61
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Konsumsi Pangan Anak
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagian besar 55,0 tingkat konsumsi energi anak pada kategori sedang, dan 17,5 tingkat konsumsi energi anak
baik. Sementara dalam hal konsumsi protein, paling banyak 47,5 tingkat konsumsi protein anak sedang, bahkan ditemukan 15,0 tingkat konsumsi protein
anak baik. Banyaknya tingkat konsumsi energi dan protein sedang didukung oleh tingkat pendidikan ibu sebagian besar 45,0 SMA dan ada sebagian kecil 2,5
lulusan D-III, sehingga diharapkan pengetahuan gizi khususnya yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan baik.
Anak yang memiliki tingkat konsumsi energi dan protein kurang yaitu masing-masing 27,5 dan 32,5, dan ada anak dengan tingkat konsumsi protein
defisit 5,0. Hal ini dikarenakan masih ada ibu yang memiliki tingkat pendidikan SD 20,0 dan SMP 32,5. Begitu juga dengan jenis pekerjaan ayah yang
kemungkinan besar memperoleh pendapatan rendah seperti buruh bangunan, buruh pabrik, supir angkot, narik becak, dan berdagang.
Pekerjaan ayah sebagian besar buruh bangunan 25,0 dan narik becak 22,5, sedangkan ibu sebagian besar 87,5 berperan sebagai ibu rumah tangga,
namun sebagian kecil ibu bekerja sebagai buruh cuci 7,5 dan berdagang atau jualan 5,0. Pekerjaan ayah sebagai buruh bangunan biasanya berupa buruh harian
yang bekerja pada proyek pembangunan rumah yang bersifat musiman. Pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
62
ayah sebagai supir umumnya adalah supir angkutan kota, dimana mereka bukan pemilik kendaraan, sehingga harus menyetor hasil yang peroleh kepada pemilik
kenderaan, dan sisanya mejadi pendapatan mereka. Jadi meskipun anak berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah, maka hal ini tidak langsung menimbulkan
rendahnya konsumsi zat gizi pada anak karena tingkat pendidikan ibu masih cukup baik.
Elfindri 1992 menyimpulkan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi akan mempengaruhi konsumsi zat gizi anggota keluarga serta dapat melakukan
perencanaan gizi keluarga. Hal ini juga sependapat dengan Sandjaja 2001, bahwa pada beberapa keluarga dengan sosial ekonomi rendah mempunyai daya adaptasi
yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang walaupun menghadapi tekanan ekonomi, sosial dan lingkungan. Faktor yang berperan adalah faktor ibu terhadap pola
asuh anak, kesehatan anak dan konsumsi makanan pada balita. Nasi sebagai pangan sumber karbohidrat merupakan makanan pokok yang
dikonsumsi anak setiap hari. Sumber karbohidrat selain nasi yang biasa dikonsumsi anak adalah mie dan roti. Telur merupakan penyumbang terbesar untuk pangan
hewani sementara daging sapi dan ikan jarang dikonsumsi anak. Rendahnya konsumsi pangan hewani diduga erat kaitannya dengan kemampuan daya beli
keluarga yang relatif masih rendah. Jumlah telur yang dikonsumsi anak lebih banyak dibanding dengan daging
sapi, ayam dan ikan sesuai dengan frekuensi konsumsi telur yang lebih sering dikonsumsi dibanding pangan hewani lain. Hal ini kemungkinan disebabkan harga
Universitas Sumatera Utara
63
telur yang relatif lebih murah dibanding pangan hewani lain, dan juga mudah didapat di warung-warung. Tempe sebagai sumber protein nabati yang baik, namun konsumsi
tempe pada anak dalam penelitian ini masih rendah, hal ini diperoleh dari hasil wawancara dengan ibu tentang kebiasaan anak, umumnya anak tidak begitu suka
tempe. Buah-buahan yang sering dikonsumsi anak adalah nenas, pepaya, jambu biji
dan semangka yang mereka beli dari penjual yang pakai gerobak atau sepeda. Sementara konsumsi sayuran anak cukup bervariasi, namun jumlah yang dikonsumsi
masih sangat sedikit. Sayur yang disukai umumnya bayam, kangkung, daun ubi dan sawi manis. Kesulitan makan sayur pada anak-anak usia dini sudah menjadi masalah
yang sering dihadapi di masyarakat. Namun kebutuhan gizi usia prasekolah semakin besar sejalan dengan perkembangan fisiknya. Untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal dibutuhkan sejumlah zat gizi yang harus didapat dari makanan dalam jumlah yang cukup dan sesuai yang dianjurkan setiap harinya
Harper et al. 1986. Oleh karena itu, ibu harus berusaha membiasakan makan sayuran pada anak, mungkin dengan upaya pengolahan yang disesuaikan dengan
kondisi anak. Keadaan tingkat konsumsi yang rendah dalam penelitian ini sesuai dengan
kebiasaan makan anak pada usia ini yang umumnya sulit makan, porsinya sedikit dan kurang bervariasi, bahkan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral masih banyak
anak yang tidak menyukainya. Ibu yang tidak bekerja di luar rumah ibu rumah tangga akan memiliki
alokasi waktu yang lebih banyak untuk keperluan keluarga. Kebiasaan makan anak
Universitas Sumatera Utara
64
dapat lebih diperhatikan oleh ibu, sehingga anak diharapkan akan mempunyai perilaku makan yang baik. Terlebih lagi jika ibu memiliki pengetahuan gizi yang
baik, maka anak akan tumbuh optimal dan sehat Susanti 1999.
5.2. Status Gizi Anak