c. Mobile
–phase modification detectors. Detektor ini mengubah fase gerak setelah kolom KCKT menghasilkan pengubahan karakteristik analit, seperti
perubahan reaksi analit dan detektor spektometrik masa Snyder dkk., 2010. d.
Hyphenated techniques. Teknik mengacu pada kopling dari analisis KCKT yang dipadukan dengan teknik lain, seperti LC-MS dan LC-IR Snyder
dkk., 2010. Detektor pada KCKT idealnya memiliki beberapa karakteristik sebagai
berikut : a. Respon terhadap analit cepat dan reprodusibel
b. Mampu mendeteksi analit hingga kadar yang sangat kecil c. Stabil saat dioperasikandigunakan
d. Memiliki sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita.
e. Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi analit pada kisaran luasAUC
f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak. Komputer atau integrator merupakan alat yang dihubungkan dengan
detektor unuk mengukur sinyal yang dihasilkan dan diplotkan sebagai suatu kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis Gandjar dan Rohman, 2010.
2. Optimasi Metode
Saat tahap optimasi, serangkaian kondisi awal yang mucul pada tahap pengembangan metode harus dimaksimalkan dengan baik. Hal yang harus
dimaksimalkan tersebut ialah resolusi, bentuk puncak, jumlah lempeng, asimetri, kapasitas, dan retention time Gandjar dan Rohman, 2010.
Kecepatan alir yang optimal biasanya 0,8 mLmin, 1,2 mLmin dan 2,5 mLmin untuk kolom dengan yang memiliki diameter internal 4,6 mm dan ukuran
partikel berkisar 3-10µm. Semakin kecil partikel menghasilkan pemisahan yang lebih cepat dan optimal Ahuja dan Rasmussen, 2007.
3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi
Empat karakteristik
umum yang
biasanya digunakan
untuk mendeskripsikan kolom, sistem dan pemisahan kromatografi ialah faktor retensi
k’, efisiensi N, selektivitasα, dan resolusiR Ahuja dan Rasmussen, 2007. a.
Faktor reten si k’. Faktor retensi k’ merupakan pengukuran
retensi senyawa tertentu pada sistem kromatografi tertentu dan pada kondisi tertentu. Faktor retensi didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut :
�
′
= −
= −
= Dimana V
R
merupakan retensi volume analit, V merupakan retensi volume fase
cair dalam sistem kromatografi dalam mL, t
R
merupakan retention time dalam menit, t
disebut sebagai retention time analit yang tidak tertahan dalam menit Ahuja dan Rasmussen, 2007, Vs merupakan volume sampel juga disebut sebagai
volume dari fase diam yang ada didalam kolom dalam µL dengan pendekatan persamaan sebagai berikut :
= , √
�
√
�
3
4
Dimana L merupakan panjang kolom dalam mm, dc merupakan diameter internal kolom dan dp merupakan packing diameter parkikel penyusun kolom dalam µm.
Seluruh kondisi dari sistem kromatografi dapat mempengaruhi retensi analit. Snyder dkk, 2010.
Retention time analit yang tidak tertahan t atau dihubungkan dengan
volume fase gerak dalam kolom sebagai hasil perkalian antara retention time analit yang tidak tertahan terhadap kecepatan alir fase gerak yang melewati
kolom. Retention time analit yang tidak tertahan dapat dihitung berdasarkan dimensi kolom dan kecepatan alirnya, persamaan matematika yang
menghubungkannya dituliskan sebagai berikut : = �
− �
L merupakan panjang kolom dalam mm, d
c
merupakan diameter internal kolom dalam mm, F merupakan kecepatan alir fase gerak yang melewati kolom dalam
mLmin serta t sendiri dalam menit Snyder dkk., 2010.
Faktor retensi mengukur waktu dari komponen sampel yang tinggal pada fase diam dihubungkan terhadap waktu dari komponen sampel yang terbawa pada
fase gerak Ettre,1993. Kecepatan migrasi analit melalui fase diam ditentukan koefisen distribusinya D, besarnya nilai D tersebut ditentukan oleh afinitas
relatif analit pada kedua fase fase diam dan fase gerak. Dalam konteks kromatografi, koefisien distribusi D didefinisikan sebagai perbandingan
konsentrasi analit dalam fase diam Cs dan fase gerak Cm, yang dituliskan sebagai berikut :
5
6 =
Semakin besar nilai D, maka migrasi analit semakin lambat, sebaliknya semakin kecil nilai D, maka migrasi analit semakin cepat. Jika perbedaan koefisien
distribusi analit cukup besar maka campuran analit akan mudah dan cepat dipisahkan Gandjar dan Rohman, 2010.
