ANALISIS TINGKAT KECACATAN (DEFECT) PADA PRODUK BENANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA DI PT SEGORO ECOMULYO TEXTIL, DRIYOREJO GERSIK.

(1)

SKRIPSI

Oleh :

ERLANGGA PUTRANDIE W

0432010174

JURUSAN

 

TEKNIK

 

INDUSTRI

 

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

DAFTAR ISI

Abstraksi ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... v

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Asumsi – asumsi ... 3

1.6 Manfaat Penelitian ... 4

1.7 Sistematika Penulisan ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas ... 7

2.1.1 Penendalian Kualitas ... 8


(3)

2.2.1 Definisi Six Sigma ... 9

2.2.2 Konsep Six Sigma Motorola ... 11

2.2.3 Beberapa Istilah Dalam Konsep Six Sigma ... 14

2.3 Penentuan Kababilitas Proses (Process Capability)... 16

2.3.1 Penentu Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut ... 18

2.3.2 Penentuan Kepastian Proses Untuk Data variabel ... 19

2.4 Proses DMAIC (Define, Measure,Analyze, Impove dan Control)... 20

2.4.1 Define (D) ... 21

2.4.2 Measure (M) ... 21

2.4.3 Analyze (A) ... 21

2.4.4 Improve (I) ... 22

2.4.5 Control (C) ... 22

2.5. Alat – Alat Pemecah Masalah ... 22

2.5.1 Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)... 23

2.5.2 Diagram Pareto ... 23

2.5.3 Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram) ... 24

2.5.4 Histogram ... 25

2.5.5 Peta Pengendali (Control Chart) ... 26

2.5.6 Diagram Pencar (Scatter Plots) ... 26

2.5.7 Defect Concetration Diagram ... 26


(4)

2.6.1 Pengertian FMEA ... 27

2.6.2 Kegunaan FMEA ... 27

2.6.3 Proses Implementasi FMEA ... 27

2.7 Proses Produksi ... 31

2.7.1 Raw Material ... 31

2.7.2 Mesin Perawatan ... 33

2.7.3 Mixing ... 33

2.7.4 Mesin Pada Departemen Spinning I ... 33

2.7.4.1 Blowing ... 34

2.7.4.2 Carding ... 34

2.7.4.3 Drawing ... 35

2.7.4.4 Simplex ... 36

2.7.4.5 Ring Frame ... 37

2.7.5 Mesin Pada Departemen Spining II ... 38

2.7.5.1 Back Process ... 38

2.7.5.1.1 Blowing ... 38

2.7.5.1.2 Carding ... 39

2.7.5.1.3 Drawing ... 39

2.7.5.2 Simplex ... 40

2.7.5.3 Ring Frame ... 40

2.7.5.4 Widing `... 42


(5)

2.7.6 Peta Proses Operasi ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

3.2 Identifikasi Variabel ... 45

3.3 Langkah – Langkah Penelitian... 47

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 53

3.5 Analisa Data ... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data ... 55

4.2. Tahap Define ... 57

4.3. Measure ... 57

4.3.1 Menetapkan Karakteristik Kualitas (CTQ) Kunci ... 58

4.3.2 Pengukuran Baseline Kinerja ... 58

4.3 Tahap Analyze ... 61

4.3.1 Pengukur Kemampuan (Kapabilitas) Proses ... 61

4.3.2 Mengidentifikasi Sumber-sumber Penyebab Cacat... 64

4.4 Tahap Improve ... 67

4.4.1 Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan ... 70

4.4.2 Pembahasan ... 72


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 74 5.2 Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 DPMO pada sigma level ... 12

Tabel 2.2 Severity Table ... 29

Tabel 2.3 Occurance Table ... 30

Tabel 2.4 Detection Table ... 31

Tabel 4.1 Data Kecacatan Dalam Satuan Cone Pada Bulan April – September 2009 ... 55

Tabel 4.2 Nilai DPMO... 60

Tabel 4.3 Prosentase Komulatif Untuk Analisis Pareto Bulan April – September 2009 ... 63

Tabel 4.4 FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) ... 69


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bentuk Umum Diagram Sebab Akibat ... 25

Gambar 2.2 Peta Proses Operasi ... 35

Gambar 3.1 Langkah – Langkah Penelitian ... 47

Gambar 4.1 Grafik Data Kecacatan Bulan April – September 2009 ... 56

Gambar 4.2 Grafik Nilai DPMO & Grafik Nilai Sigma ... 60

Gambar 4.3 Diagram Pareto Bulan April – September 2009... 64


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Data Umum Perusahaan Lampiran II Perhitungan Nilai DPMO

lampiran III Perhitungan Prosentase Komulatif Untuk Analisis Pareto Lampiran IV Gambar Diagram Sebab Akibat

Lampiran V Peta Proses Operasi Lampiran VI Tabel Konversi Six Sigma Lampiran VI Perhitungan Nilai RPN


(10)

ABSTRAKSI

PT. Segoro Ecomulyo Textile merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalampembuatan produk benang, yang dimana selama ini perusahaan menghadapi masalah dalam hal produk benang. Peningkatan kualitas produk benang terhadap konsumen sangat penting dalam hal ini termasuk juga keluhan konsumen.

Dengan adanya permasalahan tersebut PT. Segoro Ecomulyo Textile berupaya untuk mengetahui tingkat kualitas produk. Diharapkan dengan adanya hal tersebut produk benang dapat optimal.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kualitas produk benang adalah metode six sigma. Dengan menggunakan metode six sigma kita dapat mengetahui CTQ (karakteristik yang menentukan kualitas) dari kecacatan produk benang yang terdiri atas 4 CTQ, sehingga dalam usulan perbaikan produk benang menggunakan failure mode and effect analyze (FMEA).

Penelitian juga dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas produk benang selama Bulan April 2009 sampai dengan September 2009, dengan menggunakan konsep DMAIC pada six sigma dimana, tahap Define dilakukan objek penelitian, Measure dilakukan pengukuran DPMO dan Sigma, Analyze untuk mengidentifikasikan masalah potensial dan penyebabnya, kemudian membuat usulan alternatif tindakan perbaikan menggunakan FMEA di tahap Improve dan tahap Control dilakukan oleh pihak perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kapabilitas atau kemampuan sigma rata – rata sebesar 4, 59 artinya sigma yang dicapai sudah cukup baik namun perlu ditingkatkan. Untuk mencapai skala 6 (nilai maksimum sigma) perlu adanya tindakan perbaikan dalam produk benang. Untuk tindakan perbaikan dilakukan analisis dengan menggunakan fishbone diagram sehingga diketahui akar penyebab masalah. Selanjutnya tindakan perbaikan dilakukan perhitungan RPN (Risk Potential Number). Dengan demikian, maka dapat diketahui tindakan perbaikan sebagai prioritas utama yang harus dilakukan yaitu kelelahan sehingga tidak setandar oprasional proses yang mempunyai nilai RPN sebesar 192 dengan usulan perbaikan mencari penerapan peraturan karyawan.

Kata Kunci: Six Sigma, DMAIC (Define, Measure, Analize, Improve, Control) FMEA (Failure Mode Effect Analyze)


(11)

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Perkembangan industri, baik industri jasa ataupun yang menghasilkan barang berkembang dengan pesat yang semakin mengglobal seperti saat ini yang ditandai dengan adanya pasar bebas yang memiliki iklim kompetisi yang sangat ketat di segala bidang usaha, baik di bidang manufaktur maupun di bidang produk, dengan adanya barang atau jasa yang masuk ke dalam negeri dengan bebas tanpa adanya hambatan sedikitpun perusahaan saling bersaing untuk mencari pasar konsumen yang tepat. Hal ini akan menyebabkan adanya ancaman bagi para produsen dalam negeri apabila perusahaan dalam negeri tidak mampu untuk bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Untuk menghadapi persaingan perusahaan menggunakan salah satu solusi untuk memenangkan persaingan yaitu dengan menggunakan tenaga – tenaga ahli dalam proses pelaksanaan pencapaian tujuan.

PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik adalah perusahaan yang bergerak dibidang produk penjualan akhir berupa benang yang terletak di di Desa Krikilan, Km 28, Driyorejo Gresik. Perusahaan ini telah memiliki ratusan pelanggan yang berada di wilayah pulau jawa dan sebagian berada di luar pulau jawa. Perusahaan ini mengutamakan kualitas produk sebagai faktor penentu daya saing.

Dalam hal ini, kualitas produk PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik dirasakan masih kurang dan perlu dilakukan perbaikan. Dimana masih sering terjadinya kecacatan pada produk benang yaitu:


(12)

benang

tidak sesuai. Dari semua kecacatan tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan dengan menggunakan Metode six sigma.

Metode six sigma merupakan metode yang dapat digunakan untuk mereduksi defect dan peningkatan kualitas produks serta digunakan untuk Pengukuran tingkat kapabilitas proses, dan juga perbaikan untuk mencapai hasil yang mendekati sempurna. Six Sigma tidak sekedar metodologi perbaikan saja, melainkan sebuah sistem manajemen yang bertujuan mengadakan perbaikan yang menguntungkan bagi semua elemen konsumen, pemegang saham dan elemen perusahaan itu sendiri.

Dengan diterapkannya metode six sigma diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk sesuai dengan yang diinginkan peruahaan dan konsumen. Sehingga dapat menjaga pelanggan tetap setia berlangganan dan dapat menambah pelanggan baru sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu: “ Berapa tingkat kualitas produk benang di PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik? ”.


(13)

1.3Batasan Masalah

Dalam permasalahan ini adalah:

1. Obyek yang diteliti adalah bagian produk PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik.

2. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran perbaikan produk benang dengan menggunakan analisa Six Sigma, sampai batas improve dan control hanya sebatas usulan yang di rekomendasikan kepada perusahaan.

3. Tidak dilakukan analisis biaya.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan di PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik adalah:

1. Mengetahui nilai kapabilitas sigma pada bagian produksi.

2. Memberikan usual perbaikan untuk meningkatkan nilai kapabilitas sigma pada bagian produksi di PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik.

