Deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.

Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus, Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.

Berdasarkan fakta ini, penulis merekomendasikan agar Romo Paroki Banteng perlu melakukan upaya untuk menginternalisasikan spiritualitas keluarga Kudus, baik kepada pasangan yang hendak menikah maupun pasangan dalam keluarga pada umumnya melalui kegiatan rekoleksi sehari, sebagaimana ditawarkan penulis dalam skripsi ini.


(2)

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.

This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.

The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.

Based on this facts, the writer recomendate the Parish Priest of Banteng to care about the internalization of the spirituality of sacred family, either to the couple that will marry or in all families with recollection, as was ordered by writer in this thesis.


(3)

i

DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES

KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG, YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Marselina Ase Teme NIM: 121124054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Para Suster Ursulin (OSU) di manapun berada yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan kepada seluruh keluarga besar yang telah mendukung saya dengan caranya masing-masing selama menjalani proses perkuliahan di IPAK Yogyakarta hingga selesainya penyusunan skripsi ini.


(7)

v MOTTO

“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”

(Mat. 7:12)

“Langkah anda yang pertama senantiasa kembali kepada Yesus Kristus” (St. Angela Merici)


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.

Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut

lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus,

Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.

Berdasarkan fakta ini, penulis merekomendasikan agar Romo Paroki Banteng perlu melakukan upaya untuk menginternalisasikan spiritualitas keluarga Kudus, baik kepada pasangan yang hendak menikah maupun pasangan dalam keluarga pada umumnya melalui kegiatan rekoleksi sehari, sebagaimana ditawarkan penulis dalam skripsi ini.


(11)

ix ABSTRACT

This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.

This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.

The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.

Based on this facts, the writer recomendate the Parish Priest of Banteng to care about the internalization of the spirituality of sacred family, either to the couple that will marry or in all families with recollection, as was ordered by writer in this thesis.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang mahakuasa, berkat kasih dan penyertaan-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES

KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG,

YOGYAKARTA.

Keluarga Katolik pada saat ini sering menghadapi tantangan, terutama dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang pesat dewasa ini. Setiap anggota keluarga cenderung memiliki kesibukan masing-masing. Situasi seperti ini tidak sedikit membawa dampak merugikan bagi keluarga, di mana semakin jauh dari penghayatan akan nilai-nilai yang mesti dihidupkan oleh setiap anggota keluarga seturut spiritualitas yang dihidupkan keluarga Kudus Nasaret. Oleh karena itu, selain menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, skripsi ini juga dapat menjadi salah satu referensi bagi keluarga Katolik untuk membagun keluarga seturut semangat hidup Keluarga Kudus.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, dari hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:


(13)

xi

1. Drs. F.X. Heryatno W.W SJ.,M.Ed selaku Kaprodi IPAK Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan lembaga ini.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan dan pendampingan kepada penulis, baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi.

3. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji II sekaligus pembimbing penelitian, yang penuh kesabaran membimbing penulis sejak persiapan, pelaksanaan hingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Y. Kristianto, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji III yang selalu mendukung dan memberi masukan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 5. Segenap staf dosen Prodi IPAK, pegawai dan karyawan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan penuh keramahan membimbing penulis selama menempuh proses perkuliahan. 6. Keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, khususnya para indormasn yang telah membuka hati untuk penulis selama proses wawancara berlangsung, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

7. Pimpinan Ursulin Indonesia, para Dewan dan semua Suster Ursulin yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan semangat kepada penulis untuk studi di Prodi IPPAK hingga selesai.


(14)

xii

8. Suster-suster Komunitas Ursulin Pandega Padma Yogyakarta yang selalu mendukung, memberi motivasi, dan semangat kepada penulis serta meluangkan waktu untuk mendengarkan penulis.

9. Keluarga besar penulis yang selalu mendoakan kesuksesan penulis.

10.Teman-teman Angkatan 2012 yang selalu kompak dan menjadi inspirasi bagi penulis.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan penulis dengan hati yang terbuka. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, terutama keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan.

Yogyakarta, 5 Desember 2016 Penulis,


(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penulisan/Penelitian ... 7

G. Metode Penulisan ... 8

H. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Spiritualitas Keluarga Kudus ... 12

1. Pengertian Spiritualitas ... 12

2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus ... 17

3. Tokoh Keluarga Nasaret ... 21

a. Maria ... 22

b. Yosef ... 23


(16)

xiv

B. Pengertian Keluarga ... 29

C. Tujuan Keluarga Kristiani ... 33

D. Fungsi Keluarga Kristiani ... 34

E. Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Keluarga ... 35

F. Ciri-ciri Keluarga Kristiani ... 36

G. Peranan Keluarga Kristiani ... 37

H. Kewajiban Sesama Anggota Keluarga ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

1. Lokasi Penelitian ... 44

2. Waktu Penelitian ... 45

C. Informan Penelitian ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data ... 47

1. Wawancara ... 48

2. Observasi... 48

3. Dokumentasi ... 49

4. Instrumen Penelitian ... 50

5. Kisi-kisi Panduan Wawancara dan Observasi ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 57

A. Temuan Umum... 57

1. Sejarah Singkat Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... 57

2. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Usia .. 58

3. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Mata Pencaharian ... 60

4. Keadaan Sosial Budaya ... 64

B. Temuan Khusus ... 64

1. Bagaimana Pandangan tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 64 2. Bagaimana Hidup Keluarga Kudus menjadi Model


(17)

xv

bagi Keluarga Katolik ... 65

3. Bagaimana Keluarga Katolik Mengelola Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ... 67

4. Bagaimana Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak ... 68

5. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Komunikasi dengan Anggota Keluarga dan Masyarakat Sekitar ... 70

6. Bagaimana Keluarga Katolik Menyikapi Perbedaan Cita-cita Anak dan Keinginan Orangtua... 71

7. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Hidup Doa dan Menggereja ... 73

C. Uji Validitas ... 74

D. Pembahasan ... 77

1. Pandangan Keluarga Katolik tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 77

2. Cara Hidup Keluarga Kudus Menjadi Model bagi Keluarga Katolik ... 80

3. Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran dalam Keluarga Katolik .. 84

4. Tanggung Jawab Keluarga Katolik terhadap Pendidikan dan Pengembangan Iman Anak ... 89

5. Komunikasi Keluarga Katolik dengan Sesama Anggota Keluarga dan Masyarakat di Sekitarnya ... 94

6. Menyikapi Perbedaan Antara Cita-Cita Anak dan Keinginan Orangtua ... 97

7. Hidup Doa, Menggereja dan Hambatan bagi Keluarga Katolik ... 101

E. Usulan Program Untuk Meningkatkan Penghayatan Penghayatan Keluarga Katolik terhadap Spiritualitas Keluarga Kudus ... 105

1. Latar Belakang ... 106

2. Sekilas Pengertian Rekoleksi ... 107

3. Tujuan Program ... 108


(18)

xvi

BAB V PENUTUP ... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 128

LAMPIRAN Lampiran 1 Panduan Wawancara ... (1)

Lampiran 2 Data Wawancara Asli ... (4)

Lampiran 3 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (24)

Lampiran 4 Hymne Keluarga Kudus dan Santo Yosef ... (25)

Lampiran 5 Doa Penyerahan diri kepada Keluarga Kudus Nazaret ... (26)

Lampiran 6 Gambar Keluarga Kudus ... (27)

Lampiran 7 Kegiatan Rohani di Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... (28)


(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Semua singkatan dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci sesuai daftar singkatan dalam Perjanjian Baru dan Alkitab Katolik Deutrakanonik yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Mat. : Matius Luk. : Lukas Mark. : Markus Yoh. : Yohanes

Kis. : Kisah Para Rasul Rom. : Roma

Ams. : Amsal Ef. : Efesus

B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awan, 7 Desember 1965

AL : Amoris Laetitia, Intisari Ajaran Paus Fransiskus tentang Perkawinan dan Keluarga, 2014

Art. : Artikel

FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen Dalam Dunia Modern, 22 Nopember 1981


(20)

xviii

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus Ende, 1995

KAS : Keuskupan Agung Semarang ST : Santa/Santo

C. Singkatan Umum

KK : Kepala Keluarga PNS : Pegawai Negeri Sipil IRT : Ibu Rumah Tangga TK : Taman Kanak-Kanak SD : Sekolah Dasar

SMTA : Sekolah Menengah Tingkat Atas IP : Indeks Prestasi


(21)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga Katolik memegang peranan yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani. Baik atau buruknya tingkah laku seorang Kristiani sangat ditentukan oleh situasi hidup dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga. Demikian halnya dengan keberlanjutan perkembangan Gereja Katolik sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga Katolik, baik dalam aspek jumlah maupun kualitas. Hal ini berarti bahwa semakin banyak keluarga Katolik yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas kehidupan umat dalam menggereja secara keseluruhan, yang pada gilirannya layak menjadi cerminan dari gereja mini di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Seiring dengan perkembangan jaman, fungsi keluarga pun semakin bergeser dan bahkan berubah. Belum lagi adanya fenomena kehidupan masyarakat modern yang cenderung individualistis dewasa ini sekurang-kurangnya mempengaruhi dinamika kehidupan keluarga Katolik, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu gejala yang melanda hampir semua keluarga, termasuk keluarga Katolik dewasa ini adalah perubahan pola komunikasi dalam keluarga, yang sebelumnya dilakukan secara langsung penuh perhatian dan kehangatan, namun dalam kekinian cenderung menggunakan alat komunikasi modern. Hal itu diperparah lagi gaya hidup masyarakat kota yang cenderung mengejar karier demi materi, sehingga waktu untuk membangun komunikasi dalam nuansa kebersamaan, makan bersama, dan doa bersama dalam keluarga


(22)

semakin terbatas. Oleh sebab itu, perhatian orangtua terhadap perkembangan kepribadian dan iman anak-anak pun seakan menjadi hal yang kurang diperhitungkan dalam sebagian keluarga modern dewasa ini.

