Is there Any Anomali between Economic Growth and Employment Rate?
0
ADAKAH ANOMALI HUBUNGAN ANTARA
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN
PENYERAPAN TENAGA KERJA?
SYAFI’I NUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
(2)
(3)
2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Syafi’i Nur H151064104
(4)
iii Halaman ini sengaja dikosongkan
(5)
iv ABSTRACT
SYAFI’I NUR. Is there Any Anomali between Economic Growth and Employment Rate? Under the direction of HERMANTO SIREGAR and DJONI HARTONO.
Economic growth expands the material base for the fulfillment of human needs. The extent to which these needs are met depends on the allocation of resources among people and uses and the distribution of opportunities, particularly employment. This research examines whether there is anomaly links between economic growth and employment rate for provinces in Indonesia with various economic performance over 2002-2009 periods. Using panel data models, economic growth, and employment rate as expressed in the econometric function of regional GDP, macroeconomic indicators, educational level and regional minimum wage.
The main result is the long run coefficient of regional GDP has positive impact to the strong and week links provinces categories (quadrants I and III) and the unbalanced links (quadrants II and IV). It explains that economic growth has links to employment rate and indicating that there is a key link back. The link between them is not automatic. The link can be strengthened through sensible policy actions that can make them mutually reinforcing. When the links are strong, they contribute to each other,but when the links are weak or broken, they can become mutually stifling as the absence of one undermines the other. Unbalanced links are the results of rapid employment rate with little growth or of fast growth with slow employment rate.
In the long run, economic growth and employment rate generally move together and tend to be mutually reinforcing. This research also analyzes the response of contribution of sectors to the regional GDP and educational level affected to employment rate, and indicating a change in trend of employment rate. Hence, when the economic growth is positive and inelastic, it means the response of economic growth to change employment rate is relatively low. However, the estimation results are also show that the labor elasticity is positive and tends to decrease over time. Here, the estimation value of economic growth varies across provinces where the strong and weak links have higher elasticity then the unbalanced links.
Keywords: economic growth, employment rate, panel data, regional minimum wage, labor elasticity.
(6)
v Halaman ini sengaja dikosongkan
(7)
vi RINGKASAN
SYAFI’I NUR. Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja? Dibimbing oleh Hermanto Siregar dan Djoni Hartono.
Pertumbuhan ekonomi memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Sejauh mana kebutuhan ini dipenuhi tergantung pada kemampuan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di antara masyarakat dan distribusi pendapatan serta kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan anomali antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia dengan menggunakan data panel PDRB, indikator makroekonomi, pendidikan dan UMR periode 2002-2009.
Untuk mencapai tujuan penelitian, digunakan model analisis yaitu: (1) Pooled Least Square (PLS), (2) Fixed Effect Model (FEM) dan (3) Random Effect Model
(REM). Selanjutnya, dari hasil estimasi ketiga model tersebut, akan dilakukan beberapa uji statistik untuk melihat model yang lebih valid diantara ketiganya. Uji-uji tersebut antara lain: (i) Uji Chow (uji F), untuk menentukan model yang lebih valid antara model PLS dengan FEM; (ii) Uji Breusch Pagan LM, untuk menentukan model yang lebih valid antara model PLS dengan REM; dan (iii) Uji Hausman, untuk menentukan model yang lebih valid antara model FEM dengan REM. Dari hasil Uji Hausman menunjukkan bahwa Model REM lebih “appropriate” daripada FEM. Langkah selanjutnya dilakukan identifikasi kondisi matrik varians covarians residualuntuk menghindari bias dari model terpilih apabila terdapat heteros-kedastisitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, PDRB dan pendidikan mempunyai dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Hasil estimasi ini konsisten sesuai dengan teori pertumbuhan ekonomi yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah akan diikuti oleh tingkat penyerapan tenaga kerja, tidak secara langsung tapi ada “lag”. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi sektor mempunyai dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja di semua wilayah. Hanya saja kontribusi sektor di wilayah Kuadran I dan II lebih banyak dibandingkan dengan di wilayah Kuadran II dan IV. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadi anomali antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja pada beberapa provinsi di wilayah Kuadran IV. Terjadinya anomali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pertumbuhan sektoral semakin melebar, sektor riil (manufaktur, pertanian dan pertambangan) tumbuh lambat. Sementara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa tumbuh cepat. Dari sisi konsumsi, PDB Indonesia maupun PDRB provinsi masih di drive oleh konsumsi rumah tangga (sekitar 61-67 persen), sementara komponen investasi masih minim.
Anomali antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja terjadi dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja atau menurunkan pengangguran. Kondisi ini akan tercapai hanya jika kebijakan pemerintah dan dunia usaha yang relevan disertai dengan adanya aturan perundang-undangan yang dapat direalisasikan secara efektif dalam menyerap tenaga
(8)
vii
kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang antara lain share PDRB dan pendidikan. Kedua indikator ini sangat penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja dimasa mendatang.
Masalah-masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimenasional, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga penyelesaiannya menuntut arah kebijaksanaan serta pendekatan yang multi-dimensional pula. Masalah-masalah ketenagakerjaan tidak dapat diatasi oleh suatu kebijakan tunggal atau merupakan tanggung jawab satu kementrian tertentu. Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility) (Bappenas,2003).
Pemerintah pusat maupun daerah perlu merumuskan strategi kebijakan yang serasi agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai lebih “ramah” terhadap tenaga kerja. Pertumbuhan sektor riil perlu dipacu dengan memberikan kemudahan dalam iklim investasi dan perijinan berusaha. Berbagai macam peraturan daerah yang semata-mata hanya mengejar target pendapatan daerah (PAD) perlu ditinjau ulang kalau perlu dihapus bila peraturan itu malah jadi faktor penghambat dalam berinvestasi. Pemerintah harus memposisikan sektor pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan karena merupakan pilar utama dalam meningkatkan kualitas SDM.
Kata kunci: Pertumbuhan ekonomi, Penyerapan tenaga kerja, Data Panel, Indikator makroekonomi, Upah Minimum Regional, Elastisitas tenaga kerja.
(9)
viii © Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(10)
ix Halaman ini sengaja dikosongkan
(11)
x
ADAKAH ANOMALI HUBUNGAN ANTARA
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN
PENYERAPAN TENAGA KERJA?
SYAFI’I NUR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(12)
xi Halaman ini sengaja dikosongkan
(13)
xii Judul Penelitian :Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?
Nama Mahasiswa : Syafi’i Nur Nomor Pokok : H151064104 Program studi : Ilmu Ekonomi
Menyetujui, 1.Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Dr. Djoni Hartono, S.Si, .MSi
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi Dr. Ir. Darul Syah, M.Sc. Agr
(14)
xiii
(15)
xiv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah dan hidayah-Nya sehingga penyusunan penelitian ini dapat menyelesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Adakah Anomali Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Djoni Hartono, SSi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Ibu Dr. Ir. Lukitawaty A., M.Si selaku Sekretaris Program Studi. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan data, modeling sampai dengan selesainya penelitian ini.
Akhirnya, harapan besar penulis adalah penelitian ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan.
Jakarta, Juni 2011 Penulis,
(16)
xv Halaman ini sengaja dikosongkan
(17)
xvi RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 6 Pebruari 1965 dari ayah Ahmad Nurhasyim dan ibu Rahayu. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Suratmi dan dikaruniai tiga anak yaitu Irvan Makarimi Ramadhan, Salsabilla Dwiyani Regita Cahyani dan Naufal Ahmad Siammy.
Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Serangan, Bonang, Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1976, dilanjutkan di SMP Pemda Bonang, Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1980 serta dilanjutkan di SMAN Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1983. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka (UT) sambil bekerja di Badan Pusat dan menyelesaikan gelar sarjana statistika pada tahun 1992.
Pada tahun 2006, penulis mendapat ijin belajar dari BPS untuk melanjutkan pendidikan program Pascasarjana, Magister Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.
