Pemasaran Ikan Patin Manajemen risiko operasional pada pemasaran benih ikan patin PT Mitra Mina Nusantara di Kabupaten Bogor, Jawa Barat

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemasaran Ikan Patin

Budidaya ikan patin lokal di Indonesia sudah mulai dirintis sejak tahun 1985, setelah pengembangan yang dilakukan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar berhasil namun belum disebarluaskan kepada masyarakat. Sampai tahun 1991 produksi ikan patin diperoleh dengan cara penangkapan di perairan umum Sumatera dan Kalimantan. Sejak tahun 1992, Pemerintah mendorong masyarakat di Sumatera, Kalimantan dan Jawa untuk mengembangkan budidaya ikan patin siam yang induknya didatangkan dari Thailand. Pemasaran ikan patin terangkum dalam penelitian yang dilakukan oleh SIPUK BI dalam “Budidaya Pembesaran Ikan Patin” studi kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir OKI, provinsi Sumatera Selatan Sumsel 12 beserta penelitian terkait lain yang meliputi permintaan, penawaran, analisa persaingan dan peluang pasar, harga, jalur pemasaran produk, dan kendala pemasaran.

2.1.1 Permintaan

Peningkatan konsumsi ikan patin akan meningkatkan permintaan benih patin. Lonjakan produksi ikan patin tertinggi terjadi antara tahun 2007 ke 2008, yaitu dari 36.755 ton menjadi 102.021 ton menyebabkan permintaan benih patin sebagai input untuk kegiatan pembesaran terus meningkat. Usaha pembenihan ikan patin sangat potensial dan diperkirakan akan terus berkembang karena peningkatan jumlah konsumsi akan berkorelasi positif dengan meningkatnya permintaan akan benih ikan patin. Harga jual yang cukup tinggi menjadikan daya tarik pelaku usaha untuk memasuki usaha pembenihan ikan patin dengan harapan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya Armayuni, 2011.

2.1.2 Penawaran

Produksi ikan patin semula hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun, 12 SIPUK BI. 2011. Budidaya Pembesaran Ikan Patin. http:www.bi.go.idsipukid?id=4no=40605idrb=44001 [diakses tanggal 12 agustus 2011] saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Wilayah produksi budidaya ikan patin terdapat pada daerah tertentu, seperti di Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Riau Kalimantan Selatan dan Jawa Barat. Dari segi sumber daya yang tersedia, wilayah tersebut cukup potensial untuk pengembangan budidaya ikan patin. Jawa Barat dikenal sebagai penghasil produksi ikan air tawar terbesar di Indonesia, sehingga provinsi ini dikatakan sebagai jantungnya produksi perikanan budidaya. Total produksi perikanan budidaya air tawar di Provinsi Jawa Barat mencapai 325.899 ton pada tahun 2009 atau sekitar 74 persen total produksi perikanan budidaya Jawa Barat yang sebesar 442.012 ton berasal dari perikanan budidaya air tawarnya. Jawa Barat yang memiliki Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar di Sukabumi memang dikenal sebagai sentra perikanan budidaya air tawar Indonesia. Perkembangan produksi ikan konsumsi di Kabupaten Bogor meningkat empat tahun terakhir yaitu 28,741.72 ton. Selain ikan konsumsi, Kabupaten Bogor juga memproduksi benih. Dari empat tahun terakhir produksi pembenihan ikan terus meningkat menjadi 847,112.06 ribu ekor pada tahun 2009. Usaha pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor sangat potensial untuk dikembangkan dilihat dari produksi yang terus meningkat Armayuni, 2011. Bogor merupakan salah satu sentra produksi pembenihan ikan patin di daerah Jawa Barat, karena kondisi cuaca dan iklim yang menunjang, pH air mendukung, pakan berupa cacing sutera banyak ditemukan, serta perkembangan teknologi penyuntikkan dan pengekstraan kelenjar hipofisa banyak berkembang. Berbeda dengan wilayah Kalimantan dan Sumatera yang memang difokuskan pada usaha pembesaran, sehingga tak jarang benih ikan patin yang dibesarkan berasal dari Jawa Barat. Produksi benih per jenis ikan per kecamatan di kabupaten Bogor pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi Benih Per Jenis Ikan Per Kecamatan Tahun 2009 Kecamatan Jumlah RTP Orang Produksi RE Mas Nila Lele Patin Nanggung 33 5,936.00 2,014.00 1,518.00 927.00 0.00 Leuwiliang 34 7,935.00 2,862.00 1,217.00 885.00 7.00 Leuwisadeng 21 3,485.30 813.00 571.00 1,442.00 82.00 Pamijahan 132 13,676.00 3,745.00 2,713.00 3,220.00 704.00 Cibungbulang 106 608,816.35 631.00 454.00 1,463.00 886.00 Ciampea 54 34,322.00 8,872.00 4,971.00 6,748.00 8,852.00 Tenjolaya 69 62,582.00 22,303.00 6,051.00 5,245.00 6,958.00 Dramaga 64 20,272.65 4,903.50 3,957.00 23.65 105.00 Ciomas 21 16,980.00 3,707.75 3,427.00 1,877.50 3,325.00 Tamansari 26 4,359.00 1,335.00 910.00 241.60 242.40 Cijeruk 25 1,842.00 505.00 1,337.00 0.00 0.00 Cigombong 14 2,057.00 600.00 1,457.00 0.00 0.00 Caringin 21 2,951.00 751.00 2,200.00 0.00 0.00 Ciawi 18 2,990.00 671.00 994.00 965.00 0.00 Cisarua 5 1,662.00 0.00 674.00 988.00 0.00 Megamendung 10 3,304.00 0.00 1,328.00 1,976.00 0.00 Sukaraja 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Bbkn Madang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Sukamakmur 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Cariu 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Tanjungsari 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Jonggol 5 21.20 20.00 1.20 0.00 0.00 Cileungsi 6 10.00 10.00 0.00 0.00 0.00 Klapanunggal 2 49.00 20.00 21.00 8.00 0.00 Gunung Putri 2 38.00 6.00 10.00 8.00 0.00 Citeureup 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Cibinong 25 1,455.69 272.80 227.52 597.18 69.69 Bojong Gede 30 812.55 173.29 120.87 265.02 128.87 Tajurhalang 32 1,781.67 422.16 294.90 454.65 299.68 Kemang 50 117.08 0.00 15.49 26.00 30.19 Rancabungur 30 6,558.72 1,398.69 165.82 2,948.60 1,020.66 Parung 4 11,598.00 0.00 140.00 10,600.00 360.00 Ciseeng 120 22,013.85 0.00 224.60 15,049.07 3,288.00 Gg Sindur 70 7,390.00 0.00 0.00 6,000.00 0.00 Rumpin 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Cigudeg 64 423.00 313.00 85.00 0.00 0.00 Sukajaya 5 1,290.00 111.00 497.00 0.00 0.00 Jasinga 10 112.00 62.00 40.00 10.00 0.00 Tenjo 2 72.00 72.00 0.00 0.00 0.00 Pr Panjang 11 199.00 69.00 78.00 52.00 0.00 Jumlah 1,105 847,112.06 56,663.19 35,700.40 62,020.27 26,358.49 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2009

