Kedudukan Hak-Hak Unjuk Rasa Di Indonesia

1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh; 2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; 3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa Bangsa. Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan hak asasi manusia, pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum. 39 Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan: 1. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; 2. asas musyawarah dan mufakat; 3. asas kepastian hukum dan keadilan; 4. asas proporsionalitas; 39 Ibid,hlm 78 5. asas manfaat. Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk: 40 1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945; 2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; 3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; 4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif. 41 Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, merupakan ketentuan 40 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008 cet. I, h. 372 41 Dede Rosyada, dkk, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, cet. I h. 73 peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945.

BAB III KEDUDUKAN KEPOLISIAN DAN WEWENANG DALAM TINJAUAN HUKUM

ISLAM

A. Pengertian Kepolisian Dalam Perspektif Islam

Pada masa Khulafa‟ur Rasyidin keberadaan kegiatan pengawasan dan pencegahan pelanggaran syariat amar ma‟ruf nahi mungkar semakin formal dan melembaga. Tugas pokok kepolisian yang terpenting adalah menjaga dan memelihara ketertiban umum serta tegaknya amar ma‟ruf nahi mungkar. Dalam hukum Islam polisi di sebut sebagai syurthah karena mereka adalah kesatuan terbaik yang menonjol daripada tentara. Dan syurthah adalah bentuk tunggal dari asy-syurath yakni kesatuan terbaik yang terjun dalam perang dan mereka siap untuk mati. Di dalam literatur Islam, kepolisian dikenali sebagai Hisbah, diperkenalkan oleh Al- Mawardi di dalam bukunya Alkamul Sulthaniyah. 42 Menurut Al-Mawardi lembaga yang menegak kan amar ma‟ruf dan nahi mungkar dikenali sebagai Mustahib, bermakna petugas Hisbah. Merujuk kepada firman Allah ta‟ala:                 104. Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak Yang menyeru berdakwah kepada kebajikan mengembangkan Islam, dan menyuruh berbuat Segala perkara Yang baik, serta melarang daripada Segala Yang salah buruk dan keji. dan mereka Yang bersifat demikian ialah orang- orang Yang berjaya. 42 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Peneyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam, Penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2006 Cet II, hlm. 398. Sekarang istilah tersebut dikenali dengan Wilayah Hisbah yang diperkenalkan oleh pemerintah Nanggore Aceh. 43 Secara sepintas, kajian tentang Hisbah dalam khazanah pemikiran Islam telah banyak dikaji oleh ahli, baik secara khusus dalam suatu buku ataupun merupakan bagian dalam satu bab. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Al-Siyasah Al- Syar‟iyyah memaknai Wilayah sebagai “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh intitusi pemerintahan untuk mengakkan jiha d, keadilan, hudud, melakukan amar m‟ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya. Sementara kata Hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhintungan. 44 Sedangkan dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Mawardi memaknai Hisbah dengan seruan kepada kebaikan secara terang-terangan dan melarang dari kemungkaran secara terang-terangan pula. 45 Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun memaknai Hisbah dengan tugas keagamaan dalam bidang amar ma‟ruf nahi mungkar secar luas yang difardhukan bagi setiap Muslim dengan harapan dapat membawa manusia kepada kemaslahatan umum dalam sebuah negara. Seperti penertiban jalan raya untuk menghindari kemacetan dan mencegah muatan kapal penumpang hantar barang secara berlebihan. 46 Hisbah juga bias dipahami sebagai salah satu lemabag dalam Islam yang khusus menangani kasus moral 43 Prof Dr Al- Yasa Abu Bakar MA, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam Paradigm Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005 hlm. 350. 44 Hafas Furqani, Wilayatul Hisbah, http:www.acehinstinite.org frot-html. Artikel diakses pada 20 Mei 2011, jam 13:45 WIB. 45 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Peneyelenggaraan Negara Dalam Syariat Islam, Penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2006 Cet II, hlm. 399. 46 Drs. Jamhuri, Wilayatul Hisbah Bukan Polisi Syariat, http:www.Serambinews.comoldindex.php?aksi=baca opinik, Artikel diakses pada 20 Mei 2011, jam 15:30 WIB.