2.5.3 Tanah dan Landform
Menurut peta tanah eksplorasi Pulau Jawa skala 1: 1.000.000 lokasi penelitian termasuk dalam SPT 25 yang uraiannya adalah jenis Andosol yang
berasal dari batuan beku basa dan intemedier pada lahan bergunung. Berdasarkan hasil observasi lapang dan hasil interpretasi landform, lokasi penelitian tergolong
ke dalam landform V.1.2 yang merupakan daerah aliran lahar dengan topografi berbukit 15-30.
2.5.4 Iklim
Hasil pengamatan di stasiun klimatologi di kebun percobaan Pusat Penelitian Teh dan Kina PPTK Pasir Sarongge Kecamatan Pacet Kabupaten
Cianjur selama kurang lebih sembilan tahun terakhir, menunjukkan bahwa rata- rata curah hujan per tahun sebesar 3800 mm. Berdasarkan nisbah curah hujan rata-
rata bulan kering dan bulan basah maka iklim di lokasi penelitian termasuk ke dalam iklim tipe A berdasarkan klasifikasi iklim Schmidth Ferguson dengan nilai
Q sebesar 0.139. Temperatur harian berkisar antara 15-22
o
C.
2.6 Sejarah Penggunaan Lahan dan Vegetasi
Tiga penggunaan lahan berbeda dijadikan sebagai pembeda lokasi titik pengamatan dan pengambilan contoh tanah. Lokasi pertama adalah hutan
sekunder yang berada pada kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGP. Kawasan ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan
yang sejak zaman dahulu relatif belum banyak mengalami perubahan. Akan tetapi karena terbatasnya akses maka untuk mencapai lokasi yang sama sekali belum
berubah sangat sulit. Sehingga dipilih lokasi di kaki gunung yang merupakan hutan sekunder dengan jenis tegakan pohon yang didominasi antara lain pohon
Rasamala Altingia excelsa Noronha dan Puspa Schima wallichii.
Lokasi kedua adalah perkebunan teh Maleber yang dikelola oleh PT. Tenggara yang luasnya saat ini tinggal 89.9 Ha. Perkebunan ini berdiri pada
zaman penjajahan Belanda yaitu pada tahun 1817 yang pada saat itu merupakan perkebunan teh pertama di Kabupaten Cianjur dengan luas 45 Ha hingga
kemudian berkembang menjadi 304 Ha. Namun seiring berjalannya waktu luasan tersebut menyusut akibat adanya konflik dengan masyarakat, yaitu masyarakat
mengklaim areal perkebunan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian.
Lokasi ketiga adalah lahan tanaman hortikultur yang dikelola oleh masyarakat. Jenis tanaman holtikultur yang ditanam di antaranya Kubis Brassica
oleracea var. Capitata , Brokoli Brassica oleracea var. Italica, Tomat Solanum
lycopersicum , Sawi hijau Brassica rapa var. parachinensis, Wortel Daucus
carota dan Kembang kol Brassica oleracea var. Botrytis. Berdasarkan
informasi petani setempat, lokasi profil yang diteliti berada pada lahan budidaya sayuran yang memang sejak awal dibuka sebagai area untuk budidaya tanaman
hortikultur.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Karakteristik dan Klasifikasi Tanah di Bawah Tegakan Hutan
Sekunder 3.1.1.1 Sifat Morfologi Tanah di Bawah Tegakan Hutan Sekunder
Tiga profil tanah pewakil pada penggunaan lahan hutan sekunder telah diamati dan dianalisis profil H-1, H-2, dan H-3. Ketiga profil ini berada pada
kisaran ketinggian 1649-1686 m dpl. Hasil deskripsi tiga profil ini disajikan pada Tabel Lampiran 1, 2, 3, dan 10.
Solum tanah H-1 dan H-3 termasuk sangat tebal 200 cm sedangkan profil H-2 lebih tipis yaitu hanya 63 cm. Tiga profil ini memiliki horison terkubur
horison Ab. Ciri dari horison terkubur adalah adanya kadar bahan organik yang tiba-tiba meningkat dan kembali menurun seiring dengan bertambahnya
kedalaman tanah. Selain terlihat dari kadar bahan organik yang tiba-tiba meningkat, indikasi horison terkubur pada profil H-1 dan H-3 diperkuat dari
distribusi ukuran partikel Tabel 2, yaitu adanya penurunan drastis jumlah fraksi pasir dari horison Bw ke horison Ab. Semua profil memiliki sekuen horison yang
sama yaitu Ah, Bw, dan Ab yaitu masing-masing adalah horison Ah, AB, Bw, Ab, Bwb, dan BCb pada H-1, horison Ah, Bw, dan Ab pada H-2, dan horison Ah, Bw,
Ab, Bwb pada H-3. Horison terkubur menandakan penimbunan bahan induk volkanik yang terjadi secara berulang-ulang Shoji et al., 1987.
Warna tanah dari profil-profil pewakil secara umum menunjukkan terjadinya peningkatan nilai value dan chroma seiring dengan bertambahnya
kedalaman tanah. Horison A memiliki nilai value dan chroma yang lebih rendah bila dibandingkan dengan horison B. Semua profil menunjukkan kisaran warna
hitam 10YR 21 pada horison A. Hal ini erat kaitannya dengan kadar bahan organik tinggi yang terdapat pada horison A. Warna tanah pada horison B berada
pada kisaran warna coklat gelap kekuningan 10YR 34-10YR 36. Warna horison terkubur adalah coklat gelap 7.5YR 34 pada profil H-1, dan coklat
gelap kekuningan 10 YR 36 dan 10 YR 34 secara berturut-turut pada profil H-2 dan H-3.
Tekstur tanah cukup berbeda antara horison A dan horison B. Tekstur tanah cenderung lebih halus seiring dengan bertambahnya tingkat kedalaman pada
profil H-1 dan H-3 sedangkan profil H-2 relatif seragam pada semua kedalaman. Tekstur tanah pada ketiga profil didominasi oleh lom berpasir hingga lom klei
berdebu disertai
batu kerikil yang berukuran 5-10 mm. Tekstur kasar dan batu kerikil menunjukkan kasarnya bahan yang dideposisikan.
Struktur tanah merupakan fenomena kompleks yang sebagian bergantung pada faktor-faktor seperti bahan induk, iklim dan proses fisik dan biokimia
pembentukan tanah Brady dan Weil, 2001. Horison A ketiga profil memiliki struktur gumpal bersudut berukuran halus dengan kekuatan struktur sedang.
Konsistensi horison A sangat gembur pada keadaan lembab. Hal ini terkait adanya pengaruh tingginya kadar bahan organik dan klei amorf yang bersifat porous.
Sementara itu, pada horison Bw umumnya memiliki struktur gumpal membulat