2.1.3 Analisa Persaingan dan Peluang Pasar

Tingkat persaingan pembudidaya ikan patin di kabupaten OKI relatif rendah, dengan demikian peluang pasar masih terbuka untuk pembudidaya baru. Diperoleh keterangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Sumsel bahwa terdapat permintaan ikan patin sebanyak 1,5 ton per hari untuk industri pengolahan ikan patin menjadi baso, burger dan sosis ikan di Palembang. Permintaan tersebut belum dapat dipenuhi karena adanya beberapa kendala antara lain: daging ikan patin siam kurang sesuai untuk diolah menjadi produk olahan, fasilitas pendukung seperti sarana transportasi dan lokasi pabrik belum tersedia, dan masalah perijinan. Peluang pasar untuk ekspor masih terbuka luas, karena konsumen di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara di Asia saat ini telah mengimpor ikan patin dalam bentuk fillet dari Vietnam. Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam pengembangan budidaya ikan patin, terutama dengan telah diperkenalkannya ikan patin lokal Pangasius djambal Bleeker kepada masyarakat mulai tahun 2000 dan teknologi pembenihannya sudah tersedia di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Sukamandi Jawa Barat dan Loka Budidaya Ikan Air Tawar di Jambi. Ikan patin djambal berpeluang ekspor, mengingat ikan patin djambal memiliki keunggulan ekonomis sebagai ikan budidaya, yaitu: bobotnya bisa mencapai 20 kg, dan dagingnya berwarna putih yang hampir sama dengan Pangasius bocourti yang merupakan komoditas ekspor dari Vietnam. Disamping itu produksi ikan patin jenis ini dapat memenuhi permintaan industri pengolahan dalam negeri. Selain sebagai ikan konsumsi rumah tangga dan industri pengolahan dalam negeri dan ekspor, ikan patin yang berukuran kecil benih juga berpeluang untuk dikembangkan sebagai ikan hias. Benih ikan patin juga digunakan sebagai input produksi pembesaran. Wilayah Kalimantan dan Sumatera yang difokuskan pada usaha pembesaran tidak jarang memperoleh benih ikan patin yang dibesarkan berasal dari Jawa Barat Armayuni, 2011. Hal ini menyebabkan peluang pasar untuk benih ikan patin terbuka lebar. Bagi para pemula, sebaiknya memilih usaha penjualan ikan patin untuk kebutuhan benih. Sebab, resiko kegagalan lebih kecil, dan biaya produksi bisa lebih ditekan. Selain itu perputaran labanya juga lebih cepat jika dibandingkan dengan budidaya ikan patin konsumsi maupun indukan.

