, masyarakat Dusun Sade juga beternak hewan, seperti sapi dan ayam. Ternak biasanya dipelihara di luar dusun, kecuali ternak ayam yang dapat dipelihara di dalam dusun. Hasil ternak tersebut biasanya dikonsumsi sendiri dan bisa juga dijual. Pada saat tertentu masyarakat juga berburu hewan. Hewan yang biasa diburu adalah babi. Berburu babi dilakukan apabila ada warga yang membutuhkan untuk upacara. Masyarakat yang melakukan kegiatan berburu mendapatkan upah atau bayaran, namun mereka tidak menyebutnya menjual karena itu dianggap haram.

Dusun Sade juga terkenal dengan kerajinan tenunnya. Hasil tenun tersebut biasanya dijual untuk wisatawan yang berkunjung ke Dusun Sade, namun ada juga yang dijual di Pasar Kamis. Disebut Pasar Kamis karena pasar tersebut hanya beroperasi pada hari kamis. Pasar Kamis terletak di daerah Sengkol kira-kira 5 km dari Dusun Sade.

Masyarakat Dusun Sade juga memiliki pengetahuan tertentu tentang pengolahan makanan atau pangan. Ada beberapa jajanan tradisional Lombok yaitu rengginang, ketan,

ketupat yang digunakan pada saat upacara perkawinan. Wajik, bangap kuning dan merah

merupakan jajanan yang digunakan pada saat upacara kematian. Pada saat Hari Raya Idul Fitri, dibuat jajanan bernama tujak (jajanan yang terbuat dari beras yang ditumbuk kemudian dibentuk lempengan lalu dijemur hingga kering dan digoreng), poteng (tape), aling-aling. Jajanan khas Lombok tersebut tidak banyak dijual (dikomersilkan) atau dijadikan oleh-oleh


(19)

seperti makanan khas daerah lain karena masih dibuat secara tradisional. Jajanan tersebut juga tidak dapat bertahan lama, sebab tidak terdapat bahan pengawet.

Tabel 6 : Penduduk Desa Rembitan Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup JENIS PEKERJAAN JUMLAH (Orang)

Pegawai/ Karyawan 60

Wiraswasta 200 Petani 4.670 Buruh Tani 2.334

Tukang 75 Pensiunan 2 Nelayan 15 Jasa 105

Sumber : Profil Desa Rembitan 2013/2014

Gambar 4

Hasil Tenun Penduduk Sade


(20)

BAB III

BENTUK-BENTUK KESATUAN HIDUP SETEMPAT DAN POLA PEMUKIMAN

3.1 Bentuk-Bentuk Kesatuan Hidup Setempat

Dusun Sade merupakan salah satu pemukiman yang dihuni oleh penduduk asli Pulau Lombok, yaitu suku Sasak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pendatang pun dapat tinggal di dusun ini. Penduduk Dusun Sade termasuk masyarakat yang sangat terbuka dengan orang luar. Selain posisinya sebagai salah satu daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Lombok Tengah, penduduk Sade tidak memiliki aturan khusus mengenai penduduk pendatang. Hanya saja, atas dasar tata krama dan norma kesopanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pendatang jika ia berunjung ke Dusun Sade.

Hal pertama yang harus ditaati oleh pendatang adalah mentaati segala aturan yang berlaku di desa tersebut. Dalam adat Dusun Sade, ada tempat-tempat yang hanya boleh dikunjungi saat hari-hari tertentu. Contohnya adalah Makam Wali Nyato yang hanya boleh dikunjungi saat hari Rabu. Beberapa tempat lain yang dianggap keramat pun pantang dikunjungi saat hari-hari biasa.

Gambar 5 Makam Wali Nyato


(21)

Saat bertamu ke rumah penduduk pun ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pengunjung harus mengucap salam pada tuan rumah. Setelah tuan rumah keluar rumah, maka tamu akan diajak untuk bercakap-cakap di berugak (bentuknya seperti bale

bengong di Bali) yang biasanya ada di depan rumah (bisa berupa bale tani atau bale bontar).

Tujuan dari penerimaan tamu di berugak adalah untuk menghindari tersebarnya gosip dan fitnah. Biasanya, yang boleh memasuki rumah suatu keluarga hanyalah kerabat atau orang yang berkepentingan atas izin dari kepala keluarga. Jika ada orang asing yang memasuki rumah, maka dapat menimbulkan gosip yang tidak sedap. Norma kesopanan di Dusun Sade juga juga mengatur tentang tata cara berpakaian. Cara berpakaian yang dianggap sopan adalah berpakaian hingga menutupi lutut.

Sejak tahun 2000-an, penduduk lokal mulai diperbolehkan untuk menikah dengan orang luar (eksogami). Memang dalam pandangan mereka, pernikahan yang dianggap ideal adalah menikah dengan orang yang masih tinggal dalam satu dusun, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penduduk Sade menikah dengan orang luar.

Gambar 6

Upacara Pernikahan di Dusun Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Jika seorang pendatang telah masuk menjadi warga Sade, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga Sade pada umumnya. Seorang perempuan misalnya,


(22)

maka ia harus juga bisa menenun kain dan melakukan kewajiban lain sebagai layaknya perempuan Sade pada umumnya. Selain kaum pendatang yang tinggal di Dusun Sade, ada juga penduduk Sade yang menikah dengan orang luar, kemudian tinggal di luar Dusun. Jika demikian, maka penduduk tersebut sudah dianggap keluar dari desa dan tidak memiliki kewajiban di dusun Sade.

Penduduk Sade saling mengenal antara satu dengan yang lain. Letak rumah yang berdekatan serta asas gotong-royong yang masih dijunjung tinggi mengakibatkan seringnya terjadi interaksi antar-penduduk yang mendukung eratnya ikatan kekeluargaan. Meskipun melakoni mata pencaharian yang sama (perempuan biasanya menjual kain tenun dan aksesoris), hampir tidak pernah terjadi konflik yang disebabkan oleh karena persaingan dagang.

Beberapa penduduk yang tidak memiliki cukup tempat untuk mendirikan tempat usaha sendiri, secara bersama mendirikan seuah koperasi. Misalnya saja koperasi yang terdapat di dekat balai pertemuan desa. Koperasi tersebut merupakan milik bersama dari tujuh orang. Adapun hasil penjualannya nanti akan dibagi sama rata setiap akhir bulan.

Dalam keseharian pun masyarakat mengenal sistem banjar. Tidak seperti konsep

banjar yang ada di Bali, konsep banjar di Dusun Sade lebih menekankan pada kelompok

gotong-royong. Misalnya saja jika salah satu warga dusun ada yang menikah, maka kelompok banjar inilah yang memiliki tugas untuk membantu persiapan kelengkapan upacaranya, seperti makanan, alat makan, membuat ketupat, dan sebagainya. Kaum laki-laki bertugas memasak mananan, sementara tugas perempuan mempersiapkan suguhan (kopi atau teh) untuk para laki-laki yang memasak.

Gambar 7

Suasana Gotong Royong di Dusun Sade


(23)

Dilihat dari pembagian tugas ini, maka disimpulkan bahwa kaum laki-laki memiliki tugas yang lebih banyak dan berat jika dibandingkan dengan kaum perempuannya. Dalam hal keseharian pun nampak bahwa pekerjaan perempuan hanya menenun dan mengurus rumah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam masyarakat Dusun Sade merupakan sososk yang dihormati dan laki-lakilah yang bertugas untuk melayani kebutuhan perempuan. Akan tetapi di sisi lain, posisi perempuan juga terbilang rendah dalam hak politik dan kebebasan. Misalnya adalah adanya aturan adat yang melarang perempuan untuk keluar dari dusun setelah magrib dan tidak memiliki posisi tawar dalam hal pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Hal lain yang dapat menunjukkan bahwa posisi perempuan Dusun Sade masih dapat dikatakan ‘lebih rendah’ dibandingkan dengan kaum laki-lakinya dapat dilihat dari pola pewarisan dalam keluarga.

3.2 Pola Pewarisan

Berdasarkan hukum adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya. Ini adalah konsekuensi dari masyarakat patriachat, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki. Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam di mana hukum Islam membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita (Rajagukguk, 2009).

Dalam adat Dusun Sade, baik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk memperoleh warisan, namun jenis warisan yang diterima berbeda. Ada dua jenis warisan yang akan diturunkan kepada keturunan mereka, yaitu warisan berupa sumber daya (tanah rumah, rumah, kebun, ternak) dan harta benda yang tersimpan dalam rumah (perhiasan, manik-manik). Dalam pembagian warisan tersebut, anak laki-laki akan mendapatkan warisan alam dan perempuan mendapatkan warisan harta benda. Dalam hal pembagian warisan sumber daya, anak laki-laki yang dianggap lebih berhak adalah anak laki-laki yang paling bungsu. Anak laki-laki bungsu tersebut yang selanjutnya akan menjadi pemilik rumah orang tuanya, sementara kakak-kakaknya harus meninggalkan rumah jika kelak sudah menikah.