(18)
xvii Halaman ini sengaja dikosongkan
(19)
i DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………... i
DAFTAR TABEL………... v
DAFTAR GAMBAR………... vii
DAFTAR LAMPIRAN………... ix
I. PENDAHULUAN……… 1
1.1Latar Belakang ………... 1
1.2 Permasalahan………... 11
1.3 TujuanPenelitian………... 14
1.4 Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian……….. 14
II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 15
2.1 Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapaan Tenaga Kerja……….………….. 15
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi………... 16
2.3 Ketenagakerjaan………... 19
2.4 Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth). 19 2.5 Faktor-faktor Peneybab Penyerapan Tenaga Kerja……… 21
2.5.1 Perubahan Demografi………... 21
2.5.2 Hambatan Sosial Ekonomi……….………... 23
2.5.3 Komposisi Industri……….………... 24
2.5.4 Kekakuan Upah………... 24
2.5.5 Waktu Mencari Pekerjaan………... 26
2.6 Kajian Studi Terdahulu………... 26
III. METODOLOGI PENELITIAN………. 31
3.1 Kerangka Konseptual……… 31
3.2 Hipotesis Penelitian……….. 34
3.3. Sumber Data…..……….. 35
3.4 Jenis Data……….. 36
3.5. Metoda Analisis ……….. 37
3.5.1 Metoda Analisis Deskriptif……… 37
3.5.2 Metoda Analisis Ekonometrika……….. 38
3.5.2.1 Penyusunan Model..……… 39
(20)
ii Halaman
IV. POTENSI WILAYAH………. 45
4.1 Penduduk dan Masalah Ketenagakerjan……….. 45
4.2 Kondisi Makro Ekonomi……….. 56
4.3. Peranan Pendidikan……….. 59
4.4. Upah Minimum Regional ………..……….. 61
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 65
5.1 Analisis Deskriptif…..……… 65
5.1.1 Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja dan Anomali..………..…… 65
5.1.2 Elastisitas…..…….………... 67
5.1.3 Plotting Kuadran………. 69
5.2 Analisis Ekonometrika……….………. 79
5.2.1 Hasil Estimasi Koefisien Model Kelompok Kuadran………… 79
5.2.1.1 Wilayah Kuadran I dan III (Hubungan Kuat/Lemah).. 79
5.2.1.2 Wilayah Kuadran II dan IV (Hubungan Tidak Seimbang)………. 81
5.2.2 Pemilihan Model Persamaan……….………. 82
5.2.3 Analisis Lintas Sektor dan Respon Variabel………. 83
5.2.3.1 Respon Penduduk……….……….. 83
5.2.3.2 Respon PDRB…..…….……….. 84
5.2.3.3 Respons Share Sektor... 84
5.2.3.4 Respons Variabel Pendidikan..……… 84
5.2.3.5 Respons UMR ……….…. 85
5.2.3.6 Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ... 85
5.2.4 Analisis Lintas Sektor menurut Wilayah Kuadran………. 85
5.2.4.1 Wilayah Kuadran I…….………….……….. 86
5.2.4.2 Wilayah Kuadran II….………….……….. 88
5.2.4.3 Wilayah Kuadran III….………….……….. 89
5.2.4.4 Wilayah Kuadran IV….………….……….. 91
5.2.5 Pengujian Statistik………..…………. 93
5.2.6 Penyebab Anomali………..……… 98
5.2.7 Respon Tenaga Kerja Terhadap PDRB………..…………. 99
5.3 Pembahasan Anomali Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja ………….……….. 100
(21)
iii Halaman
VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 105
6.1 Kesimpulan ………..……… 105
6.2 Implikasi Kebijakan……….. 105
6.3. Saran……….. 107
(22)
iv Halaman ini sengaja dikosongkan
(23)
v DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Pertumbuhan PDRB menurut provinsi, 2002-2009………. 4 2 Tingkat penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002…………... 7 3 Tingkat penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2009…………... 8 4 Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menurut provinsi,
2002-2009……… 9
5 Variabel yang digunakan dalam analisis………. 36 6 Jumlah penduduk dan jumlah penduduk yang bekerja
menurut provinsi, 2002-2009……... 47 7 Jumlah dan persentase pekerja menurut sektor…………..…………. 48 8 Persentase kontribusi sektor terhadap PDRB menurut
provinsi, 2002……….. 49 9 Persentase kontribusi sektor terhadap PDRB menurut
Provinsi, 2009……….. 50 10 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Pertanian
menurut provinsi, 2002-2009………... 51 11 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Industri
menurut provinsi, 2002-2009………... 53 12 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Perdagangan
menurut, 2002-2009………. 55
13 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Jasa
menurut, 2002-2009………. 56
14 Inflasi menurut provinsi, 2002-2009……… 58 15 Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan tingkat
suku bunga, 2002-2009……… 59
16 Persentase tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan
SD dan SMP menurut provinsi, 2002-2009………. 60 17 Persentase tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan
SMA dan Perguruan Tinggi/Universitas menurut provinsi,
(24)
vi
Tabel Halaman
18 Upah Minimum Regional (UMR) menurut provinsi,
2002-2009……… 63
19 Rata-rata pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan
elastisitas tenaga kerja menurut provinsi, 2002-2009………. 66 20 Rata-rata pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan
elastisitas tenaga kerja Indonesia, 2002-2009………. 68 21 Hasil plotting antara rata-rata pertumbuhan PDRB dan
pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, 2002-2009………. 71 22 Rata-rata pertumbuhan PDRB menurut sektor dan wilayah,
2002-2009……… 73
23 Penyerapan tenaga kerja menurut sektor dan wilayah,
2002-2009 ... 75 24 Pertumbuhan penduduk menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan dan wilayah, 2002-2009... 76 25 Pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan elastisitas
tenaga kerja menurut wilayah, 2002-2009... 78 26 Hasil estimasi koefisien Data Panel (Kuadran I dan III)………. 80 27 Hasil estimasi koefisien Data Panel (Kuadran II dan IV) ... 81 28 Beberapa indikator sosial ekonomi Kuadran I 2002-2009... 86 29 Hasil estimasi koefisien data panel Kuadran I…... 87 30 Beberapa indikator sosial ekonomi Kuadran II, 2002-2009... 88 31 Hasil estimasi koefisien data panel Kuadran II... 89 32 Beberapa indikator sosial ekonomi Kuadran III, 2002-2009... 90 33 Hasil estimasi koefisien data panel Kuadran III... 91 34 Beberapa indikator sosial ekonomi Kuadran IV, 2002-2009... 92 35 Hasil estimasi koefisien data panel Kuadran IV... 92 36 Hasil estimasi koefisien data panel fungsi produksi agregat... 100
(25)
vii DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Pertumbuhan PDB Indonesia selama 26 tahun terakhir,
1983-2009………. 3
2 Tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia 1983-2009………... 5 3 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja, 2002-2009…... 12 4 Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan
ketenagakerjan ………... 16 5 Grafik keseimbangan pasar tenaga kerja…..……….. 25 6 Kerangka operasional penelitian.……….. 34
7 Wilayah plotting kuadran.………... 38
8 Distribusi PDB menurut sektor, 2009………... 52 9 Wilayah plotting kuadran………... 67 10 Plotting pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja,
2002-2009 ... 70 11 Peta tematik pertumbuhan PDRB dan penyerapan tenaga kerja,
2002-2009 ... 72 12 Rata-rata pertumbuhan PDRB menurut sektor dan wilayah,
2002-2009 ... 74 13 Penyerapan tenaga kerja menurut sektor dan wilayah,
2002-2009 ... 75 14 Pertumbuhan penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan
dan wilayah, 2002-2009 ... 77 15 Pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan elastisitas
tenaga kerja menurut wilayah, 2002-2009... 79 16 Pertumbuhan PDB menurut sektor, 2009... 99
(26)
viii Halaman ini sengaja dikosongkan
(27)
1 I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesejahteraan penduduk berkaitan erat dengan pendapatan yang diperoleh rumah tangga. Dalam welfare economics, pendapatan rumah tangga tidak terlepas dari masalah ketenagakerjaan dalam arti pendapatan ataupun penghasilan yang diperoleh rumah tangga berkaitan dengan usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga. Dengan pendapatan yang diperoleh maka rumah tangga akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyekolahkan anggotanya. Melalui salah satu jalur pendidikan inilah maka sumber daya manusia dapat ditingkatkan sehingga mempunyai kesempatan lebih besar untuk memperoleh pekerjaan.
