Pola Pengasuhan Anak Pada Keluarga Miskin di Desa Goyudan
71
hasil observasi ini menunjukkan bahwa kehidupan warga yang kurang mampu dari Desa Goyudan menunjukan adanya sikap pola asuh
otoriter, hal itu dibuktikan dengan sikap mendidik anak-anak mereka. Dalam keseharian mereka mendidik anak-anaknya yang ditunjukan
dengan adanya sikap memaksa untuk mengikuti keinginan orang tuannya, jadi anak tidak diberi kesempatan untuk mewujudkan
keinginan mereka sendiri, orang tua bersifat tegas dan kaku. Salah satu contohnya yaitu dalam memerintah anaknya, diwajibkan anak untuk
melakukan tindakan yang sesuai dengan keingginan orang tuanya. b. Pola Asuh Permisif
Tidak hanya pola asuh Oteriter yang digunakan orang tua untuk mendidik anaknya, terdapat pula yang menggunakan pola asuh
permisif, dimana orang tua serba membolehkan atau sesukanya mengijinkan anaknya untuk bertindak sesuai keinginanya sendiri.
Orang tua tersebut menerima anak dengan apa adanya dan cenderung memberikan kebebasan. Semisal saja hasil wawancara peneliti dengan
Bapak HD warga Desa Goyudan yang mengatakan bahwa: “Anak saya sudah disuruh sekolah, jadi ya sudah saya biarkan
saja yang penting bisa bertanggungjawab. Dulu saat masih sekolah cuma saya diamkan saja, kalau mau belajar saya
bersyukur kalau tidak ya sudah soalnya menyuruh anak buat belajar sangat susah. Saat anak saya sekolah, anak saya
membolos terserah juga dia, soalnya saya juga tidak tau kantiap hari saya kerja buat menuhin kehidupan sehari-hari. Jadi saya
fokusya pada kerjaan pulang bawa uang buat makan.Istri saya kadang-kadang sudah kerepotan dengan urusan sendiri ngurus
adik-adinya dan mertua saya”Jum’at, 13 November 2015.
72
Hal tersebut juga sama dengan apa yang dilakukan oleh Bapak RS yang menggunakan pola asuh permisif dalam mendidik anak-
anaknya. Berikut pernyataan Bapak RS selaku warga miskin Desa Goyudan yang mengatakan bahwa:
“Biasanya anak saya pamitnya untuk berangkat kesekolah, disekolah agendanya ngapain saja saya tidak tau apa-apa, saya
juga tidak bertanya. Saya tiap hari kerja buat cari makan, kalau istri saya juga kerja sebagai buruh cuci. Jadi kalau anak saya
membolos atau tidak saya kurang paham. Saya ke sekolah anak, hanya pada saat pengambilan rapot saja. Anak saya
diberikan kebebasan yang penting tidak neko-neko, kalau main saya juga berikan kebebasan yang penting pada saat malam
anak saya pulang. Paling saya mengawasi anak sekedarnya saja, soalny saya tau teman-teman dia ”Sabtu, 14 November
2015.
Pada pola asuh permisif ini dapat dibuktikan denganadanya hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti pada
tanggal 13-14 November 2015 kepada keluarga Bapak HD dan Bapak RS yang memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk bermain
pada waktu siang hari sampai sore hari dengan teman-temanya. Selain itu mereka juga tidak membatasi pergaulan anak-anaknya atau
memberikan batas waktu untuk bermain. Bapak HD dan Bapak RS hanya sebatas mengetahui bahwa anaknya sedang bermain bersama
dengan teman-temanya. Bapak SG selaku Kepala Desa Goyudan membenarkan adanya
pola asuh keluarga terhadap anak yang bersifat otoriter dan bermisif. Berikut hasil wawancara dengan Bapak SG:
“Untuk kesadaran masyarakat khususnya di Desa Goyudan tentang pendidikan menurut saya sangat kurang banget. Salah
73
satunya untuk orang tua yang profesinya bekerja sebagai buruh pasir, dimana penghasilan mereka rata-rata mereka kisaran Rp.