Apabila secara kebetulan ada satu keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka anak perempuan juga mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh warisan tersebut. Jika secara kebetulan keluarga tersebut tidak memiliki keturunan, maka warisan akan jatuh ke tangan kerabat lain yang dianggap berhak oleh kepala keluarga yang mewariskan tersebut.


(24)

3.3 Pola Pemukiman Dusun Sade

Secara geografis, sebagian besar wilayah Dusun Sade merupakan lahan perbukitan yang kering dan tandus sehingga kurang baik untuk kegiatan pertanian serta perkebunan. Walaupun demikian, ternyata di sebelah utara Dusun Sade terdapat sebuah sungai yang mengalir dan pada bagian lembahnya terdapat tanah produktif. Lahan perbukitan yang kering dan tandus cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Sade untuk membuat sebuah pemukiman dan tanah yang produktif lebih digunakan untuk kegiatan bercocok tanam.

Masyarakat Dusun Sade memilih bukit – bukit yang tergolong kering, tandus dan tidak dapat ditanami sebagai tempat membuat sebuah pemukiman karena didasari pemikiran, bahwa untuk membuat sebuah pemukiman tidak perlu di tanah yang subur, tetapi tanah yang subur tersebut hanya mereka dambakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Pemilihan bukit yang kering dan tandus menyiratkan bahwa sangat pentingnya tanah yang subur untuk kegiatan bercocok tanam bagi masyarakat Dusun Sade dahulunya.

Pola pemukiman Dusun Sade memiliki konsep organis yang mengakibatkan letak rumah haruslah sejalan dengan topografi perbukitan, yaitu semakin atas semakin tinggi letak suatu rumah dan mengelilingi bukit. Hal ini tercermin pada suatu aturan yang tidak membolehkan masyarakat untuk membangun sebuah rumah di daerah dataran. Apabila terjadi kepadatan lahan hunian, maka masyarakat Dusun Sade harus membangun sebuah rumah di perbukitan lain sekitar dusun yang merupakan wilayahnya. Demikian seterusnya hingga perbukitan yang ada sekitar dusun habis terpakai untuk hunian. Namun, apabila sudah tidak ada perbukitan yang dapat dijadikan lahan hunian, maka boleh membangun sebuah rumah di daerah dataran dengan syarat masih dalam keadaan kosong (tidak ada tanaman).


(25)

Gambar 8

Pemukiman Penduduk Dusun Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Dalam hal pembatasan wilayah teritorialnya, masyarakat Dusun Sade memanfaatkan rumpun – rumpun bambu atau pagar bambu sebagai pembatas. Pembangunan rumah – rumah di perbukitan dimulai pada bagian bawah bukit dan selanjutnya dilakukan secara bertahap ke bagian bukit yang lebih tinggi (semakin ke atas semakin tinggi letak suatu rumah). Adapun bangunan yang ada di Dusun Sade, meliputi bale tani, bale kodong, lumbung padi, bale

bontar, tempat beternak dan lain – lain. Pengaturan bangunan disesuaikan dengan fungsinya

masing – masing.

Tata ruang dalam bangunan atau rumah adat masyarakat Dusun Sade diatur sedemikian rupa sehingga memiliki tujuan dan maksud tertentu. Pasangan antara satu ruang dengan ruang lainnya mencerminkan hubungan dalam kelompok sosial yang dikaitkan dengan generasi baru, hubungan antar jenis kelamin, hubungan antar saudara, hubungan dengan orang lain, bahkan hubungan antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup.

Pada awalnya orientasi arah rumah yang berkembang di Dusun Sade ialah memiliki konsep timur – barat (timuk – baat), di mana sebuah rumah tidak boleh menumbuk gunung atau bukit dan harus menghadap ke lembah dan laut (dataran yang lebih rendah). Masyarakat Dusun Sade meyakini bahwa jika aturan ini dilanggar, maka akan berdampak tidak baik bagi penghuni rumah seperti sering menderita sakit. Namun, sejalan dengan persebaran agama Islam di Dusun Sade, ada beberapa anggota masyarakat yang memiliki konsep lain terkait


(26)

orientasi arah rumah yaitu barat – timur (baat – timuk). Mereka meyakini arah barat merupakan kiblat bagi umat Muslim, di mana dengan berdoa pada Allah maka akan diberikan keselamatan.

Dalam hal posisi tidup pun penduduk Dusun Sade memiliki konsepsi mengenai ruang. Arah tidur yang dianggap paling baik adalah kepala menghadap arah barat dan selatan. Sementara itu, arah timur dianggap kurang baik karena dianggap menghalangi sinar matahari dan arah utara merupakan arah untuk menidurkan orang yang sudah meninggal.

3.4 Bangunan – Bangunan Tradisional di Dusun Sade

a. Bale Tani

Bale tani adalah salah satu bangunan tempat tinggal yang ada di Dusun Sade. Konon bale tani merupakan bangunan yang pertama kali ada dan paling tua di antara bangunan –

bangunan lainnya. Bale tani dianggap sebagai balai adat utama (bangunan asli) oleh masyarakat adat Sade. Oleh karena itu, bale tani juga sering disebut bale gunung rate. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Amaq Kurnia, bahwa bale tani sudah ada sejak abad ke – 17 di bawah pengaruh Kerajaan Karangasem. Secara terminologi kata bale

tani terdiri atas dua kata, yakni bale dan tani. Bale diartikan sebagai rumah atau tempat

tinggal dan tani terinspirasi dari dominasi pekerjaan masyarakat adat Sade sebagai petani. Dengan demikian, bale tani adalah rumah tempat tinggal para masyarakat adat Sade yang dahulunya memiliki profesi sebagai petani.

Bentuk bale tani di Dusun Sade menyerupai rumah panggung pada umumnya.

Adapun elemen – elemen bangunan pada bale tani, meliputi atap, dinding, pintu, dan fondasi rumah. Atap merupakan bagian dari struktur bangunan yang memberikan beban pada bagian struktur di bawahnya. Atap bale tani menyerupai atap rumah joglo, di mana atap dibuat agak menjorok ke dalam dan langsung menuju ke atas dengan tujuan untuk menahan cahaya matahari yang menyilaukan. Atap bale tani menggunakan bahan material yang alami, yaitu berupa alang – alang yang sudah dikeringkan berwarna cokelat kekuning – kuningan. Bahan ini sendiri diperoleh dari ladang masyarakat Sade yang terletak di sebelah timur desa.


(27)

Gambar 9 Bale Tani

Sumber: travel.detik.com

Alang – alang yang sudah dikeringkan diikat menjadi bagian – bagian yang lebih kecil, kemudian diikat kembali pada bambu yang telah dibelah menjadi ukuran lebih kecil dengan menggunakan daun kere. Alang – alang yang sudah diikat pada bambu tersebut kemudian ditopang oleh rusuk yang berfungsi sebagai kasau. Bahan material rusuk menggunakan bambu hutan (gerang). Rusuk – rusuk ini kemudian diapit dengan bambu yang telah dibagi menjadi dua dan diikat menggunakan tali ijuk. Penjepit rusuk yang terbuat dari bambu ini disebut dengan kelokop bukal. Pada bagian puncak atap bale tani, rusuk – rusuk yang ada ditopang oleh titi tikus yang terbuat dari bambu hutan (gerang). Titi tikus ini berfungsi sebagai bubungan.

Selain ditopang oleh tonjang, sun – sun juga diperkuat oleh kayu – kayu kecil bersilangan yang biasa disebut dengan simeime. Tonjang dan simeime ditopang oleh balok kayu yang disebut lampen. Untuk atap pada bagian sangkok/lambor/langan duah, rusuk – rusuk yang telah diapit ditopang oleh langkar. Pada dasarnya lampen dan langkar memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai tumpuan rusuk – rusuk. Perbedaannya hanya pada lampen merupakan murplat pada bagian dalam bangunan, sedangkan langkar merupakan murplat pada bagian luar bangunan.


(28)

Senada dengan atap, dinding bale tani pun menggunakan bahan material yang alami, yakni terbuat dari bambu yang sudah dianyam. Anyaman bambu ini berfungsi untuk pembatas antara satu ruang dengan ruang lainnya, misalnya sebagai sekat antara dalem bale dengan bale dalem pada ruang langan dalem serta sebagai pemisah antara ruang langan

dalem dengan langan duah. Selain sebagai pembatas, anyaman bambu (dinding) berfungsi

pula untuk menutupi keseluruhan sisi rumah dan sebagai hiasan serta anyaman bambu yang renggang – renggang sebagai sirkulasi udara (ventilasi).

Pintu merupakan tempak keluar masuknya si pemilik rumah. Pada bale tani terdapat dua pintu utama, yaitu pintu untuk keluar masuk berupa pintu geser yang terbuat dari anyaman bambu dan pintu yang menghubungkan antara langan dalem dengan langan duah berupa pintu geser yang terbuat dari kayu (kuri) dan berbentuk melengkung. Kedua pintu tersebut dibuat agak rendah dengan maksud apabila ada tamu yang masuk rumah harus dalam keadaan menunduk untuk menghormati si pemilik rumah.