2.1.4 Harga

Perkembangan harga ikan patin boleh dikatakan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun karena pengaruh inflasi. Di kabupaten OKI, harga ikan patin berfluktuasi karena pengaruh inflasi dan adanya panen ikan sistem lebak lebung di musim kemarau serta meningkatnya permintaan pada hari raya keagamaan. Pada musim kemarau Juli – September harga ikan patin di tingkat pembudidaya produsen turun sampai Rp.7.000 per kg dan pada hari raya keagamaan meningkat sampai Rp.9.000 per kg atau rata-rata adalah Rp.8.500 per kg. Sedangkan harga jual pedagang pengumpul rata-rata Rp 8.200 s.d. Rp 9.200 per kilo harga yang berlaku pada April 2003. Perkembangan harga benih juga tidak bisa dihiraukan begitu saja. Pada tahun 2008 dimana permintaan akan benih tinggi dan banyak pengusaha berinvestasi di pembesaran patin harga benih melonjak tinggi hingga Rp 120. Setahun setelahnya, yaitu pada 2009, harga benih ikan patin jatuh hingga Rp 60 per ekor. Saat ini harga benih ikan patin di petani, untuk ukuran benih 1 inchi harganya mencapai Rp 90,00 per ekor. Perkembangan teknologi informasi pada saat ini membantu pembudidaya dalam menentukan harga jual ikan. Pembudidaya memiliki posisi tawar atau bargaining position dalam menentukan harga jual ikan karena sebelumnya mereka telah mengumpulkan informasi harga dari pasar-pasar lokal atau sesama pembudidaya. Baik pembudidaya maupun pedagang menyatakan bahwa harga ikan di tingkat produsen ditetapkan secara tawar menawar

2.1.5 Jalur Pemasaran Produk

Rantai tataniaga ikan patin sangat ringkas dan efisien, sehingga harga yang diterima pembudidaya sekitar 80 – 90 dari harga yang dibayar konsumen. Pemasaran produk oleh pembudidaya dilakukan secara langsung kepada pedagang pengumpulagen tanpa melalui pedagang perantara. Pedagang pengumpul juga merupakan pedagang benih ikan, pakan dan peralatan perikanan. Untuk menjamin stok ikan, pedagang pengumpul memiliki kolam penampungan sementara. Pedagang pengumpul menjual ikan langsung baik kepada pedagang besar dan petani pembesaran ikan. Pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pemasaran benih diantaranya perusahaan, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, dan konsumen. Pada penelitian Mastuti 2011, konsumen Deddy Fish Farm perusahaan pembenihan ikan patin terdiri dari pembesar, pengumpul, dan supplier ikan yang berasal dari berbagai daerah mulai dari Palembang, Tulung Agung Solo, Jatiluhur, Kalimantan, dan petani-petani pembesaran ikan di sekitar Bogor. Banyaknya konsumen disebabkan karena benih ikan patin di Bogor relatif lebih berkualitas dibandingkan benih ikan patin yang dihasilkan di daerah lain. Rantai pemasaran produk DFF ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3. Rantai Pemasaran Benih Ikan Produksi Deddy Fish Farm Berdasarkan analisis kualitatif terkait pemasaran dalam penelitian Zelvina 2009 didapatkan bahwa hasil kegiatan usaha pembenihan ikan patin di Desa Tegal Waru terdiri dari empat saluran dimana lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang terdiri dari fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Dilihat dari kriteria dalam menentukan saluran pemasaran yan efisien diketahui bahwa saluran pemasaran yang terdiri dari petani – pedagang pengumpul – petani pembesaran ikan patin lebih efisien dibanding dengan saluran lainnya. Hal ini dikarenakan saluran pemasaran ini memiliki total margin lebih kecil, nilai farmer’s share paling besar dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang paling besar.

2.1.6 Kendala Pemasaran

Ketersediaan benih ikan patin yang berkelanjutan dibutuhkan sesuai permintaan. Selama ini kegiatan pemijahan ikan patin banyak terkonsentrasi di Deddy Fish Farm Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pedagang Pengecer Petani Pembesaran Ikan Konsumen daerah Sukabumi, Bogor, dan Jakarta sedangkan kegiatan pendederan dan pembesaran berada di daerah Sumatra, Kalimantan, dan daerah lainnya di pulau jawa Sumarna, 2007. Jarak yang jauh antara daerah produksi benih dan daerah pendederan serta pembesaran maka penghematan dalam penggunaan sistem transportasi harus dilakukan. Penghematan dilakukan dengan mengirimkan benih dengan kepadatan tinggi dan sistem tertutup namun diduga cara ini dapat menyebabkan turunnya kualitas air sebagai media transportasi yang dapat mengakibatkan risiko kematian benih selama transportasi Emu, 2010. Di tingkat pembudidaya tidak dijumpai kendala pemasaran, namun di tingkat pedagang kendala pemasaran adalah kerusakan pada kondisi jalan yang menghubungkan kabupaten OKI dengan kabupaten atau provinsi lain. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas ikan yang dijual sehingga harga jual ikan jatuh. Kendala lain adalah adanya persaingan harga dari pemasok yang berasal dari wilayah lain. Pedagang dari Jakarta mampu memasukkan ikan patin dengan harga yang lebih rendah dibanding harga ikan yang ditawarkan oleh pedagang di kabupaten OKI.

2.2 Kajian Risiko Bisnis