Pertumbuhan ekonomi memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Tetapi sejauh mana kebutuhan ini dipenuhi tergantung pada kemampuan negara atau pemerintah dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di antara masyarakat dan distribusi pendapatan serta kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan sarana utama untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan manusia yang secara empirik terbukti merupakan syarat perlu (necessary condition) tetapi tidak cukup (sufficient condition) bagi pembangunan manusia. Dalam hal ini ketenagakerjaan merupakan jembatan utama yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kapabilitas manusia (UNDP, 19961). Dengan perkataan lain, yang diperlukan bukan semata-mata pertumbuhan tetapi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dalam arti berpihak kepada tenaga kerja.
Selama bertahun-tahun pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utama bagi para pemimpin politik dan pengambil keputusan berdasarkan suatu pandangan bahwa semakin banyak distribusi barang-barang dan jasa akan meningkatkan derajat hidup masyarakat. Pertumbuhan ekonomi sering kali dipandang sebagai solusi untuk memecahkan permasalahan lain seperti meningkatnya jumlah pencari
1
United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 1996. Chapter 2 halaman 56-65
(28)
2 kerja maupun untuk mengurangi defisit anggaran. Perkembangan selanjutnya muncul pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan yang sangat berarti? ataukah pembangunan manusia melalui suatu ―jembatan‖ yang disebut dengan penyerapan tenaga kerja merupakan tujuan riil yang ingin dicapai? Jika tujuan dari pembangunan adalah pembangunan manusia, maka pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak semata-mata diukur sebagai semakin melimpahnya barang produksi, tetapi bagaimana pembangunan itu sendiri dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat khususnya dalam menyerap tenaga kerja.
Perkembangan selanjutnya ditandai munculnya suatu keraguan terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi bukan merupakan jawaban untuk menyelesaikan semua masalah. Hal ini bukan tanpa alasan tetapi didasari fakta bahwa sebagian masyarakat tetap miskin meskipun hidup ditengah-tengah lingkungan kemewahan. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga terjadi pada negara-negara yang sudah maju. Berdasarkan bukti empirik menunjukkan bahwa suatu wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun mempunyai tingkat pengangguran yang juga tinggi. Dalam kasus ini, pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah kurang menciptakan lapangan kerja. Hal inilah kemudian menimbulkan perdebatan antara kelompok yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang disebut ―pro-growth‖ dan kelompok yang menentang atau yang ―anti-growth‘. Pertumbuhan ekonomi selayaknya dipandang tidak hanya dari sisi kuantitas tetapi yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan pertumbuhan yang berkualitas? Lalu bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi dilihat dalam perpektif wilayah yang lebih kecil misalnya pada tingkat provinsi? Apakah semua provinsi mempunyai pola pertumbuhan ekonomi sama dengan pola nasional? Apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh provinsi dapat menyerap tenaga kerja? Atau pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran?
Untuk menjawab pertanyaan besar ini diperlukan penelitian yang mendalam antara faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan
(29)
3 penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia selama kurun waktu tertentu. Penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan diatas berdasarkan tren data tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja.
Sejarah perkembangan perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dan sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun ekternal. Kondisi politik dan keamanan dalam negeri sangat berpengaruh terhadap pembangunan dibidang ekonomi. Demikian pula faktor eksternal, bila terjadi goncangan ekonomi utamanya di negara maju maka dampaknya akan terasa terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Setelah mengalami pertumbuhan yang luar biasa selama 1970-1996, ekonomi Indonesia mengalami krisis mulai pertengahan tahun 1997. Kondisi ini membuat tekanan terhadap sektor ekonomi semakin berat. Pada tahun 1998, Produk Domestik Bruto (PDB) atau Growth Domestic Product (GDP) turun menjadi 13 persen (minus) setelah mengalami pertumbuhan 4,7 persen pada tahun 1997. Pada waktu yang bersamaan inflasi turun dari 6,6 persen menjadi 77,7 persen (lihat Grafik 1.1).
Grafik 1.1: Pertumbuhan PDB Indonesia selama 26 tahun terakhir, 1983-2009 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
(30)
4 Tabel 1.1: Pertumbuhan PDRB menurut provinsi, 2002-2009
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Catatan: Provinsi-provinsi baru yang belum terbentuk pada tahun 2002 seperti Sulawesi Barat digabung dengan provinsi induknya Sulawesi Selatan, Provinsi Kepulauan Riau digabung dengan Riau dan Provinsi Papua Barat digabung dengan Papua
Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata Aceh 20,07 5,52 -9,63 -10,12 1,56 -2,36 -5,27 -5,58 -0,73 Sumatera Utara 4,56 4,81 5,74 5,48 6,20 6,90 6,39 5,07 5,65 Sumatera Barat 4,69 5,26 5,47 5,73 6,14 6,34 6,37 4,16 5,52
Riau 2,62 3,64 4,70 5,99 5,96 5,21 6,15 3,21 4,68
Jambi 5,86 5,00 5,38 5,57 5,89 6,82 7,16 6,37 6,01
Sumatera Selatan 3,08 3,68 4,63 4,84 5,20 5,84 5,07 4,10 4,55 Bengkulu 4,73 5,37 5,38 5,82 5,95 6,46 4,93 4,04 5,33 Lampung 5,62 5,76 5,07 4,02 4,98 5,94 5,26 5,07 5,22 Bangka Belitung 6,75 11,93 3,28 3,47 3,98 4,54 4,49 3,53 5,25 DKI Jakarta 4,89 5,31 5,65 6,01 5,95 6,44 6,22 5,01 5,68 Jawa Barat 3,76 4,67 4,77 5,60 6,02 6,48 5,84 4,29 5,18 Jawa Tengah 3,55 4,98 5,13 5,35 5,33 5,59 5,46 4,71 5,01 DI. Yogyakarta 4,50 4,58 5,12 4,73 3,70 4,31 5,02 4,39 4,54 Jawa Timur 3,80 4,78 5,83 5,84 5,80 6,11 5,94 5,01 5,39
Banten 4,11 5,07 5,63 5,88 5,57 6,04 5,77 4,69 5,35
Bali 3,04 5,57 4,62 5,56 5,28 5,92 5,97 5,33 5,16
Nusa Tenggara Barat 3,51 3,90 6,07 1,71 2,77 4,91 2,63 8,99 4,31 Nusa Tenggara Timur 4,88 4,57 4,77 3,46 5,08 5,15 4,81 4,24 4,62 Kalimantan Barat 4,55 3,12 4,79 4,69 5,23 6,02 5,42 4,76 4,82 Kalimantan Tengah 5,30 4,91 5,56 5,90 5,84 6,06 6,16 5,48 5,65 Kalimantan Selatan 3,80 4,37 5,12 5,06 4,98 6,01 6,23 5,01 5,07 Kalimantan Timur 1,74 1,86 1,75 3,17 2,85 1,84 4,79 2,32 2,54 Sulawesi Utara 3,32 3,20 4,26 5,35 5,72 6,47 7,56 7,85 5,46 Sulawesi Tengah 5,62 6,21 7,15 7,57 7,82 7,99 7,76 7,66 7,22 Sulawesi Selatan 4,14 4,32 5,56 3,02 6,81 6,88 8,16 6,12 5,63 Sulawesi Tenggara 6,66 7,57 7,51 7,31 7,68 7,96 7,27 7,57 7,44 Gorontalo 6,45 6,88 6,93 7,19 7,30 7,51 7,76 7,54 7,19
Maluku 2,87 4,31 4,43 5,07 5,55 5,62 4,23 5,43 4,69
Maluku Utara 2,44 3,82 4,71 5,10 5,48 6,01 5,98 6,02 4,94 Papua 5,11 3,70 -7,57 21,60 -6,29 5,64 3,28 13,30 4,85 Indonesia 4,78 4,86 4,25 5,69 5,50 6,35 6,01 4,55 5,25
(31)
5 Mulai 1999, kondisi ekonomi mulai menunjukkan pemulihan secara perlahan. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 3,5 persen pada tahun 2001 naik menjadi 4,1 persen pada tahun 2003 dan pada tahun 2009 diperkirakan PDB tumbuh sekitar 4,5 persen (lihat Tabel 1.1). Bila dilihat pada tataran provinsi maka pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 sangat bervariasi, yang terendah adalah Provinsi Aceh sebesar -5,58 persen (tanda minus mengalami penurunan) dan yang tertinggi Provinsi Nusa Tengara Barat sebesar 8,99 persen2. Tumbuhnya ekonomi secara moderat lebih banyak didorong karena faktor konsumsi, berupa belanja oleh pemerintah maupun swasta. Kondisi ini tidak didiiringi dengan penciptaan lapangan kerja baru dengan kata lain pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum optimal untuk menyerap tenaga kerja seperti yang diharapkan. Grafik 1.2 mengilutrasikan kondisi tersebut.