1.5Asumsi – asumsi

Asumsi – asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Karyawan bekerja dengan baik namun masih perlu adanya peningkatan kerja. 2. Produksi berjalan normal selama penelitian berlangsung sedangkan hasil

produksi perlu ditingkatkan kembali.


(14)

1.6Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis:

a. Menambah cakrawala berfikir, memantapkan dan menambah pengalaman serta kreatifitas penulis dalam menghadapi masalah yang lebih komplek yang dialami perusahaan.

b. Sebagai bahan perbandingan antara ilmu yang penulis peroleh selama dibangku kuliah maupun dari hasil membaca literatur – literatur dengan kenyataan praktis yang ada pada perusahaan.

2. Bagi Perusahaan

a. Dengan adanya penelitian ini perusahaan dapat memperoleh masukan berupa kerangka pola berfikir Six Sigma untuk mengendalikan kualitas produk yang dihasilkan.

b. Perusahaan mengetahui bagaimana cara melakukan peningkatan penjualan dengan menggunakan metode yang berbeda untuk kemajuan wawasan dan pencapaian tujuan kerja.

c. Hasil pengukuran penjualan akan menjadi bahan evaluasi guna peningkatan penjualan perusahaan di masa yang akan datang.

3. Bagi Universitas

a. Memberikan mahasiswanya wawasan terakhir sebelum dilepas ke dunia kerja sehingga mahasiswa tersebut mempunyai bekal kerja dan usaha. b. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi bagi mahasiswa.


(15)

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulian laporan penelitian sesuai dengan sistematika penulisan yang telah ditetapkan untuk memudahkan dalam pengamatan yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah sehingga dapat diketahui mengapa penulis mengambil judul tersebut, batasan masalah untuk membatasi masalah agar terfokus pada masalah yang diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, asumsi – asumsi yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian, manfaat dari penelitian baik untuk penulis, perusahaan maupun universitas, dan sistematika penulisannya.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang memuat uraian sistematis yang menunjang serta berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan, yang dirangkum berdasarkan keterangan – keterangan yang dikumpulkan dan penuntun dari pustaka.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang tempat dan waktu penelitian, identifikasi variabel, identifikasi permasalahan, pengambilan data di PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik, metode pengolahan data, dan analisa dengan metode yang digunakan.


(16)

BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan penelitian, selama penelitian berlangsung yaitu tentang peningkatan bergerak dibidang produk akhir berupa benang di PT. Segoro Ecomulyo Textile, Driyorejo Gresik.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang dapat penulis berikan selama penelitian berlangsung dan penyusunan laporan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi tentang literatur – literatur yang digunakan sebagai panduan. LAMPIRAN


(17)

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1. Kualitas

Kualitas merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam setiap proses produksi. Kualitas baik akan dihasilkan oleh proses produksi yang terkendali. Pengertian kualitas menurut beberapa ahli antara lain :

Juran (1962) “kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.”

Crosby (1979) “kualitas adalah kesesuain dengan kebutuhan yang meliputi

availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness.”

Deming (1982) “kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa datang.”

Feigenbaum (1991) “kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan

jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan

maintenance, dalam mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.”

Scherkenbach (1991) “kualitas ditentukan pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.”

Elliot (1993) “kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan.”


(18)

Goetch dan Davis (1995) “kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan.”

Dari pengertian – pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa produk dan jasa yang berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan konsumennya.

2.1.1. Pengendalian Kualitas

Pengendalian kualitas adalah merupakan suatu aktivitas untuk menjaga dan mengarahkan agar kualitas produk (dan jasa) perusahaan dapat dipertahankan sebagaimana yang telah direncanakan. Dari pengertian tersebut jelas bahwa pengendalian kualitas adalah usaha preventif (penjagaan) dan dilaksanakan sebelum kesalahan kualitas produk atau jasa terjadi, melainkan mengarahkan agar kesalahan kualitas tersebut tidak terjadi didalam perusahaan yang bersangkutan.

Ada definisi lain yang menyebutkan bahwa pengendalian kualitas merupakan yang kita gunakan untuk menentukan dan mencapai standartd mutu. Dengan kata lain, pengendalian kualitas adalah merencanakan dan melaksanakan cara yang paling ekonomis untuk membuat sebuah barang yang akan bermanfaat dan memuaskan tuntutan konsumen secara maksimal.

2.2. Six Sigma

Sigma (

σ

) dalam alphabet Yunani merupakan sebuah simbol yang digunakan untuk menunjukkan deviasi standard pada statistik, merupakan


(19)

petunjuk jumlah “variasi“ biasanya juga dipakai untuk menggambarkaan output dari suatu proses. Tingkat sigma berkebalikan dengan defect, semakin tinggi tingkat sigma maka semakin rendah toleransi yang diberikan pada defect.

2.2.1. Definisi Six Sigma

Ada banyak pengertian mengenai Six Sigma, Six Sigma diartikan sebagai metode canggih yang digunakan oleh para insinyur dan para statistikawan dalam

memperbaiki/mengembangkan proses/produk. Six Sigma diartikan demikian

karena memiliki kunci utama perbaikan. Six Sigma menggunakan metode-metode statistik. Pengertian Six Sigma yang lain adalah tujuan mendekati kesempurnaan dalam mencapai tujuan pelanggan. Ada juga yang mengartikan Six Sigma sebagai usaha mengubah budaya perusahaan untuk mencapai kepuasan, keuntungan dan persaingan yang jauh lebih baik.

Definisi secara lengkapnya Six Sigma merupakan suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data dan analisis statistik serta terus-menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha.

Untuk lebih mudah dalam mengartikan Six Sigma berdasarkan ide dasar filosofi Six Sigma yaitu mengurangi variasi dari suatu produk atau proses secara terus-menerus. Variabilitas dapat mengakibatkan penumpukan (akumulasi) masalah dan merupakan musuh dari kepuasan pelanggan. Variabilitas pada


(20)

kualitas, biaya dan jadwal berkontribusi pada cost of poor quality (COPQ), kepuasan pelanggan dan penurunan performasi bisnis secara keseluruhan. Sehingga bagian terpenting dari Six Sigma adalah untuk mendefinisikan dan mengukur variasi dengan mengeksplorasi penyebab-penyebab dan untuk membuat suatu alat operasional yang efisien untuk mengontrol dan mengurangi variasi.

Hal-hal yang diharapkan dari penerapan Six Sigma berbeda untuk setiap perusahaan yang bersangkutan, tergantung pada usaha yang dijalankan, biasanya ada perbaikan pada hal-hal berikut:

1. Pengurangan biaya. 2. Perbaikan produktivitas. 3. Pertumbuhan pangsa pasar. 4. Pengurangan waktu siklus. 5. Retensi pelanggan.

6. Pengurangan cacat. 7. Perubahan budaya kerja.

8. Pengembangan produk dan jasa.

Dalam metode ini, parameter yang dipakai adalah Defect Per Million Opportunities (DPMO) yaitu kagagalan per sejuta kesempatan dan

Cost of Poor Quality (COPQ) yaitu biaya yang dikeluarkan karena kualitas yang buruk.


(21)

2.2.2. Konsep Six Sigma Motorola

Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen

kualitas. Karena Six Sigma mampu melakukan peningkatan kualitas secara

dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect) dan mampu memberikan solusi yang ampuh dalam hal terobosan-terobosan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas secara dramatik menuju kegagalan nol. Prinsip-prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma telah dilakukan oleh perusahaan Motorola selama kurang lebih 10 tahun dan telah mampu mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (Defect Per Million Oppurtunities)/ kegagalan per sejuta kesempatan (Gaspersz, 2002).

Sedangkan menurut Pyzdesk (2000), Six Sigma adalah suatu

implementasi yang secara ketat, terfokus dan sangat efektif dalam meningkatkan kualitas. Six Sigma bertujuan untuk kinerja bisnis yang mampu sepenuhnya bebas dari error atau kegagalan kinerja suatu perusahaan diukur dengan level sigma proses bisnis mereka.

Pada saat ini masih terdapat kerancuan di banyak pihak, terutama di kalangan dunia industri, tentang prinsip-prinsip Six Sigma Motorola, yang seolah-olah menafsirkan merupakan pengembangan dari “3-sigma statistical quality control”. Memang ide dasar dari prinsip-prinsip Six Sigma diambil dari 3-sigma statistical quality control, tetapi implementasinya sangat berbeda.


(22)

Beberapa keberhasilan Motorola yang patut dicatat dari aplikasi program

Six Sigma adalah sebagai berikut (gaspersz, 2002)

- Peningkatan produktivitas rata-rata : 12,3% per tahun - Penurunan COPQ (Cost Of Poor Quality) lebih dari 84% - Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7%

- Penghematan biaya manufacturing lebih dari $11 milliar

- Peningkatan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata : 17% dalam

penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola.

Hasil-hasil dari peningkatan kualitas dramatik yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ (Cost Of Poor Quality) terhadap penjualan ditunjukkan dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1. DPMO pada sigma level COPQ (Cost Of Poor Quality)

Tingkat Pencapaian Sigma DPMO COPQ 1-sigma 2-sigma 3-sigma 4-sigma 5-sigma 6-sigma

691.462 (sangat tidak kompetitif) 308.538 (rata-rata industri Indonesia) 66.807

6.210 (rata-rata industri USA) 233

3,4 (industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1% dari penjualan

Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan keuntungan 10% dari penjualan


(23)

Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang

memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di

tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).

Terdapat enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma, yaitu (Gaspersz, 2002) :

1. Identifikasi pelanggan anda. 2. Identifikasi produk anda.

3. Identifikasi kebutuhan anda dalam memproduksi produk untuk pelanggan anda.

4. Definisikan proses anda.

5. Hindari kesalahan dalam proses anda dan hilangkan semua pemborosan

yang ada.

6. Tingkatkan proses anda secara terus-menerus menuju target Six Sigma.

Apabila konsep Six Sigma akan diterapkan dalam bidang manufacturing, perhatikan enam aspek berikut (Gaspersz, 2002) :

1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan anda. 2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (Critical

To Quality) individual.

3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui


(24)

4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ).

5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan

nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).

6. Mengubah desain produk dan/atau proses sedimikian rupa agar mampu

mencapai target Six Sigma, yang berarti memiliki indeks kemampuan

proses, Cpm sama dengan dua (Cpm≥ 2).