Fondasi merupakan bagian paling penting dalam membangun sebuah rumah karena tanpa adanya fondasi, maka elemen – elemen bangunan lainnya tidak dapat dibuat. Fondasi

bale tani dibuat agak rendah sebagaimana rumah panggung pada umumnya. Fondasi ini

berfungsi sebagai tempat dudukan tiang – tiang. Dalam bangunan bale tani menggunakan sembilan tiang (siwaq tekan). Kesembilan tiang ini berfungsi untuk penyalur gaya – gaya dari fondasi ke atap. Tiang terbuat dari bahan kayu gelondongan yang disebut dengan tekan. Di atas tekan terdapat lempengan kayu segi empat yang disebut ampak. Ampak berhubungan langsung dengan lampen dan langkar yang memiliki fungsi sebagai murplat.

Selain itu, fondasi berfungsi pula sebagai lantai ruangan dan tangga. Konon material yang digunakan adalah tanah liat dicampur dengan kotoran kerbau dan air. Penggunaan bahan material ini digunakan dengan tujuan sebagai perekat yang kuat. fondasi dibuat secara berlapis – lapis, sehingga mempunyai ketahanan yang tinggi. Dalam hal menentukan luas fondasi, beberapa anggota masyarakat adat Sade masih menggunakan pengukuran tradisional, yakni berupa ukuran sedepa dan sesata. Sedepa adalah jarak dari ujung jari tengah lengan kanan hingga ujung jari tengah lengan kiri terbentang. Sedangkan sesata ialah jarak dari ujung jari tengah hingga siku tangan. Rata – rata luas pondasi masyarakat adat Sade memiliki panjang lima depa sesata dan lebar empat depa sesata. Ukuran yang menjadi patokan dalam menentukan luas sebuah pondasi berasal dari kepala keluarga (amaq).

Mengenai tata ruang, bale tani memiliki segmen – segmen ruang tersendiri di dalamnya yang terbagi atas tiga, yakni atas, tengah dan bawah. Ruang atas di dalam bale tani


(29)

disebut dengan langan dalem. Pada langan dalem terdapat dua ruang khusus dan memiliki fungsi masing – masing, yakni dalem bale dan bale dalem. Dalem bale terletak di sebelah kiri yang memiliki fungsi sebagai tempat memasak dan tempat tidur anak – anak, khususnya anak perempuan yang masih gadis. Dalem bale dilengkapi pula dengan amben, sempare (tempat menyimpan makanan, peralatan rumah tangga) yang terbuat dari bambu. Sedangkan bale

dalem terletak di sebelah kanan yang memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan benda

pusaka juga sekaligus tempat untuk melahirkan, bahkan tempat jenazah sesaat sebelum dimakamkan. Ketika masuk atau keluar langan dalem, terdapat anak tangga yang berjumlah tiga. Jumlah tiga anak tangga ini menyimbolkan pengaruh ajaran wetu telu pada saat itu.

Ruang tengah biasa disebut dengan langan duah atau lambor. Umumnya langan duah memiliki fungsi sebagai tempat tidur orang tua dan anak laki – laki serta sebagai ruang tamu. Pada langan duah terdapat lagi dua ruang khusus, yakni serambi kanan dan serambi kiri. Untuk menentukan letak serambi kanan dan serambi kiri ialah berdasarkan pada individu/pemilik rumah ketika keluar dari langan dalem. Serambi kanan digunakan sebagai tempat perempuan tidur, begitu pula sebaliknya serambi kiri digunakan sebagai tempat tidur laki – laki pada malam hari.

Selain sebagai tempat tidur, serambi kanan dan serambi kiri berfungsi pula untuk menerima tamu, di mana ketika tamu laki – laki yang datang haruslah berada di serambi kiri (letaknya di sebelah kanan dari pintu utama keluar – masuk rumah) dan sebaliknya ketika tamu perempuan harus berada di serambi kanan (letaknya di sebelah kiri dari pintu utama keluar – masuk rumah). Terakhir, ruang bawah biasa disebut dengan orok – orok. Umumnya

orok – orok memiliki fungsi sangat sederhana, yakni hanya sebagai tempat untuk menaruh


(30)

b. Bale Kodong

Bale kodong merupakan bangunan atau tempat tinggal selanjutnya yang ada di Dusun

Sade setelah bale tani. Secara terminologi, kata bale kodong terdiri atas dua kata, yakni bale dan kodong. Bale diartikan sebagai rumah atau tempat tinggal dan kodong dapat didefinisikan kecil. Dengan demikian, secara harfiah bale kodong adalah rumah atau tempat tinggal yang kecil. Bale kodong merupakan rumah atau tempat tinggal sementara waktu bagi pasutri yang baru menikah atau kawin atau bagi para lansia yang sudah tidak mampu lagi untuk menaiki tangga pada bale tani.

Gambar 10 Bale Kodong

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Perkawinan merupakan salah satu tingkat dalam siklus hidup di mana pun. Perkawinan yang ideal berdasarkan tradisi di Dusun Sade ialah endogami dusun. Sistem perkawinannya pun berbeda dari yang umumnya ialah kawin culik, di mana gadis desa yang hendak dinikahi oleh pemuda desa sebelumnya haruslah diculik dari kedua orang tuanya. Hal ini merupakan suatu keharusan yang dilaksanakan dalam suatu proses pernikahan. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, Bapak Arifin menjelaskan bahwa keluarga dari si gadis akan merasa tidak dihormati atau kehormatan kedua orang taunya terasa terinjak – injak.


(31)

Sesungguhnya secara kasat mata (manifest) tujuan dari bertempat tinggalnya pasangan yang baru menikah di bale kodong ialah bulan madu. Namun, secara laten tujuan yang dapat dibaca ialah merupakan suatu proses belajar untuk menjadi mandiri dalam membangun sebuah rumah tangga bagi pasangan yang baru menikah. Hal ini tidak terlepas dari alasan, bahwa nantinya pasangan yang baru menikah tersebut akan berusaha untuk membangun rumah yang baru.

Bentuk bale kodong ini adalah sangat sederhana, yakni menyerupai gubuk – gubuk

pada umumnya. Adapun elemen – elemen bangunan pada bale kodong yang meliputi atap, dinding, pintu dan fondasi. Atap dari bale kodong berbentuk menyerupai limas dengan bahan material berupa alang – alang yang sudah dikeringkan. Bahan ini bisa didapatkan dari ladang masyarakat adat Sade yang terletak di sebelah timur desa. Atap dari bale kodong tidaklah sebesar dan serumit bale tani.

Senada dengan atapnya, dindingnya pun sangat sederhana ialah terbuat dari anyaman bambu dan memiliki fungsi hanya untuk menutupi keseluruhan sisi rumah dengan tujuan agar tidak terlihat aktivitas – aktivitas yang dilakukan pasangan/pengantin baru oleh orang luar. Dalam bale kodong, hanya terdapat satu pintu sebagai tempat keluar – masuknya si pengantin baru. Pintu berupa pintu geser yang terbuat dari anyaman bambu.

Fondasi bale kodong dibuat agak rendah sebagaimana bale tani. Fondasi ini berfungsi

sebagai tempat dudukan tiang – tiang. Dalam bangunan bale kodong menggunakan enam tiang (enam tekan). Keenam tiang ini berfungsi untuk penyalur gaya – gaya dari fondasi ke atap. Tiang terbuat dari bahan kayu gelondongan yang disebut dengan tekan. Selain itu, fondasi berfungsi pula sebagai lantai ruangan dan tangga. Material yang digunakan adalah tanah liat dicampur dengan kotoran kerbau dan air. Luas dari fondasi bale kodong hanya kira – kira panjangnya dua depa dan lebar sekek depa sesata.

Sesuai dengan namanya rumah yang kecil, bale kodong hanya memiliki dua ruang saja, yakni dalam dan luar. Ruang dalam pada bale kodong berfungsi sebagai tempat beraktivitasnya pasangan baru, seperti memasak, makan, tidur dan sebagainya. Sedangkan ruang luar memiliki fungsi sebagai tempat untuk menerima tamu. Bentuk dari ruang luar ini menyerupai teras pada umumnya, namun ukurannya lebih kecil. Dapat dikatakan luas dari kedua ruang ini sangatlah sempit.


(32)

c. Lumbung Padi

Kesatuan – kesatuan sosial dalam bentuk kehidupan keluarga memiliki benda – benda bersama yang perlu disimpan dan memerlukan tempat penyimpanan. Padi merupakan salah satu bahan makanan yang perlu disimpan dan perlu tempat penyimpanan. Untuk bangunan tempat menyimpan padi umumnya disebut lumbung. Secara umum di Dusun Sade memiliki tiga tipe lumbung, yakni alang, ayung dan lumbung.