Grafik 1.2: Tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia, 1983-2009 Sumber: BPS
Pertumbuhan ekonomi yang lambat pulih tersebut diiringi dengan tingkat penduduk yang bekerja yang cenderung menurun merupakan permasalahan utama di sektor ketenagakerjaan. Walaupun laju pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sekitar 4,5 persen, namun hal tersebut belum secara nyata dapat meningkatkan
2
Provinsi-provinsi dengan rata-rata tingkat pertumbuhan PDRB diatas 7 persen akan dibahas dalam penjelasan berikutnya
(32)
6 daya serap tenaga kerja. Teori ekonomi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang menunjukkan semakin banyaknya output nasional mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja, sehingga seharusnya mengurangi pengangguran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi disisi lain tingkat penyerapan tenaga kerja relatif rendah?
Periode setelah krisis terdapat karakteristik seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi dan masih tingginya tingkat pengangguran sebagai dampak dari rendahnya dan turunnya investasi. Tantangan pemerintah saat ini adalah bagaimana meningkatkan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tetapi berpihak kepada tenaga kerja sehingga secara terus-menerus akan dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014 dengan target mengurangi tingkat pengangguran dari 8 persen tahun 2009 menjadi 5-6 persen pada tahun 2014 serta pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5 persen tahun 2009 naik menjadi sekitar 6,3-6,8 persen per tahun dan kemiskinan akan berkurang dari 17 persen pada tahun 2009 menjadi 8-10 persen pada tahun 2014. Semua sasaran kuantitatif itu tampaknya harus dicapai dengan kerja keras. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 berkisar 4,5 persen, sementara angka pengangguran menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2009 masih sekitar 7,9 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah sekitar 113,8 juta jiwa.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja juga mengalami keanikan selama kurun waktu tersebut. Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 menunjukkan persentase penduduk yang bekerja untuk tingkat nasional sebesar 90,9 persen tahun 2002 naik menjadi 92,1 persen tahun 2009. Selama kurun waktu 2002-20093 tersebut jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan sebesar 1,94 persen per tahun. Bila dilihat pada tataran provinsi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sangat bervariasi mulai dari yang
3
(33)
7 2002
Bekerja Pengangguran Total Penyerapan Tenaga Kerja
Aceh 1.452.258 149.652 1.601.910 90,7
Sumatera Utara 4.894.694 562.209 5.456.903 89,7 Sumatera Barat 1.712.032 182.148 1.894.180 90,4
Riau 2.032.087 215.157 2.247.244 90,4
Jambi 1.094.331 67.092 1.161.423 94,2
Sumatera Selatan 3.141.774 278.586 3.420.360 91,9
Bengkulu 749.490 51.636 801.126 93,6
Lampung 3.033.305 275.253 3.308.558 91,7
Bangka Belitung 400.872 22.142 423.014 94,8 DKI Jakarta 3.267.526 549.356 3.816.882 85,6 Jawa Barat 14.417.739 2.191.531 16.609.270 86,8 Jawa Tengah 15.154.856 1.081.694 16.236.550 93,3 DI. Yogyakarta 1.644.190 90.436 1.734.626 94,8 Jawa Timur 17.011.512 1.168.461 18.179.973 93,6
Banten 3.217.192 530.060 3.747.252 85,9
Bali 1.774.315 84.047 1.858.362 95,5
Nusa Tenggara Barat 1.868.188 139.354 2.007.542 93,1 Nusa Tenggara Timur 1.852.866 84.181 1.937.047 95,7 Kalimantan Barat 1.883.117 176.485 2.059.602 91,4 Kalimantan Tengah 845.594 57.625 903.219 93,6 Kalimantan Selatan 1.449.882 147.193 1.597.075 90,8 Kalimantan Timur 1.014.525 135.193 1.149.718 88,2 Sulawesi Utara 797.923 102.182 900.105 88,6 Sulawesi Tengah 986.541 86.505 1.073.046 91,9 Sulawesi Selatan 3.084.382 432.035 3.516.417 87,7 Sulawesi Tenggara 792.727 72.006 864.733 91,7
Gorontalo 285.966 43.392 329.358 86,8
Maluku 445.097 39.108 484.205 91,9
Maluku Utara 271.713 48.909 320.622 84,7
Papua 1.070.472 68.476 1.138.948 94,0
Indonesia 91.647.166 9.132.104 100.779.270 90,9 Provinsi
terendah sekitar 0,25 persen untuk Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan yang tertinggi sebesar 5,68 persen per tahun untuk Gorontalo.
Tabel 1.2:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002
(34)
8 Tabel 1.3:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2009
Sumber: Sakernas 2009. BPS
2009
Bekerja Pengangguran Total Penyerapan
Tenaga Kerja
Aceh 1.732.561 165.361 1.897.922 91,3
Sumatera Utara 5.765.643 532.427 6.298.070 91,5
Sumatera Barat 1.998.922 173.080 2.172.002 92,0
Riau 2.693.813 248.818 2.942.631 91,5
Jambi 1.260.592 73.904 1.334.496 94,5
Sumatera Selatan 3.196.894 263.471 3.460.365 92,4
Bengkulu 787.308 42.141 829.449 94,9
Lampung 3.387.175 239.980 3.627.155 93,4
Bangka Belitung 506.284 33.126 539.410 93,9
DKI Jakarta 4.118.390 569.337 4.687.727 87,9
Jawa Barat 16.901.430 2.079.830 18.981.260 89,0
Jawa Tengah 15.835.382 1.252.267 17.087.649 92,7
DI. Yogyakarta 1.895.648 121.046 2.016.694 94,0
Jawa Timur 19.305.056 1.033.512 20.338.568 94,9
Banten 3.704.778 652.462 4.357.240 85,0
Bali 2.057.118 66.470 2.123.588 96,9
Nusa Tenggara Barat 1.967.380 131.258 2.098.638 93,7
Nusa Tenggara Timur 2.160.733 89.395 2.250.128 96,0
Kalimantan Barat 2.081.211 119.684 2.200.895 94,6
Kalimantan Tengah 998.967 48.435 1.047.402 95,4
Kalimantan Selatan 1.705.905 115.812 1.821.717 93,6
Kalimantan Timur 1.302.772 158.224 1.460.996 89,2
Sulawesi Utara 940.173 110.957 1.051.130 89,4
Sulawesi Tengah 1.149.718 66.009 1.215.727 94,6
Sulawesi Selatan 3.710.336 337.728 4.048.064 91,7
Sulawesi Tenggara 950.876 47.319 998.195 95,3
Gorontalo 420.962 26.351 447.313 94,1
Maluku 533.015 63.015 596.030 89,4
Maluku Utara 393.834 28.564 422.398 93,2
Papua 1.407.787 72.634 1.480.421 95,1
Indonesia 104.870.663 8.962.617 113.833.280 92,1
(35)
9
2002 2009
Aceh 1.452.258 1.732.561 2,55
Sumatera Utara 4.894.694 5.765.643 2,37
Sumatera Barat 1.712.032 1.998.922 2,24
Riau 2.032.087 2.693.813 4,11
Jambi 1.094.331 1.260.592 2,04
Sumatera Selatan 3.141.774 3.196.894 0,25
Bengkulu 749.490 787.308 0,71
Lampung 3.033.305 3.387.175 1,59
Bangka Belitung 400.872 506.284 3,39
DKI Jakarta 3.267.526 4.118.390 3,36
Jawa Barat 14.417.739 16.901.430 2,30
Jawa Tengah 15.154.856 15.835.382 0,63
DI. Yogyakarta 1.644.190 1.895.648 2,05
Jawa Timur 17.011.512 19.305.056 1,82
Banten 3.217.192 3.704.778 2,04
Bali 1.774.315 2.057.118 2,14
Nusa Tenggara Barat 1.868.188 1.967.380 0,74
Nusa Tenggara Timur 1.852.866 2.160.733 2,22
Kalimantan Barat 1.883.117 2.081.211 1,44
Kalimantan Tengah 845.594 998.967 2,41
Kalimantan Selatan 1.449.882 1.705.905 2,35
Kalimantan Timur 1.014.525 1.302.772 3,64
Sulawesi Utara 797.923 940.173 2,37
Sulawesi Tengah 986.541 1.149.718 2,21
Sulawesi Selatan 3.084.382 3.710.336 2,67
Sulawesi Tenggara 792.727 950.876 2,63
Gorontalo 285.966 420.962 5,68
Maluku 445.097 533.015 2,61
Maluku Utara 271.713 393.834 5,45
Papua 1.070.472 1.407.787 3,99
Indonesia 91.647.166 104.870.663 1,94
Laju Pertumbuhan per Tahun (LPP) Provinsi
Penduduk Bekerja
Tabel 1.4:. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002-2009
(36)
10 Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Provinsi Aceh mempunyai tingkat pertumbuhan paling kecil yaitu -0,73 persen4 per tahun dan Sulawesi Tenggara mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 7,44 persen per tahun. Tabel 1.1 tersebut juga mengilustrasikan bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak selalu diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi, sebagian mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah. Sebaliknya, provinsi-provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah tidak selalu diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah tetapi sebagian mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah ada yang salah dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu wilayah dalam hal ini provinsi? Apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dicapai menjadi jaminan bahwa akan menciptakan penyerapan tenaga yang tinggi pula? Sebenarnya masalah pertumbuhan ekonomi yang hanya mengejar dari aspek kuantitas mendapat kritikan dari United Nations Development Programme (UNDP) sekitar 15 tahun yang lalu. UNDP mengkritik para pembuat kebijakan yang terlalu terpikat oleh aspek kuantitas pertumbuhan ekonomi dan mengadvokasi mereka agar memberi perhatian yang memadai terhadap aspek struktur dan kualitasnya. UNDP mengingatkan konsekuensi yang akan dihadapi jika aspek kualitatif ini diabaikan sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini (UNDP, 1996:2):
―Unless governments take timely corrective action, economic growth can become lopsided and flawed. Determined efforts are needed to avoid growth that is jobless, ruthless, voiceless and futureless”
(Kecuali jika pemerintah mengambil suatu tindakan koreksi yang tepat, pertumbuhan ekonomi dapat menjadi pincang dan cacat. Upaya yang menentukan dibutuhkan untuk menghindari pertumbuhan yang tidak menyerap tenaga kerja, kesenjangan, tanpa partisipasi masyarakat/demokrasi, dan tanpa-masa-depan). (terjemahan bebas peneliti).