Retention time t
R
merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan solut untuk dapat melewati kolom. Retention time t
R
dan faktor retensi k’
dihubungkan oleh persamaan berikut : =
+ �
′
t merupakan waktu yang dibutuhkan analit yang tidak tertahan untuk dapat
melewati kolom. Bila analit tidak tertahan pada fase diam maka koefisien distribusinya D dan faktor retensinya adalah 0 sehingga nilai t
r
=t . Dalam sistem
kromatografi umumnya diatur agar nilai k’20 untuk menghindari retention time
yang terlalu panjang Gandjar dan Rohman, 2010. Retention time yang efisien untuk analisis rutin ialah 10 menit Smith, 2002.
b. Resolusi Rs. Resolusi dapat didefinisikan sebagai perbedaan
waktu antara retention time dua puncak peak yang saling berdekatan dibagi dengan rata-rata lebar puncak, sehingga yang sangat berpengaruh terhadap
pemisahan komponen analit merupakan retention time t
R
masing-masing analit dan lebar puncaknya W. Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5
untuk memberikan pemisahan yang baik Gandjar dan Rohman, 2010. =
− +
7
8
Pemisahan komponen analit pada sistem KCKT diharapkan memiliki Rs yang minimum dengan baseline separation. Baseline separation dapat dicapai
ketika detektor membaca peak kromatogram pertama secara utuh hingga baseline sebelum detektor membaca peak kromatogram berikutnya. Baseline separation
dapat dicapai saat Rs 1,5 atau mendekati 1,5 Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997.
Gambar 8. Gambaran peak kromatogram untuk mengukur resolusi Snyder dkk., 1997
c. Efisiensi kolom. Efisiensi merupakan karakteristik penting dalam
kolom. Efisiensi diekspresikan sebagai jumlah lempeng teoritis N yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
= Dimana t
R
merupakan retention time analit dan W merupakan lebar peak pada posisi baseline Ahuja dan Rasmussen, 2007.
Pengukuran terhadap efisiensi kolom membutuhkan faktor lebar peak W karena waktu retensi berpengaruh terhadapnya, peningkatan nilai W akan
meningkatan retention time. Semakin tinggi nilai N mengindikasikan efisiensi kolom yang lebih baik Miller dan Crowther, 2010.
9
Terdapat parameter lain terkait efisiensi kolom, yakni plate heighttinggi plat H yang dirumuskan dengan persamaan berikut :
� = Dimana L merupakan panjang kolom. Plate heighttinggi plat H atau biasanya
disebut sebagai HETP Height Equivalent to one Theoretical Plate menggunakan satuan unit panjang, pengukuran plate height lebih baik untuk penentuan efisiensi
kolom karena adanya faktor panjang kolom sebagai pembandingnya daripada hanya dilihat dari jumlah lempeng teoritisnya N. Miller dan Crowther,2010.
HETP merupakan panjang kolom kromatografi dalam mm yang diperlukan sampai terjadinya satu kali kesetimbangan molekul solut dalam fase gerak dan
fase diam Gandjar dan Rohman, 2010. Pada saat pemisahan kromatografi, analit individual akan membentuk
profil konsentrasi yang simetriprofil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Peak kromatogram secara perlahan akan melebar dan sering membentuk profil
asimetrik karena analit melanjutkan migrasinya ke fase diam Gandjar dan Rohman, 2010. Alasan timbulnya bentuk puncak dan pelebaran puncak
didasarkan pada difusi Eddy, difusi longitudinal, dan transfer massa Snyder dkk., 2010.
Difusi longitudinal ialah saat analit melewati kolom gambar 9b. Proses difusi ini menyebabkan pelebaran peak untuk meningkatan retention time Snyder
dkk., 2010. Spesies analit menyebar kesegala arah dengan difusi ketika berada di dalam fase gerak. Difusi terjadi dengan arah yang sama dan berlawanan dengan
10
fase gerak sehingga berkontribusi terhadap pelebaran pita secara simetris Gandjar dan Rohman, 2010.
Gambar 9. Ilustrasi gambar yang menyebabkan pelebaran puncak selama pemisahan menggunakan KCKT. Simbol
merepresentasifkan molekul analit sebelum migrasi, simbol
menyatakan molekul analit setelah migrasi, dan --- menyatakan pergerakan dari molekul analit Snyder dkk., 2010.