Berdasarkan temuan penelitian bahwa pada para informan umumnya mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Setiap anggota keluarga lebih memilih mengurus kepentingan masing-masing, sehingga interaksi dalam keluarga untuk saling berbagi pengalaman cenderung terabaikan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai hidup atau spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret kepada sesama anggota keluarga semakin sulit untuk dilakukan oleh orangtua.

Dalam hubungannya dengan hidup doa dan menggereja, pola hubungan antar personal anggota keluarga Katolik seperti ini menimbulkan kecenderungan untuk lalai atau kurang terlibat dalam kehidupan menggereja, kegiatan rohani di lingkungan, dan kurang peduli dengan sesama di sekitarnya. Sebagaimana pengalaman keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, gejala seperti ini mulai muncul ketika anggota keluarga mulai jarang berdoa bersama, makan bersama, dan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama karena alasan sibuk dan keterbatasan waktu. Padahal doa bersama dalam keluarga Kristiani merupakan hal yang sangat penting, selain menjadi momen untuk membangun hubungan yang mesra dengan Tuhan juga menjadi saat yang tepat untuk membangun hubungan emosional yang kuat di antara anggota keluarga.

Dalam penutupan Sinode Keluarga, Paus Fransiskus menghimbau agar keluarga Katolik memahami peran keluarga dalam hidup sehari-hari. Keluarga harus menjadi tempat belajar mengenal rencana Allah dan saling merangkul satu


(23)

sama lain, bukan terjebak atau tergoda dalam ilusi spiritualitas, tidak peduli dan

mengabaikan orang lain. Keluarga Katolik juga diharapkan tidak jatuh pada ‘iman yang terjadwal’ menjalankan agenda pribadi yang tidak sejalan dengan agenda

gereja. Paus Fransiskus juga menegaskan bahwa panggilan keluarga bertolak dari refleksi atas kehidupan keluarga Nasaret; Yesus, Maria dan Yusuf yang mengajarkan cara mengalami sukacita secara sederhana dalam keluarga. Kehidupan keluarga ditandai dengan kesabaran di tengah aneka kesulitan dan bertumbuh dalam semangat pelayanan. Demikian halnya dengan persaudaraan yang ditumbuhkan dalam keluarga mesti berakar pada cinta antara satu dengan yang lain, semua adalah anggota dari satu tubuh yakni Kristus (Wuarmanuk, 2015: 28-29). Hal ini berarti bahwa keluarga Katolik harus mampu mewujudkan diri sebagai gereja mini, yakni menjadi persekutuan yang mesra sebagai tubuh Kristus.

Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang mampu memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga mengambil peran untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang damai, rukun, saling mendengarkan, menghargai dan mengasihi satu dengan yang lain. Peran ayah seperti Yosef sebagai kepala keluarga bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarga. Peran ibu seperti Maria sebagai pendengar yang setia, bersikap tulus, bijaksana, pendidik dan pengatur rumah tangga. Peran anak seperti Yesus, mendengarkan orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, taat dan belajar hidup dari orangtua (KHK: art. 1136). Oleh karena itu, keharmonisan keluarga juga ditentukan oleh sejauhmana setiap anggota di dalamnya menjalankan perannya secara baik.


(24)

Paus Fransiskus juga mengeluarkan anjuran Apostolik terbaru “Amoris

Laetitia” atau sukacita kasih di Vatikan, yang membahas nilai-nilai fundamental

dalam membangun keluarga. Beliau mengakui bahwa dewasa ini banyak keluarga masih berjuang keluar dari jerat hidup yang keras, banyak pengangguran, keluarga gelandangan, para migran, korban kekerasan dan eksploitasi keluarga, yang berefek negatif pada perkembangan iman anak. Hal ini menjadi tugas gereja untuk merangkul dan mengembalikan kepercayaan hidup mereka yang telah lama hilang (Wuarmanuk, 2016: 24). Dengan demikian, semua keluarga yang berada dalam penderitaan diharapkan akan melihat pancaran sinar kasih Allah.

Dalam konteks kehidupan umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng, secara umum kehidupan keluarga di lingkungan ini terlihat berjalan secara normal. Namun berdasarkan temuan di lapangan bahwa ada sebagian informan dihadapkan dengan situasi komunikasi di antara anggota keluarga yang kurang berjalan sesuai harapan. Sebagian orangtua ataupun anak-anak lebih sibuk bekerja ataupun belajar, sehingga jarang untuk saling berdiskusi dan membagi kasih atau sekedar berkumpul dan bersenda gurau, makan bersama dan doa bersama. Dengan kata lain rumah hanya sebagai tempat untuk tidur di waktu malam, sehingga kebersamaan dan nuansa kekeluargaan dalam keluarga menjadi hal yang mahal untuk dibangun oleh keluarga.

Di samping itu, dalam kehidupan berkomunitas pun terlihat bahwa semangat untuk saling kontrol, terutama saling mengingatkan sesama umat yang kurang aktif dalam menjalankan tugas dan doa bersama masih tergolong rendah. Oleh karena itu, keterlibatan anak-anak muda dalam kegiatan di lingkungan


(25)

maupun paroki dapat dikatakan sangat minim. Kondisi demikian setidaknya menjadi gambaran awal bahwa semangat Keluarga Kudus Nasaret belum sepenuhnya dihayati oleh semua keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, sehingga perlu ditelusuri untuk menemukan solusi. Hal ini mendorong penulis melakukan penelitian yang berjudul: “Deskripsi Penghayatan Spiritualitas Keluarga Kudus Dalam Keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Paroki Keluarga Kudus Banteng”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan keluarga tentang Spiritualitas Keluarga Kudus?

2. Bagaimana hidup Keluarga Kudus menjadi model dalam kehidupan keluarga Katolik?

3. Bagaimana keluarga Katolik mengelola pendapatan keluarga?

4. Bagaimana tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan dan perkembangan iman anak?

5. Bagaimana strategi keluarga Katolik membangun komunikasi dalam keluarga dan masyarakat di sekitarnya?

6. Bagaimana keluarga Katolik menyikapi perbedaan antara cita-cita anak dan keinginan orangtua?

7. Bagaimana keluarga Katolik mengembangkan hidup doa dalam keluarga, kehidupan menggereja, dan hambatannya?


(26)

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari bias dalam pembahasan hasil penelitian ini, maka ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada deskripsi penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng. Dengan demikian, pembahasan skripsi ini lebih fokus pada obyek dan permasalahan yang diteliti.

D. Rumusan Masalah

Dari beberapa masalah yang diidentifikasikan di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng terhadap spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret?

2. Bagaimana upaya-upaya keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan meningkatkan penghayatan terhadap spiritualitas Keluarga Kudus dalam kehidupan keluarga?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ataupun penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Mengetahui gambaran tentang penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret pada keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Keluarga Kudus Banteng.

2. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Katolik dalam meningkatkan penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam kehidupan keluarga.


(27)

F. Manfaat Penulisan/Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Menjadi sarana yang membantu setiap keluarga dalam memahami dan menghayati spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret secara utuh, yang pada gilirannya dijadikan sebagai pedoman dalam hidup berkeluarga.

2. Bagi Keluarga Katolik pada umumnya

Menjadi inspirasi bagi semua keluarga Katolik dalam membangun keluarga yang baik dan harmonis.

3. Bagi pihak Paroki

Sebagai referensi yang berguna dalam pengembangan program pendampingan terhadap keluarga-keluarga Katolik di Paroki Banteng, terutama berkaitan dengan upaya untuk menginternalisasikan semangat Keluarga Kudus dengan harapan agar seluruh keluarga Katolik memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas keluarga Kudus. Dengan pemahaman yang utuh dimaksud memungkinkan kehidupan keluarga Katolik semakin selaras dengan kehidupan keluarga yang dicontohkan oleh keluarga Kudus Nasaret.

4. Bagi penulis sendiri

Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang seluk-beluk kehidupan berkeluarga, yang sangat bermanfaat kelak dalam melakukan pendampingan terhadap keluarga Katolik di tempat perutusan.


