20
2.2. Simplisia dan ekstraksi
Simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk
Gunawan Mulyani, 2002 Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan Ditjen POM, 2000 dalam Lumban Raja, 2009.
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan
lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara
bertingkat dengan
berbagai pelarut
berdasarkan kepolarannya.
Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan
menggunakan alat rotary evaporator Lumban Raja, 2009.
2.3. Diabetes melitus
Diabetes adalah kumpulan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang menyebabkan suatu gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia
dan menyangkut metabolisme glukosa, lemak dan protein dalam tubuh terganggu Drury, 1986; Ganong, 2005; Tjay, 2007. Pada tahun 1674, Thomas Willis
menyatakan bahwa kencing si penderita penyakit ini berasa madu sehingga penyakit ini diberi nama diabetes melitus melitus=madu Soehadi, 1996.
Penyakit diabetes melitus memiliki gejala 3P, yaitu poliuria banyak berkemih, polidipsia banyak minum, dan polifagia banyak makan. Di samping
naiknya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya gula dalam kemih glycosuria dan banyak berkemih karena glukosa yang diekskresikan banyak
mengikat air. Banyak berkemih akan menimbulkan rasa sangat haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk
memenuhi kebutuhan energinya, yang disertai pembentukan zat-zat perombakan antara lain aseton, asam hidroksibutirat dan diasetat, yang membuat darah menjadi
asam. Keadaan ini yang disebut ketoacidosis dan terutama timbul pada tipe 1, sangat berbahaya karena pada akhirnya dapat menyebabkan pingsan coma
diabeticum. Napas penderita yang sudah sangat kurus juga sering kali berbau
Universitas Sumatera Utara
21
aseton. Keluhan dan gejala yang khas disertai hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mgdl atau glukosa darah puasa 126 mgdl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Ganong, 2005; Mansjoer, 2007. American Diabetes Association ADA menetapkan konsentrasi glukosa
darah normal saat puasa kurang dari 100 mgdL. Glukosa plasma terganggu jika konsentrasi glukosa saat puasa antara 100-125 mgdL, sedangkan toleransi