Gambar 11 Lumbung Padi

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Baik alang, ayung maupun lumbung memiliki struktur ruang yang sama, yakni

bangunan bertingkat yang memiliki tiga ruang di antaranya atas, tengah dan bawah. Pada bagian bawah bangunan ini bisa disebut lantai alang/ayung/lumbung yang umumnya kurang berfungsi untuk aktivitas pemiliknya, sehingga dibangun sederhana saja. Berbeda halnya dengan bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat duduk – duduk, tempat makan, tempat istirahat sementara. Terakhir pada ruang bagian atas memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi atau bahan – bahan makanan lainnya.

Bentuk dari alang, ayung dan lumbung hampir serupa, yakni berupa bangunan yang

memiliki empat tiang; atap terbuat dari alang – alang yang sudah dikeringkan; memiliki satu pintu tepatnya pada ruang bagian atas sebagai tempat keluar masuk; denah atau dasar bangunan berbentuk segi empat yang panjang dan lebarnya tergantung pada jarak antara satu


(33)

tiang dengan tiang yang lain, tidak memiliki dinding (ayaman bambu) pada ruang tengah dan lain – lain.

Hal yang membedakan antara alang, ayung dan lumbung terlihat jelas pada ukuran bangunannya, dapat dikategorikan alang merupakan bangunan yang memiliki ukuran paling besar, ayung adalah bangunan yang memiliki ukuran sedang atau menengah dan lumbung ialah bangunan yang memiliki ukuran yang paling kecil. Selain itu, perbedaan yang lain ialah terletak pada bentuk atap dari masing – masing bangunan. Bentuk atap dari alang menyerupai

bale tani, di mana atap dibuat agak menjorok ke dalam dan langsung menuju ke atas.

Sedangkan atap dari ayung dan lumbung dibuat lebih sederhana menyerupai bentuk limas pada umumnya. Ukuran atap lumbung lebih kecil dibandingkan ayung, sebagai akibat dari dasar lumbung yang paling kecil seperti yang sudah disampaikan sebelumnya.

d. Bale Bontar

Secara terminologi kata bale bontar terdiri atas dua kata, yaitu bale dan bontar. Kata

bale dapat diartikan sebagai bangunan atau tempat tinggal dan bontar adalah bundar atau

besar. Dengan demikian, secara harfiah bale bontar ialah bangunan yang besar dan berbentuk bundar. Menurut keterangan dari Amaq Kurnia, bale bontar merupakan bangunan atau tempat tinggal yang dapat dikategorikan bukan asli dari Dusun Sade, melainkan telah mendapat pengaruh – pengaruh dari luar.

Elemen – elemen bangunan dari bale bontar seperti atap, dinding, pintu, fondasi hampir serupa dengan apa yang ada pada bale tani. Hal serupa tersebut di antaranya atap bale

bontar dibuat agak menjorok ke dalam dan langsung menuju ke atas. Atap bale bontar

menggunakan bahan material yang alami, yaitu berupa alang – alang yang sudah dikeringkan berwarna cokelat kekuning – kuningan. Selain itu, dinding bale bontar pun menggunakan bahan material yang alami, yakni terbuat dari bambu yang sudah dianyam. Anyaman bambu ini berfungsi untuk pembatas antara satu ruang dengan ruang lainnya dan berfungsi pula untuk menutupi keseluruhan sisi rumah serta anyaman bambu yang renggang – renggang sebagai sirkulasi udara (ventilasi).

Hal lain yang serupa kembali ialah pintu. Pada bale bontar terdapat dua pintu utama, yaitu pintu untuk keluar masuk berupa pintu geser yang terbuat dari anyaman bambu dan pintu yang menghubungkan antara langan dalem dengan langan duah berupa pintu geser yang terbuat dari kayu (kuri) dan berbentuk melengkung. Kedua pintu tersebut dibuat agak


(34)

rendah dengan maksud apabila ada tamu yang masuk rumah harus dalam keadaan menunduk untuk menghormati si pemilik rumah.

Perbedaan antara bale bontar dan bale tani terletak pada fondasi bangunannya.

Fondasi merupakan bagian paling penting dalam membangun sebuah rumah karena tanpa adanya fondasi, maka elemen – elemen bangunan lainnya tidak dapat dibuat. Fondasi bale

bontar dibuat lebih tinggi dibandingkan pondasi bale tani. Fondasi ini berfungsi sebagai

tempat dudukan tiang – tiang. Dalam bangunan bale tani menggunakan sepuluh sampai lima belas tiang. Selain itu, dalam mengukur luas pondasi bale bontar tidaklah menggunakan ukuran tradisional (sedepa, sesata, sprunjung) seperti bale tani, tetapi sudah beralih pada angka – angka yang pasti dalam sebuah alat meteran. Selain itu, sebagai bahan dasar untuk membuat fondasi telah menggunakan bahan material pasir bercampur dengan semen. Namun ada beberapa anggota masyarakat masih mencampur bahan tersebut dengan tanah liat dan kotoran kerbau.

Hal lain yang menjadi perbedaan antara bale bontar dengan bale tani ialah terletak pada jumlah ruang yang ada. Jika pada bale tani terdapat tiga ruang yakni langan dalem,

langan duah dan orok – orok, maka lain halnya dengan bale bontar yang memiliki ruang –

ruang tambahan. Ruang tambahan tersebut berupa teras, tempat menaruh barang – barang, tempat berjualan makanan dan minuman (warung), tempat tidur bayi dan lain – lain. Jadi, dapat dikatakan terdapat perluasan ruangan serta fungsi pada bale bontar yang sesuai dengan kebutuhan masing – masing pemilik rumah. Hal ini didukung oleh ukuran bale bontar yang lebih besar dibandingkan dengan bale tani.

e. Tempat Beternak

Kegiatan beternak merupakan hal yang penting dalam kesatuan hidup di mana pun, termasuk di Dusun Sade. Secara historis, pekerjaan masyarakat Dusun Sade selain petani juga sebagai peternak. Hewan yang diternak oleh masyarakat Dusun Sade umumnya ialah sapi, kerbau, ayam, itik dan lain – lain. Pada awalnya kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat di sekitaran pemukiman saja, misalnya di depan rumah, di belakang rumah, di samping kanan dan samping kiri rumah. Namun, semenjak 1975 tepatnya agenda pembangunan pariwisata menghampiri, kini tempat beternak tersebut beralih ke timur desa tepat berdampingan dengan ladang – ladang masyarakat.


(35)

Gambar 12

Kandang Sapi di Desa Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Hal di atas dikarenakan, tempat beternak sebelumnya telah dijadikan jalan setapak bagi para wisatawan yang berkunjung sebagai konsekuensi logis pengembangan Dusun Sade menjadi Desa Wisata. Bahkan, kini ada beberapa anggota masyarakat menitipkan hewan ternaknya di rumah tetangga yang bukan satu dusun. Hewan – hewan yang diternak tersebut ada yang dilepaskan begitu saja dan ada pula yang dikandangkan. Hewan yang dalam pemeliharaannya dilepas begitu saja, diantaranya ayam dan itik. Sedangkan hewan yang dikandangkan oleh masyarakat berupa kerbau dan sapi. Bentuk kandang sapi dan kerbau di Dusun Sade umumnya sama dengan kandang di tempat lainnya. Tidak ada hal yang khusus mengenai kandang tersebut.

f. Mendirikan Rumah Baru

Aturan adat Dusun Sade menjelaskan bahwa, setiap warga dusun yang sudah menikah haruslah berpisah dengan orang tua dan membangun rumah sendiri. Rumah yang nantinya akan dibangun haruslah mengikuti struktur rumah asli Dusun Sade. Seperti yang Amaq Kurnia jelaskan, bahwa “kalau ingin tetap tinggal di Dusun Sade ini, haruslah membuat atau membangun rumah seperti yang telah ada dan diwariskan oleh nenek moyang. Namun, jika ingin membangun rumah yang permanen atau di luar yang sudah ada seperti rumah yang ada di kampung – kampung lainnya, maka silahkan keluar dari Dusun Sade ini”. Demikianlah


(36)

aturan yang telah dibuat atas dasar kesepakatan bersama dalam membangun atau mendirikan sebuah rumah.

Terdapat hal yang unik sebelum dan sesudah mendirikan sebuah rumah di Dusun Sade, yaitu tanah dimana tempat didirikan rumah nantinya akan diberikan beras yang disangrai dicampur dengan gula merah dan kelapa (moto seung). Moto seung ini akan ditaburkan di sekeliling tanah tempat didirikannya rumah serta tidak lupa mencampurnya dengan sedikit air. Masyarakat meyakini apabila tanah tersebut sudah ditaburi oleh moto

seung, maka proses mendirikan rumah akan berjalan dengan lancar.

Adapun peralatan yang disiapkan dalam mendirikan sebuah rumah baru, di antaranya kayu – kayu penyangga, bambu, alang – alang, anyaman bambu, tanah liat, kotoran kerbau serta tidak lupa tenaga yang akan mengerjakannya nanti. Tenaga kerja yang digunakan tidaklah dibayar dengan uang pada umumnya, tetapi dalam proses pembangunan atau pendirian rumah akan dilakukan secara gotong-royong. Untuk membalas jasa para anggota masyarakat yang telah membantu mendirikan sebuah rumah, maka sudah wajib bagi si pemilik rumah untuk mengadakan perayaan. Perayaan tersebut berupa slametan dengan cara makan bersama – sama.