(28)

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, di mana metode ini lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Sugiyono (2008) menyatakan bahwa metode deskriptif analisis merupakan metode atau cara mengumpulkan data-data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kemudian data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada (https://www.pengertian analisis deskriptif menurut para ahli, diunduh tanggal 11 Nopember 2016 pukul 16:18). Penelitian ini pun berupaya untuk menggambarkan secara jelas dan mendalam tentang penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan terhadap spiritualitas Keluarga Kudus dengan menggunakan data-data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara sebagai data primer dan dokumentasi serta hasil observasi sebagai data sekunder (pendukung). Sedangkan untuk membahas hasil penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep yang berkaitan dengan spiritualitas Keluarga Kudus, keluarga dan beberapa literatur yang relevan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka dibuat kerangka atau sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Berisi latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berisi deskripsi spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret yang dihidupkan oleh Yesus, Maria dan Yusuf. Selain itu, peneliti


(29)

juga membahas pengertian keluarga Katolik, tujuan keluarga, fungsi keluarga, hak-hak dasar keluarga dan kewajiban sesama anggota keluarga.

BAB III METODE PENELITIAN. Berisi gambaran tentang metode penelitian yang digunakan mencakup: jenis penelitian, unit analisis, penentuan informan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, lokasi dan waktu penelitian.

BAB IV PEMAPARAN DATA. Berisi gambaran lokasi penelitian dan hasil penelitian berupa data verbatim (kata per kata) dari hasil wawancara dengan informandan hasil observasi serta dokumentasi, yang berkaitan dengan deskripsi penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan. Kemudian hasil penelitian tersebut dikelompokkan ke tema-tema yang sama untuk memudahkan penulis dalam membahasnya. Adapun tema-tema dimaksud, yakni: Pandangan Keluarga tentang Spiritualitas Keluarga Kudus; Spiritualitas Keluarga Kudus Menjadi Model Bagi Keluarga Katolik; Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran serta Hambatannya Bagi Keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan; Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak; Strategi Untuk Membangun Komunikasi Dalam Keluarga dan Masyarakat serta Hambatannya; Menyikapi Perbedaan Antara Cita-Cita Anak Dengan Keinginan Orangtua; dan Hidup Doa, Menggereja dan Hambatan Bagi Keluarga. Hasil penelitian tersebut menjadi acuan bagi penulis dalam menganalisis dua topik besar, yang sebelumnya sebagai rumusan masalah ataupun tujuan penelitian ini, yakni: Gambaran penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret dalam kehidupan keluarga Katolik di


(30)

Lingkungan St. Yohanes Kentungan dan urgensinya dalam kehidupan keluarga Katolik pada umumnya; dan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas Keluarga Kudus di era globalisasi. Di akhir bagian ini penulis menyertakan usulan program untuk Paroki dalam rangka meningkatkan penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret, yang dilakukan melalui kegiatan rekoleksi bagi keluarga di setiap lingkungan di wilayah Paroki Banteng. Melalui kegiatan tersebut diharapkan setiap keluarga dapat menginternalisasikan semangat hidup Keluarga Kudus Nazaret dalam kehidupan nyata setiap hari.

BAB V PENUTUP, berisi kesimpulan atas hasil pembahasan penulisan ini. Selain itu, penulis juga memberi saran atau rekomendasi kepada Pastor Paroki, dewan Paroki, pengurus lingkungan dan seluruh umat di Lingkungan St. Yohanes Kentungan agar menindaklanjuti hasil penelitian ini.


(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka dalam tulisan ini berkaitan dengan konsep tentang spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret yang dihidupkan oleh Yesus, Maria dan Yusuf. Konsep-konsep tersebut dikutip dari pendapat beberapa ahli, yakni konsep-konsep tentang pengertian spiritualitas, spiritualitas Keluarga Kudus, pengertian keluarga, tujuan dan fungsi keluarga, hak dan kewajiban, ciri-ciri dan peranan Keluarga Kristiani serta tugas keluarga Kristiani dalam membangun sebuah keluarga yang baik dan harmonis, di tengah keluarga, masyarakat dan Gereja. A. Spiritualitas Keluarga Kudus

1. Pengertian Spiritualitas

Kata spiritualitas berasal dari kata Latin ”spiritus” menunjuk sesuatu yang sangat konkrit berupa tiupan, aliran udara, nafas hidup dan nyawa. Spiritus dimengerti sebagai ilham, sukma, jiwa, hati dan Roh. Spiritualitas pada umumnya dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas dapat diartikan juga sebagai hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih, atau sebagai sebuah usaha mengintegrasikan segala segi kehidupan yang bertumpu pada iman akan Yesus Kristus yang diwujudkan melalui pengalaman iman Kristiani dalam situasi konkrit (Heuken, 1995: 277).

Dalam Injil Yohanes (16:5-15) menuliskan bahwa umat beriman dilahirkan kembali dalam Roh dan kebenaran. Dalam hal ini Roh Kudus


(32)

menjadikan orang beriman ”ciptaan baru” yakni seorang yang seluruh

keberadaannya terbuka pada kenyataan rohani. Roh yang diterima orang beriman bukan Roh perbudakan melainkan Roh yang membuat orang menjadi anak-anak

yang berseru dalam hati “Allah ya Bapa”, Roma 8:15 (Heuken, 1995:277).

Kerohanian atau spiritualitas merupakan kenyataan hidup, yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia di dunia. Spiritualitas dimengerti sebagai yang paling fundamental ialah kekuatan hidup yang harus menciptakan kehidupan yang kudus. Manusia hidup dan dipanggil untuk berbagi energi kehidupan yang diperoleh dari energi Ilahi yang bersumber pada Allah (Darminta, 2007:63).

Kerohanian juga menjadi dasar dan pijakan untuk selalu dibangun

bangunan baru atau diperbaharui, seperti yang dikatakan oleh Paulus: “Kamu

bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dengan orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah di dalam

Roh” (Ef., 2: 19-22) (Darminto, 2007:68).

Spiritualitas sejatinya berhubungan dengan roh, yaitu daya yang menghidupkan dan menggerakkan setiap pribadi untuk mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Hidup spiritualitas berarti hidup berdasarkan Roh Kudus yang membantu mengembangkan iman, harapan, dan kasih. Spiritualitas memungkinkan seseorang untuk mengintegrasikan segala


(33)

segi kehidupan berdasarkan iman akan Yesus Kristus. Spiritualitas sejati terwujud dalam kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dengannya memampukan manusia untuk bertahan dalam mewujudkan tujuan dan pengharapannya serta berusaha untuk mencari dan mengenal jalan-jalan Allah (Banawiratma, 1990:57).

Di samping itu, spiritualitas menjadi sumber untuk menghadapi penganiayaan, kesulitan, penindasan dan kegagalan yang dialami oleh seseorang atau kelompok tertentu. Spiritualitas Kerajaan Allah tidak bisa bertumbuh dan berkembang hanya di dalam rumah ibadah melainkan diwujudkan melalui tindakan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Umat Allah dipanggil dan diutus untuk terlibat serta ambil bagian dalam upaya mewujudkan Kerajaan Allah. Dalam menjalankan tugas pengutusannya, mitra Allah membutuhkan Roh untuk bisa tahan uji (Banawiratma, 1990: 58).

Spiritualitas sebenarnya cara orang menyadari, memikirkan dan menghayati hidup rohani. Spiritualitas Katolik berarti saat seseorang menerima iman (fides quae creditur) dengan cara melakukan sebuah tindakan iman (fides qua creditur), maka seseorang menjalankan imannya itu melalui praktek spiritual (Harjawiyata, 1979: 20-21). Spiritualitas berarti kehidupan yang dijiwai dan dipimpin oleh roh yaitu Roh Kudus, yang menunjuk pada pola atau gaya hidup yang dipengaruhi dan dipimpin oleh Roh Kudus (Martasudjita, 2002:11).

Menurut Harjawiyata (1979:22-24) bahwa unsur-unsur pokok dalam proses pengembangan spiritualitas Kristiani, yaitu:

a. Tawaran Allah yang bersabda. Allah menyingkapkan seluruh maksud dan rencana-Nya dalam diri Yesus Kristus. Tawaran kasih Allah mendapatkan


(34)

wujud yang nyata dan konkrit dalam diri Yesus. Seluruh hidup, karya, sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya menyingkapkan betapa besar kasih setia Allah kepada umat-Nya.

b. Jawaban manusia adalah melalui iman. Ketika Allah bersabda dan mewartakan kasih-Nya, Ia mengharapkan jawaban dan persetujuan manusia. Jawaban kita tidak hanya di mulut, tetapi juga harus diwujudkan dalam

tindakan. Jawaban “Ya” ini disebut “iman”. Iman melibatkan seluruh aspek

kehidupan manusia. Iman perlu dihayati dan diamalkan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. Iman merupakan dasar hidup rohani dan spiritualitas Kristiani.

c. Liturgi dan hidup sakramental. Tawaran kasih Allah yang terpusat pada Kristus dirayakan dan dihadirkan dalam liturgi Gereja. Liturgi merupakan sumber kehidupan rohani orang Kristen. Hidup yang menimba kekuatannya dari perayaan sakramen-sakramen dapat disebut ”hidup sakramental”, dan merupakan unsur mutlak bagi orang kristiani dan membantu untuk menghayati hidupnya sebagai orang kristiani secara penuh.

d. Kitab Suci. Melalui sabda Allah terjadi dialog yang intens antara Allah dengan manusia. Hal ini terjadi apabila manusia sedang membaca, mendalami dan merenungkan kitab suci dalam perayaan liturgi sabda. Perayaan sabda perlu disiapkan dan diresapkan dalam bacaan suci pribadi atau dalam pendalaman melalui kelompok kitab Suci.