Difusi Eddy merepresentatifkan faktor lain yang menyebabkan pelebaran pita. Molekul analit masuk ke dalam kolom melewati partikel fase diam dengan
arah yang berbeda –beda menuju ke luar kolom. Molekul yang bergerak lebih
lambat akan keluar lebih lambat dan molekul yang bergerak lebih cepat akan keluar lebih dahulu. Pelebaran pita tidak bergantung dari kecepatan alir yang
digunakan dan hanya bergantung dari penyusunan dan ukuran partikel dalam kolom. Pelebaran pita yang diakibatkan karena difusi Eddy akan semakin besar
seiring dengan peningkatan ukuran partikel kolom Snyder dkk., 2010.
Gambar 10. Ilustrasi difusi Eddy saat memasukin kolom dan menyebabkan pelebaran pita Miller dan Crowther, 2010
Transfer massa dapat menyebabkan pelebaran pita, terjadinya transfer massa disebabkan oleh transfer massa fase gerak yang merupakan kecepatan alir
analit yang mempengaruhi pelebaran pita, diantara partikel fase diam terdapat rongga yang bilamana analit melewatinya akan lebih cepat keluar terbaca detektor
dan bila analit cenderung lebih menyamping maka akan terjadi interaksi dahulu terhadap partikel fase diam yang dapat dilihat dari gambar 9d. Transfer massa fase
diam merepresentatifkan analit yang terpenetrasi ke dalam partikel fase diam dan tinggal lebih lama sebelum meninggalkan partikel fase diam. Perbedaan lama
waktu tinggal dan adanya analit yang terlebih dahulu terelusi keluar akan menyebabkan pelebaran pita Snyder dkk., 2010.
d. Selektivitas
α. Menurut Ahuja dan Rasmussen 2007, selektivitas merupakan kemampuan sistem kromatografi untuk memisahkan dua
analit dan dapat digambarkan sebagai rasio faktor retensi, dengan persamaan sebagai berikut :
� = �′
�′ 11
Kesempurnaan pemisahan pada kromatogram seperti yang pada persamaan 6 belum memanfaatkan berbagai faktor, terdapat persamaan lain
yang menggunakan faktor – faktor lain seperti pada persamaan berikut :
= √ [ � −
� ] [ �
′
− �
′
] Persamaan 10 menjelaskan bahwa terdapat faktor lain yang turut menentukan
resolusi, yaitu jumlah lempeng N, selektivitas α, dan faktor retensi k’ Gandjar dan Rohman, 2010.
Selektivitas pemisahan dapat dicapai dengan mengganti fase gerak, parameter yang digunakan digambarkan oleh sebuah diagram solvent selectivity
triangle. Solvent selectivity triangle menggambarkan perbedaan antara solven dengan melihat sifat keasaman α, kebasaan β, dan dipolar π. Perbedaan pola
elusi dari perbedaan solven yang besar dapat diharapkan dapat memisahkan peak dengan baik. Solven A dalam kromatografi fase terbalik biasanya digunakan fase
gerak aquabidest dan solven B digunakan senyawa golongan alkohol Meyer, 2004.
12
Gambar 11. Solvent Selectivity Triangle Meyer, 2004
Selektivitas dapat menghasilkan pergeseran satu puncak relatif terhadap puncak lainnya dengan menaikan nilainya. Efisiensi pemisahan yang ditunjukan
oleh faktor N akan berubah dengan mengubah panjang kolom L atau mengubah kecepatan alir fase gerak. Menaikan lempeng teoritis N suatu kolom akan
mengakibatkan penyempitan dua puncak sehingga lebar puncak W menjadi kecil dan resolusi yang dihasilkan menjadi lebih besar. Pengubahan
nilai k’ dengan menurunkannya akan menghasilkan pemisahan yang jelas dan retention time yang
pendek, sebaliknya menaikan nilai k’ akan memberikan resolusi yang lebih baik dengan konsekuensi tinggi puncak kromatogram akan turun dan waktu pemisahan
menjadi naik Gandjar dan Rohman, 2010.
Gambar 12 . Pe garuh perubaha ilai α, k’, da N terhadap pemisahan peak
kromatogram Gandjar dan Rohman, 2010
e. Faktor asimetripengekoran. Pita kromatogram biasanya tidak
menghasilkan bentuk yang Gaussian dan menimbulkan pengekoran. Pengekoran pitapeak tailing dapat dihitung berdasarkan dua cara yakni menggunakan
asymmetry factor A
s
atau menggunakan tailing factor TF. Nilai As dapat dikorelasikan dengan TF menggunakan persamaan sebagai berikut :
�
≈ + , −
Melihat dari persamaan 11, nilai A
s
akan cenderung lebih besar dibandingkan nilai TF Snyder dkk., 2010.
13
Menurut Center for Drug Evalution and Research 1994, nilai tailing factor yang baik
≤ 2.
Gambar 13. Penentuan asymmetry factor A
s
dan tailing factor TF Snyder dkk.,2010.
F. Standar Internal