Sebelum hal di atas dilakukan, masyarakat Dusun Sade akan memilih waktu yang baik berdasarkan warige. Oleh karena tidak semua masyarakat memahami betul mengenai

warige, maka individu yang bersangkutan akan bertanya mengenai hal tersebut kepada

pemimpin adat (keliang dusun). Masyarakat Dusun Sade meyakini, bahwa hari baik untuk mendirikan sebuah rumah dilakukan setelah bulan Ramadhan berakhir. Sebaliknya pantang bagi individu untuk mendirikan rumah pada bulan Ramadhan dan apabila ada individu yang mendirikan sebuah rumah pada bulan Ramadhan, diyakini rumah tersebut akan membawa malapetaka bagi si pemiliki rumah tersebut, seperti sering sakit, sulit mendapatkan rezeki, hidupnya selalu tidak tenang dan sebagainya.

Selain mengenai waktu, terdapat pula keyakinan masyarakat Dusun Sade dalam hal tempat – tempat yang tidak baik untuk mendirikan sebuah rumah, yang mengakibatkan kurang baik pula bagi si pemilik rumah nantinya. Tempat – tempat yang kurang baik tersebut, di antaranya tanah bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi susur gubug. Selain itu, masyarakat Dusun Sade tidak akan mendirikan rumah yang posisinya saling berhadapan dengan rumah tetangga yang ada terlebih dahulu.


(37)

g. Masjid

Masjid di Dusun Sade terletak di sebelah utara dusun, dekat dengan Dusun Sade II. Pembangunan masjid dilakukan pada tahun 1966, seiring dengan lunturnya kepercayaan Islam Watu Telu yang dulu menjadi agama utama di Dusun Sade.

Gambar 13

Suasana di Dalam Masjid Dusun Sade

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Tidak seperti masjid lain yang beratapkan kubah, atap masjid di Dusun Sade berbentuk seperti meru (bhs.Bali) bertumpang tiga yang terbuat dari alang-alang. Pintu masuknya pun dibuat seperti bentuk gapura, sehingga para pendatang berpendapat bahwa pada awalya tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah sebuah masjid. Di bagian puncaknya pun tidak terdapat lambang bulan-bintang seperti masjid-masjid di tempat lain, hanya ada pengeras suara untuk mengumandangkan shalat. Dindingnya tidak terbuat dari bata, melainkan dari anyaman bambu yang dipelitur mengilap. Lantai terbuat dari ubin keramik yang disusun rapi. Hiasan dinding berupa lukisan kaligrafi Arab yang indah.


(38)

Menurut keterangan staf Dinas Budaya dan Pariwisata Lombok Tengah, tidak ada hal khusus mengenai bentuk atap masjid tersebut, hanya untuk menambah nilai estetika. Akan tetapi bentuk tersebut seakan menunjukkan bahwa adanya asimilasi budaya antara Hindu Bali dengan Islam, seperti halnya dengan Islam Watu Telu yang merupakan hasil sinkritisme budaya Hindu, Islam, dan agama lokal (animisme).


(39)

3.5 Ukuran Tradisional dalam Membangun Rumah Tradisional di Dusun Sade Gambar 14. Ukuran Panjang dan Lebar

Keterangan

Angka 1 : Sesata (jarak dari ujung jari tengah hingga siku tangan).

Angka 2 : Sedepa (jarak dari ujung jari tengah lengan kanan hingga ujung jari tengah lengan kiri terbentang).

Gambar 15. Ukuran Tinggi

Keterangan


(40)

3.6 Sekilas tentang Pemekaran Desa Rembitan

Secara legal formal Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah berdiri pada tahun 1950. Desa Rembitan pertama kali dipimpin oleh Lalu Wira Bakti yang menjabat selama 35 tahun, tepatnya dari tahun 1950 sampai dengan 1985. Dalam pemerintahan Lalu Wira Bakti terdapat sepuluh dusun di Desa Rembitan, diantaranya Dusun Rembitan I, Dusun Rembitan II, Dusun Sade, Dusun Penyalu, Dusun Rebug, Dusun Telok, Dusun Sela, Dusun Dentaq, Dusun Telok Bulan.

Setelah Lalu Wira Bakti lengser, digantikan oleh adiknya Lalu Kota yang memerintah hanya seumur jagung, yakni selama empat tahun tepatnya dari tahun 1985 sampai dengan 1989. Selama pemerintahan Lalu Kota tidak ada pemekaran di Desa Rembitan. Pada saat Lalu Kota lengser terjadilah kekosongan pemerintahan, yang mengharuskan Camat Pujut saat itu mengisi kekosongan pemerintahan tersebut selama tiga tahun, tepatnya pada tahun 1989 sampai dengan 1992.

Selanjutnya yang memerintah Desa Rembitan dari tahun 1992 sampai dengan 1995 (tiga tahun) ialah Lalu Arif Budi Hakim. Dalam pemerintahan Lalu Arif Budi Hakim kembali Desa Rembitan tidak mengalami perluasan wilayah begitu seterusnya sampai pada pemerintahan Lalu Sedaq dari tahun 1995 sampai dengan 1998. Hal ini dikarenakan luas wilayah desa yang masih bisa menampung jumlah penduduk pada saat itu. Dengan demikian, Desa Rembitan tidak mengalami perluasan wilayah selama 13 tahun lamanya.

Putra dari Lalu Wira Bakti sempat memerintah pula di Desa Rembitan selama delapan tahun, tepatnya dari tahun 1998 sampai dengan 2006. Tepat pada masa akhir pemerintahan Lalu Wacana, akhirnya Desa Rembitan mengalami pemekaran dengan bertambahnya lima dusun. Adapun dusun – dusun tersebut, diantaranya Dusun Sade II, Dusun Telok Bulan Daya, Dusun Rebug II, Dusun Slema dan Dusun Rembitan III.

Desa Rembitan kembali mengalami pemekaran wilayah, tepatnya pada pemerintahan dari Olem yang menjabat sebagai kepala desa selama enam tahun, di mana dari tahun 2006 sampai dengan 2012. Pada tahun ini terdapat tambahan enam dusun lainnya, yakni Dusun Sade Lau, Dusun Slema Baat, Dusun Kukun, Dusun Rembitan IV, Dusun Bontor Lau dan Dusun Bontor Daya. Dengan demikian, terdapat 21 dusun yang ada di Desa Sade sampai saat ini dengan pemekaran wilayah terjadi sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2006 dan 2012.


(41)

3.7 Dasar-Dasar Kesukuan dan Hubungan Antar-Kelompok

Penduduk Desa Sade tidak terbagi dalam klen-klen. Mayoritas dari penduduk Sade adalah suku Sasak asli, meskipun ada sebagian kecil yang merupakan kaum pendatang. Seperti halnya suku Sasak pada umumnya, mereka mengenal nama Lalu, Raden, atau Baiq yang dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya. Meskipun derajatnya lebih tinggi dan mendapat penghormatan dari golongan rakyat biasa, mereka tetap menghormati dan memberikan kesempatan yang sama bagi masyarakat luas dalam hal berdemokrasi dan berkehidupan sosial. Masyarakat juga menaruh penghormatan yang lebih tinggi bagi orang-orang yang memiliki kedudukan penting seperti pemuka agama dan kepala dusun.

Menurut pengakuan Kepala Dusun Sade, di dusun ini cukup jarang terjadi konflik dengan kelompok yang ada di luar dusun. Kalau pun ada, itu hanyalah konflik intern keluarga atau antar-keluarga yang masalahnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Konflik tersebut bisa terjadi karena beberapa sebab, seperti perebutan warisan, ketersinggungan antara satu pihak dengan pihak lain, atau dapat juga terjadi karena perebutan gadis. Konflik diselesaikan melalui rapat bersama antara dua pihak yang berselisih dan kepala dusun memiliki tugas sebagai moderator guna menengahi perselisihan tersebut.

Ada kalanya terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penduduk desa yang menyebabkan penduduk tersebut harus menerima sanksi dari adat. Sanksi adat tersebut ada yang berupa denda, pengasingan, dan hukuman mati. Sanksi berupa denda misalnya dikenakan bagi mereka yang menghilangkan nyawa orang (didenda ‘50 kuang siu’ uang kepeng).

Sanksi berupa pengasingan dikenakan bagi mereka yang melanggar adat perkawinan atau incest. Adapun lamanya pengasingan adalah satu dasawarsa (10 tahun). Untuk mengembalikan nama baik pelaku, ada suatu ritual yang dilaksanakan sebagai tanda pembersihan diri.

Sampai sekarang pun, hukuman mati masih diberlakukan bagi masyarakat Dusun Sade. Hukuman ini dikenakan bagi mereka yang dianggap merusak kesucian dari tempat-tempat keramat. Hukuman mati (atau disebut juga tematik) juga dapat dikenakan bagi pasangan yang berselingkuh.