(35)

e. Hidup Doa. Doa diadakan dalam liturgi, baik doa pribadi maupun bersama-sama. Sikap yang perlu dibina dalam doa adalah mendengarkan Allah yang bersabda kemudian kita menjawab.

f. Tobat dan asketis. Iman harus mempengaruhi seluruh hidup. Manusia adalah orang yang lemah, rapuh dan berdosa. Kesediaan untuk diubah disebut

“bertobat”. Tobat merupakan suatu perjuangan yang berlangsung

terus-menerus sepanjang hidup dan perlu melatih diri membuka hati di hadapan Allah melalui pemeriksaan batin.

g. Persekutuan Kasih. Persekutuan kasih berlandaskan pada perintah Kristus yang utama yakni cinta kasih. Cinta kasih dapat menjadi hal yang utama dalam hidup kita, dalam keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Cinta kasih dapat mengalahkan kebencian, iri hati, balas dendam dan kesombongan.

Dari pengertian-pengertian di atas penulis memahaminya bahwa spiritualitas adalah kehidupan orang Kristiani yang dikuasai Roh Kudus dan menjiwai seluruh segi kehidupan manusia. Roh Kudus yang selalu memberi daya kekuatan Ilahi dan semangat yang baru kepada manusia dalam menjalani seluruh aspek kehidupannya, memampukan setiap orang untuk semakin bertumbuh dan berkembang dalam iman kepada Yesus Kristus dengan berpasrah kepada kehendak Allah.

Melalui rahmat Roh Kudus, seseorang yang menerima tawaran rahmat itu dibimbing pada kepenuhan, kesempurnaan atau kesucian dalam hubungan dengan Allah. Perkembangan hidup Kristiani adalah kesempurnaan atau


(36)

spiritualitas manusia dalam aspek intelektual, kehendak, perasaan, tubuh dan segala keutuhan sebagai pribadi (Olla, 2010: 44).

2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus

Gambaran Keluarga Kudus Nasareth ditemukan mulai dari bab-bab awal Injil Mateus dan Lukas (bab 1 dan 2). Warna kepribadian Maria dan Yusuf dikonkritkan melalui pergulatan-pergulatan yang dialami sepanjang pertumbuhan Yesus. Sosok Yusuf sebagai pribadi yang sederhana, taat pada tradisi keagamaan dan pada kehendak Ilahi dan ia adalah seorang beriman yang tidak menuntut banyak syarat, tidak ingin mencemarkan nama baik orang lain, dan bertanggungjawab. Seperti Yusuf, Maria juga beriman dan terbuka akan bimbingan Ilahi, yang selalu mencoba memahami peristiwa demi peristiwa sekitar Yesus dengan tidak mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Bagi Maria panggilan hidup adalah Kasih Karunia Allah. Allah telah memilih Maria menjadi ibu Tuhan Yesus (Luk 1:30-31) dan Yusuf dipanggil untuk mengambil Maria sebagai isterinya (Mat 1:20) (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga Kudus. Dalam http://dedismas.blogspot.co.id/membangun-spiritualitas-keluarga-kudus.html, diakses 7/12/2016).

Selanjutnya, sikap Maria selaras dengan Yusuf yang mendengarkan dan menerima panggilan Tuhan. Dalam hal ini kesetiaan, hormat, dan kasih menjadi dasar hidup bersama bagi Kelurga Kudus Nasaret, dan kasih itu membuat orang berani menjadi korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Seperti yang ditulis dalam Injil Mateus bahwa setelah Yusuf mengetahui bahwa Maria sudah


(37)

Namun hal itu tidak dilakukan Yusuf demi kehormatan dan nama baik Maria. Sikap Yusuf tersebut bermakna bahwa kasih itu membuat orang berani menjadi korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Di samping itu, di balik perbuatan Yusuf itu juga mempunyai makna untuk menjaga nama baik orang lain.

Sementara itu, kesetiaan Maria dan Yusuf untuk menjaga Yesus memungkinkan terjadinya komunikasi batin dan tumbuhnya kepekaan intuisi untuk bisa mengerti dan memahami orang lain. Kisah pencarian Maria dan Yusuf terhadap Yesus dengan penuh kecemasan, yang akhirnya ditemukan dalam bait Allah merupakan suatu kisah kesetiaan Maria dan Yusuf dalam mendampingi Putera-Nya. Dalam peristiwa ini Maria dan Yusuf menyingkirkan agenda pribadi,

begitu juga dengan Yesus seperti yang ditulis bahwa “pulang bersama-sama mereka ke Nazareth” (Luk2:51).

Sikap yang dikembangkan oleh Maria, Yusuf, dan Yesus mencerminkan bahwa Keluarga Kudus Nasaret menjadi tempat yang ideal untuk tumbuhnya pribadi-pribadi yang dewasa. Keluarga Kudus juga merupakan kesatuan tiga pribadi yang menjalani hidup berdasarkan gerak hati atas situasi yang ada pada saat itu, yang selalu berusaha mempertemukan keputusan-keputusan mereka yang mengarah kepada kehendak Allah. Segi hidup bersama yang dihidupi Keluarga Kudus menjadi daya dan kebahagiaan untuk saling medukung dalam mencari dan melaksanakan kehendak Bapa (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga Kudus. Dalam http://dedismas.blogspot.co.id/membangun-spiritualitas-keluarga-kudus.html, diakses 7/12/2016).


(38)

Dalam konteks kelembagaan, keluarga menjadi tempat yang memungkinkan Yusuf, Maria dan Yesus mengalami dan merasakan kepenuhan akan kebutuhan jasmani maupun rohani yang sangat mendalam. Latar belakang kehadiran mereka masing-masing sebagai utusan yang bersatu membentuk sebuah keluarga baru yang di dalamnya saling memberi dan menerima, mendidik dan dididik. Keluarga Kudus menjadi wahana saling belajar satu sama lainnya baik dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan maupun dalam meningkatkan perkembangan rohani. Walau mereka memiliki keterikatan batin yang kuat namun ketiganya tetaplah pribadi-pribadi yang tidak melebur dalam pribadi yang lainnya. Masing-masing tetap memiliki kekhasannya, pribadi yang mandiri dan utuh serta yang memiliki perannya masing-masing. Dalam pemahaman yang lebih jauh, mereka memiliki kesamaan problem yang membutuhkan keterlibatan dari masing-masing pribadi mereka. Kepadanya, masing-masing mereka harus mampu mengambil sebuah tindakan tegas untuk ikut serta dalam karya keselamatan Allah atau tidak. Karena itu dalam kebebasan, tanpa paksaan dari apapun dan siapapun keputusan penting harus mereka ambil. Sambil berdiri dihadapan misteri Ilahi, mereka menemukan bahwa mereka hanya mempunyai satu hidup yang harus dihidupi yakni hidup demi Allah. Menerima kenyataan tersebut dan menghayatinya berarti mereka menerima rahmat dan menemukan bahwa semua yang dari kehidupan adalah baik. Hal ini menandakan bahwa kehidupan keluarga yang berlandaskan pada kasih, kepercayaan, penghormatan dan penghargaan dapat membawa sebuah wahana spiritual. (Viktor Satu S.S. Keluarga Kudus Nasaret Cermin Pelayanan Kreatif. Dalam


(39)

https://msfmusafir.wordpress.com/keluarga-kudus-nazaret-cermin-pelayan-kreatif, diakses 7/12/2016.

Dalam konteks keluarga Kristiani pada umumnya, pemaknaan spiritualitas hidup keluarga sebenarnya semangat hidup yang hanya berpusat pada Allah sendiri. Hal ini sudah terungkap nyata dalam pribadi Yesus Kristus yang menjadi utusan-Nya dan menjadi bagian dari keluarga Santu Yosef dan Bunda Maria. Keluarga Kudus adalah keluarga yang hidup damai, harmonis dengan berlandaskan hukum cinta kasih. Keluarga Kudus menjadi contoh bagi realitas hidup keluarga pada zaman sekarang. Sementara keluarga Kudus Nasaret sendiri

adalah “model yang sempurna mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain”. Bunda Maria dan Santu Yosef

digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada Yesus. Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus, mengarah kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih mereka atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga kemuliaan Tuhan tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef dengan cara yang paling tinggi menaruh hormat dan berpasrah kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (Yoh 4:24) (Sutrisnaatmaka, 1999: 240-246).

Nilai hidup ketaatan dan kesetiaan Keluarga Kudus kepada kehendak Allah ini patut menjadi contoh dan teladan bagi keluarga Kristiani dalam menumbuhkembangkan iman dan pengharapan kepada Allah. Keluarga Kristiani hendaknya bercermin kepada kehidupan Keluarga Kudus dalam mengembangkan seluruh aspek kehidupan, baik jasmani maupun rohani.


(40)

3. Tokoh Keluarga Kudus Nasaret

Tokoh dalam keluarga Kudus Nazaret yakni Maria, Yosef dan Yesus. Ketiga tokoh ini menjadi teladan sekaligus pusat perhatian yang memberi inspiratif bagi keluarga Kristiani. Oleh karena itu, keluarga seharusnya menjadi cerminan kasih ilahi, sebab akar dari cinta yang benar adalah Allah sendiri. Keluarga manusiawi di dunia ini: ibu-bapa dan anak-anak mestinya membawa pesan dan berita tentang keluarga surgawi.