4
Pertumbuhan negatif menunjukkan adanya penurunan tingkat penduduk yang bekerja dari tahun 2002- 2009
(37)
11 Istilah pertumbuhan berkualitas memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam bahasa lugas supaya mudah dipahami. Sederhananya, tidak terlalu keliru jika kita memandangnya dari sisi negatif atau komplemennya yaitu pertumbuhan tak berkualitas. Menurut UNDP pertumbuhan ekonomi timpang atau cacat (anomali) jika ekonomi secara keseluruhan tumbuh tetapi tidak memperluas kesempatan kerja. Ini bukan istilah yang bersifat teoritis-hipotesis semata melainkan merujuk pada situasi konkrit di lapangan berdasarkan bukti yang sangat menyakinkan. Adapun ciri-ciri pertumbuhan tak berkualitas menurut UNDP:
Sebagian besar manfaat pertumbuhan ekonomi menguntungkan kelompok kaya, mengabaikan jutaan penduduk berjuang dalam kemiskinan yang semakin mendalam (ruthless growth)
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan perluasan demokrasi dan pemberdayaan (voiceless growth)
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan budaya melemah (rootless growth) Generasi sekarang menghamburkan sumber daya yang dibutuhkan oleh
generasi mendaang (futureless growth)
1.2 Permasalahan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 2002-2009 relatif cukup tinggi yaitu sekitar 5-6 persen per tahun. Tiga provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi ditempati secara berurutan oleh Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Dari ketiga provinsi tersebut hanya Gorontalo yang mempunyai tingkat pertumbuhan penyerapan temaga kerja yang relatif tinggi. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dengan kecepatan yang setara. Dua propinsi yang disebutkan terakhir adalah contoh kasus jobless growth, contoh propinsi yang memiliki pertumbuhan tak-berkualitas. Propinsi semacam ini akan analisis lebih lanjut untuk melihat struktur PDRB sehingga dapat diidentifikasi sumber masalah dan hasilnya dapat dijadikan dasar untuk merumuskan strategi pertumbuhan yang lebih ‗ramah‘ terhadap tenaga kerja (employment-friendly growth).
(38)
12 Grafik 1.3: Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 2002-2009 (diurutkan menurut Pertumbuhan Ekonomi)
Sumber: BPS
Di posisi bawah, tiga provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah adalah Aceh, Kalimantan Timur (Kaltim) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari ketiga provinsi tersebut, hanya Provinsi Aceh yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Pertumbuhan ekonomi Aceh ini negatif dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi provinsi ini tetap tumbuh namun mengalami penurunan dalam periode tersebut. Gempa bumi dan tsunami yang menerjang provinsi ini tanggal 26 Desember 2004 menjadi faktor penyebab utama mundurnya perekonomian. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini sangat besar, baik berupa harta maupun jiwa yang tak ternilai harganya masih dapat dirasakan sampai saat ini.
(39)
13 Meskipun pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan geliatnya kembali, namun kondisinya belum sama seperti sebelum kejadian tsunami. Dari ketiga provinsi tersebut hanya Kalimantan Timur yang mempunyai tingka pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Aceh dan Nusa Tenggara Barat tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dengan kecepatan yang setara. Dua propinsi yang disebutkan terakhir adalah contoh kasus jobless growth. Seperti halnya tiga povinsi yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, propinsi semacam ini juga akan analisis lebih lanjut untuk melihat struktur PDRB sehingga dapat diidentifikasi sumber masalah dan hasilnya dapat dijadikan dasar untuk merumuskan strategi pertumbuhan yang lebih ‗ramah‘ terhadap tenaga kerja.
Gambaran mengenai besarnya variasi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan tenaga kerja disajikan pada Grafik 1.3 di atas menunjukan bahwa antara kedua indikator tidak terdapat pola umum dan konsisten (dengan koefisien korelasi antara keduanya sebesar 0,081 yang secara statistik tidak signifikan).
Dari pemaparan di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain:
1) Bagaimanakah gambaran pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi di Indonesia merupakan pertumbuhan berkualitas jika dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja?
2) Apakah bentuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia sesuai dengan hipotesis teori ekonomi?
3) Apakah pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja baik dalam jangka pendek dan jangka panjang? Jika ya, bagaimanakah respon yang tercermin melalui elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap peubah makro ekonomi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang?
(40)
14 1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:
1) mengalisis terjadinya anomali tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja,
2) mengetahui apakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja sesuai dengan teori ekonomi, dan
3) mengetahui respon pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada provinsi-provinsi di Indonesia yang tercermin melalui elastisitas tenaga kerja.
1.4 Manfaat dan Ruang Lingkup penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya bidang ekonomi dan sosial yang terkait dengan isu ketenagakerjan dan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan di bidang ketenagakerjaan khususnya dalam upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran baik tingkat nasional maupun antar wilayah.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1) Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan acuan bagi provinsi untuk mengelolanya secara efektif dan efisien serta dapat dijadikan sebagai faktor pendorong (push factor) untuk membuat kebijakan yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja.
2) Apabila faktor penyebab terjadinya anomali antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dapat diidentifikasi, maka pemerintah daerah di provinsi-provinsi dalam kategori tersebut dapat mereposisi kebijakan pada sektor-sektor padat karya
3) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pembanding untuk penelitan-penelitian selanjutnya
(41)
15 II. TINJUAN PUSTAKA
2.1 Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Pembangunan berbasis ketenagakerjaan tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat saja dilakukan dengan, misalnya memfokuskan pada sektor-sektor padat modal, tanpa harus diikuti penciptaan tenaga kerja yang memadai. Pengalaman pembangunan selama Orde Baru memberikan ilustrasi sepintas bagaimana ―mudahnya‖ memicu pertumbuhan melalui pendekatan itu.
Pernyataan di atas sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak penting. Bahkan dalam perpektif pembangunan manusia (human development) pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama
(principal means) bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang cukup bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain yang penting ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha.
Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang memungkinkannya ―membiayai‖ peningkatan kualitas manusia anggotanya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada kualitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan dapat (tetapi tidak bersifat otomatis) mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja). Dengan kata lain, secara teoritis, pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja seperti yang diilustrasikan pada Grafik 2.1.
(42)
16 Grafik 2.1: Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan ketenagakerjan Sumber: UNDP, 1996
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan
Pembangunan Manusia
Modal Sosial, LSM, Ormas
Kelembagaan dan Governance
Pertumbuhan Ekonomi Reproduksi Sosial Pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar Anggaran untuk bidang
sosial prioritas
Kebijakan dan pengeluraran pemerintah
Distribusi sumber daya pemerintah dan swasta Kegiatan dan pengeluaran rumah tangga Ketenagakerjaan Tabungan domestik Tabungan luar negeri Modal kapital Kapabilitas pekerja
dan petani, manajer, wirausaha
Produks R & D teknologi
Komposisi dan
Output ekspor Ketenagakerjaan
(43)
17
ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan, maka itu menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik.
Terjadinya pertumbuhan ekonomi akan menggerakan sektor-sektor lainnya sehingga dari sisi produksi akan memerlukan tenaga kerja produksi. Suatu pandangan umum menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (growth) berkorelasi positif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment rate). Tetapi ada juga dugaan bahwa dengan produktivitas yang tinggi bisa berarti akan lebih sedikit tenaga kerja yang dapat diserap. Berpijak dari teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Solow tentang fungsi produksi agregat (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2004) menyatakan bahwa ouput nasional (sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi disimbolkan dengan Y) merupakan fungsi dari modal (kapital=K) fisik, tenaga kerja (L) dan kemajuan teknologi yang dicapai (A). Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi), dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi diduga akan membawa dampak positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja seperti ditunjukkan oleh model berikut:
Y = A.F(K,L)
di mana Y adalah output nasional (kawasan), K adalah modal (kapital) fisik, L adalah tenaga kerja, dan A merupakan teknologi. Y akan meningkat ketika input (K atau L, atau keduanya) meningkat. Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi. Y juga akan meningkat jika terjadi perkembangan dalam kemajuan teknologi yang terindikasi dari kenaikan A. Oleh karena itu, pertumbuhan perekonomian nasional dapat berasal dari pertumbuhan input dan perkembangan kemajuan teknologi—yang disebut juga sebagai pertumbuhan total faktor produktivitas.
Share dari setiap input terhadap output mencerminkan seberapa besar pengaruh dari setiap input tersebut terhadap pertumbuhan output. Hubungan ini dapat diperlihatkan oleh persamaan berikut:
(44)
18 dimana:
Y = Pertumbuhan output (Output growth)
LS = Kontribusi tenaga kerja (Labor share)
RL = Pertumbuhan tenaga kerja (Labor growth)
KS = Kontribusi modal/kapital (Capital share)
RK = Pertumbuhan modal/kapital (Capital growth)
A = Teknologi (Technological progress)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa perbedaan dalam besarnya sumbangan input-input tertentu terhadap pertumbuhan output di masing-masing negara atau provinsi menyebabkan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara atau provinsi.
Model Solow dapat diperluas sehingga mencakup sumberdaya alam sebagai salah satu inputnya. Dasar pemikirannya yaitu output nasional tidak hanya dipengaruhi oleh K dan L saja tetapi juga dipengaruhi oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam lainnya seperti cadangan minyak. Perluasan model Solow lainnya adalah dengan memasukkan sumberdaya manusia sebagai modal (human capital). Dalam literatur, teori pertumbuhan seperti ini terkategori sebagai teori pertumbuhan endogen dengan pionirnya Lucas dan Romer. Lucas menyatakan bahwa akumulasi modal manusia, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan pertumbuhan ekonomi; sedangkan Romer berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat modal manusia melalui pertumbuhan teknologi.
Secara sederhana, dengan demikian, fungsi produksi agregat dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
Y = A.F(K, H, L)
Pada persamaan di atas, H adalah sumberdaya manusia yang merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Menurut Mankiw, Romer, dan Weil (1992) kontribusi dari setiap input pada persamaan tersebut terhadap output nasional bersifat proporsional. Suatu negara yang memberikan perhatian lebih kepada pendidikan terhadap masyarakatnya ceteris paribus akan menghasilkan
(45)
19 pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari pada yang tidak melakukannya. Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan pendidikan akan menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, maka tingkat penyerapan tenaga kerja akan semakin meningkat.
2.3 Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi bergeraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Dalam kegiatan proses produksi, tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting, karena manusia yang menggerakan semua sarana produksi seperti bahan mentah, tanah , air dan sebagainya.
Meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan tapi juga perlunya perluasan kesempatan kerja. Penduduk sebagai sumber dari persediaan tenaga kerja akan menimbulkan suatu dilema bila jumlahnya tidak seimbang dengan kemampuan sektor ekonomi. Dilema yang terjadi adalah banyaknya pengangguran maupun setengah pengangguran dan paling tidak akan banyak terjadi ketidaksesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani.
2.4 Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth)
Masalah kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan suatu negara tetapi sudah menjadi masalah global serta merupakan salah satu target dari
Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia sudah
meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Jamkeskin), Program Perlindungan Sosial (PPLS), dan lain-lain. Kebijakan ini merupakan strategi pemerintah agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagian bisa dinikmati oleh penduduk miskin (Pro-Poor Growth). Pengertian Pro-Poor Growth masih dalam konsensus dan salah satu penjelasan tentang hal ini dikemukakan oleh Kakwani and Pernia (2000) sebagai berikut:
(46)
20 “...ADB‟s Fighting Poverty in Asia and The Pacific: The Poverty
Reduction Strategy indicates that growth is pro-poor when it is labour absorbing and accompanied by policies and programs that mitigate inequalities and facilitate income and employment generation for the poor, particularly women and other traditionally excluded groups”.
(―...ADB (Asian development Bank/Bank Pembangunan Asia) sedang bertarung melawan kemiskinan di Asia-Pasifik: Strategi pengentasan kemiskinan mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih berpihak kepada penduduk miskin melalui penyerapan tenaga kerja diiringi program dan kebijakan mengurangi ketidakmerataan serta memfasilitasi pendapatan dan generasi pekerja berikutnya diperuntukan bagi penduduk miskin, khususnya wanita dan kelompok tradisional lainnya‖.) (terjemahan bebas peneliti).
Menurut pandangan growth pro-poor, penduduk miskin seharusnya memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan ikut berperan serta dalam proses kegiatan ekonomi. Kraay (2006) menemukan tingginya laju pertumbuhan rata-rata pendapatan dan pola pertumbuhan dari pengentasan kemiskinan melalui pendapatan sangat relevan khususnya pada penjelasan tentang perubahan kemiskinan berdasarkan analisis berbagai negara. Dia juga menyarankan agar pertumbuhan rata-rata pendapatan merupakan titik awal
(starting point) dalam mengembangkan pro-poor growth.
“…there are three potential sources of pro-poor growth: (a) a high growth rate of average incomes; (b) a high sensitivity of poverty to growth in average income; and (c) a poverty-reducing pattern of growth in relative income. [..] The differences in growth in average incomes are the dominant factor explaining changes in poverty [..] the search for pro-poor growth should begin by focusing on determinant of growth in average incomes”.
(47)
21 (―…ada tiga sumber potensi dari pro-poor growth: (a) tingginya
laju pertumbuhan rata-rata pendapatan; (b) tinginya tingkat sensitivitas kemiskinan dari rata-rata pendapatan; dan (c) pola pertumbuhan pengentasan kemiskinan dalam pendapatn relatif. [..] Perbedaan pertumbuhan dalam rata-rata pendapatan merupakan faktor dominan dalam menjelaskan perubahan dalam kemiskinan [..] pencarian pro-poor growth seharusnya dimulai dengan memfokuskan pada determinan pertumbuhan dari rata-rata pendapatan‖.) (terjemahan bebas peneliti)
Sejalan dengan pemikiran Kraay, (Ravallion and Chen, 2003) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan kemiskinan merupakan alat ukur yang lebih baik untuk pro-poor growth dengan menggunakan quintil dari distribusi pendapatan. Dengan mennggunkan kurva pertumbuhan, distribusi pertumbuhan dapat ditelusuri berdasarkan kurun waktu yang sesuai. Mereka menggunakan Negara China sebagai sampel dan menemukan bahwa laju pro poor growth
sekitar 4 persen sehingga China merupakan negara yang paling berhasil dalam menngurangi penduduk miskin.