(42)

BAB IV

PEMERINTAHAN ADAT

4.1 Sistem Pemerintahan Adat

Nama lembaga adat di tingkat dusun adalah Pengemban Adat, sedangkat di tingkat desa ada Majelis Pamusungan Adat. Majelis Pamusungan Adat berperan juga terhadap pengambilan keputusan jika ada konflik atau pelanggaran terhdap nilai dan norma adat di Desa Rembitan. Berkaitan dengan tingkat pengambilan keputusaan saat konflik maka untuk perkara di dusun akan diselesaikan oleh Pengemban Adat, jika di tingkat dusun tidak bisa diselesaikan maka perkara adat tersebut akan dimusyawarahkan di tingkat desa oleh Majelis Pemusungan Adat. Layaknya lembaga tinggi yang berdomisili di desa, maka ketua umumnya adalah kepala desa, sedangkan yang mengetuai Pangemban Adat adalah kepala dusun di masing-masing dusun.

Pengemban Adat memiliki posisi strategis di dalam masyarakat dan sangat dituakan atau dihormati karena merangkap jabatan dinas dan adat. Secara dinas dia disebut kepala dusun, secara adat dia disebut dewan adat atau jero klian. Persyaratan untuk menjadi kepala dusun yaitu haruslah baik bibit, bebet dan bobotnya. Harus memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala dusun sebelumnya karena masyarakat yakin trah atau keturunan dari golongan kepala dusun memiliki sikap yang ungguh, salah satunya tingkat kejujuran dan kepedulian yang tinggi. Calon juga harus memiliki kepribadian yang baik dan bijaksana dan sudah cukup umur (sudah akil balik). Pengetahuan tentang budaya, adat dan agama, serta fasih berbahasa Indonesia adalah syarat penting lainnya. Hal itu karena seorang kepala dusun haruslah menjadi contoh atau teladan bagi masyarakatnya dan dapat berhubungan baik atau berkomunikasi dengan masyarakat luar yang ingin mengetahui seluk-beluk Dusun Sade.

Seorang kepala dusun dipilih dengan cara musyawarah. Pertama-tama para

penglingsir atau tetua adat yang merupakan penasehat Pangemban Adat/ kepala dusun akan

mengajukan satu nama yang dirasa paling berkualitas di antara pemuda di Desa Sade, kemudian di dalam forum calon tunggal ini diundang, dihadiri pula oleh kepala dusun,

penglingsir adat, serta semua kepala keluarga sebagai perwakilan krama adat. Saat itulah

dilaksanakan musyawarah untuk mencapai mufakat, kemudian apabila semua krama atau masyarakat sejutu maka disahkanlah dia menjadi kepala dusun yang baru. Saat dilantik atau di simbik ada upacara kecil sebagai simbolis pelantikannya secara adat.


(43)

Perempuan tidak dapat menjadi kepala dusun karena di Dusun Sade menganut sistem patrilineal, dimana pihak laki-laki yang memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan perempuan. Anak laki-laki disekolahkan sampai setinggi-tingginya hingga perguruan tinggi kalau bisa dan boleh merantau keluar. Sedangkan pihak perempuan hanya memiliki pendidikan SMA, itulah yang paling tingggi. Biasanya setelah tamat SMA pihak perempuan akan langsung menikah. Perempuan juga dilarang keluar dusun jika tidak ditemani oleh keluarga atau saudara kandung.

Jika kepala dusun sudah terlalu tua atau pikun maka jabatannya akan segera digantikan, dan diadakan musyawarah untuk pemilihannya. Kepala dusun juga akan diganti jika sudah tidak layak menjabat (melanggar norma adat) atau tidak dapat melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Seorang pemimpin adat bukanlah keturunan pahlawan masa lampau atau dewa, masyarakat menganggap bahwa seorang kepala dusun memiliki kepribadiaan yang unggul, memiliki pengetahuan dan akhlak lebih tinggi dari pada masyarakat biasa sehingga patut diteladani.

Terdapat mitos tentang kepemimpinan adat. Orang tua atau leluhur Dusun Sade selalu merindukan kemunculan pimpinan yang disebut Emban Pejanggik/ Datu Pejanggik, pemimpin yang berjiwa arif bijaksana. Seperti layaknya di Jawa terdapat Satrio Piningit atau

Ratu Adil, dan di ajaran agama ada Imam Mahdi. Saat sosok itu muncul maka dunia akan

damai, aman, dan sejahtera. Datu Pejanggik dianggap figur yang belum waktunya datang ke dunia, sosok ini dianggap masih dalam masa penempaan sehingga kelak siap menerangi dunia. Masyarakat belum tahu apakah sosok yang seperti itu hanya ada di mitos atau benar-benar akan terlaksana.

Pemimpin adat memiliki keistimewaan khusus untuk memutuskan perkara. Keputusan ini selalu berdasarkan musyawarah dan mufakat. Karena sosoknya yang dianggap unggul dan patut diteladani, maka setiap warga selalu mendengar dan menuruti keputusan dari kepala dusun. Seorang pemimpin adat atau kepala dusun tidak memiliki hak istimewa terhada istri dan perempuan yang disukainya. Jika berpoligami atau selingkuh maka kepala dusun akan tercoreng kehormatannya, dan dianggap tidak layak lagi menjadi kepala dusun. Tidak terdapat pemimpin adat yang berbeda untuk masa damai dan masa perang. Semua urusan dinas dan adat merupakan tanggung jawab kepala dusun untuk mengkoordinirnya.

Di Dusun Sade tidak ada perselisihan di antara anggota keluarga karena memperebutkan posisi pemimpin adat, masyarakat akan menilai sendiri siapa sosok yang


(44)

memang pantas untuk jabatan tersebut. Mereka tidak ada berkeinginan untuk memperebutkan jabatan vital tersebut karena tahu, tanggung jawab yang akan diemban sangatlah berat. Berkaitan dengan ibu atau kakak-kakak perempuannya tidaklah menduduki posisi yang berarti, karena dalam pembagian tugasnya urusan eksternal adalah urusan lelaki, wanita hanya mengurus urusan domestik.

Tugas seorang pemimpin adat atau kepala dusun terhadap komunitasnya yaitu mengatur administrasi, mengatur rapat adat, memutuskan saat ada konflik atau pelanggaran. Secara dinas dan adat patut melayani masyarakat. Fungsi lainnya yaitu dalam fungsi religius sebagai hotib setiap hari Jumat di mushola Dusun Sade, selain itu beliau juga menjadi imam saat sholat, memandikan pengantin dengan air banyu mas, serta menjadi koordinator konsumsi dari inan beras saat ada upacara. Seorang kepala adat yang di sini dijabat oleh kepala dusun juga diharapkan menyumbang untuk setiap upacara keagamaan. Bukanlah suatu keharusan, tetapi dilihat dari sudut keikhlasannya. Biasanya sumbangan pribadi berkisar antara Rp. 500.000 – Rp 1.000.000. Jika ada orang yang tidak mampu secara ekonomi maka bantuan dilakukan dengan mengkoordinir pembagian zakat dan fitrah.

Gambar 16 Uang Kepeng

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Seorang pemimpin adat atau kepala dusun dianggap sebagai hakim dalam urusan hukum, dimana keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. Bagi pelanggar ada beberapa jenis sanksi, seperti sanksi bedende atau bendosa dikenakan sanksi finansial


(45)

atau membayar sejumlah uang. Ada klasifikasi, denda utama, madya, nista. Denda utama adalah senilai seket kuang siu atau 50.000 keping uang kepeng – 1000 keping. Kalau dirupiahkan sama dengan Rp 500.000 – Rp 1000 = Rp 499.000. Denda utama lainnya yaitu denda pati merupakan denda atau sanksi yang diberikan kepada seseorang yang akibat perbuatan dan ucapkannya membuat kematian orang lain. Misalkan istrinya si A dan lelaki B selingkuh, maka dalam sidang adat yang dipimpin oleh Pangemban Adat akan dikumpulkan dan dibeberkan bukti dan saksinya. Jika tidak terbukti atau tidak ada barang bukti dan fakta secara adat maka laki-laki B akan dikenakan denda uang, kalau terbukti lain lagi ceritanya. Keluarga lelaki B akan membunuh atau memenggal kepala si B, untuk melindungi kehormatan keluarga dan rasa tanggung jawab terhadap si wanita, istri si B.

Selanjutnya ada denda yang bersifat madya, denda sebanyak 24 kepeng atau pat likur, sedangkan yang bersifat nista, dendanya sebanyak 12 (dualos) kepeng. Jadi jika sanksi uang ada 3 macam yaitu utama, madya, dan nista; Seket kuang siu , pat likur (24), duaolas (12). Pelanggaran yang sering terjadi adalah saat terjadi hubungan muda-mudi atau truna dara. Seperti contohnya jika ada perempuan dan lelaki sedang bersamaan, tiba-tiba si perempuan menangis. Jika kejadian itu terjadi di siang hari maka hal tersebut masuk pelanggaran nista atau kecil, denda 12 kepeng. Jika kejadiannya malam maka termasuk pelanggaran madya atau sedang, denda 24 kepeng. Semua sesuai waktu pelanggarannya. Kalau seorang mangambil calon istrinya di siang hari atau menikah saat bulan puasa, maka akan didenda 24 kepeng, terdapat pula banyak aturan hukum adat mengenai sanksi lainnya.