400.000,00sampai dengan Rp. 600.000,00. Ibaratnya untuk kehidupan sehari-hari saja mereka
masih banyak yang
kekurangan apalagi untuk biaya sekolah yang lebih tinggi. Banyak anak-anak yang putus sekolah hanya karena kehidupan
ekonomi mereka yang serba kekurangan. Anak-anak yang putus sekolah tersebut kemudian diajak oleh orang tuanya
untuk naik gunung bekerja sebagai buruh pasir. Banyak keluarga yang kurang mampu kurang sadar dengan adanya
pendidikan, banyak dari warga yang kurang mampu atau warga miskin berfikir bahwa dari pada buat biaya sekolah yang belum
tentu akan membuat mereka menjadi lebih sukses mendingan buat biaya hidup buat makan sehari-hari. Dari pihak desa
pernah memberikan pemahaman bahwa pendidikan itu penting, maka dari itu pemerintah membuat program melalui jalan kejar
paket, untuk anak yang tidak lulus SD, SMP di usahakan ikut kejar paket.Dari program tersebut warga yang ikut hanya
berangkat beberapa hari saja, setelah itu tidak berangkat dikarena berbagai alasan salah satunya karena malas”Minggu,
15 November 2015.
c. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis di desa Goyudan tidak muncul dalam
aplikasinya. Mayoritas warga menggunakan pola asuh otoriter dan permisif. Hal ini ditunjukan dengan tidak ada pengakuan secara
eksplisit ataupun
hasil obserbasi
peneliti yang
menunjukan penggunaan pola demokratis. Absennya penggunaan pola asuh ini
salah satunya karena tindakan abai dari masyarakat. Dari pengamatan observasi didalam keluarga orang tua
mengabaikan anaknya tentang dunia pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan anaknya tidak mau sekolah pun orang tuanya diam saja tidak
memberikan arahan yang baik buat anaknya. Sehingga anak lebih terlihat bebas dengan apa yang dia inginkan dibolehkan oleh orang
74
tuanya. Salah satu alasan kenapa pola asuh demokratis ini susah diterapkan dalam keluarga dikarena perilaku anak yang susah diatur.
Perilaku anak yang menyimpang tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkangan yang negatif seperti: tidak adanya jam belajar,
banyaknya ank yang tidak mengeyam pendidikan, orang tua yang lebih memprioritaskan mencari nafkah dari pada mengurusi anak. Hal ini di
perkuat dengan wawancara bapak SM sebagai berikut: “Sebenarnya pendidikan itu penting bagi anak dan masa depan
anak. Banyak kebutuhan buat hidup yang belum tercukupi yang harus saya cari untuk menafkahi keluarga. Jadi saya tidak ada
waktu untuk memperhatikan anak karena saya pulang kerja sudah capek dan istirahat, tau-tau pagi sudah berangkat kerja
mencari nafkah sampai tidak sempat melihat anak saya dirumah atau main karena pulangnya sampe sore.”
Berdasarkan informasi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa peranan keluarga yaitu orang tua dalam mendidik anak
merupakan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi perkembangan anak, dimana
anak akan belajar berinteraksi dan dilatih untuk berkembang dilingkungan keluarga sebelum terjun ditengah masyarakat.
Sebagaian besar warga Desa Goyudan masih menggunakan pola asuh otoriter dalam mendidik anaknya dan sedikit bercampur
dengan pola asuh permisif, hal ini terbukti dengan sikap orang tua yang menggunakan pola asuh otoriter yakni cenderung bersifat kaku,
suka memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, selalu mengatur tanpa memperhatikan kemauan dan perasaan anak, menghukum bila
75
anak bertindak tidak sesuai dengan kehendaknya dan kurang adanya komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak.Kemudian pola
asuh permisif yang cenderung memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Selain itu anak anak diberi
kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri, dan tidak dituntut untuk bertanggung jawab.