2.2.3. Beberapa istilah dalam konsep Six Sigma

Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep Six Sigma Motorola, perlu dikemukakan beberapa istilah yang berlaku dalam metode Six Sigma agar untuk selanjutnya dapat mudah memahaminya.

a. Black Belt

Merupakan pemimpin tim (team leader) yang bertanggung jawab untuk

pengukuran, analisis, peningkatan, dan pengendalian proses-proses kunci yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dan/atau pertumbuhan produktivitas. b. Green Belt

Serupa dengan black belt, kecuali posisinya tidak penuh waktu (non full time position).

c. Master Black Belt

Guru yang melatih black belt, sekaligus merupakan mentor dan/atau konsultan proyek Six Sigma yang sedang ditangani oleh black belt.


(25)

d. Champion

Dalam struktur Six Sigma, champion merupakan individu yang berada pada

manajemen atas (top management) yang memahami Six Sigma dan

bertanggung jawab untuk keberhasilan dari Six Sigma itu. e. Critical-to-Quality (CTQ)

Atribut-atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.

f. Defect

Kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan/konsumen. g. Defect Per Opportunity (DPO)

Ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan

h. Defect Per Million Opportunities (DPMO)

Ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang

menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. i. Process Capability

Kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai


(26)

2.3. Penentuan Kapabilitas Proses (Process Capability)

Kapabilitas proses adalah kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. Perlu dipahami bahwa indeks Cpm yang digunakan mengacu pada CTQ ( Critical-To-Quality) tunggal atau item karakteristik kualitas individual. Indeks Cpm mengukur

kapabilitas potensial atau melekat dari suatu proses yang diasumsikan stabil, dan biasanya didefinisikan sebagai :

Cpm =

2 2 ) ( 6 ) (     T LSL USL

USL = Upper Specification Limit (batas spesifikasi atas) LSL = Lower Specification Limit (batas spesifikasi bawah)

T = Nilai target (nilai terbaik untuk karakteristik kualitas yang diharapkan Pelanggan) dari produk.

Ketiga nilai USL, LSL, dan T ditentukan berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi rasional dari pelanggan.

μ

= Nilai rata-rata (mean) proses aktual

σ

2

= Nilai varian (variance) dari proses yang merupakan ukuran variasi proses Kapabilitas proses hanya diukur untuk proses yang stabil, sehingga apabila proses itu dianggap tidak stabil, maka proses itu harus distabilkan terlebih dahulu. Dengan demikian nilai standar deviasi yang digunakan dalam pengukuran

kapabilitas proses (Cpm) harus berasal dari proses yang stabil, sehingga

merupakan variasi yang melekat pada proses yang stabil itu (common-cause


(27)

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas Six Sigma

ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma.

Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu :

- Data Attribut (Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung

menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data attribut bersifat diskrit. Contoh data attribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat karena corelap, dana lain-lain. Data attribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit nonkonformans/ketidaksesuaian atau cacat/kegagalan terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan.

- Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur

menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah ; diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume merupakan data variabel.


(28)

2.3.1. Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Attribut

Berikut ini akan dibahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target Sigma untuk data atribut (data yang diperoleh melalui perhitungan-bukan pengukuran langsung). Pada umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK.

Langkah-langkah :

1. Proses apa yang ingin anda tahu ?

2. Berapa banyak unit yang dikerjakan melalui proses? 3. Berapa banyak unit transaksi yang gagal

4. Hitung tingkat cacat berdasarkan langkah 3

(langkah 3) / (langkah 2)

5. Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat

Banyaknya karakteristik CTQ

6. Hitung peluang tingkat cacat per karakteristik CTQ

(langkah 4) / (langkah 5)

7. Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO)

(langkah 6) x 1.000.000

8. Konversi DPMO (langkah 7) ke dalam nilai sigma


(29)

2.3.2. Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel

Bayangkan bahwa kita akan menentukan kapabilitas proses industri perpipaan jenis tertentu. Berdasarkan kebutuhan pelanggan, diketahui bahwa diameter pipa yang diinginkan adalah : 40 mm dengan batas toleransi adalah ± 5 mm. Pelanggan akan menolak setiap pipa yang diserahkan apabila diketahui berdiameter diatas 45 mm dan/atau dibawah 35 mm. Dalam konteks program peningkatan kualitas Six Sigma, kita menyatakan bahwa CTQ yang perlu dikendalikan adalah diameter pipa dengan spesifikasi sebagai berikut :

CTQ(Critical-To-Quality) : diameter pipa Spesifikasi target (T) = 40 mm

USL = 45 mm LSL = 35 mm

Nilai rata-rata : X-bar = 37 mm Standar deviasi : S = 2mm Langkah-langkah :

1. Proses apa yang ingin anda tahu ?

2. Tentukan USL

3. Tentukan LSL

4. Tentukan T

5. Tentukan nilai rata-rata 6. Berapa nilai standar deviasi

7. Hitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai USL per 1 juta


(30)

P {z ≥ (USL - X-bar)/S} x 1.000.000

8. Hitung kemungkinan cacat yang berada dibawah nilai LSL per 1 juta

kesempatan

P {z ≤ (LSL – X-bar)/S} x 1.000.000

9. Hitung kemungkinan cacat per 1 juta kesempatan (DPMO)

(langkah 7) + (langkah 6)

10. Konversi nilai DPMO ke Sigma

11. Hitung kemampuan proses di atas dalam ukuran nilai sigma 12. Hitung kapabilitas proses di atas dalam indeks kapabilitas proses

} 2 2 ) (

6 {

) (

S T Xbar

LSL USL

 

2.4. Proses DMAIC (Define, Measure,Analyze, Impove dan Control)

Merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus untuk menuju target

Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic, scientific, and fact base). Proses DMAIC ini menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. Sehingga DMAIC merupakan kunci keberhasilan Six Sigma. (Gaspersz, 2002)


(31)

2.4.1. Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan/atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah yang mana akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas dan tujuan organisasi. Selanjutnya pernyataan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek

Six Sigma yang terpilih. Sehingga tujuan utama adalah untuk memilih obyek penelitian Six Sigma dan selanjutnya menentukan tujuan dari penelitian Six Sigma.

2.4.2 Measure

Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengukur banyaknya defect yang terjadi berkaitan dengan Critical to Quality spesifik dengan menggunakan rumus DPMO (Defect per Million Opportunity) sebagai berikut :

000 . 000 . 1 _

_

x TQ produksixC Banyaknya

cacat Banyaknya

DPMO

2.4.3. Analyze

Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut :


(32)

a. Menganalisa kapabilitas (capability) dari proses. b. Mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kecacatan.

Menurut Gasperz (2002), setelah akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, antara lain yaitu : manusia, mesin, material, metode, media dan motivasi.

2.4.4.Improve

Memberikan usulan metode perbaikan kepada perusahaan berdasarkan analisa penyebab defect.

2.4.5. Control

Tahap ini merupakan tahap operasional terakhir dalam peningkatan kualitas Six Sigma, dimana tujuannya adalah mengontrol usaha perbaikan agar sesuai dengan tujuan. Menetapkan suatu mekanisme kontrol untuk menguji bahwa variabel-variabel dibawah kontrol tetap stabil dalam batas-batas yang telah ditetapkan.

2.5. Alat-alat Pemecahan Masalah

Dalam penyelesaian permasalahan dipergunakan beberapa alat pemecahan masalah, antara lain adalah sebagai berikut :


(33)

2.5.1. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet)

Lembar pemeriksaan adalah alat yang terdiri dari daftar item dan beberapa indikator dari seberapa sering setiap item pada daftar tersebut terjadi. Dalam bentuk yang sederhana, daftar pemeriksaan adalah alat-alat yang membuat proses pengumpulan data lebih mudah dengan menyediakan penjelasan pra-tertulis dari kejadian yang mungkin terjadi. Lembar pemeriksaan yang dirancang dengan baik akan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh pemeriksa.

Walau sederhana, lembar pemeriksaan adalah alat perbaikan proses dan alat pemecahan masalah yang sangat berguna. Kekuatan mereka ditingkatkan dengan besar saat digunakan berhubungan dengan alat sederhana lainnya, seperti analisis histogram dan analisis pareto.

2.5.2. Diagram Pareto

Diagram ini digunakan untuk menentukan yang mana dari kesempatan potensial yang banyak harus dikerjakan terlabih dahulu. Dengan bentuknya yang seperti batang, diagram pareto dapat membantu untuk mengidentifikasikan kejadian-kejadian atau penyebab masalah yang paling umum. Diagram pareto hanya digunakan pada data yang bersifat diskrit, tujuannya adalah mempermudah pihak perbaikan kualitas untuk menentukan jenis-jenis kesalahan manakah yang harus menjadi prioritas utama perbaikan dalam upaya untuk peningkatan kualitas.


(34)

2.5.3. Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram)

Diagram sebab dan akibat adalah alat yang digunakan untuk mengatur dan menunjukkan secara grafik semua pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok sehubungan dengan masalah tertentu. Biasanya, langkah-langkahnya adalah :

a. Mengembangkan bagan aliran dari wilayah yang akan diperbaiki. b. Mendefinisikan masalah yang akan diselesaikan.

c. Melakukan sumbangan saran untuk menemukan semua kemungkinan

penyebab masalah.

d. Mengatur hasil sumbang saran dalam kategori yang rasional.

e. Membuat diagram sebab dan akibat secara akurat menampilkan hubungan dari semua data dalam setiap kategori.

Begitu langkah – langkah itu selesai, membuat diagram sebab akibat sangat sederhana. Langkah – langkah tersebut adalah:

1. Menggambar sebuah kotak pada sudut tangan kanan jauh dari selembar kertas yang besar dan menggambar sebuah panah horisontal yang menunjuk pada kotak. Di dalam kotak tersebut, tulis keterangan dari masalah yang sedang coba anda atasi.