2.5 Faktor-faktor Penyebab Penyerapan Tenaga Kerja
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya penyerapan tenaga kerja pada tingkat provinsi dilihat lain perubahan demografi, hambatan sosial-ekonomi, komposisi industri, tingkat upah dan lapangan kerja.
2.5.1 Perubahan Demografi
Ditinjau dari sisi demografi, penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perubahan struktur umur, fertilitas, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan beban ketergantungan (dependency ratio).
Struktur umur: Berdasarkan data distribusi penduduk Indonesia menurut kelompok umur menunjukkan bahwa proporsi penduduk Indonesia sebagian besar didominasi penduduk usia muda. Hasil Survei Angkatan kerja Nasional (Sakernas) 2009 menunjukkan bahwa rata-rata tiap tahun ada sekitar 2 juta orang pencari kerja baru dengan usia relatif muda. Besarnya angka pencari
(48)
22 kerja disebabkan karena perubahan struktur umur penduduk yang masuk dalam kategori bekerja usia 15 tahun keatas relatif tinggi dan didominasi umur 15-24 tahun. Akibatnya tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa. Salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya frekuensi dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.
Fertilitas: Pertumbuhan jumlah penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: fertilitas (tingkat kelahiran), mortalitas (tingkat kematian) dan migrasi (perpindahan). Angka fertiltas yang tinggi di suatu wilayah menunjukkan banyaknya kelahiran (penduduk baru) yang pada akhirnya menambah jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja yang pada gilirannya akan manambah jumlah pencari kerja.
Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya dituntut memikul tanggung jawab untuk menghidupi keluarga. Menurut Chuang dan Lai (2007) pria lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan untuk berhenti bekerja daripada perempuan. Oleh karena itu pekerja pria jauh lebih besar dari pekerja wanita karena wanita umumnya lebih dituntut dalam mengurus rumah tangga.
Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio): merupakan rasio penduduk tidak profuktif, yaitu usia 0-14 tahun dan 65 tahun keatas terhadap penduduk usia produktif umur 15-64 tahun. Angka ini menunjukkan seberapa besar penduduk usia produktif akan menanggung secara ekonomi penduduk tidak produktif.
(49)
23 Dengan demikian semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).
Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi
supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migran berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migran memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap demand tenaga kerja.
2.5.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi
Adanya pengangguran di suatu wilayah menggambarkan adanya slow operation of equilibrating mechanisms yang disebabkan adanya hambatan ekonomi dan sosial. Perilaku migrasi tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan ekonomi bisa memisahkan pasar tenaga kerja regional (friction) yangterdiri dari:
1) Hambatan sosial yang muncul akibat adanya kebijakan „social security‟. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian pekerjaan. Keberadaan sistem „social security‟ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional karena sistem ini mengurangi biaya dari ‗menganggur‘ dan meningkatkan upah reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata lain, kebijakan tersebut menurunkan jumlah pencari kerja. Elhorst (2003) menemukan hubungan positif bahwa sistem upah minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Kebijakan ini membuat perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan pengupahan di bawah floor wage, sehingga Upah Minimum Regional (UMR) sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah pemberian upah lehih rendah dari UMR. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan demand
(50)
24 2) Hambatan ekonomi yang disebabkan adanya tingkat kepemilikan rumah.
Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a
house ownership variabel to stand for the workers community identity and social networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of
migration”.
2.5.3 Komposisi Industri
Salah satu penyebab pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah. Chuang dan Lai (2007) menyatakan pergeseran dalam komposisi industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional sehingga akan mempengaruhi tingkat pengangguran regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian kerja, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.
2.5.4 Kekakuan Upah (Wage Rigidity)
Indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity) adalah kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga.
(51)
25 Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.
Grafik 2.2: Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Sumber: Mankiw (2003)
Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Grafik 2.2, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).
Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari Undang-Undang No, 13 Tahun 20003 tentang UMR atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah
(52)
26 keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang ini menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.
Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi, pekerja akan menuntut kenaikan upah yang ―memaksa‖ perusahaan untuk meningkatkan upah, karena adanya biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah tidak dikabulkan perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).
2.5.5. Waktu Mencari Pekerjaan
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh pekerjaan merupakan permasalahan bagi mereka yang ingin bekerja. Memperoleh suatu pekerjaan bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh komposisi industri,
mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Para pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari setiap pekerjaan memungkinkan para pencari kerja tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.
2.6 Kajian Studi Terdahulu
Hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja banyak diulas oleh para peneliti dengan membuat berbagai perkiraan angka elastisitas tenaga kerja (sebagai suatu alat untuk mengukur hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan). Seyfried (2006) dalam penelitiannya
(53)
27 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif dan nyata
(significant) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja. Namun dampaknya tidak secara langsung, perlu beberapa kuartal (lag) agar secara penuh bisa mempengaruhinya. Kombinasi hubungan keduanya akan menghasilkan hubungan yang substansial dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.
Siregar, dkk (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa paradoks pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan pengangguran melalui perluasan kesempatan kerja dalam jangka panjang. Sumber munculnya paradoks pada tenaga kerja agregat maupun sektor secara umum dipengaruhi oleh guncangan harga maupun indikator makroekonomi seperti guncangan sukubunga, kurs rupiah maupun karena ketidakefisienan yang ditunjukkan oleh tingginya biaya overhead
terhadap total (biaya ―siluman‖) pada Sektor Industri.
Sementara itu, Boltho dan Glyn (1995) di dalam penelitiannya di negara-negara maju yang tergabung dalam Organization of Economic Community Development (OECD) menemukan bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap PDB berkisar antara 0,50 sampai dengan 0,63. Angka intensitas tenaga kerja berkisar 0,5 tahun 1973-1979 naik menjadi 0,63 tahun 1982-1993, padahal nilai indikator ini sekitar 0,49 pada kurun waktu 1975-1982. Adanya variasi elastisitas tenaga kerja menunjukkan bahwa interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi dan kondisi ekonomi suatu negara. Naik turunnya penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan misalnya suatu perusahaan akan mengurangi karyawannya ketika mengalami kemunduran dan akan meningkatkan karyawannya ketika mengalami kemajuan.
Agrawal (1996) mengemukakan bahwa para pekerja di Indonesia merupakan pihak yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Industri tumbuh sangat pesat sehingga banyak menciptakan lapangan kerja baru dengan memberikan upah/gaji relatif tinggi. Namun dengan melimpahnya begitu banyak tenaga kerja menimbulkan permasalahan seperti banyaknya pekerja anak (child labor), kenaikan upah yang hanya 10 tahun sekali (saat itu), kurang mendukungnya kondisi lingkungan kerja serta ditolaknya tenaga kerja perempuan yang masih muda. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi yang
(54)
28 dicapai disatu sisi banyak menyerap tenaga kerja, namun disi lain menimbulkan permasalahan sosial yang perlu ditangani secara serius.
Walterskirchen (1999) melakukan analisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Hasil penelitiananya menujukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja di wilayah ini sekitar 0,65 dan dari hasil analisis runtun waktu menghasilkan sekitar 0,8 pada kurun waktu yang sama dan sangat signifikan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih tinggi dibandingkan tingkat produktifitas yang dicapai dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Islam dan Nazara (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa untuk menyerap tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 2 juta orang tiap tahunnya di Indonesia dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,47 sampai dengan 4,68 persen. Elastisitas tenaga kerja tertinggi di Sektor Pertanian sekitar 1,22 diikuti oleh Sektor Perdagangan sekitar 1,11, Sektor Jasa sekitar 1,09 dan Sektor Industri sekitar 0,77. Hal ini disebabkan adanya realokasi tenaga kerja dari sektor Jasa ke Sektor Pertanian.
Islam (2004) menyatakan perlunya mengidentifikasi elemen pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada penduduk miskin sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja diiringi dengan peningkatan tingkat produktifitas. Hubungan antara pengentasan kemiskinan, elastisitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa ada dampak dari tenaga kerja dan pasar tenaga kerja terhadap pengurangan penduduk miskin. Pembangunan mempunyai kontribusi positif terhadap pengurangan kemiskinan melalui transformasi struktural tenaga kerja ke Sektor Industri dan sektor lain selain pertanian, pendidikan dan meningkatnya partisipasi angkatan kerja.