Ada juga sanksi dibuang, diasingkan, atau dikucilkan istilahnya denda sedasa warsa (10 tahun). Orang yang terkena sanksi tersebut adalah orang yang melanggar aturan adat/awig-awig yang berhubungan dengan perkawinan, seperti menikahan dengan bibi atau keponakan. Hal tersebut disebut salah dalam menculik, “salah carun merarik”. Setelah menjalani sanksi 10 tahun mereka kembali ke keluarga dan masyarakat dengan gratifikasi / pemulihan melalui upacara Roah Rapah, dengan membuat pancak aji 44. Hal tersebut merupakan upaya pemulihan reputasi – nama baik seseorang, sehingga eksistensinya bisa dikembalikan secara utuh oleh keluarga dan masyarakat, seolah-olah mereka sudah terhapus dari kesalahannya.

Saat ada sengketa, yang menjadi penentu adalah musyawarah dilihat dari intensitas masalah, baru kemudian diambil keputusan. Wewenang untuk memustuskan – pemimpin adat, berdasarkan musyawarah. Apabila petinggi yang melanggar maka hukumannya lebih berat, tidak kebal hukum. Hukum adalah milik sang pemilik hukum itu sendiri, bukan milik


(46)

siapa-siapa. Apabila pemimpin adat sendiri melanggar hukum maka hukuman tetap diberikan oleh adat. Menurut perkataan kepala dusun, pelanggaran yang paling dia hindari adalah selingkuh. Di Dusun Sade kebanyakan masyarakatnya masih monogami atau menikah satu kali. Jika sampai kepala dusun selingkuh atau menikah dua kali atau poligami maka hal tersebut akan mecoreng reputasinya dan tidak layak lagi menjadi pemimpin.

Jika di Dusun Sade ada masalah maka cara mereka mengendalikan ketegangan atau perselisihan yang ada dalam masyarakat yaitu dengan memberi hukuman berupa sanksi uang (nista, madya, utama) dan hukum tematik/ digorok. Cara untuk mengembangkan rasa malu dan rasa takut yaitu dengan mengosipkan seorang yang disangka bersalah. Gosip ini biasanya berhubungan dengan perselingkuhan. Orang yang sudah digosipkan selingkuh dengan istri orang lain maka dia hanya punya dua pilihan pergi atau mati. Pergi dari desa atau nantinya jika ketahuan secara nyata sedang berselingkuh maka akan digorok kepalanya oleh keluarganya sendiri. Cara lainnya lagi yaitu tradisi begarap yang erat kaitannya dengan istilah setekot daun bunut. Semua warga diundang dalam pertemuan yang diadakan di

berugak saka nem sebuah balai besar untuk pertemuan dusun. Ritual ini sangat sakral hanya mangku yang menangani persiapan ritual ini. Satu minggu sebelum dilaksanakan sumpah

pembuktian kesalahan itu diadakan ritual kecil oleh jero mangku (menyendiri). Selanjutnya saat acara dimulai dengan menghidangkan racikan dari air yang dicampur dengan tanah makam Wali Nyato dan diminum dengan cara menggunakan daun beringin sebagai pengganti sendok. Orang yang bersalah dalam suatu perkara namun tidak dapat dibuktikan secara nyata, dapat dibuktikan secara adat dan religi dengan cara ini. Orang yang bersalah akan didatangi oleh lalat-lalat yang sangat besar dan sakit beberapa hari setelahnya kemudian mati. Begitulah cara adat yang mereka lakukan dan yang berwenang melakukan hal itu adalah keputusan adat yang diakomodir oleh Pemusungan Adat/ kepala desa. Jika cara adat tidak cukup atau tidak mempan maka akan dibawa ke yang berwajib seperti polisi.

Hukum tematik atau penggorokkan terakhir terjadi tahun 2006 tempatnya di Dusun Sela, sebelah Dusun Sade. Orang tersebut mati digorok karena dia meniduri istri seseorang yang suaminya sedang bekerja di Malaysia. Mengingatkan kita lagi bahwa di Dusun Sade hanya laki-laki yang boleh merantau dan sekolah tinggi, sedangkan perempuan tidak boleh sekolah keluar desa, dan tidak diizinkan menjadi TKW. Berlanjut ke cerita tersebut, begini ceritanya. Laki-laki A tidur dengan istri B maka keluarga A menghukum laki-laki A dengan


(47)

entah sekian tahun dihukum bukanlah masalah bagi pembunuhnya. Harga diri dari mempertahankan kehormatan keluarga adalah nomor satu bagi mereka.

Di Dusun Sade hanya terdapat satu macam bentuk kepemimpinan dalam masyarakat. Tidak ada pimpinan kadang kala, terbatas, mencakup, atau pucuk. Semua tanggungjawab untuk melayani masyarakat dan mengakomodir pendapat mereka serta hak untuk mengambil keputusan baik dinas ataupun adat ada di tangan satu orang yaitu di tangan kepala dusun yang juga menjadi Pangemban Adat. Terkait dengan pemimpin bawahan yang mengawasi kelompok tertentu seperti pertanian juga tidak ada. Berbeda dengan di Bali terdapat kelihan

subak, pertanian di Dusun Sade, Desa Rembitan, Lombok tengah tidaklah mengenal sistem

organisasi serupa. Hal tersebut karena tidak ada sistem irigasi, tidak ada hujan sepanjang tahun. Masyarakat mengairi ladangnya dengan air tadah hujan. Berkaitan dengan air yang baru dibangun di dekat Sade hanyalah DAM, belum ada bendungan. Kalaupun ada air masyarakat memanfaatkannya untuk dibuat embung (sejenis kolam tempat ikan kecil). Permasalahan air adalah salah satu hal yang menyebabkan pertanian di Dusun Sade kurang berkembang.

Dalam konteks adat tidak ada pembagian kasta, hanya saat di pemerintahan saja yang menggunakan perbedaan status (achieved). Pemimpin adat yang juga sebagai kepala dusun memiliki berbagai jenis kewajiban seperti menangani bidang administrasi, dinas,dan adat. Dalam bidang religi sebagai hotib memberikan kotbah, memandikan pengantin dengan air

banyu mas, imam, kalau ada upacara beliau juga yang membantu menangani konsumsi. Yang

memiliki kewajiban penuh sebagai koordinator konsumsi saat upacara adalah inan beras, jika tidak ada inan beras maka upacara belum bisa dimulai.

Banjar di Lombok, klususnya di Dusun Sade merupakan sebuah perkumpulan sebagai

wadah untuk membantu masayarakat saat upacaraa tertentu seperti begawi, kematian, kithanan, dan pernikahan. Melalui banjar semua perlenggkapan upacara dapat dikumpulkan. Di banjar yang paling tinggi posisinya adalah sebagai berikut. (dari yang tertinggi kemudian terendah) :

Sana Krana/ Iting Gawi inan beras agan inan lekas inan senganan.

Setiap kelompok memiliki anggota (anggota inti 5 orang, dibantu dengan yang lain).

Agan dibantu oleh Era yang berjumlah 30 orang (menangani sayur). Inan Senganan

menangani perihal rokok, sembako, jajan-jajan dan kopi. Inan Lekas menangani bahan-bahan untuk tradisi mengunyah dengan sirih pinang. Ada pula anak-anak muda yang


(48)

membantu melayani tamu dengan memberikan jamuan, mereka disebut Ancangin. Bentuk fisik dari stratifikasi sosial dalam adat dapat dilihat saat upacara berlangsung.

Bagan 1: Stuktur Pemerintahan Adat Dusun Sade

4.2 Dewan Adat dan Pejabat Lain

Posisi kepala dusun sejajar dengan dewan adat atau penglingsir. Saat mengambil sebuah keputusan, maka dewan adat akan memberikan saran. Saran tersebut kemudian dimusyawarahkan oleh warga atau kanoman kemudian jika sudah diambil simpulan maka akan disahkan oleh kepala dusun yang juga menjadi Pengemban Adat. Dewan adat terdiri dari tetua-tetua adat yang sangat dihormati oleh masyarakat, tokoh-tokoh adat yang dapat memeberikan nasihat dan memiliki pengetahuan adat yang dalam. Dewan adat mampu mengontrol keputusan-keputusan dari pemimpin/ Pengemban Adat karena selalu ada koordinasi antara dewan adat dan Pengemban Adat. Sebenarnya tidak ada stratifikasi berdasarkan kasta, yang ada hanyalah stratifikasi berdasarkan jabatan dinas dan jabatan pelengkap untuk sebuah upacara. Jika ada sesuatu yang harus diwakili di tingkat di atas dusun, maka yang mewakili adalah kepala dusun, bukan penglingsir adat. Kepala dusun


(49)

merupakan Pengemban Adat dan merupakan anggota dari Majelis Pamusungan Adat di tingkat desa.

