17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit panjang gelombang dari
spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. 3. Suatu wadah untuk sampel dalam hal ini digunakan
kuvet. 4. Suatu detektor, yang berupa transduser yang merubah
energi cahaya menjadi suatu isyarat listrik. 5. Suatu amplifier pengganda dan rangkaian yang merubah
energi cahaya menjadi suatu isyarat listrk. 6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat
listrik yang ditangkap.
c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik
Resonansi magnetik nuklir NMR adalah metode spektrofotometri yang bahkan lebih penting bagi ahli kimia
organik dari spektrofotometri inframerah. Banyak inti dapat dipelajari dengan teknik NMR, tapi hidrogen dan karbon yang
paling umum tersedia. Jika spektrofotometri inframerah IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, NMR
memberikan informasi mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda dari jenis yang dipelajari.
NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi
mengenai sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing- masing jenis. Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti
karbon. Kombinasi IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan secara benar struktur molekul yang tidak diketahui
Pavia et al., 2008. Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai
berikut Willard et al., 1988 : a. Magnet untuk memisahkan energi spin nuklir.
b. Paling tidak terdapat dua saluran frekuensi radio, satu untuk stabilisasi medanfrekuensi dan satu untuk memberikan
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
frekuensi radio untuk energi penyinaran. Yang ketiga dapat digunakan untuk masing-masing inti yang akan dipisahkan.
c. Probe sampel yang mengandung kumparan untuk kopling sampel dengan bidang frekuensi radio.
d. Detektor untuk memproses sinyal NMR. e. Generator Sweep Generator untuk menyapu bersih baik
medan magnet maupun frekuensi radio melalui frekuensi resonansi sampel.
f. Rekorder untuk menampillkan spektrum
2.7 Uji Antiinflamasi
Inflamasi merupakan respon imun tubuh yang secara umum terjadi karena adanya stimulus. Hal itu bisa dikarenakan oleh bakteri, misalnya
kontaminasi bakteri pada luka. Inflamasi juga dapat terjadi ketika sistem kekebalan tubuh berjuang melawan sesuatu dan terkadang memunculkan efek
berbahaya IQWiQ, 2010. Untuk itu dikembangkanlah obat antiinflamasi untuk mengatasi efek berbahaya dari proses inflamasi yang ada di dalam
tubuh. Beberapa metode in vitro dapat digunakan dalam mengetahui potensi
atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia dan preparat herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain adalah pelepasan
fosforilasi oksidatif ATP biogenesis terkait dengan respirasi, penghambatan denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran
lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi trombosit Oyedapo et al., 2010. Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa dilakukan dengan melihat
efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit khusus uji skrining siklooksigenase Umar et al., 2012.
Dalam pengembangan AINS, prinsip denaturasi dalam uji antiinflamasi sering digunakan seperti pada uji antiinflamasi dengan albumin telur
Chandra, 2012 dan uji dengan bovine serum albumin BSA Williams et al., 2008. Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab
penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah denaturasi protein akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi Chatterjee et al.,
2012. Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam flufenamik dan
asam salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Selain itu beberapa ekstrak dan
komponen murni tumbuhan seperti ekstrak Boehmeria jamaicensis Urb, fenil propanoid, eugenol, polisulfid, dibenzil trisulfid dapat menghambat
denaturasi BSA, memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan merupakan kandidat obat antiinflamasi. Pada uji BSA, jika senyawa sampel menghambat
denaturasi dengan persen inhibisi 20 maka dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Williams et al.,
2008.
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.1.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Penelitian I dan Laboratorium Kimia Obat
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
3.1.2 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014.
3.2 Alat Dan Bahan
3.2.1 Alat
Spektrofotometri ¹H-NMR 500 MHz, JEOL, spektrofotometer UV-Vis HITACHI, vacuum rotary evaporator SB-1000 Eyela, digital
water bath SB-100 Eyela, spektrofotometri IR SHIMADZU, Differential scanning calorimeter SHIMADZU, refrigerator, Plat
aluminium TLC silica gel 60 F254 Merck, oven, timbangan analitik, penangas, statif, labu reaksi, corong, erlenmeyer, gelas piala, rak,
tabung reaksi, chamber KLT, termometer, blender, pipet eppendorf, mikropipet, batang pengaduk, pinset, pengaduk magnetik, kertas
saring, kapas, alumunium foil, vial, botol, pH meter.
3.2.2 Bahan
Senyawa etil p-metoksisinamat yang merupakan hasil isolasi dari kencur Kaempferia galanga L., natrium diklofenak Dipharma, natrium
hidroksida Merck, asam klorida 15, asam nitrat JT Baker, silika gel 60 Merck, metanol p.a Merck, etanol p.a Merck, natrium klorida
Merck, tris base SBS dan Bovine Serum Albumin Sigma. Pelarut dan bahan pembantu lain seperti aquades, etil asetat, n-heksan, dan metanol.