Keluarga Kudus Nazaret: Yosef, Maria dan Yesus menjadi contoh dan teladan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Setiap orang Kristiani yang hendak membangun keluarga, hendaknya belajar dari Keluarga Kudus Nazaret. Menjadi teladan berarti seluruh kehidupan keluarga Yosef, Maria dan Yesus ditiru keteladanannya dalam hal iman, harapan dan kasih serta berpasrah kepada kehendak Allah. Keluarga kudus Nazaret adalah guru iman dan guru dalam kehidupan berkeluarga (Hello, 2016:13).

a. Maria

Maria menggambarkan dirinya sebagai hamba Tuhan (Luk 1:1.48). Kata hamba Tuhan berarti budak, pelayan atau abdi Tuhan. Selaku seorang hamba ia menyadari bahwa hidupnya sungguh amat tergantung pada kehendak Allah. Tuhanlah yang menuntun dan mengatur hidupnya. Ia meletakkan hidupnya kepada kehendak Allah. Menyebut diri sebagai hamba Tuhan, Maria termasuk dalam daftar tokoh yang mempunyai peranan penting dalam sejarah keselamatan Allah. Maria tidak hanya melayani Allah saja, tetapi juga sesama. Hal ini ditunjukkan dalam kunjungan kepada saudaranya Elisabet. “Ia mengunjungi


(41)

Elisabeth, saudarinya, yang mengandung di masa tuanya” (Luk 1:39-45). Kunjungan Maria kepada Elisabeth membawa kabar sukacita dan kekuatan

kepada Elisabeth. Elisabeth memberi salam kepadanya ”Berbahagialah ia yang

telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1:45) (Hardiwiratno, 1996:386). Maria adalah ibu rohani kita dalam keluarga, layaknya peran seorang ibu yaitu mengasihi, mengasah dan mengasuh. Maria telah dipercayakan peran untuk mengasihi, mengasah dan mengasuh kita dalam hidup rohani. Peran ibu yang sedemikian kompleks menentukan hidup seorang anak, menunjukkan betapa pentingnya peran yang dipercayakan Allah kepada Maria. Oleh karena itu, umat Kristiani harus mengakui peran Maria dan menerimanya sebagai anugerah Allah yang sangat berharga (Handoko, 2014:73).

Maria adalah sosok ibu yang rendah hati, tulus dan setia pada kehendak Allah. Maria adalah seorang pribadi yang menyimpan dan merenungkan segala

perkara di dalam hatinya. “Maria menyimpan segala perkataan itu dalam hatinya

dan merenungkannya” (Luk 2:19) (Leks, 2007:40). Dari ulasan di atas

menunjukkan bahwa spiritualitas yang dimiliki dan dihayati oleh Maria adalah penyerahan diri secara total pada kehendak Allah, yang terkenal dengan komitmen

imannya dalam ungkapan ‘terjadilah padaku menurut perkataanMu’.

b. Yosef

Santo Yosef berasal dari kata Yunani Ioseph dan kata Ibrani ‘yoseph’ yang merupakan singkatan dari yosep’el yang berarti semoga Allah menambahkan anak-anak lain kepada anak yang mau lahir. Yosef berasal dari keluarga dan keturunan Daud, bekerja sebagai seorang tukang kayu. Yosef adalah suami Maria


(42)

dan ayah Yesus. Yosef adalah pelindung keluarga Kristiani dan teladan bagi Bapa Keluarga.

Dalam Injil Matius tertulis tiga kali tentang ketaatan Keluarga Kudus kepada Allah. Pertama, Yusuf tidak jadi menceraikan Maria dan diminta mengambil Maria sebagai isterinya (Mat. 1:18); Kedua, diminta untuk mengungsi ke Mesir (Mat. 2:13); Ketiga, diminta untuk kembali dari Mesir kembali ke Nazaret (Mat. 2:19) (Hardiwiratno, 1996:386). Pengalaman krisis mau menceraikan Maria dan ketulusan hatinya untuk tidak mau mencemarkan nama baik calon istrinya itu, telah mengantarkan Yusuf kepada sikap kemandirian iman. Peran yang dimainkan Yusuf sebagai suami Maria dan ayah bagi Yesus memang amat sangat terbatas. Namun peran terbatas itu justru lebih memberikannya ruang gerak bagi kewajiban sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Santo Yosef sebagai pelindung dalam keluarga dan ia adalah sosok yang sederhana, bijaksana, tulus hati, taat kepada kehendak Allah dan pekerja keras serta bersikap lembut dalam keluarga (Hello, 2016:19-23). Dengan demikian spiritualitas yang dimiliki dan dihayati oleh Yosef adalah taat dan berpasrah kepada kehendak Allah. Teladan Yosef perlu dihayati dalam kehidupan keluarga Katolik pada zaman sekarang. Seorang ayah sebagai kepala keluarga bertanggungjawab penuh dalam keluarga, dalam situasi suka dan duka ayah memiliki peran utama untuk mengatasi kesulitan itu dengan penuh kasih.

c. Yesus

Yesus berarti “Allah menyelamatkan”. Nama ini diberikan oleh malaikat


(43)

misi-Nya” karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”

(Mat. 1:21). Petrus juga menyatakan ”di bawah kolong langit ini tidak ada nama

lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”

(Kis. 4:12) (Kompendium Katekismus Gereja Katolik Art.81, 2009:43).

Yesus dibesarkan dalam keluarga Maria dan Yosef, sehingga keluarga Kudus Nasaret menjadi gambaran historitas Yesus, sejak kanak-kanak sampai Ia tampil di muka umum. Yesus tidak dilahirkan di istana sebagai putera raja, tetapi Ia memilih menjadi seorang miskin dan mau dibesarkan di dalam keluarga sederhana. Maria dan Yosef selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang baik dan serasi di rumah. Sewaktu-waktu mereka juga harus memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari; tidak hanya makanan, pakaian, peralatan, melainkan juga kepuasan, kesenangan, kegembiraan, saling menolong.

Hal yang paling utama dalam keluarga Kudus adalah pendidikan kerohanian, doa bersama, melakukan kewajiban agama. Dan itulah yang mondorong Yusuf dan Maria untuk mengajak Yesus ke Yerusalem pada hari raya paskah. Hidup Yesus sendiri dibaktikan bagi pelayanan kepada kehendak Bapa yaitu pewartaan kerajaan Allah. Pewartaan Injil-Nya terungkap nyata dalam pelayanan kepada sesama manusia, terutama bagi yang miskin dan tersingkir dari

masyarakat. Dikatakan bahwa “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan dan menurut kebiasaan-Nya pada hari sabat Ia masuk ke rumah-rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab, Yesus menemukan nas yang tertulis, Roh Tuhan ada padaku, Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan


(44)

pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada orang buta dan pembebasan kepada orang-orang tertindas (Luk. 4:16-19) (Komisi Kerasulan Kitab Suci KAS 2016:15).

Pada umur dua belas tahun Yesus berkata kepada Maria dan Yusuf, bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya (Luk 2:49). Perkataan Yesus ini menunjukan hubungan erat antara Yesus dan Bapa-Nya. Hubungan dengan Allah sebagai Bapa-Nya, menentukan seluruh hidup-Nya dan terungkap dalam

doa-doa-Nya “Aku bersyukur pada-Mu Bapa, Tuhan langit dan bumi bahwa semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang orang bijak dan pandai, tetapi Engkau nyatakan

kepada orang kecil” (Mat. 11:25). Seluruh kehidupan Yesus ditentukan oleh

kesatuan-Nya dengan Allah Bapa-Nya. Yesus menyerahkan hidup-Nya kepada kehendak Allah (Iman Katolik, 1996:200). Oleh karena itu, inti dari spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah Bapa di Surga.

Keluarga Kudus adalah model yang sempurna mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain. Bunda Maria dan Yosef digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada Yesus. Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus, mengarah kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih mereka atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga kemuliaan Tuhan tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef dengan cara yang paling tinggi menaruh hormat kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (Yoh.4:24). Keluarga Kudus dapat diperluas cakupannya mengarah


(45)

pada seluruh keluarga umat manusia, yaitu keluarga Allah Bapa (Sutrisnaatmaka, 1999: 246).

Dalam membangun sebuah keluarga atas dasar kasih Allah, maka ada lima hal yang sangat relevan dengan keluarga zaman sekarang antara lain:

Komitmen. Maria dan Yosef mengawali kehidupan keluarga mereka dengan membangun komitmen terlebih dahulu dengan Allah dan rencana-Nya.

Komitmen Maria ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu” (Luk. 1:38). Komitmen Yosef, ”sesudah bangun dari tidurnya, ia berbuat seperti apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Ia mengambil

Maria sebagai istrinya”(Mat. 1:24). Padahal sebelumnya Yosef sudah berencana

untuk menceraikan Maria di muka umum. Di titik ini, perbedaan dan keunikan terkadang memungkinkan terjadinya konflik, namun sekaligus memperkaya, jika konflik dihadapi dan dikelola melalui komunikasi yang terbuka dan tanggung jawab kepada pasangan/orang tua atau anak.