2. Tulis kategori diatas dan dibawah garis horisontal. Bayangkan itu sebagai cabang utama dari pohon tersebut.

3. Gambarkan rincian data penyebab dari setiap kategori. Bayangkan ini sebagai sebagai dahan dan ranting pada cabang.


(35)

Bentuk umum diagram sebab akibat ditunjukkan oleh gambar 2.2 di bawah ini:

Gambar 2.2 Bentuk umum diagram sebab akibat

( Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi dengan ISO 9001:2000, MBNQA dan HACCP, Vincent Gaspersz, 2002, Hal 243 )

2.5.4. Histogram

Histogram ialah perwakilan gambar dari satu kumpulan data. Ini diciptakan dengan mengelompokkan pengukuran ke dalam “sel”. Histogram ini digunakan untuk menentukan bentuk kumpulan data. Histogram juga menampilkan angka dalam cara yang mempermudah untuk melihat penyebaran dan kecenderungan pusat dan untuk membandingkan distribusi terhadap persyaratan.

Diagram ini mengurutkan rangking dari variasi terbesar sampai dengan

yang terkecil. Histogram juga menunjukkan kemampuan proses, dan apabila

memungkinkan, histogram dapat menunjukkan hubungan dengan spesifikasi proses dan angka-angka nominal.


(36)

2.5.5. Peta Pengendali (Control Chart)

Suatu grafik yang mengilustrasikan bagaimana suatu proses atau suatu titik dalam suatu proses berprilaku setiap saat. Control chart dapat menunjukkan bagaimana pengukuran spesifik diubah atau bagaimana variasi pengukuran berubah setiap saat. Terdapat tiga kegunaan pokok dari control chart, yaitu pemantauan atau pengawasan suatu proses, pengurangan variabilitas proses dan penaksiran parameter produk atau proses.

2.5.6. Diagram Pencar (Scatter Plots)

Scatterplot memperlihatkan suatu hubungan atau korelasi antara dua faktor yang bervariasi menurut angka atau pada sebuah kontinuen. Scatterplot

menunjukkan hubungan kausal yang penting antara satu faktor dan faktor lainnya.

2.5.7. Defect Concetration Diagram

Merupakan salah satu alat pengendalian kualitas yang digunakan sebagai alat memastikan lokasi defect yang dapat memberikan informasi tentang penyebab

potensial defect. Konsep utama adalah menunjukkan secara langsung letak cacat yang terjadi pada spesimen dengan memberi tanda khusus pada gambar specimen.

2.6. FMEA (Failure Modes and Effects Analysis)

Alat Six Sigma lain yang sering digunakan untuk mengidentifikasikan sumber-sumber dan akar penyebab dari suatu masalah kualitas adalah Failure Mode and Eeffect Analysis (FMEA), yang akan dibahas berikut ini:


(37)

2.6.1. Pengertian FMEA

FMEA adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan

mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (failure mode). Suatu mode

kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabakan terganggunya fungsi dari produk itu. Melalui menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk dan pelayanan itu. FMEA dapat dapat diterapkan dalam semua bidang, baik manufaktur maupun jasa, juga pada semua jenis produk.

2.6.2. Kegunaan FMEA

FMEA mempunyai beberapa manfaat antara lain sebagai berukut:

1. Mengenali cara-cara dimana suatu proses bisa gagal untuk memenuhi

persyaratan pelanggan.

2. Memperkirakan resiko dari sebab-sebab yang ada saat ini.

3. Menilai rencana pengawasan untuk sebab-sebab yang ada pada saat ini.

4. Memprioritaskan tindakan-tindakan untuk peningkatan yang harus segera

dilaksanakan.

2.6.3. Proses Implementasi FMEA

Berikut ini langkah-langkah dalam proses implementasi FMEA: 1. Tetapkan dan gambarkan proses yang akan dianalisa.


(38)

a) Keseriusan (severity) akibat kesalahan pada proses lokal, proses lanjutan, dan konsumen.

b) Tingkat seringnya terjadi suatu kesalahan (occurance) karena penyebab potensial.

c) Cara mendeteksi kesalahan akibat penyebab potensial muncul (detection), tahapan measure dari DMAIC.

3. Brainstorming kesalahan dari tiap tahapan proses, potensial causes, dan alat deteksi kesalahan yang ada (tahapan AnalyzeDMAIC).

4. Masukkanlah kriteria-kriteria yang sesuai untuk masing-masing akibat / efek kesalahan penyebab potensial dari alat kontrol.

5. Dapatkan Risk Potensial Number (RPN) dengan mengalikan Severity x Occurance x Detection. (S.O.D)

6. Pusatkan perhatian pada RPN yang lebih besar dari 125 dan lakukan perbaikan pada potensial causes-nya atau alat kontrolnya atau bahkan pada efeknya (langkah Improve pada DMAIC).

7. Tetapkan implementasi action plan (tahapan Improve pada DMAIC). 8. Ukur perubahan RPN yang terjadi (tahapan Control pada DMAIC).

9. Jika RPN-nya (baru) masih lebih besar dari 125, maka kembali ke langkah 3 hingga RPN-nya turun dibawah 125.

Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang bagaimana buruknya pengguna akhir akan merasakan akibat dari kegagalan itu. Dapat menggunakan skala 1 sampai 10. Ranking dan kriteria dari severity dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut ini:


(39)

Tabel 2.2. Severity Table

Rangking Kriteria

1 Negligble severity (pengaruh buruk yang dapat diabaikan). Kita

tidak perlu memikirkan bahwa akibat ini berdampak pada kinerja produk. Pengguna akhir mungkin tidak akan memperhatikan kecacatan atau kegagalan.

2 3

Mild severity (pengaruh buruk yang ringan/sedikit). Akibat yang ditimbulkan hanya bersifat ringan. Pengguna akhir tidak akan merasakan perubahan kinerja. Perbaikan dapat dikerjakan pada saat pemiliharaan regular.

4 5 6

Moderate severity (pengaruh buruk yang moderat). Pengguna akhir akan merasakan penurunan kinerja atau penampilan, namun masih berada dalam batas toleransi. Perbaikan yang dilakukan tidak akan mahal, jika terjadi downtime hanya dalam waktu singkat.

7 8

High severity (pengaruh buruk yang tinggi). Pengguna akhir akan merasakan akibat buruk yang tidak dapat diterima, berada diluar batas toleransi. Akibat akan teradi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu. Downtime akan berakibat biaya yang sangat mahal. Penurunan kinerja dalam area yang berkaitan dengan peraturan pemerintah, namun tidak berkaitan dengan keamanan dan keselamatan.

9 10

Potensial safety problem (masalah keselamatan/keamanan potensial).

Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya yang dapat terjadi tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu. Bertentangan dengan hokum.

(Gasperz, 2002)

Occurance adalah suatu perkiraan subyektif tentang probabilitas atau peluang bahwa penyebab itu akan terjadi, akan menghasilkan mode kegagalan yang akan memberikan akibat tertentu. Kita dapat menggunakan skala 1 sampai 10. Ranking dan kriteria dari occurance dapat dilihat pada Tabel 2.3. berikut ini:


(40)

Tabel 2.3. Occurance Table

Rangking Kriteria Tingkat

Kegagalan/Kecacatan

1 Adalah bahwa tidak mungkin penyebab

ini yang mengakibatkan mode kegagalan.

1 dalam 1.000.000

2 3

Kegagalan akan terjadi 1 dalam 20.000

1 dalam 4.000 4

5 6

Kegagalan agak mungkin terjadi 1 dalam 1.000

1 dalam 400 1 dalam 80 7

8

Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi

1 dalam 40 1 dalam 20 9

10

Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi

1 dalam 8 1 dalam 2

(Gasperz, 2002)

Detection merupakan suatu perkiraan subyektif tentang bagaimana efektifitas dari metode deteksi pencegahan untuk menghilangkan mode kegagalan potensial. Kita menggunakan skala dari 1 sampai 10. Rangking dan criteria dari detection dapat kita liat pada table 2.4. berikut ini :


(41)

Tabel 2.4. Detection Table

Rangking Kriteria Tingkat Kejadian

Penyebab

1 Metode pencegahan atau deteksi sangat

efektif. Spesifikasi akan dapat dipenuhi secara konsisten.

1 dalam 1.000.000

2 3

Kemungkinan kecil bahwa spesifikasi tidak akan dipenuhi.

1 dalam 20.000 1 dalam 4.000 4

5 6

Kemungkinan bersifat moderat. Metode pencegahan atau deteksi masih memungkinakan kadang-kadang spesifikiasi itu tidak terpenuhi.

1 dalam 1.000 1 dalam 400 1 dalam 80 7

8

Kemungkinan bahwa spesifikasi produk tidak dapat dipenuhi sangat tinggi. Metode pencegahan atau deteksi kurang efektif.

1 dalam 40 1 dalam 20

9 10

Kemungkinan bahwa spesifikasi produk tidak dapat dipenuhi sangat tinggi. Metode pencegahan atau deteksi tidak efektif

1 dalam 8 1 dalam 2

(Gasperz, 2002)

2.7. Proses Produksi

Untuk memperoleh suatu gambaran secara umum, maka proses produksi benang di PT. Segoro Ecomulyo Textil dapat diuraikan berikut ini.

2.7.1. Raw Material

Proses produksi di PT. Segoro Ecomulyo Textil menggunakan raw

material atau bahan baku yang berupa serat buatan atau polyester. Digunakan serat buatan karena serat buatan mempunyai serat yang lebih baik dilihat dari panjang serat dan ukurannya yang seragam dibandingkan dengan serat alami. Raw material atau bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi akan


(42)

disediakan dan disesuaikan oleh storage raw material. Disini, raw material

dipesan dan disimpan di storage minimal sesuai dengan kebutuhan produksi selama satu minggu untuk Spinning I dan II.

Untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku, PT. Segoro Ecomulyo Textil menggunakan dua bahan baku yaitu Indorama dan Tifico. Kualitas serat ditunjukkan dengan denier. Dimana Indorama mempunyai kualitas serat 1.4d dan Tifico dengan 1.3d. Kedua serat ini banyak digunakan karena memiliki serat yang lebih halus dan mudah untuk diproses.

Jumlah minimum bahan baku yang dipesan minimum sebanyak kebutuhan untuk berlangsungnya proses produksi selama satu minggu untuk departemen Spinning I dan II. Dari data yang kami dapatkan, diketahui bahwa kebutuhan standart material yang dibutuhkan perhari adalah sebanyak 180-185 bale.