Tanah pertanian tidaklah dibagikan oleh pemimpin adat, setiap orang sudah memiliki hak atas tanahnya masing-masing. Khusus untuk tanah hunian di Dusun Sade I merupakan salah satu tanah ulayat, sehingga pendirian rumah tidak ada larangan, namun sekarang lahan sudah terbatas, semua sudah dibangun. Maka diambil kebijakan tanah tersebut tidak boleh dijual, harus diwariskan kepada anak laki-laki yang terkecil. Keberadaan lahan dan hunian di Dusun Sade I merupakan tanggung jawab bersama dan pemeliharaannya pun dilakukan bersama-sama oleh keluarga yang tinggal di sana. Kalau tanah di luar Dusun Sade I yang merupakan milik pribadi silahkan dibanguni rumah sesuai dengan keinginan, bahkan kalau mau dijual juga diperbolehkan. Jika pun ada tanah ulayat lainnya maka akan difungsikan untuk tujuan kesejahteraan bersama, dan kepala dusun yang mengkoordinasikannya.

Gambar 17

Tanah Pertanian di Dusun Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Di Lombok memang secara umum terdapat petugas keamanan yang disebut langlang dan di Dusun Sade pemeliharaan keamanan secara nyata biasanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakatnya. Seperti di malam hari, para pemuda biasanya tidur di luar rumah, selain untuk menjaga kemanan dusun atau desa, hal itu biasanya terjadi karena tidak adanya ruang


(1)

e. Teknologi

Perkembangan teknologi di jaman globalisasi telah sampai pada kehidupan serta kebiasaan masyarakat Dusun Sade. Dahulu ketika listrik belum masuk, masyarakat Sade menggunakan lampu tempel yang diberikan minyak jarak, minyak kelapa atau minyak gas untuk menyalakannya. Namun sekarang listrik telah masuk hingga ke pelosok dusun, mendukung adanya lampu, televisi serta alat-alat elektronik lainnya.

Masuknya teknologi ke Dusun Sade membuat pola dan gaya hidup kebanyakan masyarakat berubah, terlebih lagi di kalangan remaja. Banyak para remaja yang lebih sering bermain dengan gadget mereka daripada bergaul dengan yang lainnya. Mereka lebih terfokus dengan sosial media yang ada. Selain itu banyak pemuda-pemudi desa yang lebih memilih bekerja pada bidang pariwisata sebagai guide atau pelayan di hotel dan objek wisata lainnya dari pada bekerja melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani.

f. Uang Tradisional (Uang Kepeng)

Uang kepeng merupakan alat tukar masyarakat Dusun Sade pada jaman dahulu, namun sekarang uang kepeng telah beralih fungsi menjadi sarana dalam upacara penguburan masyarakat Sade. Pada saat ini uang kepeng Sade tidak diproduksi lagi, namun jika ingin mencari maka harus mencari pada orang-orang tua atau lansia yang masih memilikinya.

g. Kesenian

Pada jaman dahulu kesenian masyarakat Suku Sasak digunakan hanya untuk sebagai pengiring upacara adat. Contohnya adalah Tari Petug yang ditarikan oleh anak-anak ketika terjadi prosesi khitanan. Tarian ini berfungsi sebagai penghibur. Namun saat ini tarian-tarian yang biasa dijadikan pengiring upacara adat tersebut dijadikan sarana untuk memperoleh penghasilan. Tarian-tarian tersebut bisa disaksikan apabila kita memesan dan membayar para penari tersebut.

h. Tingkat Pendidikan

Semenjak berkembangnya daerah Desa Rembitan akibat gencarnya pariwisata Dusun Sade, maka pendidikan masyarakat pun mulai mendapat perhatian. Tingkat pendidikan masyarakat di Dusun Sade sudah lebih maju daripada yang dahulu.


(2)

i. Komodifikasi Kain Tenun

Kain tenun yang pada awalnya diproduksi hanya untuk keperluan upacara dan berpakaian perlahan-lahan dikomodifikasi untuk kepentingan ekonomi. Komodifikasi kain tenun ini adalah dimana kain tenun yang awalnya bukan merupakan barang komoditas, dijadikan komoditas atau diperjual-belikan, sehingga pada saat ini kain tenun yang diproduksi oleh masyarakat Sade tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi juga untuk kepentingan dan keperluan ekonomi.

6.2 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Dusun Sade

Perubahan yang terjadi pada masyarakat Dusun Sade disebabkan oleh beberapa faktor. Masuknya pariwisata sejak era pemerintahan Presiden Soeharto menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perubahan masyarakat. Sejak masuknya wisatawan asing ke Dusun Sade, pola hidup masyarakat berubah. Banyak dari mereka yang berhenti dari pekerjaannya sebagai petani dan berpindah ke bidang pariwisata karena hasilnya lebih menjanjikan. Puncaknya terjadi saat pembukaan Bandara Internasional Lombok.

Banyaknya wisatawan asing yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Sade menyebabkan perubahan pola pikir masyarakatnya. Dari yang awalnya hanya berfokus pada memenuhi kebutuhan sehari-hari saja menjadi terfokus pada mencari keuntungan ekonomi yang lebih. Selain itu, pengaruh budaya luar membuat banyak anak muda Dusun Sade menjadi melupakan jati diri sukunya, yaitu Suku Sasak dan lebih cenderung mulai mengikuti gaya orang asing.

Teknologi membawa perubahan yang paling besar hampir di segala aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali masyarakat Dusun Sade. Orang-orang mulai berlomba untuk memiliki berbagai barang berteknologi canggih dan mulai lupa dengan apa yang sebenarnya mereka perlukan dalam kehidupannya. Teknologi juga banyak mengubah pola pikir masyarakat, terutama dengan masuknya radio dan televisi. Selain itu teknologi juga mengubah masyarakat menjadi pasif. Misalnya saja dengan adanya sepeda motor, banyak anak-anak muda yang selalu menyibukkan diri dengan motornya, bahkan hanya ke warung dekat rumah pun harus menggunakan motor.

Perubahan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksteren, tetapi juga dari faktor intern. Beberapa kejadian, seperti bencana sedikit banyak menyebabkan perubahan dalam pola pikir masuyarakat Sade. Salah satunya adalah peristiwa kebakaran rumah yang membuat orang


(3)

Sade trauma memiliki rumah berdinding bambu dan beratap ilalang, sehingga mereka beralih ke bentuk rumah modern yang menggunakan material seperti batako, semen, serta genteng.

Gambar 19

Wisatawan yang berkunjung ke Dusun Sade

Sumber: Dokumentasi Pribadi

6.3 Dampak yang Ditimbulkan dari Perubahan Sosial di Dusun Sade

Pariwisata yang semakin berkembang di Desa Sade sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Kemajuan-kemajuan dari segala aspek membuat keadaan sosial di Dusun Sade banyak berubah walaupun masih ada yang tetap mempertahankan ketradisionalannya. Dampak sosial yang paling terlihat adalah berkurangnya solidaritas antar masyarakat Desa Sade, sehingga sikap gotong-royong antar warga semakin memudar. Saat ini, sangat jarang terlihat warga bekerja sama dalam hal bercocok tanam dan beternak karena memang pekejaan meeka sudah beralih pada bidang pariwisata.

Masyarakat resah akan perkembangan mental anak-anak muda Dusun Sade yang sekarang condong ke arah apatis terhadap budaya sendiri, akan tetapi lebih senang meniru budaya lain. Anak-anak muda juga dinilai kurang memprioritaskan pendidikan, tetapi lebih jmendahulukan bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa bergaya mengikuti zaman.

Perubahan tidak hanya memiliki dampak yang negatif bagi masyarakat, namun juga memiliki dampak positif. Kemajuan teknologi pun memiliki dampak postf terhadap perkembangan pariwisata Dusun Sade. Dusun Sade saat ini semakin dikenal dan menjadi destinasi pilihan wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Perkembangan


(4)

rumah modern rupanya tidak disepakati oleh seluruh warga Dusun Sade. Beberapa masih menganggap bahwa tinggal di rumah tradisional lebih nyaman, sebab rumah modern dirasa lebih pengap dibandingkan rumah tradisional.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Profil Desa Rembitan 2013/2014

Rajagukguk, Erman. 2009. Pluralisme Hukum Waris : Studi Kasus Hak Wanita di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Publikasi online http://www.ermanhukum.com/, diakses pada 15 September 2014.


(6)

DAFTAR INFORMAN

NAMA INFORMAN USIA JABATAN

Tubani 40 tahun Kepala Urusan Pemerintahan

Kordap Sulaka alias Amek Kurnia Sang Aji

45 tahun Kepala Dusun Sade

Arep 29 tahun Penduduk Desa Sade / Guru B. Inggris