Yosef dan Maria membangun sikap setia. Mereka setia pada komitmen awal. Walaupun banyak mengalami rintangan dalam keluarga, berakhir dengan putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, harus mengakhiri hidup-Nya di kayu salib, demi keselamatan umat manusia. Kesetiaan adalah sebuah nilai hidup yang sangat penting dan perlu terus diperjuangkan dalam kehidupan berkeluarga.

Yosef dan Maria membangun relasi yang akrab dan mesrah bersama Allah. Mereka adalah pemeluk agama Yahudi yang saleh. Keakraban dan kemesraan mereka dengan Allah menjadi sangat nyata dalam kidung magnificat (Luk. 1:46-56). Maria merasakan dan mengalami penyelenggaraan-Nya, merasa


(46)

dinomorsatukan oleh Allah, sehingga segala keturunan akan menyebutnya berbahagia.

Yosef dan Maria membangun sikap kesederhanaan dalam hidup. Dalam doa magnificat, Maria tidak hanya merasa bahagia, tetapi mengalami perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Kebahagiaan lebih merupakan kepenuhan batin.

Yosef dan Maria adalah pendidik yang berdaya guna. Manusia adalah makluk yang ‘menjadi’ selalu dalam proses menjadi, sebuah pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai. Dalam menghadapi persoalan yang belum dipahami, Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya (Luk 2:19,51). Dengan menanamkan nilai iman disertai dengan komunikasi yang berdayaguna maka

“Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Oleh karena itu, keluarga Kudus Nazaret, hendaknya menjadi pola dan panutan bagi keluarga-keluarga Kristiani (Nugroho, 2012:6-7).

Orang-orang Yahudi yang saleh diwajibkan untuk datang ke Bait Suci di Yerusalem pada hari raya Paskah, Pentekosta dan hari raya Pondok Daun. Yosef dan Maria adalah orang Yahudi, mereka pun taat mengikuti tradisi yang ada. Dikatakan bahwa “Yosef dan Maria tiap-tiap tahun membawa serta Yesus ke Yerusalem untuk merayakan Paskah, Yesus berusia dua belas tahun (Luk. 2: 41-42) (Subagyo, 2011:85).

Orangtua Yesus kembali ke Galilea setelah perayaan berakhir. Yesus diam-diam pergi ke rumah ibadat. Yosef dan Maria sebagai orangtua diliputi perasaan sedih dan gelisah. Ketika menemukan Yesus, Maria sebagai orangtua


(47)

bertanya kepada-Nya, “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku mencari Engkau” (Luk. 2:48). Yesus menjawab “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di rumah Bapa-Ku? (Luk.2:49). Jawaban Yesus membuat Maria sebagai Ibu-Nya tidak

mengerti rahasia Putranya, tetapi “Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya” (Luk. 2:51). Maria sebagai seorang ibu, mengambil sikap yang tepat yakni bijaksana. Sikap bijaksana ini patut menjadi contoh bagi keluarga kristiani dalam menghadapi setiap persoalan dalam hidup berkeluarga (Subagyo, 2011:86)

Ketika banyak orang mengerumuni Yesus dan berkata kepada-Nya

“Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin menemui Engkau“

(Mark, 3:32), Yesus menjawab ”Barangsiapa yang melakukan kehendak Allah,

dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan dan dialah ibu-Ku” (Mrk. 3:35). Jawaban Yesus ini tidak mengandung pemahaman bahwa Yesus tidak sopan dan tidak menghargai keluarga-Nya, tetapi Yesus ingin menekankan bahwa hubungan kekeluargaan tidak hanya sebatas keluarga kecil (orangtua dan anak). Yesus ingin memperluas hubungan relasi kekeluargaan dengan semua

orang yang mendengarkan Firman Allah. “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya” (Luk.11:28) (Subagyo,

2011:92). Hal ini dapat dipahami bahwa spiritualitas yang dihayati oleh Keluarga Kudus (Yosef, Maria dan Yesus) adalah semangat hidup Keluarga Kudus yang diwujudkan melalui penyerahan kepada kehendak Allah.


(48)

B. Pengertian Keluarga

Tidak bisa disangkal bahwa kebahagiaan seseorang sangat tergantung pada keadaan keluarganya. Kalau keluarganya harmonis, umumnya orang akan mudah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Demikian pula, setiap keluarga Katolik dengan latar belakang yang berbeda, baik yang mapan secara ekonomi maupun yang hidup pas-pasan memiliki kesempatan yang sama untuk menimba kebijaksanaan hidup dari teladan Keluarga Kudus Nazaret.

Pribadi yang lahir dari kalangan bangsawan atau kaya dapat belajar dari keluarga bagaimana untuk hidup sederhana dalam saat-saat kelimpahan dan bagaimana untuk tetap mempertahankan martabat dalam kesesakan. Mereka dapat belajar bahwa kepantasan moral lebih berharga daripada kekayaan. Hal ini kiranya menjadi panduan bagi umat Kristiani selama ini dalam memaknai kelimpahan ataupun kekurangan yang dialami dalam kehidupan keluarga. Hidup berkecukupan bukan berarti silau dengan harta tetapi rejeki yang diperoleh menjadi sarana untuk membantu anggota komunitas lain agar tetap merasa sebagai bagian dari kesatuan umat Allah. Memiliki mobil kemudian digunakan untuk memobilisasi anggota koor ke gereja saat ada tanggungan di paroki atau membawa ibu-ibu mengunjungi orang sakit merupakan salah satu contoh dari sikap hidup keluarga Kristiani dalam memaknai kekayaan.

Di pihak lain, tidak sedikit pula keluarga yang merasa tidak punya cukup waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Berbeda dengan zaman dahulu, peran orangtua untuk menanamkan ajaran moral dalam diri putra-putrinya dan membicarakannya pada saat duduk bersama di rumah, berbaring, dan bahkan


(49)

selama dalam perjalanan (Ul. 6:6, 7). Orang tua dan anak-anak punya banyak waktu untuk menjalin komunikasi, sehingga bisa saling memahami kebutuhan, keinginan, dan kepribadian anak. Demikian sebaliknya, anak-anak pun bisa benar-benar mengenal orang tua mereka (Stef & Ingrid Tay. Keluarga Kudus: Pola Ilahi Bagi Keluarga Kita. Dalam https://www.katolisitas.org/keluarga-kudus-pola-ilahi-bagi-keluarga-kita, diakses 7/12/ 2016) .

Realitas kehidupan keluarga Katolik sekarang, terutama di daerah perkotaan, anak-anak sudah disekolahkan sejak masih sangat kecil, bahkan kadang sejak berumur dua tahun. Banyak ayah dan ibu bekerja di tempat yang jauh dari rumah. Saat orang tua dan anak punya sedikit waktu bersama, perhatian mereka tersita oleh komputer, televisi, dan perangkat elektronik lainnya. Dalam banyak keluarga lainnya juga bahwa orang tua dan anak-anak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing sehingga mereka merasa asing terhadap satu sama lain atau tidak pernah ada pembicaraan dari hati ke hati.

Menyadari perubahan sosial semacam ini, beberapa keluarga Katolik bahkan sudah mulai memikirkan untuk sepakat membatasi waktu di depan televisi atau komputer. Sementara yang lainnya mengupayakan untuk makan bersama sedikitnya satu kali sehari dan mulai menyisihkan waktu satu jam atau lebih setiap minggu untuk sekedar mengobrol. Sebelum anak-anak berangkat ke sekolah, orangtua selalu memberi wejangan sesuatu yang membina dan mengajak berdoa bersama, yang akan berpengaruh besar atas kegiatannya sepanjang hari itu. Semua yang dilakukan itu merupakan upaya untuk memaknakan spiritualitas keluarga Kudus Nasaret, meskipun semangat untuk menyerahkan keluarga pada


(50)

penyelenggaraan Ilahi kadang masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Hal ini yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya.

Keluarga menurut ajaran gereja adalah lingkungan primer yang paling berperan dalam pembentukan watak, moral dan iman anak. Keluarga menjadi sekolah pertama dan utama, tahap demi tahap anak akan mengerti arti hidup. Lain perkataan bahwa keluarga menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak menjadi pribadi yang seutuhnya, yakni pribadi yang beriman, berbakti kepada Allah dan sesama serta memiliki keutamaan hidup (Sutarno, 2013:5).

Paus Yohanes Paulus II, dalam homilinya pada misa di kota Cuenca,

Maret 1985 mengatakan bahwa, “Keluarga merupakan tempat pertama panggilan

kristiani dinyatakan. Setiap panggilan dilahirkan di dalam keluarga, yang merupakan tempat istimewa bagi benih yang ditanam oleh Allah dalam hati anak-anak agar dapat berakar dan masak. Keluarga adalah tempat partisipasi orang tua dalam misi imamat Kristus sendiri dinyatakan dalam derajatnya yang paling

tinggi” (Eminyan, 2001:236).