Material keluar dari storage berdasarkan metode First In First Out

(FIFO), ini berarti bahwa material diurutkan berdasarkan kedatangan material. Pemberian tanda atau penomoran pada material merupakan salah satu cara untuk mengontrol dan memudahkan material.

Dalam prosesnya sendiri, dua material yang berbeda tidak dapat dan tidak boleh digabungkan karena spesifikasi tiap perusahaan produsen tidaklah sama. Sehingga apabila dipaksakan dua material bercampur maka dikhawatirkan akan menghasilkan produk dengan warna yang belang sehingga menjadi tidak layak untuk dijual.


(43)

2.7.2. Mesin dan Peralatan

Mesin dan peralatan yang diperlukan didalam proses pemintalan benang dari bahan serat menjadi benang pada perusahaan textile adalah mixer atau mesin pencampur pada awal proses pengolahan bahan baku sebelum diproses lebih lanjut, dan mesin-mesin yang terdapat pada masing-masing departemen baik

Spinning I maupun II akan dijelaskan sebagai berikut :

2.7.3. Mixing

Setelah raw material dipesan maka raw material tersebut dibawa dalam

proses berikutnya, yaitu mixing atau pencampur dengan menggunakan mesin

pencampur. Sebelumnya, bungkus atau cover material dibuka dan dibiarkan

selama 24 jam. Hal ini dilakukan agar sifat-sifat serat kembali ke sifat semula. Secara umum proses mixing memiliki kegiatan untuk mencampur material yaitu antara usable waste dengan fresh material. Fungsi dari proses ini secara keseluruhan adalah:

 Membuka gumpalan fibre untuk memperoleh standart fibre.

 Mencampur raw material antara usable waste dengan fresh material dengan perbandingan 25 % dan 75 %.

2.7.4. Mesin Pada Departemen Spinning I

Mesin-mesin yang digunakan pada Spinning I merupakan mesin yang

sudah cukup tua usianya yaitu kurang lebih 30 tahun (1975). Akan tetapi masih sangat produktif.


(44)

2.7.4.1. Blowing

Raw material yang sudah tercampur dalam proses mixing selanjutnya akan diproses pada mesin blowing. Fungsi mesin ini antara lain:

 Menguraikan bahan

 Membersihkan bahan dari kotoran

 Mengubah bahan menjadi bentuk gulungan

Hasil dari proses ini adalah dalam bentuk Lap yang merupakan lembaran yang tersusun atas fibre-fibre polyester yang telah diuraikan menjadi individual

fibre sepanjang 40 meter yang digulung dan mempunyai ukuran untuk per Lap

sebesar 19.605 Kg.

Mesin blowing yang terdapat pada Spinning I berjumlah 5 buah. Mesin ini terdiri dari 2 jenis mesin, yaitu:

 Mesin secara chetpeed: pendistribusian lap ke mesin carding nonmanual (mesin nomor 1 dan 5).

 Mesin secara manual : pendistribusian lap ke mesin carding secara manual ( mesin nomor 2 , 3 , 4 ).

2.7.4.2. Carding

Proses dalam mesin Carding mengubah bentuk lap menjadi bentuk

sliver. Adapun kegunaan dari mesin carding adalah:

 Pembukaan material


(45)

 Memisahkan serat yang pendek dengan derat yang panjang

 Mengatur sliver pada can (semacam pipa plastik) sehingga berbentuk

kumparan. Tujuannya adalah agar mudah diukur dan tidak putus.

 Menghasilkan sliver ( lap yang telah disejajarkan seratnya )

Ada tiga jenis mesin carding yang terdapat di Spinning I yaitu Laksmi Rieter dengan jumlah mesin sebanyak 16 mesin , MMC (Machinery Manufactures Corporation) dengan jumlah mesin sebanyak 7 mesin dan Cross Roll dengan jumlah mesin sebanyak 14 mesin. Kapasitas output maksimal yang dikeluarkan mesin Carding sebanyak 102 kilo ton sliver.

2.7.4.3. Drawing

Proses ini bertujuan untuk meratakan serat sampai pada batas yang diinginkan , maka proses nya dilakukan dalam 2 tahap yaitu breaker and finisher.

Prinsip kerja mesin ini adalah:

 Perangkapan

Adalah proses dimana sliver dirangkap. Tujuan perangkapan adalah untuk mendapatkan sliver yang rata selain itu juga untuk mendapatkan campuran yang homogen.

 Peregangan (Drafting)

Peregangan terjadi karena adanya rol-rol peregang yang berbeda kecepatan putarannya, sehingga sliver masuk dengan 6 helai keluar menjadi 1 helai.

 Penataan sliver pada can


(46)

Adapun mesin-mesin yang digunakan pada Spinning I adalah sebagai berikut:

 Rieter RSB dengan jumlah 6 mesin yang digunakan untuk mesin RSB2,

RSB4, RSB5, RSB8, RSB10, RSB 11.

 Cherry DK - 600 dengan jumlah 8 mesin yang digunakan untuk mesin Nomor

1, 3, 6, 7, 9, 12, 13, dan 14.

Semua mesin pada proses drawing terpasang secara berurutan dalam satu garis lurus, dengan pembagian mesin untuk setiap tahapnya adalah sebagai berikut:

 Breaker memakai mesin Cherry DK-600.

 Finisher memakai mesin Rieter RSB.

Kapasitas maksimal output yang dihasilkan sebanyak 603 kilo ton sliver.

2.7.4.4. Simplex

Bahan input dari proses Simpleks adalah sliver dari proses Drawing yang kemudian diubah menjadi bentuk roving. Fungsi mesin Simplex antara lain:

 Penguluran sliver

Tujuannya adalah untuk mensejajarkan serat agar tidak saling silang dan tidak ada sliver yang saling bergesekansaling bergesekan.

 Peregangan (Drafting)

Prinsip ini sama pada mesin Drawing, tetapi bila pada mesin Drawing

rangkapan bias 6-7 helai maka pada mesin Simplex tidak ada rangkapan

artinya hanya 1 helai saja.


(47)

Tujuannya agar roving pada saat diubah menjadi benang pada proses Ring Frame tidak akan sampai putus.

Mesin-mesin yang digunakan dalam proses simplex adalah:

 Toyoda FL 16 dengan 108 spindel per mesin. Jumlah mesin 3 buah.

 Howa RME dengan 96 spindel per mesin. Jumlah mesin 4 buah.

 Lakshmi-Rieter dengan 96 spindel per mesin.Jumlah mesin 1 buah.

Kapasitas maksimal output yang dihasilkan pada mesin ini sebanyak 1115 kilo ton.

2.7.4.5. Ring Frame

Dalam proses Ring Frame ini, inputnya adalah roving dan output sudah berupa benang berbentuk cops. Fungsi mesin Ring Frame adalah:

 Penguluran Roving

 Perenggangan (Drafting)

Memberi draft (regangan) pada roving untuk pada akhirnya diperoleh nomor benang sesuai dengan yang diinginkan.

 Pemberian Twist

Twist / plintiran terhadap benang, dimana dalam hal ini, banyak twist biasanya disesuaikan dengan keinginan pelanggan. Seperti pada proses simplex, proses

draft yang terjadi pada proses ring frame ini juga terjadi akibat roving yang

dilewatkan beberapa roll yang berbeda kecepatannya, sedangkan twist

disebabkan oleh pemegang bobbin yang berputar yang menimbulkan twist


(48)

Mesin-mesin yang digunakan pada proses ring flame adalah sebagai berikut:

 Texmaco sebanyak 34 mesin, dimana setiap mesin terdiri dari 440 spindel.

 Lakshmi-Rieter sebanyak 14 mesin, dimana setiap mesin terdiri dari 428

spindel.

Kapasitas output yang dihasilkan pada mesin ini antara 165 - 1062 kilo ton.

2.7.5. Mesin Pada Departemen Spinning II

Pada Spinning II atau yang biasa dikenal sebagai Expantion ini memiliki

proses yang secara umum sama dengan proses produksi di Spinning I.

Perbedaannya terletak pada bahan dan mesin yang digunakan. Mesin-mesin yang digunakan pada Spinning II didatangkan dari luar negeri tepatnya pada tahun 1990. Kapasitas output yang dihasilkan sama seperti pada Spinning I.

2.7.5.1. Back Process

Pada back process (tahap persiapan yang menyangkut kegiatan

pembukaan, pensejajaran, penghilangan serat pendek, perataan serat) di expantion

ini terdiri dari 3 tahap yaitu blowing , carding , drawing .

2.7.5.1.1. Blowing

Raw material yang sudah tercampur dalam proses mixing selanjutnya akan diproses di mesin blowing. Fungsi mesin ini antara lain:


(49)

 Membersihkan bahan dari kotoran dan serat yang tidak teratur

 Mengubah bahan menjadi bentuk gulungan

Mesin blowing yang terdapat pada Spinning II berjumlah 2 buah mesin chetpeed yang dinamakan Blendomat.

2.7.5.1.2. Carding

Fungsi mesin carding adalah:

 Menghasilkan sliver (lap yang telah disejajarkan seratnya).

 Membuka gumpalan.

 Memisahkan serat yang panjang dengan serat yang pendek.

 Mensejajarkan individual fibre.

 Mengatur sliver pada can (semacam pipa plastik) sehingga berbentuk

kumparan. Tujuannya adalah agar mudah diukur dan tidak putus.

Jenis mesin carding yang terdapat di Spinning II yaitu Trutzcrushler sebanyak 12 mesin.

2.7.5.1.3. Drawing

Pada proses ini, expansion melalui 2 tahapan satu breaker dan langsung ke finiser. Hasil dari breaker expansion ini sering dialihkan ke Spinning I untuk memperlancar jalannya proses agar tidak terjadi bottle neck. Semua mesin untuk proses drawing terpasang secara urut dalam satu garis lurus, dengan pembagian mesin untuk setiap tahapnya adalah sebagai berikut:

 Breaker memakai mesin Zinser dengan jumlah mesin sebanyak 4 buah mesin.