Choi (2007) dalam penelitiannya tentang identifikasi determinan struktural dari elastisitas tenaga kerja (the structural determinants of employment elasticity)
preferensi dan parameter teknologi. Jadi teknologi penghematan tenaga kerja
(labor-saving technology) itu sendiri kemungkinan tidak bertanggung jawab terhadap lambannya kenaikan tenaga kerja. Perlu dilihat dari sisi pasar tenaga kerja (labor market) dan penawaran tenaga kerja (labor supply). Elastisitas dari
(55)
29 penawaran tenaga kerja terhadap upah menjadi faktor yang menentukan penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Suryadarma dkk (2007) menemukan bahwa Sektor Pertanian di Indonesia pada tingkat provinsi mempunyai koefisien tertinggi di daerah perkotaan dan jumlah tenaga kerja meningkat seiring dengan meingkatnya industry dikawasan daerah perkotaan sehingga mengurangi jumlah orang bekerja di daerah perdesaan. Jumlah tenaga kerja naik 0,7 persen karena meningkatnya Sektor Jasa sebesar 10 persen di daerah perkotaan, sementara kenaikan 10 persen Sektor Pertanian di derah perdesaan akan meingkatkan sekitar 5 persen tenaga kerja.
International Labor Organization (ILO) pada tahun 1996 dalam
laporannya menyimpulkan bahwa respons ketenagakerjan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terjadi penurunan di negara-negara maju secara keseluruhan. Meskipun hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja lemah/kecil namun masih mempunyai dampak terhadap penciptaan lapangan kerja
(jobless recovery).
Tingkat elastisitas tenaga kerja antar negara berbeda satu sama lain, meskipun dalam satu wadah misalnya negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Demikian pula tingkat elastisitas untuk negara-negara G7 bervariasi antara 0,5 untuk Amerika Serikat dan Kanada sampai dengan hampir mendekati nol untuk Jepang, Inggris, Perancis, Jerman dan Italia (Padalino dan Vivarelli, 1997). Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Pini pada tahun yang sama menunjukkan bahwa tingkat elastisitas tenaga kerja di Jerman dan Jepang mengalami kenaikan selama periode 1979-1995 dibandingkan periode 1960-1979. Penurunan tingkat elastisitas terjadi di Perancis dan Swedia dan sedikit terjadi kenaikan di Italia, Inggris dan Amerika Serikat. Dia juga menemukan terjadinya penurunan elastisitas (negative employment elasticities) di Italia dan Sedia selama periode 1990-1995. Sementara Pianta, Evangelista dan Perani (1996) dalam penelitiannya menemukan bukti perlunya restrukturisasi sektor-sektor makroekonomi yang menurun agar ekonomi pulih dan tumbuh kembali sehingga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja kembali.
(56)
30 Halaman ini sengaja dikosongkan
(1)
141
Lampiran 17
Panel Least Squares
model fungsi agregat wilayah Kuadran II dan IV
Omitted Variables:
F-statistic 4.742460 Prob. F(1,105) 0.031665 Log likelihood ratio 4.947711 Prob. Chi-Square(1) 0.026125
Test Equation:
Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 06/09/11 Time: 12:11 Sample: 2002 2009
Included observations: 8 Cross-sections included: 14
Total pool (balanced) observations: 112
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. KERJA 0.633093 0.073369 8.628837 0.0000 KAPITAL 0.917045 0.192510 4.763618 0.0000 SD -0.064908 0.009995 -6.493743 0.0000 SMP 0.210121 0.023210 9.053218 0.0000 SMU -0.167581 0.016424 -10.20363 0.0000 PT 0.003551 0.011206 0.316920 0.7519 C -5.622304 2.581740 -2.177719 0.0317 R-squared 0.972467 Mean dependent var 10.53590 Adjusted R-squared 0.970893 S.D. dependent var 0.104340 S.E. of regression 0.017801 Akaike info criterion -5.158661 Sum squared resid 0.033272 Schwarz criterion -4.988755 Log likelihood 295.8850 F-statistic 618.0963 Durbin-Watson stat 3.198312 Prob(F-statistic) 0.000000
(2)
142
Fixed Efeect Model
fungsi agregat wilayah Kuadran II dan IV
Dependent Variable: PDRB Method: Pooled Least Squares Date: 06/09/11 Time: 12:11 Sample: 2002 2009
Included observations: 8 Cross-sections included: 14
Total pool (balanced) observations: 112
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -5.622304 2.758121 -2.038455 0.0444 KERJA 0.633093 0.078382 8.077027 0.0000 KAPITAL 0.917045 0.205662 4.458987 0.0000 SD -0.064908 0.010678 -6.078471 0.0000 SMP 0.210121 0.024795 8.474269 0.0000 SMU -0.167581 0.017546 -9.551116 0.0000 PT 0.003551 0.011971 0.296653 0.7674 Fixed Effects (Cross)
_11--C -3.54E-15 _13--C -3.54E-15 _14--C -3.54E-15 _15--C -3.54E-15 _17--C -3.54E-15 _18--C -3.54E-15 _35--C -3.54E-15 _36--C -3.54E-15 _63--C -3.54E-15 _64--C -3.54E-15 _72--C -3.54E-15 _81--C -3.54E-15 _82--C -3.54E-15 _94--C -3.54E-15
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.972467 Mean dependent var 10.53590 Adjusted R-squared 0.966781 S.D. dependent var 0.104340 S.E. of regression 0.019017 Akaike info criterion -4.926518 Sum squared resid 0.033272 Schwarz criterion -4.441072 Log likelihood 295.8850 F-statistic 171.0221 Durbin-Watson stat 3.198312 Prob(F-statistic) 0.000000
(3)
143
Lampiran 19
Random Efeect Model
fungsi agregat wilayah Kuadran II dan IV
Dependent Variable: PDRB
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/09/11 Time: 12:12
Sample: 2002 2009 Included observations: 8 Cross-sections included: 14
Total pool (balanced) observations: 112
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -5.622304 2.758121 -2.038455 0.0440 KERJA 0.633093 0.078382 8.077027 0.0000 KAPITAL 0.917045 0.205662 4.458987 0.0000 SD -0.064908 0.010678 -6.078471 0.0000 SMP 0.210121 0.024795 8.474269 0.0000 SMU -0.167581 0.017546 -9.551116 0.0000 PT 0.003551 0.011971 0.296653 0.7673 Random Effects
(Cross)
_11--C 0.000000 _13--C 0.000000 _14--C 0.000000 _15--C 0.000000 _17--C 0.000000 _18--C 0.000000 _35--C 0.000000 _36--C 0.000000 _63--C 0.000000 _64--C 0.000000 _72--C 0.000000 _81--C 0.000000 _82--C 0.000000 _94--C 0.000000
Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.000000 0.0000 Idiosyncratic random 0.019017 1.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.972467 Mean dependent var 10.53590 Adjusted R-squared 0.970893 S.D. dependent var 0.104340
(4)
144
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.972467 Mean dependent var 10.53590 Sum squared resid 0.033272 Durbin-Watson stat 3.198312
(5)
145
Lampiran 20
Hausman Test
model fungsi agregat wilayah Kuadran II dan IV
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB
Method: Panel Least Squares Date: 06/09/11 Time: 12:12 Sample: 2002 2009
Included observations: 8 Cross-sections included: 14
Total pool (balanced) observations: 112
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -5.622304 2.758121 -2.038455 0.0444 KERJA 0.633093 0.078382 8.077027 0.0000 KAPITAL 0.917045 0.205662 4.458987 0.0000 SD -0.064908 0.010678 -6.078471 0.0000 SMP 0.210121 0.024795 8.474269 0.0000 SMU -0.167581 0.017546 -9.551116 0.0000 PT 0.003551 0.011971 0.296653 0.7674
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.972467 Mean dependent var 10.53590 Adjusted R-squared 0.966781 S.D. dependent var 0.104340 S.E. of regression 0.019017 Akaike info criterion -4.926518 Sum squared resid 0.033272 Schwarz criterion -4.441072 Log likelihood 295.8850 F-statistic 171.0221 Durbin-Watson stat 3.198312 Prob(F-statistic) 0.000000
(6)