Keluarga juga merupakan salah satu lembaga terkecil dalam masyarakat. Demikian pula seorang anak yang baru dilahirkan pertama kali mengenal dan mengalami kebersamaan dengan setiap orang dalam keluarga. Di samping itu, keluarga adalah lingkungan pendidikan primer seorang anak, tempat dimana ia memperoleh dasar-dasar keterampilan (sensomotorik), dasar-dasar kecerdasan (bahasa, alam pikiran) dan dasar-dasar nilai hidup (agama, adat dan tata kelakuan). Semntara keluarga berusaha untuk memberikan penghiburan, perlindungan serta pertolongan kepada anak selama masa kanak-kanak hingga


(51)

mencapai kemandirian. Penghiburan yang dimaksudkan misalnya penghiburan setelah pulang dari sekolah atau pekerjaan atau perlindungan terhadap ancaman dari luar (Hommes, 2009:137).

Keluarga juga diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk merawat, mendidik dan membesarkan anak. Keluarga adalah lingkungan primer yang paling berperan dalam pembentukan watak, moral dan iman anak. Keluarga sebagai tempat yang paling tepat untuk belajar mengenal rencana Allah, agar kita saling merangkul satu sama lain dengan penuh kepercayaan. Keluarga adalah tempat dimana kita belajar melangkah keluar dari diri sendiri dan menerima orang lain, memaafkan dan dimaafkan. Keluarga adalah tempat dimana kekudusan Injili hadir dalam kondisi yang paling biasa. Gereja menyatakan bahwa Gereja Kristiani adalah persekutuan antar anggota-anggotanya, yang menjadi tanda dan citra persekutuan Bapa, Putra dan Roh Kudus (Sutarno, 2013: 9-11).

Keluarga-keluarga mempunyai makna yang istimewa bagi Gereja maupun masyarakat. Para suami-istri Kristiani, bekerjasama dengan rahmat dan menjadi saksi iman satu bagi yang lain, bagi anak-anak mereka dan bagi kaum kerabat. Keluarga menerima perutusan dari Allah untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat (Dokumen Konsili Vatikan II, AA art. 11)

C. Tujuan Keluarga Kristiani

Tujuan mendasar keluarga adalah untuk menciptakan bonum coniugum (kesejahteraan pasangan), terjabar dalam bonum prolis (terbuka pada kelahiran dan pendidikan anak-anak), bonum fidei (membangun kesetiaan pasangan dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit) serta bonum sacramentum


(52)

(menciptakan kesucian dan keluhuran martabat perkawinan agar menjadi tanda kehadiran dan keselamatan Tuhan pada manusia). Tujuan keluarga tersebut pasti akan berhadapan dengan tantangan dalam hidup. Namun ketahanan dan kesanggupan keluarga dalam menghadapi tantangan dapat menjadikan keluarga semakin berkualitas dan dapat mencapai tujuan keluarga yang direncanakan (Sutarno, 2013: 26).

D. Fungsi Keluarga Kristiani

Dalam keluarga, orangtua sebagai pewarta iman dan pendidik iman yang utama. Orangtua dengan kata-kata maupun teladan membantu anak-anak untuk menghayati hidup Kristiani dan memilih panggilan mereka, memupuk dan memberi perhatian yang penuh kasih. Orangtua membela martabat dan otonomi keluarga yang sewajarnya.

Dalam keluarga terdapat beberapa kedudukan atau posisi yang masing-masing membawa peranan tertentu. Pria dewasa sebagai suami terhadap istri dan berkedudukan sebagai ayah terhadap anak. Kedudukan sebagai suami membawa peran yang berbeda dengan peranannya sebagai ayah. Sedangkan wanita dewasa berkedudukan sebagai isteri terhadap suami dan sebagai ibu terhadap anak. Keturunan mereka mengambil posisi sebagai anak, kedudukan itu membawa peranan tertentu terhadap orang tua, yang berbeda dari peranannya terhadap kakak atau adik kandung. Peranan dari masing-masing kedudukan akan mewarnai interaksi sosial antara orang-orang yang menempati kedudukan atau posisi itu (Winkel, 1987:121).


(53)

Keluarga dapat berfungsi memenuhi pelbagai kebutuhan manusiawi mulai dari kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mencinta serta dicintai, kebutuhan akan harga diri sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri. Pembagian kebutuhan ini dipaparkan oleh seorang psikolog Amerika Serikat A.H. Maslow (Hommes, 2009: 137).

E. Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Sebuah Keluarga

Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh masyarakat atau negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal tertentu keluarga memiliki hak pribadi antara lain:

a. Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga artinya hak setiap keluarga betapapun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.

b. Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak. Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga sendiri, nilai-nilai religius dan budayanya dengan perlengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.

c. Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapatkan jaminan fisik, sosial, politik dan ekonomi. Orangtua juga harus memperhatikan dan menghormati martabat dan hak anak. Martabat manusia


(54)

dikenakan pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataannya seringkali martabat anak kurang diperhatikan misalnya dalam sikap orangtua yang memperalat anak untuk tujuan, impian dan obsesinya sendiri. Menghormati martabat anak dapat dikonkritkan dengan menghormati hak-hak asasi anak (Wignyasumarto, 2007:25).

F. Ciri-ciri Keluarga Kristiani

Dalam amanat Apostolik tentang Keluarga: Familiaris Concertio, Sri Paus Yohanes Paulus II (Yohanes Paulus II: 1994), menguraikan mengenai ciri-ciri dan peranan keluarga Kristiani sebagai berikut:

1. Membentuk persekutuan pribadi-pribadi

Keluarga mempunyai peranan membentuk persekutuan pribadi-pribadi menjadi suatu komunitas yang berdasar pada cinta kasih. Pribadi yang bersekutu atau bersatu adalah pertama-tama suami dan istri, orangtua dan anak-anak serta sanak saudara. Dasar yang mengikat persatuan dalam keluarga adalah cinta kasih. Cinta kasih merupakan dasar, kekuatan dan tujuan akhir dalam hidup keluarga (Paus Yohanes Paulus II, 1994: art.18 dalam Kristianto, 2013:96).

2. Monogami dan tak terceraikan

Pernikahan adalah persekutuan yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita (monogami). Kesatuan dalam cinta yang ekslusif dan sepenuhnya hanya dapat terwujud dalam ikatan satu pria dan satu wanita dan berlangsung sepanjang hidup (kekal tak terceberaikan). Praktek poligami apapun alasannya bertentangan dengan dengan kehendak Allah sendiri (GS art. 49). Kesatuan yang


(55)

tak terceraikan ini menuntut kesetiaan seutuhnya dari kedua belah pihak baik dari suami maupun istri dan demi kepentingan anak-anak (GS art.48).

3. Keluarga adalah Gereja mini

Identitas kekristenan keluarga Kristiani mengandung makna bahwa keluarga sejatinya dipanggil untuk turut serta dalam hidup dan perutusan Gereja.

Keluarga Kristiani wajib mewujudkan dirinya menjadi “Gereja Mini” (Paus

Yohanes Paulus II, 1994; art.49). Sebagaimana cara hidup jemaat perdana, keluarga kristiani perlu memiliki komitmen yang tinggi terhadap segi iman. Dalam perjalanan dan pergulatan hidup, hendaknya iman semakin digali unsur wawasannya, diungkapkan atau dirayakan dalam doa, dihayati dalam hubungan persaudaraan, diwujudkan dalam tindakan nyata, yang membawa sukacita bagi sesama.

G. Peranan Keluarga Kristiani 1. Mengabdi Kehidupan

Peranan keluarga Kristiani yang sangat penting adalah mengabdi kehidupan dari keluarga pertama-tama adalah penyaluran kehidupan, yang diwujudkan melalui keturunan. Pendidikan anak merupakan hak dan kewajiban orang tua.Tugas orang tua dalam mendidik anak merupakan tugas yang amat penting dan tak dapat digantikan oleh siapa pun. Orangtua hendaknya mampu menciptakan situasi, relasi dan komunikasi yang penuh cinta kasih dan diliputi semangat cinta kasih kepada Allah dan sesama, sehingga menunjang pendidikan pribadi termasuk pembinaan iman anak. Maka, keluarga sebagai lingkungan


(56)

pendidikan yang pertama dan utama sangat dibutuhkan oleh keluarga itu sendiri, Gereja dan masyarakat (Paus Yohanes Paulus II, 1991; art.36).

2. Keluarga Ikut Serta Dalam Pengembangan Masyarakat

Keluarga sebagai sel masyarakat mempunyai peranan yang pertama dan amat penting dalam mengembangkan masyarakat yang sehat. Ada tiga syarat yang menentukan kesehatan keluarga yakni; kesatuan keluarga (monogami), kokohnya keluarga (tak terceraikan) dan pendidikan yang dilaksanakan oleh orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dengan penuh tanggungjawab (Paus Yohanes Paulus II; art. 32). Hubungan antara keluarga dan masyarakat menuntut sikap terbuka dari keluarga dan masyarakat untuk bekerjasama membela dan mengembangkan kesejahteraan setiap orang.

3. Peran dan Tugas Keluarga Dalam Kehidupan Dan Misi Gereja

Dengan sakramen perkawinan, keluarga Kristiani mengikatkan diri pada ikatan yang tak terceraikan karena mereka telah dipersatukan oleh Allah dan melalui kegiatan dalam merayakan Sakramen-sakramen Gereja, diharapkan semakin memperkaya memperkuat keluarga Kristiani dengan rahmat Kristus, supaya keluarga dikuduskan demi kemuliaan Bapa.