(50)

2.7.5.2. Simplex

Bahan input dari proses Simpleks adalah sliver dari proses Drawing yang kemudian diubah menjadi bentuk roving. Fungsi mesin Simplex antara lain:

 Penguluran sliver

Tujuannya adalah untuk mensejajarkan serat agar tidak saling silang dan tidak ada sliver yang saling bergesekansaling bergesekan.

 Peregangan (Drafting)

Prinsip ini sama pada mesin Drawing, tetapi bila pada mesin Drawing

rangkapan bias 6-7 helai maka pada mesin Simplex tidak ada rangkapan

artinya hanya 1 helai saja.

 Pemberian Twist (Puntiran)

Tujuannya agar roving pada saat diubah menjadi benang pada proses Ring Frame tidak akan sampai putus.

Mesin-mesin yang digunakan dalam proses simplex adalah:

 Toyoda FL 16 dengan 108 spindel per mesin. Jumlah mesin 1 buah.

 Zinser dengan 120 spindel per mesin. Jumlah mesin 3 buah.

2.7.5.3. Ring Frame

Perbedaan mesin Ring Frame yang ada di Spinning I dan Expansion adalah:

 Mesin Ring Frame di Spinning I merupakan mesin tahun 1975 sedangkan


(51)

 Kenaikan speed perputaran spindel di spinning I dibagi menjadi 2 bagian yaitu

low speed dan high speed. Namun kenaikan speed ini lebih tiba-tiba sedangkan pada Expansion kenaikan speed lebih kontinu atau sedikit demi sedikit.

Fungsi mesin Ring Frame adalah:

 Penguluran Roving

 Perenggangan (Drafting)

Memberi draft (regangan) pada roving untuk pada akhirnya diperoleh nomor benang sesuai dengan yang diinginkan.

 Pemberian Twist

Twist / plintiran terhadap benang, dimana dalam hal ini, banyak twist biasanya disesuaikan dengan keinginan pelanggan. Seperti pada proses simplex, proses

draft yang terjadi pada proses ring frame ini juga terjadi akibat roving yang

dilewatkan beberapa roll yang berbeda kecepatannya, sedangkan twist

disebabkan oleh pemegang bobbin yang berputar yang menimbulkan twist

pada benang yang keluar dari roll yang terakhir.

Mesin-mesin yang digunakan pada proses ring flame di Spinning II


(52)

2.7.5.4. Winding

Winding merupakan proses penggulungan ulang benang yang telah

dihasilkan di Ring Frame, sehingga pada dasarnya proses mesin winding

bertujuan untuk merubah benang dari bentuk bobbin ke bentuk cone. Fungsi mesin winding yaitu:

 Melakukan penguluran / penarikan benang

 Penggulungan benang

 Melakukan Quality Control

Selain itu mesin Winding juga bertujuan untuk memberi wax apabila konsumen menghendaki. Adapun mesin-mesin yang digunakan pada proses

Winding adalah sebagai berikut:

 Savio RAS sebanyak 2 mesin

 Savio Espero sebanyak 14 mesin

 Savio Orion sebanyak 4 mesin

Dalam proses Winding, semua mesinnya bekerja secara otomatis, dimana mesin dapat mendeteksi adanya bagian benang yang lebih tebal atau tipis dari normal pada saat penggulungan, dan secara otomatis dapat langsung memotongnya. Setelah dipotong, mesin secara otomatis menyambung kembali dengan ujung benang dari bobbin. Kemampuan mendeteksi dari mesin Winding ini disebabkan karena benang terlebih dahulu dilewatkan pada suatu sensor, dimana dalam hal ini sensor mampu menciptakan suatu tegangan dari benang yang lewat, yang akan berubah jika ukuran benang yang lewat juga berubah.


(53)

2.7.5.5. Doubling dan Twisting

Doubling atau yang bisa dikenal dengan proses TFO (Two for One)

adalah proses perangkapan dari benang single atau tunggal menjadi rangkap dua dan juga memberikan puntiran pada benang.

Mesin-mesin yang digunakan pada proses iniantara lain:

 Mesin TFO sebanyak 21 buah

 Mesin Kamimat sebanyak 4 buah

 Mesin Cheese 5 mesin

Hasil dari proses Doubling ini akan digulung lagi (rewinding) dengan

menggunakan mesin Kamimat. Tujuannya adalah hanya untuk mengubah bentuk


(54)

PETA PROSES OPERASI Pembuatan Benang

Gambar 2.3 peta proses operasi 0-11 1-4 0-10 0-9 0-8 1-5 0-7 1-3 0-6 1-2 0-5 1-1 0-4 0-3 0-2

0-1 Penyimpanan Bahan Baku

24 Jam Mixing 1 Jam Blowroom 1.5 Jam Carding Inspeksi Inspeksi 1.5 Jam Drawing

2 Jam Simpleks Inspeksi 1 Jam Ring Frame Inspeksi Inspeksi 1 Jam Winding 2 Jam Doubling dan 2 menit Penyinaran 181Bale/Hari Packing Go Down


(55)

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam bab ini menjelaskan langkah – langkah metode yang digunakan untuk pengambilan dan pengolahan data di PT. SEGORO ECOMULYO TEXTILE dalam rangka meningkatkan kualitas produk dengan metode Six Sigma. Untuk menyelesaikan secara keseluruhan dapat dilihat pada urutan berikut:

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. SEGORO ECOMULYO TEXTILE, yang berlokasi di Desa Krikilan, Km 28, Driyorejo-Gresik. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2009 sampai data yang diperlukan sudah memenuhi.

3.2 Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel masuk ke dalam tahap define, dimana pada tahap ini

merupakan tahap awal dari siklus DMAIC pada pola berpikir Six Sigma.

Dimana variabel yang ditentukan adalah sebagai berikut: 1. Variabel terikat

Yaitu variabel yang nilainya tergantung dari variasi perubahan variabel bebas. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah:


(56)

sejuta kesempatan yang kemudian dikonversikan dengan ukuran Sigma

dimana nilai itu berada. 2. Variabel Bebas

Yaitu variabel yang mempengaruhi variasi perubahan nilai variabel terikat, Adapun variabel bebas dalam penelitian ini meliputi data keluhan pelanggan selama bulan April – September 2009, data yang di dapat dari penelitian Jumlah Produk = 10147500 Cone, Jumlah Banyak Kecacatan = 252 yang terdiri sebagai berikut:

a. Benang kusut.

b. Benang kotor.

c. Gulungan benang tidak rapi.

d. Panjang benang yang tercantum dalam bobbin sama dengan panjang


(57)

Agar lebih sistematis, maka langkah – langkah yang harus dilakukan dalam mengadakan penelitian adalah sebagai berikut:

Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Identifikasi Variabel

Studi Pustaka Mulai

Survey Perusahaan

DEFINE

- Mengidentifikasi kecacatan produk benang

MEASURE

Menghitung defect (dengan menghitung DPMO yang dikonversikan dalam sigma),

б

,

kapabilitas proses

A

Pengumpulan data: - Jumlah Produk - Jumlah Kecacatan - Jenis Kecacatan yang


(58)

A

Tidak Ya

Gambar 3.1 Langkah – langkah penelitian

ANALYZE

- Kemampuan (kapabilitas) proses (diagram pareto)

- Menganalisa penyebab terjadinya cacat (kegagalan) dengan analisa fishbone diagram

IMPROVE

Menetapkan usulan perbaikan dengan menggunakan FMEA

6σ?

Analisa hasil dan pembahasan

Kesimpulan dan Saran


(59)

1. Mulai

Mulai adalah langkah awal suatu penelitian yang meliputi kegiatan seperti mencari judul dan menetapkan topik dari penelitian.

2a. Survey Perusahaan

Langkah ini merupakan merupakan studi pengenalan di perusahaan yang akan dijadikan tempat penelitian. Dengan melakukan survey, diharapkan dapat diketahui beberapa permasalahan dari perusahaan tempat penelitian, perusahaan yang diteliti adalah PT. SEGORO ECOMULYO TEXTILE.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka bermanfaat untuk meningkatkan pemahamanlandasan teori dari permasalahan yang akan diteliti, serta menunjang dan mempermudah bagi peneliti untuk mendalami masalah penelitian.

3. Perumusan Masalah

Perumusan masalah disusun berdasarkan studi lapangan dan latar belakang topik penelitian, yaitu bagaimana mengukur kualitas produk. Kemudian tentukan metode yang tepat untuk dalam permasalahan tersebut.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal – hal yang ingin dicapai dalam pemecahan suatu masalah yaitu mengetahui nilai sigma kualitas produk sehingga dapat diketahui kualitas kinerjanya salama ini.

5. Identifikasi Variabel


(60)

Pengumpulan data di perusahaan diperoleh dengan cara seperti mencatat data yang diperlukan seperti jumlah kecacatan produk dan jenis kecacatan produk yang sering dikeluhkan serta observasi, dan wawancara dengan pihak perusahaan.

7. Define

Menentukan jenis produk yang akan diteliti dan mendeskripsikan masalah dalam ruang lingkup yang jelas dalam menentukan produk yang menjadi obyek penelitian.

8. Measure

Menentukan data yang dibutuhkan untuk melakukan pengukuran terhadap banyaknya kegagalan yang berkaitan dengan karakteristik kualitas, dimana

CTQ yaitu waktu yang diperlukan untuk proses produksi. Kegagalan atau defect diartikan suatu proses yang memakan waktu melebihi dari waktu maksimal yang ditetapkan. Adapun data yang diperoleh berupa jumlah kecacatan produk dan jenis kecacatan produk kemudian dihitung baseline

awal kinerja dengan menggunakan satuan DPMO dan tingkat kapabilitas

sigma menggunakan tabel konversi. Keterangan :

Defect : Semua contoh atau kejadian dimana barang atau jasa gagal


(61)

menentukan jumlah defect per peluang.

DPMO : Kalkulasi yang digunakan dalam inisiatif perbaikan proses Six Sigma yang mengindifikasikan jumlah defect dalam sebuah proses per satu juta peluang.

2002) (Gaspersz,

000 . 000 . 1 _

_

Produksi x BanyakCTQx

Jumlah

ecacat BanyaknyaK

DPMO

Jika nilai sigma telah 6 sigma setelah itu menuju ke analisa dan pembahasan, namun jika nilai sigma belum mencapai 6 sigma maka perlu dilakukan analisa terjadinya kegagalan tersebut.

9. Analyze

Menganalisa dan meneliti penyebab terjadinya kegagalan dengan data yang telah dimiliki menggunakan diagram pareto dengan demikian diketahui penyebab kegagalan terbesar dan ditetapkan bagian mana yang akan ditingkatkan, serta merangkum secara garis besar sumber penyebab kegagalan dalam sebuah diagram sebab akibat. Diagram ini dibuat dengan jalan secara

brainstorming dengan pegawai perusahaan. 10. Improve

Pada tahap ini dibuat usulan perbaikan yang dapat memberikan beberapa masukan sehingga jumlah defect atau kegagalan dapat dikurangi. Usulan perbaikan yang difokuskan pada potential cause, dimana hal ini dipandang


(62)

Mode Effect Analyze). Berdasarkan analisa FMEA diperoleh prioritas rencana tindakan berdasarkan nilai RPN (Risk Priority Number), yaitu nilai RPN yang

tertinggi hingga nilai yang terendah. Nilai RPN yang tertinggi

mengindikasikan bahwa kita mampu untuk menentukan mode kegagalan mana yang paling kritis sehingga perlu mendahulukan tindakan korektif pada mode kegagalan tersebut. RPN = Severity (S) x Occurance (O) x Detection (D).

11. Pembahasan

Pada tahap ini akan dilakukan analisa dan membahas tentang hasil yang didapat dari penerapan siklus DMAIC dari Six Sigma.

12. Kesimpulan dan Saran

Dari kesimpulan didapatkan usulan serta pemberian saran penelitian selanjutnya dan kepada perusahaan tentang upaya peningkatan kualitas produk.

13. Selesai

Langkah akhir atau penyelesaian dari suatu penelitian yang meliputi kegiatan seperti revisi dan legalisasi.


(63)

Dalam pengumpulan data selama penelitian, data yang dikumpulkan terbagi menjadi 2, yaitu:

1. Data Primer

Yaitu melakukan studi lapangan untuk mendapatkan data – data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Dimana aktifitas yang dilakukan adalah:

 Mencatat data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang

ada.

 Mencatat arsip – arsip lain yang dibutuhkan.

Metode pengambilan data yang dilakukan atau digunakan adalah:

a. Observasi langsung

Pengambilan data dengan cara melakukan pengamatan langsung dilapangan.

b. Interview

Dengan melakukan tanya jawab langsung pada pihak yang memiliki hubungan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Data Sekunder

Yaitu dengan mempelajari studi kepustakaan guna mempelajari buku – buku atau literatur – literatur menyangkut tentang teori yang dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi.


(64)

Data yang telah dikumpulkan berasal dari pengamatan yang tersaji dalam bentuk tabel, diagram dan lain – lain. Pengelompokan data – data tersebut berfungsi untuk memudahkan pembuatan laporan dan perhitungannya.

Macam – macam tabel, grafik, diagram yang tersaji sebagai berikut:

 Tabel konversi Six Sigma  Tabel data – data pengamatan

 Diagram sebab akibat (fishbone diagram)

 Dan lain – lain

Dalam tahap analisis menggunakan metode FMEA (Failure Mode and

Effect Analysis) yang dipergunakan setelah mendapatkan faktor yang

mempengaruhi cacat penyebab keluhan dengan tujuan didapatkan faktor mana yang memerlukan penangan lebih lanjut.


(65)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengumpulan Data

Tahap berikut setelah penetapan CTQ adalah menetapkan rencana pengumpulan data yang akan dilakulan pada tingkat output. Data yang akan dikumpulkan merupakan data yang bersifat diskrit atau attribute. Pengumpulan data pada tahap awal dilakukan dengan mengisi lembar pemeriksaan sesuai dengan kecacatan yang ditemukan pada saat pemeriksaan.

Data yang diambil adalah data selama 6 bulan (April – September 2009). Data dalam 6 bulan produksi produksi ditunjukkan pada Tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1. Data Kecacatan Dalam Satuan Cone Pada Bulan April – September 2009 Periode Benang kusut. Warna benang kotor Gulungan benang tidak rapi. Panjang benang Tidak sesuai Jumlah Kecacatan (Cone) Jumlah Pemeriksaan Produksi (Cone)

April 1 15 4 21 41 1691250

Mei 6 10 7 23 46 1691250 Juni 3 12 9 20 44 1691250

Juli 4 18 2 25 49 1691250

Agustus 2 9 5 18 35 1691250

September 2 11 3 22 38 1691250

Total 18 75 30 129 252 10147500


(66)

Keteranga : a. Benang kusut.

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kesalahan pada proses blowing.

b. Warna benang kotor.

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan proses blowing. c. Gulungan benang tidak rapi.

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kesalahan proses carding dan drafting.

d. Panjang benang yang tercantum dalam bobbin sama dengan panjang sebenarnya, kalaupun berbeda, paling banyak 5% merupakan cacat yang disebabkan oleh kesalahan proses winding.


(67)

4.2 Pengolahan Data

Pada bab ini berisi tentang proses pengolahan data dengan siklus Define, Measure, Analyze, Improve dan Control (DMAIC). Pertama adalah define, pada tahap ini dilakukan penetapan masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan. Selanjutnya pada tahap Measure dilakukan pengukuran Defect per Million Opportunities (DPMO). Pada tahap Analyze ditentukan kapabilitas prosesnya dan menentukan apakah penyebab terjadinya kecacatan pada produk yang diteliti. Kemudian setelah sumber-sumber penyebab terjadinya kecacatan teridentifikasi, maka pada tahap Improve dilakukan penetapan rencana perbaikan. Dan selanjutnya pada tahap akhir adalah tahap Control, yaitu menganalisa perubahan nilai sigma yang terjadi setelah dilakukan perbaikan proses.

4.2.1. Tahap Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu menentukan permasalahan kualitas mana yang akan diselesailan dengan metode Six Sigma. Pemilihan proyek Six Sigma harus sesuai dengan prioritas utama yang harus segera diselesaikan terlebih dahulu. Berdasarkan informasi yang telah di kumpulkan dari pihak perusahaan, benang merupakan produk yang dihasilkan dan yang akan jadi obyek dalam penelitian ini.


(68)

4.2.2. Tahap Measure

Measure merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini akan dilakukan pemilihan atau penetapan karakteristik kualitas kunci (CTQ) kunci dan melakukan pengumpulan data yang nantinya akan diolah untuk dijadikan sebagai Baseline kinerja. Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap measure yaitu:

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas kunci (Critical To Quality). 2. Melakukan pengumpulan data melalui suatu pengukuran yang akan dilakukan

pada tingkat output.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performence) pada tingkat output untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performence kinerja) pada awal proyek Six Sigma.

4.2.2.1. Menetapkan Karakteristik Kualitas Kunci (CTQ).

Penetapan karakteristik kualitas kunci (CTQ) berdasarkan jenis produk yang telah ditetapkan ada tahap Define, yaitu benang. Karakteristik kualitas kunci (CTQ) pada produk tersebut adalah sebagai berikut:

e. Benang kusut.

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kesalahan pada proses blowing.

f. Warna benang kotor.


(69)

g. Gulungan benang tidak rapi.

Merupakan jumlah cacat yang disebabkan oleh kesalahan proses carding dan drafting.

h. Panjang benang yang tercantum dalam bobbin sama dengan panjang sebenarnya, kalaupun berbeda, paling banyak 5% merupakan cacat yang disebabkan oleh kesalahan proses winding.

4.2.2.2. Pengukuran Baseline Kinerja

Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output dilakukan secara langsung pada produk akhir yang akan diserahkan kepada pelanggan. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output akhir dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan pedoman dasar untuk melakukan pengendalian dan peningkatan kualitas dari karakteristik output yang diukur. Hasil pengukuran pada tingkat output berupa data atribut, yang akan ditentukan kinerjanya menggunakan satuan pengukuran defect per million opportunities (DPMO) dan Kapabilitas Sigma (Nilai Sigma).

Berdasarkan data kecacatan yang ada di tabel 4.1 dapat dihitung DPMO dan Kapabilitas Sigma pada setiap periode produksi dijelaskan sebagai berikut:

2002) (Gaspersz,

000 . 000 . 1 _

_x BanyakCTQx

sa angDiPerik BanyaknyaY

ecacat BanyaknyaK

DPMO


(70)

 Bulan April 060 , 6 000 . 000 . 1 4 1691250 41 )

(  x

x April

DPMO

Berdasarkan Six Sigma conversion Table (Lampiran VI Tabel Konversi Six Sigma):

DPMO = 6.210 Sigma = 4, 00 DPMO = 6.037 Sigma = 4, 01

DPMO = 6.060 Sigma = ? (diperoleh dengan interpolasi) Interpolasinya sebagai berikut :

sigma Y Y Y _ 01 , 4 018670 ,. 4 008670 , 0 01 , 4 00 , 4 01 , 4 210 . 6 037 . 6 210 . 6 060 . 6 01 , 4                       

Data untuk perhitungan nilai DPMO bulan selanjutnya ada pada lampiran II perhitungan nilai DPMO.

Rangkuman hasil perhitungan DPMO dan Kapabilitas Sigma seperti dalam tabel 4.2 berikut:


(71)

Tabel 4.2. Nilai DPMO

Periode DPMO Kapabilitas Sigma

April 6.060 4,01

Mei 6.799 3,96

Juni 6.504 3,98

Juli 7.243 3,95

Agustus 5.173 4,06

September 5.617 4,04

Perhitungan interpolasi dapat dilihat pada lampiran II (Perhitunan Nilai DPMO).

Selengkapnya grafik Nilai DPMO dan grafik Nilai Sigma dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.2. Grafik Nilai DPMO & Grafik Nilai Sigma

Dari Gambar 4.2. dan tabel 4.2 menunjukkan pola DPMO kecacatan dan pencapaian Sigma yang belum konsisten. Walaupun level Sigma sudah cukup


(72)

tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain di Indonesia (namun belum mencapai level 6 Sigma ) dan masih bervariasi naik turun sepanjang periode waktu, sekaligus menunjukkan bahwa proses produksi di perusahaan belum dikelola secara konsisten. Apabila proses produksi dikendalikan dan di tingkatkan terus-menerus maka akan menunjukkan pola DPMO yang terus-terus-menerus menurun sepanjang waktu dan pola Kapabilitas Sigma yang meningkat terus-menerus menuju target nilai kegagalan nol (zero defect oriented) atau dalam skala Sigma mencapai 6 sigma.