Di samping itu, keluarga Kristiani mempunyai tugas pokok dalam mengembangkan misi Gereja yang mengacu pada hidup Yesus sebagai Nabi, Imam dan Raja:

Tugas kenabian yaitu bersikap kritis terhadap situasi berkenaan dengan kehendak Allah dengan menyambut dan mewartakan sabda yang terjadi dalam iman Kristiani yang harus tampak dalam persiapan, peresmian dan penghayatan


(57)

hidup berkeluarga (Paus Yohanes Paulus II, 1994 art.51). Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi hidup anak-anak menjadi tempat subur bagi pewartaan Sabda Allah, pembinaan iman dan katekese dalam keluarga.

Tugas imamat keluarga Kristiani yaitu menyucikan yang dilaksanakan lewat pertobatan dan saling mengampuni, serta memuncak dalam penyambutan Sakramen Tobat ( Paus Yohanes Paulus II, art.58). Tugas pengudusan dari orang tua dilaksanakan dalam doa bersama yang terpusat pada peristiwa hidup berkeluarga. Pembinaan hidup doa akan lebih baik melalui teladan oragtua dalam hidup doa mereka sendiri dan diadakan dalam doa bersama di dalam keluarga.

Tugas rajawi yakni memberi arah dan kepemimpinan dengan melayani sesama manusia, seperti Kristus Raja (Rm 6:12). Keluarga harus melihat setiap orang termasuk anaknya sebagai citra Allah terutama mereka yang menderita dan semuanya harus dilaksanakan dalam cinta kasih (Kristianto, 2013: 95-104). H. Kewajiban Sesama Anggota Keluarga

1. Kewajiban Anak-Anak

Rasa hormat dari anak-anak yang belum dewasa dan sudah dewasa terhadap ayah dan ibu bertumbuh dari kecondrongan kodrati yang mempersatukan mereka satu sama lain (KGK. Art.2214, 1995:565). Penghormatan anak-anak untuk orangtuanya (kasih sayang sebagai anak, pietas filiasis) muncul dari rasa terima kasih kepada mereka yang telah memberi kehidupan dan yang memungkinkan mereka melalui cinta kasih serta usaha supaya bertumbuh dalam kebesaran, kebijaksanaan dan rahmat (KGK Art. 2216). Kasih sayang kepada


(58)

mendengarkan didikan ayahnya (Ams.13:1) (KGK Art.2216), kasih sayang kepada orang tua mendukung keserasian kehidupan seluruh keluarga juga

mempengaruhi hubungan antar saudara sekandung“hendaklah kamu selalu rendah

hati, lemah lembut dan sabar. Tunjuklah kasihmu dalam hal saling membantu” (Ef 4:2) (KGK Art.22).

2. Kewajiban Orangtua

Pendidikan oleh orangtua begitu penting sehingga sulit untuk digantikan (GE 3). Hak maupun kewajiban orangtua mendidik anak bersifat kakiki (KGK Art.2221). Orangtua adalah orang-orang pertama yang bertanggungjawab atas pendidikan anak-anaknya. Pendidikan kebajikan dimulai dari rumah. Orangtua mempunyai tanggungjawab yang besar, memberi contoh yang baik kepada anak (KGK Art. 2223). Dalam kehidupan keluarga setiap anggota keluarga memiliki kewajiban masing-masing, baik sebagai orangtua maupun sebagai anak. Maka diharapkan agar masing-masing bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya, konsep-konsep tentang spiritualitas, Spiritualitas Keluarga Kudus, Pengertian Keluarga, hak dan kewajiban keluarga, serta ciri-ciri peran keluarga Kristiani, hak dan kewajiban orangtua dan anak digunakan penulis untuk menganalisis data dan temuan yang diperoleh di lapangan.

Dari ulasan tentang keluarga di atas dapat dipahami bahwa keluarga merupakan tempat kepenuhan kehendak Allah diwujudkan secara konkrit. Dalam keluarga sikap saling memberi dan menerima akan dinyatakan dalam tindakan yang nyata, sehingga di antara pribadi setiap anggota keluarga merasa sebagai satu kesatuan yang saling bergantung. Di sana terdapat sebuah sikap yang saling


(1)

(23)

Penulis : Bagaimana kehidupan doa dalam keluarga dan kehidupan menggereja?

Responden : Sejak kecil anak sudah dilatih untuk berdoa. Latar belakang keluarga miskin/sederhana maka orangtua selalu mengajak anak untuk bersyukur kepada Tuhan atas apapun yang diterima.

Penulis : Hambatan-hambatan yang dialami keluarga dalam hidup menjalankan hudup doa bersama keluarga, hidup menggereja? Responden : Waktu kerja Bapa dan anak sulung yang berbeda, kadang pagi

kadang malam. Ibu dan anak yang masih SD yang selalu berdoa bersama. Setiap hari minggu kami wajib ke Gereja. Keluarga pernah mengalami peristiwa yang membuat putus asa. Keluarga kehilangan saudara kandung dari Ibu dan anak kandung meninggal dalam satu hari. Keluarga benar-benar terpukul dengan pengalaman ini. Pengalaman ini justru yang memampukan kami berpasrah kepada kehendak Tuhan. Kami mau marah kepada siapa, benci kepada siapa? Karena tidak ada yang salah. Pengalaman ini membuat kami semakin rajin berdoa, ke Gereja. Kami semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, kami percaya bahwa Tuhan mempunyai kehendak dan rencana yang indah bagi keluarga kami. Kami dikaruniakan anak perempuan, jadi satu pasang cowok dan cewek yang meninggal adalah cowok.

Penulis : Bagaimana keluarga menjalin komunikasi dengan masyarakat? Mengapa keluarga perlu menjalin komunikasi dalam hidup bermasyarakat.

Responden : Komunikasi dengan masyarakat baik, terlibat aktif dalam kegiatan yang dilakukan kecuali bertabrakan dengan waktu kerja. Karena kerjaannya masih kontrak maka harus berusaha untuk selalu masuk dan taat aturan.


(2)

(24) Lampiran 3: Surat Ijin Penelitian


(3)

(25)

Lampiran 4 : Hymne Keluarga Kudus dan Santo Yosef

Arr : Ig. Tri, MSF

Lihat betapa rukun damai keluarga di Nazaret.

Hidup penuh cinta dan kasih, satu dalam bakti.

Yesus, Maria dan Yosef, pribadi sungguh murni. Ajarlah kami cinta kasih, ikut teladan suci.

Kami umat-Mu beriman dalam keluarga ini. Mohon kedamaian sejati,

tent’ram untuk s’lamanya

Lagu Santo Yosef

Santo Yusuf yang menjaga keluarga Nazaret Kau menjaga Bunda Kudus juga Yesus Penebus Sudilah doakan kami pada Yesus, anak-Mu dan lindungilah selalu kami sekeluarga Di tengah marabahaya beri kami harapan kuatkanlah iman kami agar jangan tersesat Bapa Yusuf antar kami kehadirat Yesus mu agar kami berbahagia dalam hidup yang kekal.


(4)

(26)

Lampiran 5: Doa Penyerahan diri kepada Keluarga Kudus Nazaret Keluarga Kudus, Teladan dan Pelindung segenap keluarga Kristiani, di bawah naunganmu kami serahkan keluarga kami.

Bila hidupmu kami renungkan kembali,

tergeraklah hati kami untuk menimba semangatmu.

Bapa Yusuf dan Bunda Maria, sejak terbentuknya keluargamu, nyatalah kesediaan untuk saling menerima dan mendukung yang ditopang oleh tanggapanmu atas panggilan Allah.

Seluruh perjuangan hidupmu diwarnai oleh iman, kelutusan dan kerendahan hati, ikut membantu menangkap kehendak Allah

yang terwujud dalam tanggung jawab dan cintamu kepada Yesus. Dalam hidup tersembunyi di Nazaret, Bapa dan Bunda bekerja keras membanting tulang dan hidup sederhana.

Asuhlah kami untuk menyambut kehadiran Yesus di antara kami; menciptakan keheningan di tengah kesibukan,

berani menyimpan sabda-Nya di dalam hati sebagai pegangan hidup persaudaraan sehari-hari;

mau bekerjasama, saling membantu dan meneguhkan dan bukan menambah penderitaan.

Tuhan Yesus, semoga berkat kedudukan-Mu sebagai titik temu dalam keluarga kami,

kami bersedia meluangkan waktu untuk saling bertemu, menjalin relasi manusiawi yang matang,

sehingga rumah kami terasa mengerasankan aman tenteram dan penuh kasih sayang.

Ajarilah kami untuk mengambil sikap yang tepat antara tugas dan kepentingan pribadi maupun keluarga.

Keluarga Kudus Nazaret, kami percaya bahwa dengan menimba semangat hidupmu

semakin terpancarlah dari hidup kami

kesaksian dan pewartaan mengenai kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.

Terpujilah nama Yesus, Maria dan Yusuf, sekarang dan selama-lamanya.

Amin.

(Dikutip dari buku: Devosi kepada Keluarga Kudus, penyusun: Pusat Pendampingan Keluarga MSF, (Jakarta: Obor, 2011), hl. 26-28)


(5)

(27) Lampiran 6: Gambar Keluarga Kudus


(6)

(28)

Lampiran 7: Kegiatan Rohani di Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Doa Rosario yang hanya dihadiri oleh orangtua tanpa anak-anak muda