4.2.3. Tahap Analyze

Analyze merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa hal berikut:

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan (capability) dari proses. 2. Mengidentifikasikan sumber-sumber dan akar penyebab kegagalan.

4.2.3.1 Kemampuan (Kapabilitas) Proses

Berdasarkan data kecacatan dan proses produksi yang ada pada tabel 4.1, dapat dihitung kapabilitas proses sebagai berikut:

(Gaspersz,2002) 000 . 000 . 1 _ _ ) ( x BanyakCTQ x sa angDiPerik BanyaknyaY ecacat BanyaknyaK Total DPMO


(73)

Jumlah cacat = 252 cone

Banyak CTQ = 4

2002) (Gaspersz, 000 . 000 . 1 _

_x BanyakCTQx

sa angDiPerik BanyaknyaY ecacat BanyaknyaK DPMO

= 1.000.000 4 252 10147500   = 1.006

Berdasarkan Six Sigma conversion Table (liat lampiran VI):

DPMO = 1.035 Sigma = 4, 58

DPMO = 1.001 Sigma = 4, 59

DPMO = 1.006 Sigma = ? (diperoleh dengan interpolasi) Interpolasinya sebagai berikut :

sigma Y Y Y _ 59 , 4 598529 , 4 008529 , 0 59 4, 58 4, 59 4, 035 . 1 001 . 1 035 . 1 006 . 1 59 4,                     

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa DPMO = 1.006 dan Kapabilitas Sigma = 4, 59. Untuk data yang bersifat atribut kita dapat menggunakan hasil analisis ini sebagai ukuran kemampuan proses yang sesungguhnya, sekaligus merupakan baseline kinerja untuk peningkatan selanjutnya.

Analisa untuk data atribut harus dilakukan menggunakan diagram Pareto untuk mengetahui CTQ potensial apa yang paling banyak menimbulkan


(74)

kegagalan. Hasil analisis Pareto untuk data kecacatan ditunjukkan dalam Tabel 4.4. dan digambarkan dalam diagram Pareto pada Gambar 4.3.

Berikut perhitungan untuk pembuatan diagram pareto pada proses pembuatan benang bulan april - september 2009 :

 Jenis kecacatan : 1. Benang kusut

Presentase = 1 x100%

ensiCacat TotalFreku

CTQ acat FrekuensiC

Frekuansi Cacat = 18 ( Di peroleh dari hasil rekapitulasi pemeriksaan

Produk benang).

Presentase = 1 x100%

ensiCacat TotalFreku

CTQ acat FrekuensiC

= 100% 7,14% 252

18

x

Untuk perhitungan jenis kecacatan yang lain berada di lampiran III perhitungan prosentase kumulatif.

Tabel 4.3. Prosentase Komulatif Untuk Analisis Pareto Bulan April – September

No. Jenis Cacat Jumlah Prosentase % Komulatif

1. Benang kusut.

18 7,14 7,14%

2. Warna benang

kotor 75

29,76 36,9% 3. Gulungan benang

tidak rapi. 30

11,90 48,8%


(1)

Tabel 4.5. Usulan Prioritas Tindakan Perbaikan

Prioritas

ke- Potential Problem Root Cause

Risk Potential Number

Usulan tindakan perbaikan

1 Kelelahan sehingga tidak sesuai dengan sop Ketelitian operator kurang 192 Penerapan peraturan karyawan 2 Volume cat tidak sesuai Penyerapan zat warna pada benang tidak

sempurna

180 Setting ukuran cat 3

Skill rendah Teknik pemintalan benang kurang 168 Pemberian pembelajaran untuk perbaikan skill

4 Pengaturan kecepatan bobbin tidak sesuai Terjadi perubahan akibat panas gesekan benang

150

Setting kecepatan putaran lebih tepat

5

Bahan baku jelek Operator kurang teliti 147 Peningkatan kualitas bahan baku. 6

Kecepatan penarikan serat terlalu cepat Seret kapas banyak yang putus

147 Setting putaran kurang tepat 7

Saat pencabutan benang penuh Benang tidak rapat 144 Pelatihan dan pembinaan pada operator 8 Kurang pengalaman Kurangnya pelatihan untuk operator 126 Mengadakan pelatihan untuk

operator secara berkala 9 Belum ada instruksi yang baku Peraturan yang kurang di pahami 126 Membuat peraturan lisan maupun

tulis

10 Pengaturan jarak roll tidak tepat Perubahan pengaturan akibat getaran mesin 70 Pengaturan jarak roll 11 Pencampuran warna tidak rata Zat warna te ralu kental 60 Pengaturan pencampuran warna 12

Lap yang dihasilkan mesin bowling tidak rata Penguraian kapas tidak sempurna

48 Setting waktu mesin blowing

13 Pengaturn spinning tidak sesuai Benang menjadi melintir 36 Setting spining

14 Pengaturan Kecepatan putaran spindle dan trafeller

tidak sesuai Benang berbulu akibat trafeller 12

Penyelesaian kecepatan mekanisme spindle dan trafeller


(2)

4.2.4.2. Pembahasan

Pengambilan data yang dilakukan peneliti pada bulan April – September 2009 menunjukkan adanya kecacatan pada benang, meliputi kecacatan:

1. Benang kusut (7,14%) 2. Warna benang kotor (36,9%)

3. Gulungan benang tidak rapi (11,90%) 4. Panjang benang tidak sesuai (51,19%)

Jumlah benang yang diproduksi dan diperiksa sebanyak 10,147,500 dan jumlah cacat yang telah teridentifikasi sebanyak 252 unit. Dari data tersebut dapat dihitung kapabilitas proses perusahaan dan diperoleh nilai 4, 00 Sigma.

Berdasarkan data diatas, cacat panjang benang tidak sesuai mendominasi kecacatan benang. Cacat panjang benang tidak sesuai disebabkan oleh kesalahan karena pengaturan kecepatan bobbin tidak sesuai, pengaturan kecepatan putaran spindle dan trafeller tidak sesuai, dan pengaturan spinning tidak sesuai semua terjadi oleh getaran mesin.

Dengan menggunakan alat Improve, Failure Mode dan Effect Analysis (FMEA), diperoleh urutan prioritas tindakan perbaikan yang diusulkan sebagai berikut:

1. Penerapan aturan kerja. 2. Setting ukuran cat.

3. Pemberian pembelajaran untuk perbaikan skill. 4. Setting kecepatan putaran lebih tepat.


(3)

6. Setting putaran kurang tepat.

7. Pelatihan dan pembinaan pada operator.

8. Mengadakan pelatihan untuk operator secara berkala. 9. Pelatihan dan pembinaan pada operator.

10.Pengaturan jarak roll.

11. Pengaturan pencampuran warna. 12. Setting waktu mesin blowing. 13. Setting spining.

14. Penyelesaian kecepatan mekanisme spindle dan trafeller.

Dengan melakukan tindakan perbaikan secara terus menerus sesuai dengan prioritas yang telah diusulkan maka pada tahun-tahun mendatang diharapkan terdapat peningkatan kualitas benang hingga mencapai 6 Sigma

4.2.5. Tahap Control

Pada tahap ini merupakan tahap operasional terakhir. Tetapi pada penelitian ini tidak dapat melaksanakan kontrol karena pada tahap improve hanya sebatas usulan saja.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Segoro Ecomulyo Textil, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Setelah dilakukan perhitungan dengan metode six sigma, diperoleh bahwa nilai DPMO sebesar 1,006 dengan rata – rata kemampuan / kapabilitas sigma pelayanan selama bulan April sampai dengan September 2009 sebesar 4, 59 sigma. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan pelayanan belum optimal.

2. Usulan tindakan perbaikan dilakukan berdasarkan prioritas Risk Potensial Problem (RPN) yang diurutkan dengan nilai RPN yang terbesar. Sehingga diketahui sebagai prioritas:

a) Ketelitian operator kurang yang mempunyai nilai RPN 192 maka untuk mengatasi masalah tersebut tindakan yang harus di lakukan dengan penerapan peraturan karyawan.

b) Volume cat tidak sesuai dengan nilai RPN 180 maka untuk mengatasi masalah tersebut tindakan yang harus di lakukan dengan setting ukuran cat.

c) Tehnik pemintalan kurang dengan nilai RPN sebesar 168 maka untuk mengatasi masalah tersebut tindakan yang harus di lakukan adalah pemberian pembelajaran untuk perbaikan skill.


(5)

5.2 Saran

1. Adapun saran yang dapat di bedakan pada pokok permasalahan adalah sebagai berikut:

b) Perbaikan yang dilakukan hendaknya mengikuti prioritas yang telah diusulkan dan mampu dilaksanakan perusahaan dalam waktu dekat.

c) Perbaikan yang dilakukan pada periode selanjutnya melibatkan semua departemen yang terkait di perusahaan agar tujuan menekan kegagalan pelayanan dapat dilaksanakan secara efektif.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bain, David, The Productivity Prescription, Mc Graw-Hill Book Company, 1982.

Baridwan, Zaki. Dr, Intermediate Accounting,BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta,2000.

Gaspersz, Vincent, Manajemen Produktivitas Total : Strategi Peningkatan Produktivitas Bisnis Global, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998. Parung, Joniarto, Analisis Produktivitas, Diktat Kuliah, Laboratorium Analisis

Perencanaan Kerja dan Ergonomi Universitas Surabaya, 1999.

Ravianto, J, Produktivitas dan Pengukuran, PT Binaman Teknika Aksara, Jakarta, 1986.

Sinungan, Drs Muchdarsyah , Produktivitas Apa Dan Bagaimana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2000.

Sumanth, David J., Productivity Engineering and Management, McGraw – Hill Book Company, 1984.

Syarif, Rusli. Ir, Produktivitas, Angkasa, Bandung, 1987